Jumat, 20 Juni 2008

If There’s One Thing I’ve Learnt, It’s To Run Away/ At Least I Enjoy What I Do Today/ And I Thank You Very Much That I Do

November 2007


1

Oh. Elmo ketiduran. Elmo lagi nonton infotainment siang di sofa ruang tengah rumah Mas Fahri yang sudah sepeti rumahnya sendiri. Jemari kakinya memijat tubuh Wili yang terkantuk kantuk. Kengantukan itu menjalar lewat ujung jari dan Elmo jatuh tertidur dan bangun tepat jam 1 dan langsung memacu Yarisnya ke kawasan Bilatung Raya. Elmo sudah janji mau jemput Aze langsung di SMAN Bilatung. Aze berkata Elmo harus berani mengalahkan ketakutan itu.

Ada kok alumni seangkatan Elmo yang gak lulus SPMB tapi nyantei aja datang ke sekolah dan nongkrong di kios dan tetep biasa-biasa aja ngobrol ma guru.

Siapa?

Itu, yang rambutnya kribo, namanya Yadi kalau gak salah.

Ah, si Yadi mah emang gitu orangnya. Elmo malas menjelaskan. Tidak boleh bilang kalau Elmo berhak malu karena ia tekenal di kalangan guru-guru karena cerdas dan gantengnya sementara Yadi terkenal di kalangan guru-guru karena bloon dan bangornya. Tidak boleh itu. Itu namanya riya.

Aze menambahkan bahwa hanya Elmo sendirilah yang bisa memberikan stimulus penumbuh keberanian itu. Ayo Elmo semangat, ujar Aze dengan intonasi bersemangat.

Uh... udah masuk ke belokan Jalan Sungaibekas nih, Elmo malu... malu ketemu siapapun yang kenal dirinya, meski Elmo banyak menangkap wajah-wajah baru berseragam SMA dengan badge SMA-nya berseliweran di kanan kiri tengah jalan. Tersigaplah Elmo ketika mendekati gerbang samping sekolah. Itu, si Aze, sedang ngobrol sama siapa? Sama cowok?! Sejak kapan dia punya skill-nya? Kursus di mana?

Ini nih akibatnya kalau telat sedikit aja. Coba tadi abis zuhur langsung berangkat. Ah iya belum solat. Argh! Elmo geram. Si Wili terkutuk itu telah bikin dia tertular kantuk!

Elmo memata-matai cowok yang sedang ngobrol ma Aze kalau-kalau dia kenal cowok itu dan cowok itu mengenalinya. Huh, keknya anak yang nggak telalu eksis deh. Elmo sih tidak begitu kenal meski pernah melihat wajahnya beberapa kali, itu cowok tipe olimpiade fisika Tapi kalau cowok itu mesti tahu siapa Elmo. Elmo kan beken. Anak BKS. Jadi tatib pas MOS. Senior 1 tingkat lebih tua. Sering diomongin guru-guru. Ceweknya cantik-cantik. Nggak lulus SPMB.

Elmo berharap Aze langsung peka begitu ia membunyikan klaksonnya sekali. Aze menoleh dan cepat mendekat. Oh yeah. Elmo cepat-cepat memalingkan wajah, takut dikenali begitu Aze memasuki mobil. Cowok itu mesti masih mengarahkan pandangannya ke Aze. Begitu Aze menutup pintu Yaris biru itu segera melaju.

Elmo sungguh cemas jika suatu saat, dan itu bisa datang kapan saja, Aze kecantol orang lain dan tidak dekat-dekat lagi dengannya. Namun jika mengingat segala tampang dan tingkah laku Aze nan cupu Elmo bisa tenang sedikit. Mana ada yang mau sama cewek kek gitu, hahahaha...

Elmo aman memiliki Aze.

Iya gitu?

Teringatlah pula di kepala Elmo tadi sebelum terlelap siang Bang Napi berbisik di telinganya. Kuping Wili pun bergerak gerak tegak ingin mencuri dengar. “Kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat dari pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan... KESEMPATAN!!! Waspadalah. Waspadalah. Waspadalah...”

Pencuri hati ada di mana-mana!!!

“Itu siapa sih yang tadi kamu ajak ngobrol?”

“Temen sekelas aku.”

“Kamu suka ama dia?”

“Ih, nggaklah.”

“Kamu kalau ngomong sama Elmo nggak pernah seakrab itu!” cecar Elmo.

Aze tersentak. Ngeri. Keringat dingin mencengkeram lehernya. Elmo. Elmo. Kamu kenapa sih?

“Huh, ya udahlah.”

Oh, syukurlah intonasinya menurun... Aze bisa rileks sedikit meski tetap siaga.

Mengingat tampang dan kepribadian temannya tadi itu yang tidak jelek-jelek amat dan apabila dirinya yang pas-pasan secara lahir dan batin ternyata mampu mendapatkan jodoh yang tampang dan kepibadiannya ‘WAH’, dunia mesti terjungkir.

“Ze—“” Elmo gak melanjutkan kata-katanya, telanjur dimakan kecewa, namun auranya jelas-jelas jadi tambah buruk. Elmo kehabisan kata-kata tapi auranya bisa menjelaskan maksudnya lebih dari kata-kata.

Sayang Elmo tidak melihat kecupuan Aze, yang sinar matanya serius agak melotot; isyarat bahwa Aze hendak mengatakan sesuatu yang ia anggap rasional dan bijak, “Aku kan nggak punya cowok jadi nggak papa dong kalau aku bebas ngeceng ngeceng.” Meskipun kalau udah punya cowok juga bukan berarti nggak boleh ngeceng! Tambah Aze dalam hati.

