Sabtu, 22 Maret 2008

Si Orang Baru

Kalau pagi sudah lumrah suasana dalam kelas riuh rendah atau tidak ada satupun guru yang datang untuk jadi penengah karena memang belum waktunya jam belajar dimulai. Dari balik pintu kayu bercat hijau nongolah kepala seorang remaja pria, mengawasi keadaan di dalam kelas itu sebelum masuk dan berjalan. Matanya mencari-cari bangku yang kosong. Ia melihat kursi tanpa tas di atasnya, maupun di meja di hadapan kursi itu. Baru ia mencolek pundak seseorang, ada pria tambun masuk ke dalam kelas tidak dari jendela melainkan pintu. Kehadiran pria tambun itu menyebabkan suasana gonjang ganjing. Para remaja berseragam putih-abu maupun putih kekuningan-abu adu cepat duduk di bangku. Tinggal remaja pria dengan gestur kikuk yang pada akhirnya menjadi satu-satunya manusia dalam ruangan yang belum duduk. Yang sudah duduk memandangnya. Beberapa terpana.

Sang guru tambun menatapnya lalu membuka berkas-berkas yang dibawanya sambil dibaca sekilas-sekilas. Setelah selesai ia tanya makhluk asing itu. “Abimanyu Arisandi... ya?” Yang dimaksud mengusap-usap lehernya dan mengangguk. Dengan kalimat yang bertele-tele guru itu pada intinya menyuruh Abimanyu A. maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Anak itu mengaku berasal dari Garut. Beberapa gadis memandanginya tanpa kedip. Ketika ditanya kenapa dia pindah ke sekolah negeri tertua, terfavorit, dan terelit di kota ini tidak pada pergantian semester bersama para siswa mutasi lain pada umumnya, ia menjawab dengan cepat, “Karena sekolah ini adalah sekolah yang bagus!” Segera tawa dan ekspresi percaya diri dari beberapa orang menyambutnya.

“Selamat datang Abimanyu Arisandi, kembalilah ke bangkumu.”

“Yang mana, Pak?” tanya yang dituju sopan dan santun.

Pak guru mengedarkan pandang ke seantereo kelas dan menemukan satu bangku tersisa di pojok kiri. Satu meja yang mestinya untuk dua kursi, ini hanya diisi satu kursi. Ia menunjuk bangku itu, “Di sana?” katanya. Memang hanya itu yang tersisa. Terdengar “YAH” keras bermuatan kekecewaan yang keluar dari salah satu dari dua gadis yang duduk di bangku di depannya. Beberapa orang terkikik selama Abimanyu dalam perjalanan menuju bangku itu. ketika ia menarik kursi ia dapati tulisan dengan seluruh hurufnya kapital dan menggunakan tipe-ex. Isinya: “HATI-HATI BANGKU TERKUTUK”. Di bawahnya ada barisan nomor hape dan nama-nama pemiliknya. Di sampingnya tertulis besar-besar: “CP GURU”. Sisanya merupakan coretan berisi rumus-rumus trigonometri dan variasi dari rumus kecap ABC menggunakan spidol Snowman dan pulpen Standart AE 7 Fine. Abimanyu tahu takdir menggiringnya ke bangku ini tidak lain tidak bukan agar ia terkutuk jadi pintar. Oh ya ampun, ada rumus Fisika dan rangkuman Biologi juga! ketika matanya beredar ke kiri. Abimanyu meraba bangku itu dengan tangannya yang baru terbebas dari sindrom keringat dingin. Ia melongok ke dalam kolong bangku dan mendapati rumus Kimia tertera pada dinding kolong. Kayu bagian atas meja tersebut ternyata bisa diangkat ke atas karena pakunya sudah pada lepas.

Pak guru tambun mengetok whiteboard dengan spidol. Keras. Abimanyu. memasang posisi duduk tegak. Pak guru tambun memandang ke arahnya. Atau mungkin ke arah dua gadis yang duduk di bangku depannya sebab mereka juga tersentak ketika whiteboard diketok. Sedari tadi mereka memang kerja mereka menunduk dan bergumam pada sesamanya.

Setelah sekitar satu jam yang bikin mata Abimanyu terkatup-katup, pak guru tambun keluar. Dalam kesempatan membuat keributan yang hanya sebentar itu, Abimanyu baru tersadar dari ilusi gaibnya oleh karena mendengar dua gadis di depannya sedang ngobrol.

“Ukh,” dengan nada tertekan suara itu bagai tengah terhimpit sejuta derita. “Aku ngerasa ada seseorang di belakangku. Mungkin di belakangku ada sesuatu, mungkin kamu bisa liat dengan mata batin, heh?”

“Trimalah kenyataan bangku di belakang kita akhirnya terisi juga, Pilon...”

Kedua gadis itu sedang dalam posisi menempelkan dagu di meja.

Yang dibilang Pilon membenturkan lututnya pada lutut teman di sebelahnya hingga temannya itu mengaduh. “Ssst! Jangan keras-keras!

“...Orangnya lagi tidur juga...” Temannya itu menggerutu.

Abimanyu ngeh pas dia lagi tidak sadar tadi dua orang itu punya kesempatan mengamatinya. Sampai pak guru tambun masuk lagi dalam kelas Abimanyu tidak mengangkat pelipisnya yang menempel pada meja.

“Duh, sial! Abis ini aku nggak bisa santai lagi... Bisa nggak sih kamu nggak bawa-bawa aku...? Uuh...”

“Yaa kan, getaran angklung kan terbukti mampu bersinergi dengan tenaga dalam dan mampu menghasilkan kekuatan yang lebih ampuh lewat gelombang suara...!”

“Kamu ngomong apa sih? Aduh!”

“Ah iya, ulangan Fisika kamu yang kemarin kan cuman dapat 23 ya? Materi gelombang dan getaran! Ahhaha...”

“Jangan ketawa kamu. Nilai 20 aja nggak nyampe!”

“Karena pak guru tau kalau umurku baru 15...”

Mereka terdiam beberapa lama.

“Konfirmasi lagi gih, bener gitu kucingnya si Ucrit fesesnya ikan?”

Abimanyu membuka matanya perlahan.

“Loh, kemarin kan kita udah ketemu bajing bermata tiga yang ekornya kaki unta...”

Dahi Abimanyu berkerut.

“Eh, menurut kamu si murid baru bisa nyaingin kita nggak ya?”

“Amin... Amin... Aku berharap aku nggak lagi jadi yang terbebal di kelas ini...”

“Kalo masuknya nggak pas pergantian semester disebutnya mutan juga gak ya?”

Pak guru masuk.

 

Dalam seminggu Abimanyu sudah mengenal separuh angkatan dan dikenal separuh warga sekolah. Dalam sehari ada saja wanita yang menyapanya. Oh mungkin karena parasnya lumayan menawan. Abimanyu pun sudah mengenal siapakah gerangan dua gadis yang pembicaraannya suka melantur itu, yang duduk di depannya dan kiranya berniat tukeran bangku dengannya. Tidak, Kakak. Abimanyu akan mempertahankan bangku itu. Ia tidak rela kutukannya dicabut meski hasil ulangan Kimia belum dibagikan sehingga ia belum bisa membuktikan kutukan itu berlaku apa tidak.

Gadis yang satu namanya Dalot. Dikenal sebagai anak yang merobohkan pintu kelas yang terkunci saat sedang les Matematika di lantai 1 gedung lama. Tapi itu cerita yang sudah basi. Sudah dua tahun yang lalu. Ikut ekskul PATIN alias Pembuka matA baTIN, ekskul yang kerjaannya mandi air keras, mental-mentalin diri, dan mengusir makhluk halus. Tapi Dalot kurang aktif. Bebal #2 di kelas.

Yang satu lagi namanya Pilon. Dikenal teman-temannya sebagai anak yang cukup kocak. Dia adalah pemain angklung sekolah dan tidak begitu populer. Bebal #1 di kelas.

Tapi kalau Pilon semester ini bisa mendapatkan ranking di atas Dalot, Dalot harus mau terima jadi Bebal #1. Bebal#2 dan Pilon Bebal #3 kalau sangkaan mereka bahwa Abimanyu pindah ke sekolah ini dengan membayar ratusan juta karena terlalu bodoh di sekolah yang lama yang padahal sekolah bukan favorit dan nama keluarga harus dipulihkan...terbukti benar.

Abimanyu meyakinkan dirinya bahwa dia adalah murid yang pintar... Keyakinan itu harus runtuh ketika hasil ulangan Kimia dibagikan di mana ia hanya dapat 10,5. Pilon 11. Dalot 21. Dalot dan Pilon meringis jumawa padanya. Seakan berkata, “Tuh kan, benar apa yang kami bilang...?”

Abimanyu ingin teriak. Ia tidak mau terjerat dalam komunitas cilik dua gadis aneh itu. Ia berusaha menjauhi mereka dengan bergaul bersama orang-orang yang sekiranya beda level dengan mereka. Level yang tidak akan sanggup mereka raih...

Meski akhirnya ada juga yang menempati Bebal #1 di kelas ini selain mereka, tetap saja Dalot dan Pilon bersedih. Mereka tengah berada dalam posisi favorit mereka yaitu dagu tertempel di atas meja.

Dalot yang pertama meratap. “Uhh... kalo nilaiku gabisa beranjak dari kepala dua dan tidak lulus SMA—naudzubillahimindzalik... aku terancam buka pengobatan alternatif, huhuhu...”

Dengan mengikuti ekskul PATIN tak heran dia punya kompetensi seperti itu.

“Mending kamu buka pengobatan alternatif, aku gimana?”

“Kamu kan bisa menanam bambu sebagai modal mendirikan pabrik angklung.”

“Ukh. Sial. Sial. Sial.” Pilon membenturkan kepalanya ke meja. Dalam kepusingannya ia meminta Dalot mengubah kode genetiknya. “Ayo Dalot, waktu itu kamu bisa menghilangkan tiga kaki musang berkaki delapan pake tenaga dalam, masak kamu nggak bisa ubah kode genetikku jadi pintar gitu?”

“Udah Pilon, waktu itu kita udah pernah coba. Aku udah coba mindahin kebodohan kamu ke kambing. Lihatlah akibatnya, kambing itu kini bisa membaca.”

“Uagh...”

“Satu-satunya cara kita pergi ke Bu Suzanna dan minta les privat lagi...”

“Ugh. Nggak. Nggak mau mau lagi...”

Ini hanya salah satu dari sekian sesi percakapan Dalot dan Pilon yang bikin dahi Abimanyu berkerut.

           

Sekolah gempar! Seorang murid mereka hilang tak tentu rimbanya. Seangkatan Abimanyu dan kawan-kawan. Orangtuanya histeris. Teman-temannya juga. Dalot juga. Polisi di mana-mana. Setiap orang diinterogasi siapa tahu ada yang menyembunyikan. Masakkan anak itu kabur dari rumah padahal dia memiliki kehidupan normal bahagia dengan keluarganya? Teman-temannya menyukainya karena ia baik hati dan suka menolong. Mungkinkah ia jadi saksi suatu tindak kejahatan yang melibatkan konspirasi internasional? Mungkinkah ia kini telah dikecilkan dengan pil? Mungkinkah ia jadi korban mutilasi?

“Mungkin dia pergi ke dunia lain...” sahut Dalot suntuk. Dalot merupakan satu dari sekian gadis yang retak hatinya gara-gara laki-laki pujaannya tiba-tiba hilang. Aneh. Dalot tidak mau melayani Pilon ngobrol ngaco lagi.

“Mungkin dia kawin lari...” ucap Pilon sinis.

Dalot terus menggumamkandunia lain.

Abimanyu menyaksikan dua gadis payah itu dari atas tangga gedung lama. Ya, mereka bisa ngobrol di mana saja. Tidak di kelas. Tidak di jalan. Pokoknya di tempat sepi. Dan sore hari di gedung lama merupakan momen yang pas. Tidak seramai siang hari. Tidak seangker malam hari. Abimanyu yang baru mau pulang setelah mendapati dua gadis itu duduk di bawah tangga. Ia menjelajahi lantai dua tidak berniat mengganggu mereka jadi ia sengaja menunggu dan menguping pembicaraan mereka diam-diam sambil menertawakannya dalam hati.

“Udahlah, lupain aja si Teo. Kita di sini kan bukan untuk ngomongin orang itu.”

Dalot mengerang. Teo adalah nama kecengannya yang hilang itu.

Entar juga ketemu.”

“Aduh, aku jadi nggak semangat ikutan latian PATIN lagi, nggak da dia...”

Pilon cepat-cepat memotong, “Sut! Udah! Nih aku udah dapetin informasi tentang biang kerok yang bikin kita nggak bisa konsen ngerjain PR selama ini...”

Dalot mengangkat kepalanya. Ia menoleh pada Pilon dan memandanginya dengan ekspresi bertanya.

“Mereka melakukan percobaan rekayasa genetika.”

“Untuk mempercepat kemunculan dajjal di muka bumi dan hari kiamat...”

Nggak... nggak gitu. Eh, nggak tau juga ding. Kamu ngerti maksudku kan? Monster? Penghancur dunia?”

“Untuk apa ngancurin dunia? Udah ancur.”

“Mereka sekarang ngehasilin mutan-mutan yang tidak berguna dan dibuang begitu saja. Membuat Dalot dan Pilon harus bekerja lebih keras. Yang harus kita perbaiki adalah dari akar-akarnya, manusianya.”

“Dan pencemaran lingkungan akibat ulah tak senonoh mereka. Mungkin kita harus daftar jadi relawan Greenpeace.”

“Boleh juga.”

“Emangnya cukup cuman dengan tenaga dalam dan angklung doang?”

Dalot dan Pilon mendongak ke arah suara dan mendapati Abimanyu tersenyum di atas tangga.

“Ah! Si Bebal #1, Dalot!” tunjuk Pilon tepat ke muka.

“Aku nggak bebal!” sergah Abimanyu A.

“Ah. Sudahlah kalian ini..!” bentak Dalot. “Hai, Bebal, sejak kapan kamu suka nguping pembicaraan kami?”

Oh tentu saja Abimanyu merasa terhina. Ujung bibirnya naik ke atas. “Emang kalian nggak? Seenggaknya aku hanya bebal dan nggak ditambah ansos, cupu, dan aneh.”

Dalot dan Pilon tidak berkutik. Perkataan itu berhasil meruntuhkan seluruh kepercayaan diri yang mereka punya. Pilon bicara dengan suara pelan, “Kok kamu bisa tahu tentang kita sih? Mm, kamu tahu maksudku kan?”

“Abis kalian juga kalau ngobrol kurang pelan sih. Dan aku terkutuk untuk mendengarkan.”

“Gimana kalo kamu turun dan kita ngobrol bareng-bareng di bawah sini dan nggak perlu teriak-teriak lagi?”

Abimanyu menurut. Ia bercerita mengenai motif kepindahannya. Itu karena ada seorang temannya yang mengetahui jati dirinya sebagai seseorang berkemampuan lebih yang suka keluyuran malam hari untuk membasmi para penjahat, germo, dan togel. Temannya itu comel. Jati dirinya terkuak dan ia tidak bisa menjadi pahlawan misterius lagi. Untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran wartawan lokal ia pindah ke lain kota. Ia berharap supaya temannya itu dicap pembohong. Tapi itu tidak diperlukan lagi. Ia minta pada tantenya, Mamah Dede, untuk menghipnotis temannya itu agar lupa. Meski itu sudah dilakukan ia tetap tidak tahan lama-lama tinggal di Garut. Tinggal di kota itu lebih lama ia merasa ditelanjangi. Lama-lama masuk angin. Akhirnya jadi juga ia pindah.

Entah bagaimana nasib Garut kini...” tutup Abimanyu sedih.

“Kenapa kok pindahnya masih deket-deket Garut? Kenapa nggak sekalian yang jauh aja gitu, ke Amerika misalnya?” tanya Dalot pada sesi tanya jawab. Satu termin saja.

Nggak punya uang...” jawab Abimanyu menunduk dan pelan. “Uangku hanya cukup sampai ke kota ini saja...”

“Jadi bukan karena kamu terlalu bodo di sekolah yang lama... gitu?”

Dalot dan Abimanyu sepakat menyumpal mulut Pilon dengan kaos kaki.

“Emangnya kemampuan apa yang kamu punya sehingga mampu bikin Garut jadi kota intan? Eh, aman?” tanya Dalot lagi.

“Kamu pernah baca novel ‘Fingerprint’?

Pilon mengacungkan tangan. Dalot bertanya lagi, “Kenapa gitu?

“Ternyata kejadian masa lalu tidak hanya dapat dilihat melalui sidik jari, kayak dalam novel tersebut. Tapi bisa juga lewat keringat! Aku bisa tahu masa lalu dari nempelin bagian tubuhku yang berkeringat ke keringat yang mengering yang menempel pada suatu benda.”

“Kenapa bisa ada kemampuan jorok macam itu?” ucap Pilon ngeri. Sumpal kaos kakinya jatuh karena ia menyeringai jijik.

“Apalagi kalau abis olahraga, jadi banyak yang aku tahu.”

Dalot memegang lutut Abimanyu, berkata serius, menatap dari mata ke mata, “Mungkin kamu bisa melacak Teo di mana dari bekas keringatnya?”

 

220308


HABIS KATA #3

Menurut saya cerpen ini lumayan kocak.

Oh, apa yang telah saya lakukan?!?!?! Memuji karya sendiri!!

Sudah jelas, cerita ini memang belum selesai. Ada niatan untuk melanjutkannya, tapi entah kapan. Karena cerita ini dilatarbelakangi oleh kemampuan aneh yang dimiliki oleh para tokohnya, sehingga supaya ceritanya tidak terlalu ngaco, riset dibutuhkan. Tenang saja, sampai kapanpun cerita ini tidak akan pernah bisa sampai menyaingi ‘Heroes’ kok. Awal mula konsep cerpen ini adalah begini... Pada waktu saya masih duduk di bangku SMA, saya pernah mengikuti ekskul semacam PATIN itu. Tapi namanya bukan PATIN kok, itu murni karangan saya sendiri. Mengikuti ekskul tersebut memberikan pengalaman-pengalaman yang berkesan dan sebagai bonusnya adalah pikiran-pikiran yang akhirnya terangkai menjadi cerita... Ada tokoh, kejadian, dan seterusnya. Entah angin apa yang mendorong saya untuk membuat tulisan awal cerita ini di buku komunikasi kelas. Saya menulis cerita itu dengan gaya bahasa yang super lebay dan tidak masuk akal. Judulnya saja ‘da zupperherroowww’—ya, kira-kira begitulah. Saya tidak ingat berapa banyak huruf p, e, r, h, o, w yang saya gunakan. Saya lupa-lupa ingat juga apakah yang saya gunakan itu huruf z atau s. Meskipun cerita itu sungguh garing dan semakin bertambah garing lagi karena saya memberikan komentar-komentar fiktif setelah habisnya cerita itu, kalau saya tidak salah ingat ada saja sih teman saya yang cukup suka. Tapi itu kan sudah bertahun-tahun lalu. Sekarang mungkin dia tidak akan mengaku kalau saya mengungkit-ngungkit itu. Namun pikiran untuk mengembangkan cerita itu tetap tersimpan dalam kepala. Hingga mungkin pada bulan Maret 2008 itu saya bingung mau bikin cerpen apa, ya sudah saya keluarkan saja pengembangan-pengembangan dari cerita itu yang telah mengendap di dasar kepala. Saya telah lupa saya pada jaman dulu waktu masih ada hasrat nrusin itu ide apa saja yang ada. Jadi ya saya karang-karang lagi saja deh, hasilnya jadilah seperti itu. Sebenarnya tokoh Abimanyu A. itu seharusnya bukan jadi ‘pembaca keringat orang’, melainkan ‘manusia rumus’, karena yang saya dan teman saya ciptakan waktu itu adalah ‘manusia rumus’, di mana dia memiliki kekuatan untuk membantu teman-temannya yang kesusahan belajar. Namun dia berkedok jadi siswa bodoh. Dia tidak pernah menunjukkan wajah aslinya melainkan menyamar. Salah satu alat penyamarannya adalah pakaian dalam ibunya. Oh, sungguh saya benar-benar lupa. Saya melupakan ide si ‘manusia rumus’ itu sehingga terciptalah si ‘pembaca keringat orang’. Sebenarnya Teo yang disebut-sebut pun, dia punya ceritanya sendiri kenapa dia bisa sampai hilang begitu. Juga kenapa Dalot bisa sampai mencurigainya pergi ke dunia lain. Tapi belum saya bikin. Kapan-kapan mungkin. Pokoknya konsep dan genre cerita ini adalah fantasi alam gaib. (12/30/2008)

Kamis, 20 Maret 2008

Belajar Privat yang Menyenangkan...

1

Jam istirahat Aze pergi keluar dari kelasnya yang sumpek semata-mata untuk mengantarkan temannya yang beser untuk pipis di WC di lantai bawah gedung seberang.

“Bisa-bisanya sekolah dengan murid sebanyak ini cuman punya WC di satu titik. Bisa-bisanya punya beser sementara kelasnya jauh di lantai paling atas,” rutuk Aze pada temannya.

Temannya hanya bisa tersenyum pasrah menerima berondongan kata-kata itu.

Sebetulnya tiap lantai di tiap gedung yang ada di sekolah ini punya WC-nya masing-masing. Tapi WC yang paling layak dipakai dan paling tidak menjijikkan di kompleks sekolah ini cuman ada di satu tempat. Di musola ada sih, cuman jauh. Kalau nekat bisa pakai WC guru. Kalau niat mah ke sekolah sebelah, WC-nya lumayan mending.

Ternyata ada hikmahnya juga mengantar teman yang beser. Aze berpapasan dengan si ganteng berkacamata yang punya senyum maut.

“Hai, Adek...” sapa Elmo hangat. Ia memakai pakaian bebas dengan tas selempang menggantung di pundak kanan yang bebas-gips.

Oh iya, kelas 3 kan tinggal nunggu pengumuman UN dan pelepasan dan prom dan... apalagi yah? Ah, peduli. Yang jelas ngapain lelaki muda nggak jentel itu ke sini?

Meski sudah lewat beberapa malam dan kekesalan itu sendiri sudah redam, namun begitu melihat Elmo hal tersebut muncul jua.

“Hai,” balas Aze datar.

Mereka saling berlalu tanpa banyak cakap lagi. Tidak ada perlu terhadap satu sama lain. Yang diingat hanya keperluannya masing-masing. Namun ternyata setelah beberapa meter melewati Elmo, Aze bisa mendengar cowok itu memanggilnya.

Aze berbalik. Whoa, ternyata di sana sudah ada Pak Kepsek dan Elmo.

“Kamu duluan aja,” perintah Aze pada temannya.

Aze mendekat dan sebagai siswi pembangkang yang sudah insaf, ia menyalami Pak Kepsek.

Pak Kepsek bertanya dengan wajah penuh pengharapan, “Udah mulai kan belajarnya? Gimana? Berguna, kan?”

Elmo dan Aze serentak menjawab, “Ya, Pak.”

Sebuah ‘ya’ yang tidak jelas mengiyakan apa sebetulnya.

“Ya udah, Bapak mau ke sana dulu, ya. Lanjutin belajar barengnya. Bapak bangga dengan kalian, ha-ha-ha-ha-ha.” Sepertinya Pak Kepsek sedang ceria.

Aze melipat tangannya sambil memandangi kepergian Pak Kepsek ceria. “Masak aku dipanggil cuman buat itu aja?” katanya seolah-olah ‘itu’ telah membuatnya melewatkan momen yang penting. Mengantar teman ke WC, misal.

“Elmo jadi nggak enak nih ma Pak Kepsek. Pulang sekolah nanti, mau nggak belajar bareng?”

Aze menoleh. “Heuh? Belajar apa?”

“Belajar bareng,” jawab Elmo polos.

“Bukan. Maksud aku, kita... akan mempelajari apa?” ulang Aze dengan kearifan seorang guru TK.

“Ya apa aja, terserah.”

“Huh, rese banget sih Pak Kepsek...” Aze hendak pergi tapi tangan Elmo menahan pundaknya.

“Ehh... mau nggak? Mumpung hari ini Elmo lagi libur intensif.”

“Mmm, sebetulnya aku ogah. Jangan pas pulang sekolah banget deh. Besok aja habis Jumatan gimana? Di perpus.”

“Kantin aja deh.”

“Nggak mau ah. Banyak orang.”

“Kantin—“

“Perpus. Udah ya. Ciao.”

Meski Aze tidak begitu menyukai gagasan Pak Kepsek tapi... mau bagaimana lagi yah? Memangnya siapa lagi yang akan tahan membimbing Aze belajar sampai mengerti. Mungkin Elmo bisa. Ya, siapa tahu? Pinter gitu, kok. Sering diomongin guru-guru di depan kelas. Dipuji-puji... Tapi dalam berkomunikasi kayaknya dia agak bego juga.

 

2

Perpustakaan sekolah bukannya tidak rame. Mereka duduk berseberangan di ujung meja panjang yang terletak di tengah perpus. Aze tidak tahu pasti apa yang harus dia pelajari saat ini. Bukannya ia sudah ngerti. Tapi karena materi yang belum ia pahami mendalam itu banyak sekali. Elmo yang penyabar membantu Aze.

“Pelajaran yang buat kamu paling susah deh.”

“Hm. Apa ya? Semuanya terasa sama saja. Tapi nilai ulangan aku paling jelek di Kimia ma Fisika.”

“Ya udah. Kita belajar itu aja.”

“Mmm, tapi aku cuman bawa buku Fisika soalnya hari ini ada pelajarannya.”

“Ya udah, itu aja.”

“Eh, emangnya nggak apa-apa aku belajar ama Akang? Nanti kalau ada ceweknya gimana?”

“Nggak papa kok. Udah biasa.”

 

3

“Coba deh, cari dulu v-nya. Abis itu kaliin ma t...”

Tangan kanan Aze yang memegang pensil tertahan 10 cm di atas buku tulis, sebelum ia mengambil buku tulis itu dan memukul-mukulkannya di kepala. “Uuuuh... butek! Butek!”

 

4

Kedua tangan Aze menopang dahi pemiliknya. Sedari tadi ia melotot melihat perhitungannya terhadap sebuah soal yang belum juga rampung. Sejak sekitar tiga perempat jam yang lalu baru dua soal yang berhasil ia kerjakan. Padahal Elmo sudah menjelaskannya berkali-kali. Tapi kenapa ia belum juga mengerti?!?!? Aaargghh... What the hell...!!

.

Elmo tidak mengerti mengapa Aze tidak juga dapat menyelesaikan soal semudah ini. Ya... yang jelas otak mereka isinya beda. Apa anak ini benar-benar bebal ya? Kok bisa, lolos jadi siswi SMAN Bilatung? Di tengah kesenewenan yang mulai mendobrak batas kesabaran, Elmo merasa geli. Jangan-jangan otak anak itu terbuat dari bambu lagi. Ceweknya saja tidak sebodoh itu, hahaha. Tapi sebagai guru privat amatiran lagi tak dibayar ia berusaha profesional dengan menempatkan ‘murid’nya sebagai subjek.

“Elmo juga dulunya nggak tau sama sekali caranya gimana kok. Tapi kalau dipahami sedikit demi sedikit pasti bisa ngerjain.”

Aze menukas dengan cepat dan galak, “Setiap guru Fisika juga bilangnya kek gitu!”

 

5

Berpuluh menit berlalu setelah itu. Kesenewenan itu akhirnya berhasil mendobrak batas kesabaran Elmo. Terlebih lagi ketika Aze tidak selesai-selesai juga ngerjain soal nomor lima. Padahal ia sempat senang ketika Aze dengan lancar mampu mengerjakan nomor tiga dan nomor empat. Sedari tadi yang dirasakan oleh indra Elmo adalah, Aze mengeluh, Aze meratap, Aze ketiduran, Aze merutuk, Aze bengong, Aze menyerah, Aze mau keluar sekolah saja dan melamar jadi pembantu rumah tangganya guru Kimia.

“Elo teh maunya gimana seh?! Mo gue ajarin berjuta kali juga kalau lo tetep gitu mah sia-sia aja gue ngajarin!” gertak Elmo membuat beberapa anak di sekitar situ terkesiap dari kantuknya.

“Emangnya siapa yang minta diajarin Fisika? Akang sendiri yang mau kan?”

 

6

Elmo ngambek. Aze bisa melihat itu dari sorot matanya. Sedari tadi ia bungkam dan melihat ke arah lain. Aze berusaha memperbaiki. Bagaimanapun ia seharusnya menghargai kesediaan Elmo mengajarinya sampai mengerti meski sayangnya tidak tercapai. Heh, darimana datangnya kesadaran sialan ini?!

“Kang, jangan marah dong...,” ujar Aze putus asa.

Elmo tak bergeming. Aze menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Apa yang harus dia lakukan? Dia sendiri capek karena berapa kali ngotret jawabannya tidak ketemu. Jelas saja, karena rumus yang ia pakai juga asal-asalan. Elmo sih, sok-sokan pake metode Socrates. Metode macam apa pula itu?

Aze berusaha mengenakkan suasana dengan mengajak Elmo keluar dari topik yang membuatnya ngambek.

“Kang, sekarang kalo ke sekolah naik apa?”

“HUH.”

“Naik angkot ya? Masih suka ketemu copet gak? Mau aku temenin lagi?”

Elmo memandang dengan jijik. “Mama Elmo kan nggak pingin Elmo naik motor lagi, lebih berisiko. Jadi mama beliin Elmo Yaris. Tapi da tangan Elmo masih digips....,”papar Elmo sebelum sadar bahwa ia sedang ngambek.

“Berarti masih tetep naik angkot kan? Hehehe. Ngaku aja deh nggak usah gengsi.”

“...”

Setelah sejenak mengalirkan darah ke kepala dengan mendongakkan kepalanya ke atas, Aze berkata dengan suara pelan, “Aku ngaku deh...” Aze memiringkan kepalanya, menghimpun kesiapan untuk menyatakan ini. “Sebenernya... aku teh... dulu maunya masuk IPS... Tapi waktu itu ada temen aku yang bilang kalau...”

Aze berhenti untuk melihat bagaimana reaksi Elmo. Uh, tiis-tiis aja tuh.

“Mau tau kelanjutannya, nggak?”

Elmo memandang Aze sekilas. “Iya, sok terusin!” katanya masih dengan nada marah.

Aze kembali memiringkan kepalanya. Sok menerawang dengan wajah sendu, “Katanya aku teh nggak tampang masuk IPS...”

“Huh? Kenapa?” Aze bisa melihat ekspresi heran di muka Elmo.

“Ya...ya... katanya... aku... nggak... tampang! Masak gitu aja nggak ngerti sih?”

“Kenapa...?” Elmo sepertinya tertarik. Ia memperbaiki posisinya duduknya jadi lebih condong ke depan.

Aze menunduk. “Ya... soalnya... soalnya...” Uh, sampai kapan aku harus main pendramatisasian bego ini?!

Elmo tiba-tiba tergelak dan dengan penuh semangat menyala menunjuk Aze, “Soalnya kamu anak kurang gaul! Wuahahaha...” Tawa Elmo meledak.

Aze bangkit dari duduknya dan segera membereskan barang-barangnya di meja dan setelah sampai berjalan ke loker penitipan barang, dibantingnya semua itu ke dalam ransel bulukannya dengan ganas.

“Ini jadi belajar bareng terakhir kita!” serunya dramatis sebelum meninggalkan perpustakaan.

 

7

Malam harinya, seperti biasa Aze tidur-tiduran di ranjangnya. Sambil membaca koran yang dibawa pulang orangtuanya dari kantor ia menantikan hapenya bergetar. Kalau getarannya singkat berarti sms yang masuk. Kalau panjang, berarti telepon. Ia menanti sms atau telepon dari Elmo. Bagaimanapun cowok yang telah melecehkan dirinya itu harus minta maaf!

Aze telah habis membaca seluruh huruf di koran setebal 60 halaman itu. Jam di hape sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal biasanya jam sembilan ia sudah mangap dengan mata terpejam. Padahal semestinya ia mengerjakan soal-soal ketimbang membaca iklan baris.

“Argh...” serunya dengan suara agak keras, mengira seluruh penghuni rumah mungil itu telah tertidur. “Nista! Nista! Nista! Si Elmo anjir banget!”

Sayup-sayup terdengar suara berintisarikan amarah yang datang mendekat. Suara ibunya, “Yanaaaa!!! Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?!”

 

8

Beberapa hari kemudian, Aze tengah melakukan rutinitasnya, membaca koran di atas kasur kamar. Bukannya membuat rangkuman, padahal hari-hari menuju ulum tinggal hitungan jari tangan. Sebuah sms datang ke hape Aze, membuat benda sebesar genggaman tangan anak manusia itu berderit-derit di atas meja.

Ternyata...

Sms dari Elmo.

Dalam hati Aze mengumpat, “Mo bikin ulah apa lagi bocah tengil itu?” Aze menghentakkan jempolnya pada tuts dengan penuh nafsu memburu. Sms tersebut bunyinya singkat saja:

 

J, Lmo bsk ksg nie.mo bljr brg2 gi gk?

 

Aze membalas dengan hentakan jempol emosional:

 

Makan tu foster kanginan!

Kamis, 06 Maret 2008

Karma atau Nasib?

Mei 2007


1

Larut dalam teori relativitas dengan suasana perpustakaan sekolah kala siang yang amat mendukung dengan ditemani aneka mp3 dari ponselnya, seseorang membuat pikiran Elmo buyar begitu segelas jus alpukat dingin menyentuh pipinya.

“Serius amat.”

Jus alpukat itu kini berdiri kaku di hadapannya. Mengenalkan segelas jus alpukat pada kumpulan rumus Fisika. Trista. Sobat bertubuh langsing tinggi semampai itu. Meski rambutnya ikal riap-riap, berkamata dan berbehel tetap saja memesona. Tinggal menggerai rambut, mengganti kacamata dengan lensa kontak, dan melepas behel, sudah pantas disandingkan dengan primadona jagat raya. Kenapa bisa ada yang mengatakan dia tidak cukup menarik  ya?

“UAS Fisika kan hari pertama,” jawab Elmo pendek lalu menyeruput jusnya. Gratis. “Thanks ya.”

Elmo buru-buru menyudahi seruputannya ketika ia ingat akan sesuatu, “Eh, di perpus bukannya nggak boleh bawa minum ya?”

Trista hanya tersenyum. Ia melambaikan sebelah tangannya pada seorang bapak-bapak petugas perpustakaan di balik meja. “Kan spesial kalau buat Elmo mah...”

Dengan susah payah karena lehernya masih kaku untuk dipakai menengok, Elmo ikut melambai juga pada bapak tersebut meski tidak yakin-yakin amat dengan alasan yang dikemukakan Trista.

Gadis itu menopang kepalanya dengan sebelah tangan dan memandangi Elmo sambil tersenyum. Matanya menangkap gerakan patah-patah tangan kanan Elmo yang mencoba menorehkan beberapa angka di atas kertas.

“Sekarang kamu nulis pake tangan kanan, ya?” 

“He eh.”

“Nggak ikut susulan aja?”

“Percuma. Gipsnya mungkin baru dibuka pas abis SPMB.”

“Lama, ya...”

Mata Trista yang bulat indah bergerak ke arah gips yang menyelubungi tangan kiri Elmo. Ia mengambil spidol dari tempat pensil Elmo dan mencantumkan beberapa kata di permukaan gips. Elmo menoleh kaget. Untuk selanjutnya ia hanya tertawa-tawa saja.

“Kamu yakin dengan tangan seperti itu bisa ngerjain LJK?” Kecemasan tampak di wajah elok itu.

“Bisalah. Dulu kan gue nggak kidal. Gue nulisnya pake tangan kanan juga...”            Elmo terdiam sebentar ketika mengingat percakapan nonsense yang terjadi beberapa hari ke belakang.

“Anjing, gua kidal.”

“....berarti, aku kadal? Hahaha.”

“...Trus waktu itu gue kecelakaan. Tangan kanan gue patah. Jadinya keterusan nulis pake tangan kiri deh,” Elmo melanjutkan.

“Berarti tangan kamu pernah patah dua-duanya dong?” Trista mengatakan itu dengan ekspresi geli yang menggemaskan.

Berdesir hangat hatinya. Elmo melambaikan tangan pada beberapa teman yang lewat dan menyapa untuk mengalihkan perhatiannya. Tidak, tidak, Elmo udah punya cewek.

 “Sekarang gue mesti belajar nulis indah dari awal lagi deh.”

“Hihi, kayak anak SD...”

“Kalau nggak gitu ya tulisan gue mana bisa kebaca. Banyak-banyakin nulis ma ngotret aja kalau lagi belajar.”

Mereka saling tersenyum. Loudspeaker ponsel Elmo masih bernyanyi lirih, “Tiada lagi yang kuinginkan/ lebih dari yang kauberikan..[1]

Suasana itu pecah saat mata Elmo bergerak mengarah ke pintu masuk perpus dan menangkap sesosok tubuh yang kaku dan tegang. Bukan, itu bukan mayat berdiri. Itu anak brengsek yang beberapa hari lalu seangkot sama dia. Dari ekspresinya Elmo tahu anak itu menyimpan ketakutan pada dirinya. Peduli dah. Elmo menginginkan dirinya tampak cuek-cuek saja. Berniat kembali menatap Trista untuk menetralisir ranah visualnya yang sempat terkontaminasi, Elmo menyaksikan Artika Sinta, kekasih mungilnya berjalan grudak gruduk tapi imut dari luar perpus dan menabrak anak brengsek itu. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.

“Elmoo!!!” seru Artika bersemangat. Ia duduk di hadapan Elmo sembari meletakkan tasnya. Seorang ibu petugas perpustakaan menegurnya untuk menaruh tas di loker saja. Artika bilang dia hanya sebentar di situ.

“Hai, Trista!” sapa Artika penuh keceriaan. Ketenangan Trista yang menyambut kehadirannya. Ia sadar diri untuk segera beranjak dari situ. Ya ya, bagaimanapun Elmo sudah punya cewek.

“Dah, Elmo,” sahut Trista lembut sambil menepuk pundak Elmo.

“Eh, mau ke mana Tris?” Mata Elmo mengikuti gerakan Trista.

“Aku ada bimbel tambahan jam dua. Dah...”

“Dah, Trista...” Senyum lebar Artika mengiringi kepergian Trista

“Eh, ke mana aja tadi? Elmo cari-cari nggak keliatan.”

“Huh? Tadi aku dipanggil ma anak-anak MD kelas 2. Mereka butuh bantuan ngerancang koreografer buat bazar tahun ajaran baru nanti.”

“Sekarang kan lagi ujian, say. Jangan banyak main ah. Ntar kalau kamu nggak lulus gimana?”

“Ih, Elmo. Hidup ini kan nggak hanya untuk belajar dan mengamankan sekolah aja!”

“Hidup ini juga nggak cuman buat nari, nari, dan nari.”

“Biarin aja!” seru Artika sembari meleletkan lidah, tidak mau kalah. Elmo tertawa. Betapa lucu dan imut tingkah ceweknya yang satu ini!

“Biarpun kata Elmo gitu, Tika punya bukti kalau kerjaan Tika nggak cuma nari aja.”

“Apa emangnya?”

“Keluar dulu yuk, ah, masak di sini...” Artika menarik lengan Elmo yang bebas dari gips dengan manja.

“Ya...ya...bentar...” Elmo mengamankan barang-barangnya sebentar lalu keluar setelah merasa yakin bahwa apa yang ditinggalkannya di atas meja perpus tersebut tidak akan mengundang siapapun untuk melakukan aksi pencurian.

Mereka duduk di bangku depan perpus. Artika mengeluarkan kotak makan ukuran medium dari dalam tasnya.

“Taraaa...”

Elmo masih bisa merasakan aura buruk anak brengsek itu merayap keluar dari dalam perpustakaan ketika Artika dengan imut menyuapkan segulung sushi ke dalam mulutnya. Anak brengsek itu keluar dari perpus tanpa berani mengangkat muka. Huh, jangan macam-macam sama Elmo ya. Elmo dikelilingi oleh cinta, cinta, dan cinta...

 

2

FIVE! SIX! SEVEN! EIGHT!”

“AAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!”

“Uh, berisik,” rutuk Aze begitu menaiki tangga gedung utama sekolah. Di salah satu lengannya tergantung 3 buah mainan bambu yang dapat mengeluarkan nada jika digetarkan bernama angklung, sedang dalam proses pembajakan oleh negara Malaysia, dalam beberapa ukuran. Aze sedang berada dalam rombongan seekskul. Kebanyakan memang menggantung angklung di lengan. Tapi ada juga yang membawa beberapa instrumen lain seperti contrabass, high-hat cymbal, keyboard, dan lain-lainnya. Rombongan ini bergerak ke lantai dua gedung, meminjam salah satu kelas 3 IPA yang siang bolong begini mesti kosong, apalagi segala macam ujian sudah kelar. Mereka hendak berlatih beberapa lagu yang rencananya akan dimainkan pas prom. Untuk sampai ke tempat tujuan mereka akan melewati aula yang biasa dipakai anak-anak cheers alias Modern Dance alias aerobik-atau-apalah-itu berlatih. Dan kebetulan ekskul yang anggotanya kebanyakan cewek-cewek kece seantereo sekolah itu sedang melangsungkan latihannya.

Begitu menginjakkan kaki di pertengahan lantai satu dengan lantai dua, langkah Aze sempat terhenti begitu melihat Elmo. Elmo dan empat orang temannya lagi pada jongkok dengan bahagia di belakang anak-anak yang lagi latihan. Tangan Elmo yang sehat memegang hape berkamera supaya tegak posisinya. Aze tahu hape itu tidak sedang dipakai untuk smsan. Tahulah buat apa. Oh ya, pacar Elmo kan anak MD yah, pantes aja.

Beberapa cowok anggota PA memperlambat langkahnya.         

“Uh, umbar-umbar aurat aja!” dengus Aze pelan.

 

3

Sinar matahari senja menerobos jendela. Menghasilkan nuansa sendu yang mampu membuat seorang melankolis tergugah dan membuat sajak cinta. Elmo memandang sinar itu dan termenung. Jiwanya sedang tidak begitu melankolis hari ini. Tungkai kaki putih nan mulus milik cewek-cewek MD membuatnya segar dan merasa perkasa. Elmo merasa dirinya sanggup menyelesaikan ratusan soal dari buku 1001 soal SPMB Biologi yang sedang berada di pangkuannya meski tidak ada seorang pun cewek MD yang bisa menemani. Yang anak kelas 3 pada bimbel, sisanya entah ke mana. Bukannya menemani Elmo dan Geng Mesum, mungkin mereka masih ada keperluan lain. Meskipun tubuh bersimbah peluh usai latihan, kan ada splash cologne, mmm, serasa habis mandi...

Sekarang sekitar jam 4 sore Waktu Indonesia Barat. Sudah tidak begitu terdengar riuh anak-anak di luar gedung utama. Mulai sepi. Termasuk gedung utama yang dinyatakan angker kalau menjelang magrib. Tapi selama matahari bersinar, Elmo dan teman-temannya masih merasa aman nyaman duduk di lahan lebar pertengahan lantai satu dan lantai dua. Yang ramai terdengar hanya instrumen angklung and the gankz yang sedang menyanyikan musik-nggak-jelas-apa-ituh dengan perpaduan yang berantakan dari lantai atas. Elmo tak merasa terganggu. Teman-temannya pun sepertinya menikmati itu karena tidak banyak suara yang keluar dari mereka. Elmo kira begitu. Terbukti dengan indra penglihatannya, ada yang lagi mengisi TTS, melihat video hasil rekaman latihan anak-anak MD tadi sambil terkikik mencurigakan, dua orang di pojokan lagi merumpi, cuman dia yang serius menekuni soal. UAS kan sudah selesai, pantas saja mereka ingin menikmati santai barang sejenak. Tak apalah, yang penting Elmo tetap rajin berlatih menggunakan tangan kanan, mengerjakan ribuan soal, dan lulus SPMB. Hidup SPMB!

Berangsur paduan instrumen yang menggetarkan jiwa itu menghilang. Digantikan dengan riuh ramai orang bercakap-cakap. Indikator bahwa mereka sudah kelar latihan.

“Huuaahm...” Elmo menguap. Efek yang dihasilkan tungkai kaki putih nan mulus indah ternyata tidak bertahan lama. Elmo mulai mengantuk. Mungkin karena sejak pagi ia berkutat terus dengan soal.

Gemuruh langkah kaki anak-anak PA disertai suara bercakap-cakap mendekat. Elmo melihat ke atas, tersenyum pada beberapa adik kelasnya, ada beberapa yang ia kenal, anak-anak PA yang hendak turun.

Beberapa menit kemudian tiga anak yang lebih senior menyusul dengan membawa lebih sedikit angklung. Elmo tahu anak-anak yang lebih senior ini tugasnya cuma mengurusi latihan. Ekspresinya berubah ketika melihat si anak brengsek. Iya. Yang itu. Yang mana lagi. Elmo masih tetap sumringah ketika anak-anak-PA-selain-satu-yang-brengsek minta permisi di hadapannya. Begitu anak brengsek itu lewat, iseng saja Elmo menjulurkan tungkai kakinya yang panjang. Kalau anak itu awas tentu tak akan terkena jebakan ini. Karena Elmo duduk agak jauh dari tepi tangga yang menuju ke bawah, kalaupun anak itu terjatuh paling kena lutut doang.

Salah dugaan.

Anak itu tersandung kakinya. Tak disangka nyana malah roll depan, terus berguling di tangga dan menghasilkan bunyi ‘krak’ mengerikan begitu mendarat di bawah.

Apa lacur.

“AZEEEEE!!!!” dua senior PA kontan histeris, panik, dan lari menyusul ke bawah. Gemuruh suara kaki bercampur dengan tang ting tung suara angklung yang tergantung di tangan mereka. Fantastis. Teman Elmo yang sedang membawa hape merekam itu, mungkin bagus untuk jadi backsound lagu baru ciptaannya.

Apalagi Elmo. Melihat gadis itu berguling bagai kambing ia langsung berdiri dan loncat turun. Teman-temannya yang lain ikut menyusul. Jangan bayangkan seperti Dian Satro dan Ariel dalam video klip ‘Menghapus Jejakmu’.

Dalam hitungan beberapa menit orang-orang itu sudah mengerubungi anak yang tengah dalam posisi serupa bersujud itu. Punggungnya bergerak naik turun. Entah karena tarikan nafas atau sesenggukan isak tangis.

Seorang teman Elmo nyeletuk, “Modar eta?[2]

“Hush!” ujar teman Elmo yang lain.

Elmo sendiri tengah shock.

Seorang anak PA menepuk bahu anak itu. “Je, Je, kamu nggak apa apa kan?”

Tampang semua orang cemas dan khawatir ketika anak itu mencoba bangkit dengan terpatah-patah. Elmo lega karena ternyata anak itu masih bisa bangkit yang artinya dia belum tewas. Ia berjongkok dan membantu anak itu bangkit dengan tangan kanannya yang sehat. Buku soal dan pensil mekanik 12.000-annya sudah ia lempar sejak masih di atas.

Elmo sempat mendengar ada yang menyebut anak itu ‘Aze’. Mungkinkah itu namanya?

“Namanya Aze?” tanyanya pada salah satu anak PA dengan isyarat yang diberikan kepalanya. Anak itu mengangguk agak tegang. Pastinya tidak lebih tegang dari saat kejadian itu baru berlangsung.

“Aze... Aze... kamu bisa bangun?” tanya Elmo. Tangan kanannya memegangi salah satu lengan anak itu.

Aze mengangguk perlahan. Semua terperangah ketika Aze mengangkat wajahnya yang memar-memar. Darah di sudut bibirnya. Elmo pucat. Ia memperkuat pegangannya. Takut gemetar saking gugupnya.

Seorang yang Elmo ketahui alumni yang sering bersama para PA bertanya, “Ze, bisa berdiri nggak?” Orang itu juga bantu memegangi Aze.

Aze mencoba berdiri dengan dukungan tangan-tangan yang memeganginya dan mengeluarkan jeritan yang sungguh menyayat hati, “...sakit..!!”

Ia lalu menangis sesenggukkan.

Inisiatif sebagai anak BKS muncul lebih cepat dari yang para PA punya.

“Gih, bawa gih!” Perintahnya pada teman-temannya. Yang disuruh malah pada dorong-dorongan. Membuat Elmo kesal.

“Bamba! Bamba!” Elmo menyebut nama salah satu temannya yang sesama anak BKS. Bamba maju dan memapah Aze. Kalau tangan Elmo yang satu tidak digips mungkin dia yang akan melakukannya sendiri. Beramai-ramai mereka pergi ke UKS meninggalkan bambu angklung yang retak ditimpa Aze, tergeletak tak berdaya dalam ruangan besar, dingin, dan kosong...

                       

4

Teman-teman Elmo pindah tempat nongkrong di depan gerbang samping belakang sekolah dan heboh menceritakan ulang kejadian tadi. Para PA sebagian sudah pulang dan sebagian lagi masih di areal sekolah untuk solat dan baru pulang setelah mendapatkan jawaban yang melegakan tentang Aze. Mereka semua tadi numpuk di luar UKS karena di dalam tidak boleh ramai.

Di balik bilik dalam UKS masih ada Aze dan temannya dan juga dokter jaga alumni SMAN Bilatung yang untungnya belum pulang. Elmo dan Bamba menunggu di luar bilik dengan harap-harap cemas. Jelas Elmolah yang paling cemas. Bamba menangkap kecemasan berlebih dari punyanya itu dan bersabda, “Kalem, bal. Maneh jiga keur nungguan bini maneh rek  borojol wae[3].”

“Argh. Bacot.” Elmo tersinggung anak brengsek itu dikatain bininya. Anak brengsek yang sudah membuatnya cemas. Tambah gelisah lagi ketika anak itu jerit-jerit mengaduh di dalam bilik. Ah iya, anak itu kan sudah punya nama. Aze, ya ya. Dan kenapa ia malah berdiri di luar? Kenapa dia tidak masuk saja? Mungkin dia bisa membuat anak itu lebih kalem dengan memberikan tatapan mautnya.

Geus, maneh balik we ti heula,[4]” ujar Elmo pada Bamba.

Maneh teu nanaon?[5]

Elmo menggeleng. Bamba pun menurut. Bukan dia tersangka utama kecelakaan dan ia sudah tidak berkepentingan lagi di sini. Anak yang celaka pun sudah diamankan. Muncul gagasan di benaknya untuk menambah patroli hingga petang setiap hari dalam agenda BKS. 

Lepas kepergian Bamba, Elmo menyibakkan tirai bilik dan turut menyaksikan proses penyembuhan kaki Aze. Ia cukup was-was dan tegang kalau-kalau kaki, atau tangan atau leher Aze patah juga sepertinya. Anak ini sebentar lagi kan mau ulum. Elmo bersyukur jam segitu UKS masih buka dan masih ada dokter jaga meskipun pas mereka santronin tadi dokter itu sudah bersiap mau pulang. Dokter yang bertampang dokter dan memancarkan aura dokter itu hendak menutup pintu UKS. Tas sudah menggantung dan kunci mobil di tangan yang satu. Elmo tergopoh-gopoh menyerbu. “Pak, dokter, kan?”

Elmo melihat kaki Aze sedang dibalut.

“Pak, kaki dia kenapa, Pak?” tanya Elmo sambil berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dan tetap tenang. Ia tidak peduli pada bagaimana menyembunyikan ekspresi bersalahnya di depan Aze.

Sambil tetap mengerjakan tugasnya dokter itu tersenyum dan menjawab, “Cuman keseleo.”

Setitik kelegaan dalam sanubari Elmo.

“Tapi dua-duanya...”

Gimana jalannya entar, ya?

“Nanti aja bawa lagi ke tukang urut. Dua tiga hari sembuh kok.”

Anak yang bernama Aze itu sedang duduk di atas dipan, menatap kakinya yang sedang dibalut. Kedua tangannya masih mampu menopang tubuh yang agak rebah ke belakang pada dipan, sepertinya tidak ada yang patah. Lehernya juga tidak nyengsol. Matanya merah dan sembab sehabis menangis. Mukanya sudah dibersihkan, tidak membuat shock seperti yang tadi. Beberapa bagian tampak memar. Ada satu titik sumber keluarnya darah di bibirnya. Seperti habis diklatsar BKS aja, tapi ini lebih ringan.

Ketika mata mereka bertemu, Aze cepat-cepat memalingkan kepalanya lagi. Teman Aze yang melihat kejadian itu memandangi Elmo dan Aze bergantian, tidak paham.

Dari obrolan singkat bersama dokter muda itu Elmo jadi tahu bahwa kepala Aze benjol—kemungkinan gegar otak ringan, memar di beberapa bagian muka dan tubuh—terutama yang tepat menghantam ubin nan keras dan dingin, bibir pecah dan dinding mulutnya kegigit hingga mulutnya jadi tempat penampungan darah.

“Dah, udah selesai.” Dokter itu bangkit. “Cup, cup, jangan nangis lagi yah...”

Elmo menangkap ekspresi tidak suka diperlakukan begitu dari air muka Aze.

“Makasih ya, Pak,” ujar teman Aze penuh penghargaan. Elmo melakukan hal yang sama sementara Aze hanya mengangguk saja sambil tersenyum canggung. Dokter itu tersenyum lagi. Katanya, “Jangan panggil ‘Pak’ dong, panggil ‘Akang’ aja.”

“Ya Kang, makasih banyak ya, Kang.”

“Eh iya, pulangnya naik apa? Kalau nggak ada yang jemput biar saya antar aja, yuk.”

“Eh, nggak usah, Kang, nggak usah—“ ujar Aze cepat.

“Trus, pulangnya? Udah ada yang jemput?”

“Ya... nggak, sih. Ntar aja saya telpon ayah saya...”

“Ya udah gapapa, ikut aja. Tapi saya pulangnya sama Pak Kepsek lho.”

“Nggak usah, Kang. Bener!” Aze kembali menegaskan dengan nada serius namun rupanya si akang dokter tidak mau mendengar alasan. Ucapnya lagi, “Kalau gitu saya nyusul Pak Kepsek dulu yah. Temen-temennya masih pada di sini, kan?”

Elmo dan teman Aze mengiyakan.

Dokter itu segera keluar bilik—kiranya untuk menghindari rentetan penolakan dari Aze—yang segera berubah jadi keheningan.

“Ze, kalau gitu aku pulang duluan apa, ya? Rumah aku kan jauh. Takut keburu gelap. Udah ada yang nganterin kamu pulang ke rumah kan?” kata teman Aze, setelah beberapa lama berada dalam keterdiaman yang mencanggungkan, sambil meraih tasnya.

“Yaaa... jangan. Temenin aku di sini dong...!!” Aze segera menarik lengan temannya. “Seenggaknya kamu jangan ngebiarin aku duaan ama si... itu!!”

Aze menunjuk Elmo takut-takut. Elmo langsung melotot galak.

“Pulang aja, gapapa. Rumah kamu jauh kan? Entar dicariin orangtuanya lagi,” kata Elmo tegas pada teman Aze. Kepalanya memberi isyarat agar teman Aze segera keluar bilik.. Kalau dia dan si Aze Anak brengZEk cuman berdua di bilik itu kan suasana horor yang didapatkan anak brengsek itu bakal lebih kerasa, whuahahhaha....

Dengan berat hati Aze melepaskan pegangannya.

“Ampe ketemu besok Aze.”

“Ya, dadah...” Aze membalas lambaian tangan temannya.

“Jangan lupa belajar ya, ntar lagi ulum.”

“Huh!”

Kini tinggal Elmo dan Aze dalam bilik itu. Mata mereka bertemu.

“Kamu nggak pergi juga?” gertak Aze galak.

Ngerasa menang kamu ya, mentang-mentang di posisi yang lemah, batin Elmo sembari mengsms mamanya untuk memberitahu ia pulangnya agak telat karena ada sedikit urusan di sekolah. Kalau tidak begitu bisa-bisa dia didamprat karena tidak memberi alasan kenapa pulang telat.

“Ya udah... Elmo pulang yah, udah nggak kenapa-napa lagi kan? Impas, ya?”

“Huh! Gih, sana!”

“Marah-marah lagi... Yang mestinya ngomong ‘impas’ kan kamu!”

“Kenapa aku nggak boleh marah-marah? Emangnya kamu kemarin nggak marah-marah terus, hah?” Pelan, tapi menyulut kekesalan Elmo lagi.

“Ya jadi sekarang kamu udah ngerasain sendiri kan? Makanya...”

“Iya, tau, berisik. Pergi sana. Nggak usah sok baik.” Aze melipat tangannya dan memandang tembok.

“Eh, masih untung yah lo teh gue tolong. Pas kemarin gue nyungsep ke sawah, yang bikin celaka, si biang keroknya, mana? Kabur dia. Dasar cewek kadal, bisanya melet-melet aja!”

Bahwa anak itu merasa terhina adalah sebuah keniscayaan. Tapi hati Elmo sudah terselimuti baja api. Tak kan ada yang bisa memporakporandakannya. Meskipun anak itu menangis lagi. Meskipun tiba-tiba dia muntah darah.

“Apa sih? Mau ngajak berantem, hah? Mentang-mentang anak BKS, ngegunain popularitas buat menindas.”

Elmo tersentak.

“Popularitas buat menindas apaan? Itu namanya solidaritas tau. Kalau mau tuh kerahin temen-temen kamu si manusia bambu!”

“Aku kan nggak sengaja bikin kamu celaka. Kamu sengaja kan bikin aku celaka biar kita impas?”

“Heh, gue tuh ya mesti belajar nulis dari awal lagi. Lo masih mending kaki

 doang yang kena, masih bisa nulis. Masih bisa ngebuletin LJK! Lo kira lo bakal lebih menderita dari gue, hah?!”

Itulah kata-kata terakhirnya sebelum Aze sempat membalas. Sebelum dia balik arah. Sebelum dia menabrak Kepala Sekolah yang sedang melongok ke dalam. Aze terkekeh.

“Eh... Ck, ck, ck, pertengkaran rumah tangga ini teh? Nggak lagi indehoy kan?” tegur Pak Kepsek iseng.

“Eh, Bapak...?” Elmo kaget dan langsung menyalami Pak Kepsek sementara Aze tampak sedang memikirkan apa arti kata ‘indehoy’ yang dimaksud Pak Kepsek gaul.

“Kenapa ini bertengkar? Pacaran yang adem ayem dong...”

“Kita nggak pacaran,” tukas Aze dan Elmo tegas.

“Tetep aja, nggak pacaran juga nggak boleh bertengkar...

 “Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik, jangan sambil marah. Kalau marah, segera duduk. Kalau lagi duduk, tidur. Kalau tidur gak ilang juga marahnya, ambil air wudhu. Udah pada solat belum ini teh?” sambung Pak Kepsek lagi.

“Udah, Pak.” Aze dan Elmo menjawab kompak.

“Nah, sekarang... Bapak lihat kalian ini pada... kenapa? Kok pada cedera begini? Bukan Kekerasan Dalam Lingkungan Sekolah, kan?”

“Ini...” Elmo terdiam sebelum menunjuk Aze. “Dia tuh, Pak, yang bikin gini.”

“Eh... Sesama anak Bilatung gak boleh saling menyalahkan begitu. Kamu, Neng, kenapa kaki kamu itu dua-duanya?”

“Karna dia, Pak.” Aze balas menunjuk Elmo.

“Eeeh... sudah! Sudah! Kalian—“ Pak Kepsek coba menghentikan Aze dan Elmo yang sudah mulai saling mengerahkan gempuran fisik.

Dokter muda itu melongok dari balik tirai.

“Pak, mau sekarang aja, Pak?”

 

5

Elmo sedang berpikir, haruskah ia bersyukur mendapat tumpangan ke rumah apa tidak. Ia sudah menolak ajakan Pak Kepsek yang trenyuh melihat keadaan leher dan tangannya

“Rumah saya jauh Pak, di kabupaten.”

“Harga bensin mahal, Pak,.” Aze menambahkan.

“Udah, nggak apa-apa, ini mobil hybrid.”

Dokter muda alumni SMAN Bilatung yang kini Elmo ketahui bernama Kang Donny tengah menyetir. Di sebelahnya duduk Pak Kepsek. Di barisan tengah Elmo dan Aze duduk sebisa mungkin dempet ke jendela, inginnya berjauhan. Elmo sempat mengira Kang Donny yang tinggi putih jangkung ini anaknya Pak Kepsek yang hitam, besar, dan bertubuh gempal. Ternyata bukan. Kang Donny tadi ke sekolah diantar temannya. Tadinya mau sekalian dijemput juga. Cuman tiba-tiba Pak Kepsek yang hobi jalan-jalan di wilayah sekolah yang asri mampir ke UKS siang itu. Mengenali Kang Donny sebagai tetangganya. Ngobrol sampai serak. Mengajak pulang bareng. Berkat Pak Kepsek ketiga anak muda itu dapat menikmati perjalanan naik mobil hybird keluaran merk terbaru yang nyaman. Horee!! Semua pun senang. Bau mobilnya enak, batin Aze.

“Kang Donny ini hebat lho,” ujar Pak Kepsek. “Dia sekarang lagi S2 sambil magang juga, ya kan, Don?”

“Ah, biasa saja, Pak...” Kang Donny tersipu malu.

Sedari tadi kedua penghuni jok tengah itu diam saja, mendengarkan, dan tertawa mendengar Kang Donny dan Pak Kepsek saling melemparkan omongan penggelitik kalbu. Kalau tidak sedang begitu berbagai peristiwa kelam di masa lalu berkecamuk dalam benak Elmo. Ia lupa mengambil buku Biologi dan pensil mekanik 12.000-an yang ia lempar sewaktu melihat Aze jatuh terguling. Ia ingat bahwa Pak Kepsek ini baru beberapa tahun diangkat jadi Kepala Sekolah SMAN Bilatung karena Kepala Sekolah yang lama meninggal dunia tertular tuberkolosis dari istrinya[6]. Sekolah yang diasuhnya sebelum SMAN Bilatung telah menjadi sekolah yang terkenal karena prestasinya. Beliau juga suka muncul di koran. Pak Kepsek ini sempat cerita, seharian tadi ia mengawasi pemasangan tempat sampah. Jadi nanti setiap area di SMAN Bilatung bakal punya dua jenis tempat sampah. Non organik sama organik. Pak Kepsek ingin jenis tempat sampahnya lebih beragam lagi. Jadi ada tempat khusus buat sampah kertas, sampah plastik, sampah basah, sampah logam, sampah kaca... tapi biayanya... itu dia. Pak Kepsek inginnya nanti OSIS menyelenggarakan acara daur ulang sampah untuk siswa-siswa SMAN Bilatung. Jadi nanti adik-adik kelas Elmo bakal diajari cara membuat pupuk kandang dan barang-barang kerajinan dari sampah.

Pak Kepsek baru ini punya banyak cerita dan impian. Dan mobil hybrid baru.

Elmo tersentak ketika wajah Pak Kepsek tiba-tiba muncul dari balik jok depan.

“Udah, jangan berantem lagi.”

Aze menyatakan ‘nggak, kok’ dari ekspresinya. Elmo menggeleng.

“Kalian kan kakak dan adik kelas. Kakak dan adik kelas seharusnya saling menyayangi dan melindungi.”

Elmo teringat insiden pencopetan di angkot waktu itu.

 “Tapi kan, Pak. Ada loh, kakak dan adik yang nggak pernah bisa akur,” Aze komplen.

“Ya, jangan begitu... harus akur. Kalian ini pada kelas berapa?”

“2 IPA 8,” jawab Aze.

“3 IPA 4,” jawab Elmo.

“Wah, 3 IPA 4 ya, dulu itu kelas saya lo,” Kang Donny nyeletuk tanpa kemudian ada yang mengomentari.

“Wah, yang kelas 3, untung aja yang kena cedera bukan tangan kanan ya. Kalau nggak, wah, nanti SPMB-nya gimana...”

“Saya kidal, Pak,” sahut Elmo tegar.

“Waa, kidal? Kidal itu pake tangan kiri, ya. Kalau tangan kanan berarti... kadal?”

“...”

“...”

Cuman Kang Donny yang ketawa.

“Wah, gimana itu nanti SPMB-nya?”

“Saya bisa pake tangan kanan juga kok, Pak.”

“Bagus... bagus... Kalian bisa saling membantu pelajaran. Kalau adek yang kelas 2 nggak ngerti bisa tanya kakaknya yang kelas 3, ya. Yang udah kelas 3 juga kalau ada pelajaran yang lupa, bisa nanya adiknya... Bagus kan, heh?”

“Jaman saya yang kayak gitu belum ada, Pak,” ujar Kang Donny. Wajahnya merah tertimpa sinar lampu merah di depan sana.

“Sama. Jaman anak-anak ini juga belum ada.”

“Gitu, ya.”

“Makanya ya, biasanya anak-anak SMAN Bilatung ini kan les sama gurunya...”

“Jaman saya juga gitu, Pak.”

“Saya rasa perlu juga adanya transfer antara anak yang tingkatnya lebih atas pada adiknya.”

“Di ekskul-ekskul kayak gitu kok, Pak,” sahut Aze.

“Nggak, Neng, Bapak ingin membuat semacam program khusus. Bapak pingin ada sistem mentoring gitu...”

“Kan udah, Pak, DKM.”

“Bukan. Jadi ide Bapak itu supaya anak-anak kelas 3 bisa jadi mentor buat anak-anak kelas 2 dan kelas 1. Begitupun dengan anak kelas 2, mereka bisa jadi mentor buat anak-anak kelas 1. Tinggal dibagi aja.”

“Tapi ya, Pak, anak-anak kelas 3-nya sendiri mungkin lagi sibuk-sibuknya persiapan buat SPMB, bimbel. Anak-anak kelas 2 juga selain ikut bimbel, lagi sibuk-sibuknya ngurusin ekskul...”

“Ya, untuk kelas 3-nya ya pas semester ganjil aja, semester berikutnya mereka difokuskan buat ujian. Lagipula kalau ada program mentoring kan nggak usah ada bimbel lagi.”

Elmo tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau itu benar-benar terjadi. Persiapan SPMB nggak pake bimbel? Yang bener ajalah. Bimbel itu perannya krusial banget buat siswa sekolahan yang lagi ada di ujung tanduk. Makanya Elmo suka heran kalau mendengar cerita ada orang yang bisa tembus ke PTN favorit tanpa andil dari satu pun bimbel. Bahkan beberapa temannya yang rajin mengikuti bimbel pun berkata, “Saya ambil dua!”

Termasuk pula dirinya.

“Mmm, begini, Pak,” Elmo mendapat inspirasi untuk ikut berkontribusi. “Kenapa nggak alumni aja, Pak, yang turun tangan?”

“Alumni bukannya sibuk kuliah, praktikum juga, Kang?” Aze tidak menyadari siapa yang baru saja ia tanggapi.

“Di bimbel Elmo banyak kok alumni yang ikut ngajar. Apalagi pas weekend. Mereka seneng kayak gitu, Pak. Apalagi digaji.”

“Yee... sama almamater sendiri mah sukarela atuh,” tukas Kang Donny sambil tertawa.

“Ya ya ya, kalau begitu alumni juga harus diajak. Dengan memberikan ilmu kita pada orang lain, niscaya ilmu itu akan semakin menempel di otak kita. Setuju, kan? Bener nggak, Don?”

Kang Donny lagi-lagi hanya tertawa.

Aze menggumamkan kata ‘niscaya’.

“Pernah denger sih, Pak.” Elmo mengangguk-angguk.

“Nanti mau Bapak usulkan pas rapat. Kalau yang lain setuju bisa segera dibuat pembagiannya untuk tahun ajaran nanti...”

“Menurut saya sih, Pak, mending sama alumni aja mentoringnya, biar anak SMAN Bilatungnya fokus sama kegiatan sekolah,” ujar Aze lagi.

“Hm... ya, ya. Oh... Gimana kalau kalian aja yang jadi pionirnya?”

“Saya, Pak?”

“Bukan. Bukan kamu, Don.”

“Eh, maksud Bapak...”

“...kelinci percobaan?”

“Bukan, tapi pionir. Perintis atau pelopor, apalah...”

Pak Kepsek menengok lagi ke belakang. Dalam kegelapan malam yang tengah menerjang perlahan, Elmo seperti melihat siluet beruang.

“Siapa namamu, Nak?” tanya Pak Kepsek pada Elmo.

“Elmo.”

“Kalau kamu?” pada Aze.

“...Aze..”

“Elmo, kamu kan udah selesai UAS kan? Tinggal nunggu hasil UN ma kelulusan ma SPMB kan? Trus kamu Aze, anak kelas 2, sebentar lagi ulum. Kalian kan bisa saling mengajari. Aze, kalau ada bahan ulum yang nggak dimengerti bisa tanya Elmo. Elmo kalau ada pelajaran kelas 2 yang lupa bisa tanya Aze. Aaaah... bagus ini, bagus. Ini akan sangat bermanfaat, Nak. Kalian udah tahu nomor telpon masing-masing belum?”

Elmo dan Aze sama-sama menjawab ‘nggak’ dengan nada enggan. Ya ampun, Pak Kepsek, bukankah tadi kita sudah sepakat kalau alumni saja yang jadi mentornya??

“Ya, kalau bisa kalian tukeran dong. Kalian kan kakak adik sekaligus pementor dan yang di...? Dimentor.. Supaya bisa saling nanya pelajaran kapanpun dan dimanapun...”

Dimentor. Dementor. Makhluk penjaga penjara sihir Azkaban. Entah kenapa dari arah belakang terasa seperti ada hembusan angin dingin. Elmo bergidik. Membayangkan apabila igauan Pak Kepsek ini terwujud dalam realita.

“Pak, bukannya lebih baik kalau... cewek ama cewek... dan cowok ama cowok...? Entar diomelin anak DKM loh, Pak.”

Pak Kepsek berkata, “Ah, nggak apa-apa kok. Ya, nanti bisa juga seperti itu kalau pingin. Sekolah lain ada yang udah memakai sistem ini duluan dan campur nggak masalah kok. Kepseknya kan teman Bapak. Nih, untungnya Bapak bawa notes.”

Agak mangkel hati Elmo yang sungguh tidak menginginkan kalau dia dan anak brengsek itu harus benar-benar berinteraksi. Huh, sekolah macam apa itu yang disebut Pak Kepsek tadi?!

 “Nggak usah Pak, udah ada hape.” Meski berkata begitu Elmo ragu-ragu mengeluarkan hapenya. Yakin nih? Ada-ada aja si Bapak... Melihat Elmo sudah mengeluarkan hape, Aze melakukan hal yang sama.

“Nomor apa, Pak? Hape? Rumah?”

“Terserah.”

“Hape aja deh,” ujar Elmo.

“Ya udah, hape.” Aze menurut.

“Perlu nomor Bapak juga nggak?”

“Oh, bisa nanya pelajaran, Pak?” tanya Elmo polos.

Pak Kepsek menjawab dengan sumringah. “Oh, iya. Bapak juga dulunya lulusan IKIP loh, jurusan Kimia.”

Elmo jadi ingat. Ia pernah mendengar salah satu guru senior di SMAN Bilatung cerita kalau beliau dulu pernah jadi pembimbing buat Kepsek yang satu ini pas lagi PPL. Konon, guru senior tersebut nyaris tak meluluskan Pak Kepsek karena yang bersangkutan tak lihai mengajar.

“Aze, rumahnya belok sini bukan?”

Aze melihat sekilas ke jendela karena ia sedang konsentrasi memasukkan nomor Elmo ke dalam buku telepon di hapenya. Tak terasa sudah sampai ke daerah sekitar rumahnya. “Ng... eh iya. Ntar lurus aja trus pas mentok belok kanan.”

“Minta nomor Kang Donny juga boleh loh, bisi mau tanya-tanya soal gimana masuk Kedokteran. Kalian ada yang berminat masuk Kedokteran nggak? Anak SMAN Bilatung mana sih yang nggak... Kalau nggak Kedokteran ya pasti Institut Top Banggetz... hahahaha....”

“Ah, Bapak...” Kang Donny tersipu.

Diam sejenak. Tiba-tiba Pak Kepsek nyeletuk dengan nada tidak yakin, ”Neng Aze, dulu pernah dipanggil ke kantor saya nggak, ya?”

 

6

Malamnya, setelah melewati berbagai pergulatan pikiran, Aze akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri minta maaf sama Elmo. Tadinya ia mau minta maaf via sms aja, tapi rasanya lebih sopan kalau bicara langsung lewat telpon. Sekalian maksudnya hendak menanyakan soal Fisika yang ia tidak bisa mengerjakannya. Ya ampun, darimana datangnya perasaan sopan atau tidaknya sesuatu ini?

Saat ia sudah separuh jalan menuju telepon rumahnya, ia berbalik lagi. Kalau orangtuanya mendengar Aze memanggil lawan bicaranya di telepon dengan panggilan ‘Akang’ pasti mereka langsung heboh. Berarti Aze harus minta maaf lewat hape dengan sisa pulsanya yang tinggal sedikit itu. Tidak apa-apa, cuman bentar ini kok. Lagian provider-nya sama, mungkin bakal murah.

Tut...tut...

Ah, sudah. Aze tidak bisa mundur lagi. Nomornya pasti sudah tampil di layar hape Elmo.

Tut..tut...

“Halo.”

“Halo Kang, ini Aze yang tadi Akang lempar dari tangga.”

“Yang nari-nari di jalan terus bikin tangan gue patah dua setengah bulan sebelum SPMB ?”

 “IYA”

 “Oh, kenapa ?”

.

Ternyata dimanfaatkan juga ya, nomornya ini. Nomornya yang jadi incaran cewek-cewek adik kelasnya yang ngecengin dia, dia berikan secara cuma-cuma pada cewek tidak rupawan dengan tingkah menyebalkan dan tidak kelihatan dalam arena pergaulan. Elmo geli sendiri.

“Aku mikirin yang Akang bilang terus aku sadar aku emang salah. Maaf ya Kang. Aku ini emang pengecut..”

“Ya..ya.. Nggak papa kok. Udah Elmo anggap impas,”

“Kang,”

“Apa?”

“Aku sekalian mau nanya PR nih, Fisika susah pisan. Biasanya aku nanya ke temen pagi-pagi, tapi itu kan nggak baik ya, Kang. Akang masih inget dinamika rotasi nggak? Kita kan kakak adik, Kang, harus akur dan saling mengayomi,”

Dan papah kita adalah Pak Kepsek yang gaul.

“Oh, ya lumayan inget. Eh iya, yang kejadian di angkot itu makasih ya,”

“Apaan?”

“Yang ada copetnya. Waktu Elmo turun Elmo baru nyadar kalo tas Elmo kebuka gitu. Nggak tau Elmo lupa atau gara-gara si pencopetnya. Elmo jadi utang budi nih sama Aze.”

.

Aze memperhatikan bahwa Elmo menyebut dirinya sendiri pakai namanya. Elmo ini.. Elmo itu.. Cih, kayak anak kecil.

“Ah, yang gitu mah udah banyak kali. Aku udah sering nemu yang kek gitu.”

“Cie.. pemberantas kejahatan nih ceritanya?”

“Hehe iya, aku ampe kepikiran masuk Akpol loh.”

Tidak menyangka Elmo itu orangnya hangat dan cunihin. Sepertinya dia sudah terbiasa ngobrol sama cewek.

 “Emang Aze udah sering yah, kecopetan di angkot?”

“Aku sendiri sih belum pernah. Temen aku yang kecopetan waktu itu, nggak ada yang nyadar. Masih pada polos sih. Dasar anak-anak,”

“Emangnya Aze bukan anak-anak?”

Aze mengangkat bahunya. Tentu Elmo tidak bisa melihat. Mereka kan tidak sedang melakukan video teleconference.

“Akang jarang naik angkot yah? Kalo orang yang udah pengalaman mah pasti nggak sepolos Akang,”

“Ya, emang jarang sih,” Elmo mengingat-ingat, ”Terakhir naik angkot waktu SMP.”

“Haha..”

“Maaf, sisa pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Silahkan isi ulang kartu prabayar Anda.”

Tut... Tut..

...

...

SIALAAAN... Aze harus menunggu kurang lebih dua minggu lagi untuk bisa berinteraksi sosial lewat hapenya karena jatah pulsanya cuma lima puluh ribu sebulan. Aze hanya bisa tidur-tiduran di ranjangnya sambil menatap layar LCD hape, menunggu Elmo balik meneleponnya. Siapa tahu Elmo adalah tipe cowok gentle.

Ternyata bukan. Aze menunggu hampa sambil tidur-tiduran beberapa lama sampai nomor Elmo muncul lagi di layar hapenya. Aze terpuruk menyadari kenaifannya. Aze... Aze... kayak yang banyak duit saja kau...



[1] Pure Saturday - Elora

[2] Mati dia?

[3] Kalem, kawan. Kamu kayak lagi nunggu istri melahirkan aja.

[4] Kamu pulang aja duluan!

[5] Kamu nggak apa-apa?

[6] The Panasdalam – Kepala Sekolah

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain