Pagi ini seperti biasa saya naik angkot hijau muda menuju ke sekolah.
Benar-benar
seperti biasanya.
Dengan
otak yang masih kosong, lagipula sebentar lagi akan dijejali macam-macam. Yang
berbunyi hanya gramophon yang mendendangkan lagu ceria Sherina: Kembali ke
Sekolah!
Hingga
angkot yang saya naiki ini berhenti di tepi jalanan sepanjang wilayah Kosambi.
Mendatangkan penumpang baru berwajah baik hati. Dia seorang pemuda.
Dan...
Sempat
jantung saya ngadegdeg, karena pemuda
itu mirip dengan kecengan saya. Ya, senyum yang selalu terulas, tidak hanya di
bibirnya tapi juga di seantereo wajahnya. Matanya yang ramah. Yang membedakan
adalah, kecengan saya berambut cepak sementara pemuda itu berponi, belah tengah
lagi, seperti Mamoru si Tuxedo Bertopeng dalam kartun Sailormoon yang sekarang
di Indosiar sudah tidak ada lagi. Di pipi kirinya ada tahi lalat. Bukan, bukan
tompel. Terlalu kecil, tidak memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku untuk disebut
tompel.
Apa
itu kecengan saya?
Kalimat
itu jadi kalimat pertama yang hadir di kepala saya untuk hari ini.
Tapi...
potongan rambut, tahi lalat, dan pakaiannya yang bukan seragam meragukan saya.
Lalu
saya teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Sudah cukup lama. Waktu itu
tinggal sejam menuju bel pulang sekolah. Guru pelajaran terakhir tidak hadir.
Saya ingin cepat-cepat pulang untuk mengerjakan PR dan ada janji memancing
dengan ayah. Jadi saya berjalan menuju sebuah bidang yang cukup luas yang
terletak dekat gerbang keluar. Dari situ saya hendak mengawasi situasi dan
kondisi apakah gerbang keluar itu layak dilewati, siapa tahu ada guru piket
menanti. Hingga saya lihat kecengan saya itu lari-lari ke arah ruang piket.
Terus dia keluar lagi. Tak berapa lama dia muncul lagi sambil bawa tas dan
jaket dan dia pergi melewati gerbang sekolah.
Wah,
kira-kira ada apa ya?
Waktu
itu saya masih dikuasai oleh Imajinasi Nakal dan Imajinasi Nakal itu membuat
saya yakin bahwa dia dipanggil bertugas oleh suatu Badan Intelijen. Sebenarnya
dia adalah intel yang menyamar jadi siswa SMA. Atau siswa SMA yang kerja part
time jadi intel. Edaaaaaann...
Dan
mungkin inilah dia di sini.
Apa
itu kecengan saya yang sedang menyamar?
Begitu
bunyi kalimat kedua yang muncul di kepala saya.
Sesekali
saya mencuri pandang.
Dan
dia kayaknya sadar gitu deh.
Dia
duduk di sebelah nenek-nenek putih cantik berwajah melankolis yang bawa ransel
besar sekali. Ranselnya itu menghalangi siapapun yang hendak keluar atau masuk
dan duduk di bangku angkot sebelah dalam. Pemuda itu ternyata memang baik hati.
Dia membantu nenek itu memegangi ranselnya. Tiap ada penumpang baru yang datang
dia geser ransel itu agar bisa masuk. Sementara angkot melaju dia tetap
memegangi ransel itu. Dia dan si nenek duduk bersebelahan tepat di depan pintu
angkot. Mungkin dia pegangin ransel itu supaya tidak jatuh menggelinding keluar
angkot kali ya. Kalau begitu kan bahaya. Bahaya buat si nenek karena mungkin
saja di ransel itu isinya barang penting. Bahaya juga kalau ransel itu jatuh ke
jalan dan menghalangi kendaraan. Lha, kalau ranselnya tiba-tiba diterbangkan
puting beliung bisa kena muka orang. Bahaya banget, gila. Orang itu baik
banget. Sebaik aura yang dipancarkan wajahnya.
Penampilannya
begitu sederhana. Dia pasti pemuda biasa-biasa yang berasal dari keluarga
biasa-biasa dan sudah punya kekasih yang biasa-biasa aja. Dia sekolah di
sekolah menengah terpencil yang tidak begitu dikenal tapi pernah masuk majalah
remaja kota. Sekarang dia sudah bekerja di suatu badan usaha alias firma dan
dia kerja sebagai... sebagai...
Saya
mulai mengarang bebas.
Tidak juga sih. Soalnya setahu saya kecengan saya juga begitu. Kecengan saya penampilannya begitu sederhana. Dia pemuda biasa-biasa yang berasal dari keluarga biasa-biasa dan kalau dia pacaran dengan saya—dan bukan dengan ceweknya sekarang yang cantik itu—maka dia akan mempunyai kekasih yang biasa-biasa aja. Kalau DANUAN-nya tidak sebagus itu maka dia akan bersekolah di sekolah menengah terpencil yang tidak begitu dikenal dan pada semester dua akan mutasi ke sekolah saya yang suka jadi sorotan publik. Namun saya yakin masa depannya akan cerah dan dia tidak perlu bekerja di suatu badan usaha alias firma dan dia kerja sebagai... sebagai...
Wah, ya ampun. Sudah sampai lagi di depan sekolah!
“Kiri!
Kiri!” sahut saya.
Angkot
pun berhenti. Saya turun dan membayar. Ternyata si nenek juga ikut turun. Pemuda
itu bantu menurunkan ranselnya. Si nenek mengucapkan terima kasih diiringi
senyum yang manis sekali. Lalu si nenek membuka relesting ranselnya dan tampak
seperti mencari-cari sesuatu. Cari dompet mungkin. Angkot sudah menunggu
beberapa menit dan si nenek berkata dengan paniknya, “Dompet saya raib!”
Saya
yang masih di situ karena baru menerima uang kembalian terhenyak. Karena kepala
saya masih kosong jadi saya masih bisa berpikir cepat. Pikiran saya langsung ke
si pemuda. Soalnya dia kan tadi yang megangin ransel nenek itu. Sementara itu
orang-orang dalam angkot juga tampak baru menyadari bahwa penumpang angkot
berkurang satu. Si pemuda itu tiba-tiba sudah lenyap entah ke mana!
Apakah itu kecengan saya yang punya ilmu menghilangkan diri? Ini sebuah misteri di pagi hari dan saya harap Anda tidak akan pernah mengalami.
02
Maret 07
Rekor tercepat dalam membuat cerpen. Bener juga ya, kalau niat apapun mah jadi. Edddaaaan...