Elmo tediam. Ia mencerna kata-kata Aze yang ada benarnya juga. Meski egonya menolak untuk terima. Seperti loncatan bunga api listrik yang akan dipelajarinya kalau ia keteima di STEI (oh. Amin.), inspirasi itu membuat Elmo tak kuasa menolaknya. Memang harus dilakukan secepatnya. Secepat loncatan bunga api listrik. Elmo teringat sesuatu pula. Di ujung Jalan Sungaibekas ada satu warung tenda yang berdiri di sana, yang bagi Elmo adalah salah satu kenangan manis masa SMA-nya yang gilang-gemilang tapi berakhir suram. Tendanya berwarna biru tua butek bertuliskan huruf-huruf balok kuning ‘Timbel Mendoan Komplit’. Tempat Elmo biasa makan hemat dengan teman-temannya sesudah Jum’atan. Mana bisa ia benar-benar melupakan sedapnya aroma dan rasa sambel terasinya yang begitu menggoda? Juga rasa sedap dan gurih tempe mendoannya yang kuning berminyak?

“Ze, inget nggak Elmo pernah cerita tentang tempat makan mendoan yang enak banget?”

“Huh, iya?” Aze lupa-lupa ingat.

Elmo memutar haluan dan setelah berjalan beberapa meter ia menghentikan mobilnya di dekat warung Timbel Mendoan Komplit.

“Ini nih, Ze, tempat yang Elmo pernah bilang. Mampir dulu yuk,”

“Oh, ini. Aku pernah kok ke sini, tapi nggak makan di tempat,”ujar Aze setelah melongok sebentar.

“Kenapa emangnya?” tanya Elmo sambil nyengir. Ia sudah bisa menduga jawaban Aze.

“Uh, abis banyak anak Bilatung abis Jum’atan. Malu ah,” kata Aze sambil menyalakan radio.

Elmo tertawa dengan suara latar jingle radio Dahlia. Satu kosong satu koma enam lima ef em.

”Ah, Aze mah payah. Masa kayak gitu aja malu,”

“Ah, Kang Elmo juga pasti sekarang nyuruh aku yang turun buat beli soalnya takut ketemu junior Akang. Udah gitu nggak bakal bayarin lagi! Siapa coba yang lebih payah?” tukas Aze mengejek sambil mengganti-ganti saluran radio sambil menyadari begitu cepatnya Elmo berganti mood. Perpecahan kepibadian? Hiii... Nggak ah. Nggak gitu. Semoga nggak gitu. Orang labil emang suka gonta ganti mood. Aze berusaha meyakini pernyataan itu.

“Ih, siapa bilang? Elmo mau bayarin kok. Aze jangan su’udhon. Ingat, sebagian dari prasangka adalah dosa,” Elmo memberi petuah sembari menepis tangan Aze dari radio.

“Oh, dibayarin yah. Emang duitnya dari mana, Kang?”

 “Biasalah... Awal bulan...” Elmo nyengir.

“Ya udah. Aku turun dulu,” kata Aze akhirnya.

“Eh Aze, tapi beli ayamnya satu aja yah,” seru Elmo dari mobil.

Aze sudah menduga Elmo bakal ngomong gitu. Tapi tidak mengapa. Aze kan sudah sering diantar-jemput Elmo naik mobil Yarisnya yang masih baru. Gratis lagi.

Salah satu kelenjar yang dikoordinasi endokrin Aze langsung aktif memproduksi air liur saat hidungnya membaui aroma terasi yang semerbak di seputar warung tenda itu. Hmm.. mantapp!!

 

2

“Aze nggak makan di sini?” tanya Elmo sambil melahap potongan ayam terakhir.

“Nggak ah. Di rumah aja. Nggak enak makan di mobil,” jawab Aze sambil sibuk ber-sms dengan temannya.

“Aze.”

“Apa?”

“Besok temenin Elmo yuk ke BSM.”

“Mau ngapain emang?” tumben Elmo mau ke tempat umum. Pasti Aze bakal dibawa lagi buat jadi pengawal.

“Nyari kado. Buat mama.”

“Kok cuma mama yang dikasih kado? Papa Elmo gimana?”

Elmo menjulurkan lidah. “Ah, papa Elmo mah pelit. Males banget ngasih kado ke dia. Ya Aze, ikut yu?”

“Nggak ah. Sori ya Kang. Ini, aku diajak nyari kado juga besok sama temen. Nggak enak kalo nolak mulu. Udah lama banget aku nggak maen sama temen-temen,”

“Ah, udalah, gapapa. Yang penting kan ikut patungan. Elmo bingung nih mau ngasih apa. Aze kan cewek, bisalah ngasih pendapat. Ya ya ya?”

“Ah, aku bosen maennya sama Akang terus. Garing. Aku kan punya temen juga,”

Injak kopling. Gigi 1. Injak gas. Lepaskan kopling perlahan. Yaris pun berjalan. Sudah di tengah jalan, masuk gigi 2. Elmo menampakkan ekspresi tidak percaya. “Oh, iya ya emangnya, Aze punya temen?”

Aze merengut. “Akang, tau, yang nggak punya temen. Temen Akang siapa lagi selain aku, hah?” sergah Aze tanpa menyadari wajah Elmo membeku, teringat pergulatan batinnya. Dan niatannya itu. Inspirasi itu. Yang setelah terlaksana mungkin akan mengurangi kecemasannya akan sesuatu yang ingin ia miliki yang selalu datang bertubi-tubi.

Jadi .. nggak .. jadi .. nggak .. jadi .. nggak. Jadi aja deh.

Elmo merogoh saku jaketnya dan mengambil hape.

 

3

Hape Aze bernyanyi, “What the frequency, Kenneth?/ is your benzedrine, uh huh/I was brain-dead, locked-up.[1].”

Aze mencari-cari si sumber bunyi, tapi Elmo buru-buru mencegahnya.

“Jangan Ze, liat smsnya ntar aja di rumah.”

Ih, si Elmo. Emang siapa dia nyuruh-nyuruh? Sebelah tangan Aze mendorong kepala Elmo supaya kembali mengarah pada jalan. “Udah sana, konsentrasi nyetir. Ntar nyungsep lagi ke sawah.”

Elmo semakin gelisah. ”Udahlah, ntar juga bisa kan baca smsnya, beneran, ini demi kebaikan Aze juga.”

Kenapa sih emangnya? Aze kembali menekuri hapenya, hendak membaca sms. Di layar tertulis kata-kata yang membuat muka, telinga, dan leher Aze berubah warna jadi merah, menghentikan nafas mempercepat detak jantung Aze. Wuauw.

 

aze,aze mw jd cw Lmo?

 

Aze membekap mulut dengan tangan kanannya seperti dalam film, lalu mencoba mengatur nafas. Beneran nih si Elmo? Aze tidak berani menoleh pada cowok ganteng di sebelahnya. Tidak terlintas sama sekali di kepala Aze kalimat yang terdengar cerdas untuk membalas sms Elmo. Pun ketenangan yang biasa datang tiba-tiba saat prahara menerpa. Ia harus jawab apa?

Aze melihat wajah ganteng Elmo yang—herannya—datar tapi tetap mempesona...

“A...ng, a...ng...a...ng...” Aze malah bemain-main dengan erangannya.

Kejutan tak teduga yang sungguh menimbulkan perasaan berjuta-juta itu membuat Aze didera berbagai macam pikiran. Pikiran-pikiran yang dipaksa berjalan cepat untuk segera dapat memutuskan masalah. Kenangan-kenangan yang pernah terjalin bersama Elmo berkelebatlah dalam pikiran itu, mencoba membantu memutuskan...

“Aze, tadi ngapain aja di sekolah?”

“Udah dikerjain belum soalnya? Mana yang gak ngerti?”

Bagaimana mungkin Aze tidak jatuh hati pada cowok seganteng Elmo? Semua orang juga paham arti pepatah ‘Darimana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali.  Darimana datangnya cinta, dari mata turun ke hati’. Fisik adalah kriteria utama dalam dunia kejatuhcintaan. Setidaknya itu yang Aze baca dari teenlit-teenlit pinjaman adiknya. Jadi wajar apabila hati Aze berdesir. Namun di samping itu ada lagi satu perasaan yang mengundang penasarannya. Perasaan yang diberinya nama perasaaniniapakahnamanya.

Kini Aze sudah mengerti. Perasaan yang satunya lagi adalah perasaan senang mendapat perhatian. Kedua orangtua Aze bekeja dari pagi sampai sore dan Aze bukan satu-satunya anak yang mesti diberi perhatian. Sebelum bertemu Elmo hari-hari Aze dilalui datar-datar saja dan sesi curhat dengan orangtuanya ia isi dengan laporan garing tentang kesehariannya. Ia pun masih bebas memikirkan tulisan yang ada di koran yang ia baca sesorean untuk membunuh waktu luangnya di rumah. Tapi setelah pertemuan insidental itu, siang dan malam Aze memaksa pikirannya melupakan banyangan itu. Bayangan yang sungguh menyita pehatiannnya dan memberikan pehatian padanya. Elmo, sungguhkah dirimu untukku?! Baru kali ini ia menyadari kenaifannya.

Apalagi kemarin sore saat di BC Elmo bilang apa? Bilang bahwa Elmo bingung tanpa dia!?

“Aze jangan mangap gitu dong.”

Aze tak berkutik. Sungguh membuat Elmo malu. Ia mengelus-elus lehernya sendiri sambil sesekali melirik Aze gugup. Di lain pihak Aze bingung, apa ia harus mengsms teman yang sedang smsan dengannya kalau barusan dia ditembak cowok...

Apa kata dunia?

Nggak ah. Kasian, belum ada cowok yang naksir temannya itu. Begitupun keadan Aze seandainya saja Elmo tidak membuatnya terpojok sepeti ini.

Perlahan Aze memulihkan rasionalitasnya, juga merasakan aura gugup dan aroma sambal terasi yang beputar dalam mobil.

“Ke BSM-nya sekarang aja yuk!” ujar Aze tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa. Elmo tertegun. Apa Aze telah secepat itu melupakan? Menganggap pertanyaan yang bikin Elmo malu setengah maut itu hanya angin lalu saja? Namun Elmo tak kuasa marah. Ia sekaget Aze sewaktu menjadi koban emosi jiwa posesifnya di BC dahulu kala suatu petang ketika Aze baru datang jam 6 sore, membuat Elmo kalut karena tak ada si peredam emosi yang menemani.

 

4

Aze dan Elmo memborong roti di Roti Ngomong BSM dan mereka piknik di lantai 3 sambil menyaksikan matahari tebenam dalam lautan perkotaan. Aze tidak tahan untuk tidak menyandarkan kepala di bahu Elmo. Diam-diam ia mengamati proporsi tubuh cowok itu dan itu membuatnya deg-degan. Tidak. Tidak boleh ada kontak fisik kalau tidak ingin rasa ini berkembang jadi semakin besar. Elmo pun sepertinya tidak berminat. Elmo cuman pingin Aze ada di dekatnya, Aze memahaminya begitu.         

Tapi... tadi itu apa maksud sms Elmo? Oh, Aze hampir-hampir melupakannya. Mestilah Elmo masih kepikiran. Dia kan biangnya. Namun Aze tak mengerti. Meski sudah berbulan-bulan mereka sering bersama dan sejak insiden itu terjadi dan sikap Elmo mulai tidak wajar, Aze tak berani memikirkan kalau suatu saat gara-gara kedekatan mereka ia dan Elmo bakal bisa berpa...  tidak mungkin cowok macam Elmo mencin... levelnya jelas beda. Meski sekarang mungkin nyaris sama. Aze pikir segala sikap tidak wajar Elmo cuman efek samping dari kegagalannya dalam SPMB yang mestilah menjatuhkan mental.

Tapi... tadi itu bukan mimpi. Sms Elmo belum Aze hapus. Itu bukti. Aze telah melayang tinggi. Cewek semadesu Aze bisa pacaran dengan cowok ganteng dan perhatian. Meski kadang berlebihan. Mungkin sempat madesu juga tapi itu bakal segera berubah kalau Elmo lulus SPMB tahun depan. Dan setahu Aze, ialah satu-satunya teman yang Elmo percaya sejak cowok itu menarik diri dari dunia pergaulan.

“Kang, jadi sekarang Aze... uhm...” Aze mencicit, ‘”itu’-nya Elmo?” Aze hati-hati memandang Elmo sambil menggigit choco lava bread-nya dengan raupan besar sehingga coklat cair di dalamnya meluber. Sungguh bagai lava. Aze menjilati tangannya yang belepotan coklat dan mulai berjatuhan setetes demi setetes ke seragamnya.

Elmo bengong. Ketika diingatkan akan hal itu, ia sendiri sudah hampir melupakan meski tetap ada rasa kecewa. Namun kekecewaan itu telah sirna.

“’itu’-nya Elmo apa...?” tanya Elmo menggoda.

“Em, ya... ‘itu’... Yang tadi di mobil pas beli mendoan tea... Dasar, bukannya kamu yang mulai duluan?” Aze menunjukkan rasa sok nggak suka.

“Iya... tapi ‘itu’ apa? Aze ngomong yang jelas dong...”

“Ya, ‘itu’... Aduh, ah geuleuh ah, ya udah lupain aja!” Aze memalingkan muka. Elmo mengarahkan agar muka itu menghadapnya kembali.

“Apa sih, Ze?” tanya Elmo lembut, berusaha menahan gelinya.

Aze tak tahan lama-lama berada dalam situasi demikian. Ia berujar pelan, hampir berbisik, “...pacar...”

“Hah?”

“Aaah... udah, rese ah!” Aze memukuli Elmo sebal.

Elmo tertawa-tawa. “Iya, Aze pacar Elmo,” jawab Elmo mantap sambil berusaha meredam pukulan Aze.  

“Janji ya, Aze?”

“Janji apa?” tanggap Aze, berusaha untuk tidak terdengar manja.

“Nemenin Elmo ngelewatin masa-masa ini... Elmo nggak kebayang kalau nggak ada Aze... Bingung! Hehe...”

“Ah, Akang!” Aze meninju lengan Elmo lagi. “Kan masih ada Mas Fahri!”

“Maunya sama Aze...” Elmo sok merajuk.

“Kan ada temen-temen Elmo yang lain!”

Elmo terdiam. Aze sadar sepertinya dia telah mengucapkan kalimat yang salah. Aze takut melihat perubahan ekspresi di wajah Elmo. Tapi itu tidak lama. Senyum itu kembali mendarat di bibir Elmo.

“Tetep Aze.”

Oh. Iyalah. Anggap saja ini semua sebagai pengganti utang budiku padamu...

“Tapi ada syaratnya...”

“Apa emangnya?”

“Syaratnya berat banget. Aku ragu kalo Akang bisa nyanggupin.”

“Iya... iya... Apa sih yang nggak buat Aze?” goda Elmo.

“Aku nggak mau ada kejadian kek di BC kemarin itu lagi.”

“Hah?”

Aze memberi penekanan dengan jari telunjuk dan jempolnya lalu tersenyum lebar sekali. “Hak asasi.” Aze menurunkan tangannya dan menaruhnya di lutut. “Karna aku pingin main ma temen-temenku juga...”

Elmo hanya tersenyum dan menunduk sekilas, “Ahaha... Iya, waktu itu maafin Elmo ya, Ze...”

Oh, Aze, biarkan saja semuanya mengalir seperti air. Perubahan berjalan berdampingan dengan waktu.

Aze milik Elmo.

Aze menempelkan bekas gigitan pada rotinya dengan bekas gigitan pada roti Elmo. Coklat bertemu dengan saus blueberry.

“Jadi perjanjiannya sah ya!”

Elmo mengangguk saja lalu menatap matahari yang berpendar jingga dengan sorot mata penuh asa. “Kita bakal bersama-sama sampe ke Institut Top Banget. Dan seterusnya!”

Bayangan matahari berpendar di wajah Elmo yang diliputi euforia bersungguh-sungguh.

Sepasang kekasih jatuh cinta dalam belepotannya saus pengisi roti yang menjadi bercak pada pakaian yang akan sukar dihilangkan dengan deterjen manapun. Biarlah itu menjadi bukti dari pernah adanya masa-masa indah di antara mereka, yang terjadi di bawah naungan terbenamnya matahari, di atas ubin berdebu lantai 3 beranda Bandung Super Mall...

 

5

Sesungguhnya Aze lebih suka membaca koran ketimbang jenis bacaan lain. Namun ketika salah seorang teman sekelasnya tadi membawa majalah remaja ibukota edisi beberapa bulan lalu, majalah dengan tampilan menarik tapi sedikit manfaat yang berarti dan banyak iklannnya itu menjadi penting bagi Aze manakala di dalamnya tedapat tips-tips menjalin hubungan hamonis bagi pasangan yang baru jadian. Karena Aze jarang membaca yang begituan, bacaan tersebut menjadi lebih sulit dicerna daripada tajuk rencana harian Kompas. Aze bahkan harus sambil mengisi energi saat membacanya. Malam itu di kamar ia membaca dengan serius dambil makan keping demi keping marie regal.

Hape Aze mendendangkan lagu yang khusus Aze pasang untuk menandai panggilan dari Elmo. Aih romantisnya!

“Aze...” sapa Elmo lembut.

“Mm.. ya??” Aplikasi lebih berarti daripada teori. Aze menendang majalah temannya dan menerima hape sambil tetap mengisi energi.

“Gi ngapain?”

“Mm, baca.”

Oh, Aze sangat mengerti bahwa ini adalah pembicaraan yang sangat tidak esensial sekali tapi dia menikmatinya! Pun ia tahu Elmo pasti tidak akan ngeh kalau diajak diskusi mengenai aksi membuang raskin yang dilakukan oleh warga di suatu kota di Jawa Tengah.

“Baca apa?”

“Mmm.. majalah.”

“Majalah apa?”

“Mmmm, ng, euh.” Apa ia harus menyebut merk? “Majalah cewek punya temanku, mm, kebawa gitu.”

“Ih, Aze kok ngomongnya pake mm... mmm.. gitu?”

“Kan sambil makan biskuit mmm... marie.”

Elmo tertawa kecil.

“Ngemil aja. Makan malam udah belum?”

“Udah... mama aku bikin balado ikan loh, tumben enak.”

“Hehe.”

“Elmo udah makan belum?”

“Udah.”

“Pasti enak enak deh makanannya, mama Elmo pinter masak kan,” jawab Aze polos sekaligus menuduh dengan agak iri.

“Yanaaa, udah makan belum?” suara mama Aze terdengar dari kejauhan.

“UDAH!” balas Aze dengan intonasi tinggi yang menyatakan bahwa akibat seruan itu ialah ia menjadi sangat amat terganggu.

“Mm, sori ya, itu ibu aku...”

“Ah, mama Elmo juga suka teriak-teriak, kadang-kadang.”

“Teteh! Hape aku tiba-tiba nge-hang! Pinjem hapenya dong, mau sms temen, cuman tanya PR!” mendadak adik Aze menginterupsi dengan membuka pintu kamar tanpa mengetuk. Biasanya begitu. Tapi kali ini Aze menyadari perlunya privasi. Sangat perlu.

“Nggak bisa! Lagi dipake! Makanya kalau pelajaran tuh diperhatiin. Jangan ngerumpi aja!” Aze berkata dengan galak seraya menggigit lidah sendiri. Lubang bicara di hape ia tutup dengan tangan supaya kericuhan yang sedang terjadi tidak bisa Elmo dengar.

“Woo, pacaran!!” adik Aze sewot dan membanting pintu dengan segenap emosi jiwa. Begitu menempelkan telinganya lagi Elmo bertanya terheran-heran, “Kenapa?”

“Ah, biasalah itu anak SMP... Elmo hari ini udah ngerjain latihannya Mas Fahri ampe halaman berapa?”

Aze tidak pernah menyangka sebelum ini bahwa ia akan pernah merasakan jadi remaja putri normal yang setiap malam berguling di kasur sambil terkikik malu dan kesenangan. Ketika usai telepon Elmo dan kuping Aze panas sudah, keluarlah Aze dari kamarnya untuk ambil air putih dan apabila berpapasan dengan salah satu anggota keluarganya ia dapati sorot mata mereka penuh iri dan dengki. Ah, cepat sekali rumor itu beredar dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya.

Kalian semestinya nonton Joshua Oh Joshua, tahukah kalian, sirik tanda tak mampu?! Ingin sekali Aze mengomeli satu persatu anggota keluarganya dengan kata-kata itu. Mestilah tak ada satupun di antara mereka yang penah pacaran dengan manusia rupawan, perhatian, dan calon anak Institut Top Banget macam Elmo!



[1] R.E.M. – What’s the Frequency, Kenneth?

Jumat, 06 Juni 2008

Girl, You Know That I Still Need You/ Pick It Up And We’ll Find A Way

Oktober 2007


1

Bimbel Brilliant Club. Potret sebuah bimbel tempat pelarian anak-anak putus asa yang mengharap sebuah oase dari kerasnya dunia. Sesuatu yang ternyata tidak semua anak dapatkan di bawah naungan rumahnya.

Bimbel BC juga menjadi ‘rumah’ yang nyaman bagi Elmo. Mamanya memang tidak bersikap keras pada Elmo. Ia malah bercerita tentang kejadian di arisan RT terakhir, ibu-ibu itu memaklumi Elmo tidak lulus SPMB dan menunjukkan simpati. Ternyata mereka mengira STEI adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam sehingga wajar jika Elmo yang jurusannya IPA tidak tembus ke sana. Cerita itu malah membuat papanya cemberut. Suasana rumah memang sedang nggak enak. Makanya, walaupun sekarang sudah menjelang maghrib, Elmo menghabiskan waktu di BC yang dengan senang hati menerimanya kembali sebagai murid pada tahun ini. Gratis. Biasa, sebagai bentuk pertanggungjawaban bimbel.

Supaya ada yang menemani, Elmo memaksa Aze tiap hari untuk datang dulu ke sini supaya apa yang mereka bahas malam sebelumnya di telepon menjadi tambah jelas lalu Elmo akan mengantar Aze pulang. Tapi Elmo tidak tahu kalau hari ini Aze baru akan tiba pada jam 6 sore. Sesorean itu Elmo harap-harap cemas karena Aze tidak kunjung datang pada jadwal yang seharusnya. Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Tidak sms. Tidak misscall. Ditelpon pun tidak diangkat.

Terdengar suara langkah kaki memasuki pekarangan dilatari azan maghrib yang bersusul susul. Elmo tahu betul itu Aze. Anak tengil itu...!

“Elmo... maaf ya aku baru tau tadi kamu miskal miskol, hapeku ditaruh di tas jadi nggak kedengeran deh...” Aze duduk di sebelah Elmo dan mengambil Wili.

Hening. Elmo akhirnya merasa sangat suntuk setelah di-drill dengan soal dari siang, lalu mengemasi barang-barangnya ke tas. Aze yang dari tadi hanya membelai-belai kucing ikut beranjak. Elmo baru terpikir bahwa Aze mampir telat cuma untuk bertemu Wili, kucing yang gemuk kayak Garfield itu, bukan untuk menemaninya. Huh.

.

Di perjalanan pulang, seperti biasa Aze hendak memasang radio di mobil Elmo. Memang baik Elmo kembali memiliki emosi. Tapi sayangnya, tiba-tiba emosi Elmo menjadi sangat fluktuatif. Dan korbannya hanya Aze. Bukan para pengajar BC, bukan anak-anak di sana, juga bukan Wili. Ke-BT-an Elmo ini serasa memenuhi udara mobil sampai-sampai Aze akhirnya tidak berani untuk sekadar menyalakan radio. Atau AC. Sesak. Sesak. Aze membuka jendela. Di tengah kegelapan, Aze merasakan Elmo mendelik padanya. Aze cepat-cepat menutup kembali jendela itu.

“Tadi ke mana dulu?”tanya Elmo berat. Aze mengerang dalam hati.

“Nggak kemana-mana..”

“Terus kenapa baru nyampe jam 6?!!” Elmo setengah membentak. Aze berjengit, lalu memperingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan MOS. Aze menimbang-nimbang, ia lebih suka Elmo yang seperti tatib atau yang cunihin.

“Iya.. tadi aku nomat sama temen..terus...” suara Aze mengecil.

Elmo mendengus tidak sabar. Aze teringat kuda. Lalu teringat si Mystery, kuda laut Spongebob. Lalu dia ingin tertawa. Tapi jangan ah. Jangan mancing-mancing Elmo. Sebenarnya Aze ingin menyadarkan Elmo dari logika berpikirnya yang aneh. Kenapa juga ia harus menunggui Aze pulang? Kenapa juga Aze harus repot-repot mampir? Kenapa juga ia marah-marah? Aargh. Aneh. Aneh. Kalau tidak mengingat utang budinya pada Elmo, Aze tidak akan memedulikan kondisi kejiwaan Elmo yang labil. Ia akan main terus dengan teman-temannya. Bikin pesta rujak lagi. Apalah. Oh iya.

Elmo, kita pesta rujak yuk biar kamu nggak marah-marah melulu.

Tapi Aze tidak berani bilang. Jadi sisa perjalanan berlangsung dalam kesunyian.

 

2

“Eh Nan, Ze, inget nggak jepit rambut yang minggu lalu kita beli di BIP?”

“Iya, inget,”jawab Aze jemu. Mana ia bisa lupa? Gara-gara nomat dan belanja jepit rambut, ia sampai di BC telat, Elmo marah-marah. Huh. Memang Aze dayangnya? Tadi malam Elmo bahkan tidak menelponnya. Aze sendiri tidak enak kalau harus menghubungi duluan.

“Kakak aku pingin yang kayak gitu katanya. Jadi nanti siang kita ke situ lagi ya!”

“Aku nggak bisa, Dew,” kata salah satu kawanan Aze, ”Aku mau nyiapin barang buat ke Kebumen. Itu, acara kawinan tea.”

“Yah.. si Fitri juga tadi katanya nggak bisa..” Aduh. Aze sudah bisa menebak arah pembicaraan. “Aze, temenin aku ya?”

Aku nggak bisa, udah ada janji. Sama cowok labil rese yang aura kemarahannya sangat menekan. Jadi aku nggak bisa ikut. Lagian ulangan kemaren aku gagal total. Kamu mau tanggung jawab? Aku mau minta diajarin. Nggak mau ikut. Gak. Gak mo mo lagi.

Aze mengangguk. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sekarang ia hampir tidak pernah berani mengatakan apa yang ia pikirkan dan penolakan-penolakan yang ingin ia ungkapkan. Coba ia seperti ini dari dulu, pasti waktu itu ia tidak usah dipanggil ke kantor Kepsek.

           

3

Aze mengeraskan volume MP3 player-nya ke tingkat suara yang bisa memecahkan gendang telinga. Ia gelisah, benar-benar ingin tahu bagaimana prosedur solat istikharah. Sekarang sudah jam 5, berarti terlambat 2 jam dari waktu standar Aze tiba di BC. Rasanya Aze capek sekali, tidak sanggup kalau harus menghadapi Tsunami Elmo. Tapi kalau hari ini ia tidak nongol dengan alasan apapun, besok pasti kemarahan Elmo berkali-kali lipat. Kiamat Kubra Elmo. Ohmaigawd. Mana yang lebih baik?

Tapi toh Aze turun juga di belokan BC. Apapun yang terjadi, ia masih bisa minta bantuan Mas Fahri dan Mas Luki untuk membimbingnya. Dan masih ada Wili. Peduli amat sama si anak manja. Elmo bukan tanggungjawabnya.

Setelah mengetuk pintu, Aze berjalan menuju ruang ujung, ruang belajar mandiri karena hari ini bukan hari jatah belajar Aze. Resminya kan ia murid Rabu-Sabtu. Jadi pada hari-hari lainnya, ia belajar bersama Elmo di situ. Biasanya sih siang-siang begini, ruang itu cuma dipakai Elmo dan dia sendiri.

Tatapan kesal Elmo menyambut sosok Aze yang tanpa ekspresi.

“Telat lagi,”

Iya, maaf.

“Mau apa ke sini?”sergah Elmo.

Boleh minta diajarin nggak? Ulangan kemarin, integral,  parah ni.

Aze mengangguk sedikit pada Elmo seperti ia mengangguk pada satpam yang patroli di komplek rumah, melepas ransel dan jaket bertudungnya, duduk, dan mengeluarkan buku 1001 Soal SPMB Matematika. Setelah menemukan halaman yang materi soalnya relevan dengan ulangan kemarin, Aze mulai mengotret-ngotret. Metode menghafal soal, metode sesat andalannya selama ini dalam mengerjakan soal-soal Try Out.

Elmo sekarang sudah tidak kesal lagi. Ia marah. Berani-beraninya anak ingusan ini menjadikan dirinya kacang!!

“Heh. Enak banget lo ngacangin gue!” Elmo menyemprot Aze.

Si tersemprot mendongak dari kumpulan soalnya lalu menatap lurus ke si penyemprot.

“Kamu tuh katanya pinter tapi kok logika berpikirnya nggak jalan ya. Punya akal sehat gak sih?” tukas Aze dengan nada dingin kakak kelas yang memplonco adik kelas. Seperti senior BKS yang sedang mendiklatsar. Ahaha.

Elmo seperti tersengat. Dasar adik kelas durhaka! Seumur-umur ia memang hanya pernah membentak seperti tadi dalam suasana diklasar. Ia belum pernah menghadapi situasi di mana sah-sah saja bagi tersemprot untuk membetulkan logika berpikir penyemprot yang memang sering ngaco. Ia juga tidak pernah menyangka Aze bisa mengeluarkan aura ‘senior’.

Mumpung masih punya keberanian, Aze melanjutkan dengan desisan. “Sebenernya buat apa sih aku nemenin kamu? Kenapa itu jadi kewajiban aku sih? Emang kamu siapa? Kenapa juga kamu malah marah-marah, coba?”

Aze menarik nafas. ”Sebenernya aku nggak usah nemenin kamu tau. Kamu yang salah didik jadi anak manja, kenapa aku yang repot?” Tanpa sadar, suara Aze meninggi di kalimat terakhir.

Pintu ruang belajar mandiri terbuka. Wajah Mas Fahri nongol, menatap wajah Aze dan Elmo yang sama-sama merah. Dari tampang iseng di wajahnya, Aze bisa menebak apa yang kira-kira akan dikatakan Mas Fahri.

“Ya ampun, kapan jadiannya? Tiba-tiba udah berantem lagi?”

Aze mengeluarkan suara ‘huh’ yang sarat rasa frustrasi, lalu melewati Mas Fahri, mencari Wili.

 

4

Elmo mendapati Aze sedang duduk di lorong, membaca koran sambil sesekali membelai rambut Wili.

“Oh ya ampun bukopin, raskin naik lagi!” Aze manggut manggut serta memonyongkan bibir. Lagaknya sok aktivis.

Elmo duduk di sebelah Aze. Mukanya harap-harap cemas playboy kabel.

“Ze... Aze marah ya? Nanti pulang bareng Elmo kan?”

“...anak autis punya kemampuan...” gumam Aze tidak jelas membaca judul koran.  

Elmo memaksa dirinya tersenyum demi penegasan senjata bujuk rayu yang akan segera dia operasikan.

“Mmm... K-CO  oke? Abis dari sini?”

“Gelombang laut naik 3 meter, warga pinggir pantai waspada.”

“Aze, kalo marah beneran maafin Elmo ya,” Elmo memelas.

“Pelantikan gubernur tidak perlu dipersoalkan. Jakarta banjir--! Heh, ngomong apa, Kang?”

Elmo duduk di hadapan Aze. Ia menunduk dengan penuh penyesalan. 

Hati Aze berdesir ketika wajah itu diangkat.

“Maafin Elmo Ze. Aze ngerti kan Elmo masih gak bisa nguasain emosi Elmo—”

“Maaf... Maaf... Kamu kira segampang itu?” sela Aze lantas buang muka. Diucapkannya itu tanpa lebar-lebar membuka mulut. Aze berusaha untuk tidak menatap wajah Elmo. Susah untuk tidak jatuh hati pada ekspresi seinosen itu. Sekali-kali memang bocah ini harus diberi pelajaran.

“iya... Elmo paham Aze marah. Elmo... emm...’

“Apaan sih? Cepetan ngomong yang bener!” Keketusan yang ditumpahkan Aze merupakan buah dari gejolak perasaannya yang tidak menentu ini. Antara pertahanan diri dengan perasaan yang mulai sedikit trenyuh. Aze berprinsip ia takkan mudah digoyahkan begitu saja.

Elmo menatap Aze lekat, seolah sedang menghimpun keyakinan untuk mengutarakan sesuatu. Jari-jarinya terlipat menutupi mulutnya. Aze memandang sekilas pada Elmo dan segera buang muka lagi karena jengah oleh tatap itu.

“Aze...” Elmo mencoba meraih tangannya. Aze refleks menariknya. Sebelum Aze sempat menyemproti Elmo lagi karena perlakuan itu, tangan Elmo menahan bahu Aze, “Elmo nggak bisa nahan diri... Elmo bingung kalo Aze nggak ada.. ”

Aze tak bisa bergerak. Tak bisa berucap. Di satu sisi Aze menyadari bahwa apa yang Elmo katakan itu tidak benar. Oke, mungkin dia tulus. Mungkin dia sungguh-sungguh. Tapi itu tidak benar...

Aze mencoba memahami serentetan interaksi dan pengetahuannya tentang Elmo sejak datang musibah itu hingga saat ini. Sebetulnya hal ini sudah sering ia pikirkan sejak bermalam-malam lalu.

Oh, jangan mulai lagi Elmo. Jangan mulai dengan segala kesenduan itu yang siapa sih yang nggak akan luluh gara-gara itu?! Aze marah pada dirinya sendiri karena pertahanannya runtuh perlahan.

“Oh. Iya. Nggak papa,” ucap Aze akhirnya, kaku. Sebetulnya keenakan banget buat si Elmo kalau yang tadi itu bukanlah apa-apa buat aku.. Anjrit! Anjrit banget!

Danperasaaniniapakahnamanya..

“Aaah... Aze keliatannya masih marah!” Elmo merengek.

“Nggak. Nggak marah kok. Bener. Suer.” Aze bangun dari ketertegunannya.

“Aze kek nggak tulus...”

“Ih kalo kamu rese gitu terus aku marah beneran lo.”

“Iya! Nggak gitu-gitu lagi deh...”

“Ya udah, ayo bangun! Cepat menyingkir!” Aze segera berdiri. Ia tidak ingin Elmo sempat menangkap perasaanapakahininamanya yang begitu kuat mengharu biru jiwanya.          

 

5

Beberapa bintang muncul mempercantik malam namun masih kalah gemerlap dengan pencahayaan kota di bawah jam 9 malam. Dalam Yaris, Aze dan Elmo sedang larut dalam perasaan masing-masing.

“Aze, tadi di sekolah ngapain aja?”

Elmo berharap dengan pertanyaan itu Aze akan terpancing untuk menceritakan segala kejadian yang menarik hatinya di sekolah dan supaya ia tahu kalau kalau ada oknum yang ingin merebut Aze darinya.

Aze mampu meredam emosi jiwa Elmo. Elmo ingin sering bareng Aze. Segalanya teredam.

“Mmm, ya gitu deh.,” jawab Aze.

“Ah, ayo cerita dong.”

“Nggak ah!”

Terdiam.

“Elmo, udah nyobain rotinya Roti Ngomong yang di dalamnya ada blueberrynya gak? Yang rasanya kek permen. Enak loh.”

“Ya nanti atuh kapan-kapan kita beli.”

“Punya uang gitu?” Aze mencoba mencairkan suasana.

“Ah, gampanglah.”

Yaris Elmo berhenti di depan rumah Aze bersamaan dengan beberapa orang tamu keluar dari dalam dan pergi sesudah mengucapkan basa basi terakhir dengan orangtua Aze. Yang mana mereka terpaku dengan wajah horor di teras rumah ketika menyaksikan Elmo membukakan pintu untuk anak gadis sulung mereka. Aze turun dan tak menyangka adegan yang jarang dilakukan Elmo untuknya itu akan disaksikan orangtuanya. Wajahnya sepeti habis kena teror. Elmo yang menyadari ada orangtua dengan profesional tesenyum sopan sebelum  kembali duduk di kursi pengemudi. Oh, ya, dia sudah biasa melakukan itu.

Sepeninggal Elmo adalah anak beranak saling tatap dalam kebengongan yang penuh horor dan teror. Ketika Aze masuk ke dalam, orangtua Aze mengekor di belakangnya seakan Aze adalah anak kandung mereka yang baru kembali setelah sekian lama diasuh keluarga kerajaan.

“Itu pacar Yana?” tanya mama Aze kaku.

“Bukan,” jawab Aze. “ Kakak kelas.”

“Yang waktu itu diusir orangtuanya?” tanya papa Aze mesem-mesem sambil duduk di sofa kebesaran. Aaa, anakku sudah besar. Papa Aze terpikir sehabis ini ia akan menginventaris kekayaannya dan pikirannya itu langsung berasosiasi pada resepsi pernikahan sederhana di rumah dengan meminjam sebagian halaman rumah tetangga.

“Ya gitu deh!” jawab Aze singkat dan segera masuk kamarnya. Hatinya gundah gulana dan tak sengaja pintu terbanting. Kedua orangtua berang seketika dan suasana rumah yang awalnya mulai bernuansa rapat keluarga yang anak gadisnya beranjak matang menjadi buruk.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain