Rabu, 20 Agustus 2008

Starbucks itu Bukan Warteg, Tolong Ya....

1

“Tak sengaja... lewat depan rumahmu...”

Trista membuka matanya pelan-pelan. Sadar dari mimpi buruk yang barusan membuat adrenalinnya terpacu dengan sangat kencang.

“Ku melihat... Ada ... Tenda Biruuuuuuu...”

“...”

“TANPA UCAPAN, DIRIKU KAU TINGGALKAN!!!!”

Trista menggapai-gapai meja kecil di sebelah tempat tidurnya dan meraih segelas air mineral yang selalu tersedia di situ. Lalu menelan berteguk-teguk air putih untuk melumuri tenggorokannya yang terasa sakit dan kering.

“TANPA BERDOSA...[1],”

Trista beranjak dari pembaringannya dan berjalan menuju sumber suara itu.

“Mario, bisa gak sih kamu berhenti nyanyiin itu?” ujar Trista. Ia sudah tiba di pintu kamar Mario, adik semata wayangnya yang ia sayang. Belum lama ini kekasihnya pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, ke alam baka. Dan tak akan kembali lagi. Mario bukan lagi berada di ambang depresi. Ia malah sedang berkubang di dalamnya. Menangisi kepergian orang yang paling dikasihinya selama ini. Yang paling dikasihinya itu selain papa, mama, dan kakak-kakak plus om-om, tante-tante, dan sepupu-sepupunya yang tajir-tajir tentu saja.

“Sudahlah, bendera kuningnya aja bahkan udah dicopot...” Trista mengelus-elus kepala Mario dengan sayang. “Udah ya, Mbak harus siap-siap mau ke Starbucks, ada janji. Kamu mau ikut?”

Mario tidak menjawab. Masih memeluk lututnya, mengisap jempol, dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan nelangsa. Badannya bergerak mendekat ke kaki lalu menjauh lagi, kedua tangannya terangkat ke atas, sambil mengerang, “Masa depaan.. masa depaan..,”

“Mau titip?”

“Masa depaan.. masa depaan..,”       

“Ya udah, kalau nggak mau jangan nyesel.”

Trista menutup pintu kamar adiknya. Siapa sangka, keluarga nyaris sempurna yang dimiliknya, yang seharusnya tidak punya satu masalah pun untuk dikeluhkan, ternyata sanggup bertekuk lutut hanya karena cinta.

Ah, Elmo...

 

2

Trista sempat deg-degan selama perjalanan ke Papier Shelter. Ia diantar oleh sepupunya, Ramon, dengan Audy hitam. Ia cemas, takut dan gelisah kalau-kalau apa yang akan dialaminya nanti sama persis dengan mimpinya.

Jangan. Jangan sampai terjadi. Ia memegang pelipisnya.

Are you okay, Sis?” Ramon melirik Trista sekilas. Ia harus berkonsentrasi mengemudi. Sudah lama sih sebetulnya, SUV-nya dulu pernah masuk sawah dalam sebuah insiden mengerikan yang tidak direncanakan. Akibatnya SUV tersebut harus masuk bengkel. Namun karena sudah ketinggalan zaman sebelum selesai diperbaiki akhirnya ia ganti deh. Audy yang ini punya Trista, bukan punyanya. Mobil punya dia lebih canggih, ada kolam renangnya segala.

“Oh, diamlah!” sergah Trista. Ramon tak berkata apa-apa lagi.

Untungnya selama perjalanan ke Starbucks yang terjadi lain dari yang diimpikan. Meski tidak lebih baik dari isi mimpi buruknya, setidaknya tak ada razia dan KTP dengan tulisan ‘STATUS: KAWIN’.

Tunggu, dia belum memeriksanya

Dia harus memeriksanya. Harus.

Begitu berhenti di lampu merah dengan body language yang tetap terjaga Trista meminjam dompet Elmo.            

“Cuman liat-liat aja, kok. Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa...” Trista sok ngambek. Elmo jadi tak enak.

 Elmo merogoh saku jinsnya dan menyerahkan dompetnya pada Trista. Cewek tersebut cepat-cepat mengecek kartu-kartu yang ada. ATM. SIM. KTP...

 

STATUS : BELUM KAWIN.

 

Fiuhh...

Trista mengembalikan dompet Elmo pada pemiliknya.

“Buat apa sih, ngeliat KTP?”

“Mmm.. Impulsif. Gak tau kenapa?”

“Impulsif artinya apa, Elmo?”

“Nggak tau.”

Hening.

“Aze punya KTP juga?” Trista memecah keheningan.

“Belum bikin....”

“Oh... ya, baguslah..” Trista lega. Memikirkan kembali kenapa ia harus ke Starbucks.

Mengembalikan ingatan Elmo yang hilang akan momen-momen berharganya bersama Trista.

Ah, iya, tentu saja.

Trus kenapa tiba-tiba ada cewek yang namanya Aze? Jadi untuk apa ia pergi ke Starbucks cuman buat jadi kebo congek, pakai harus nraktir mereka berdua segala?

Tidak tahu. Tidak tahu.

Tahu-tahu mereka sudah sampai di Starbucks BIP.

Sebelum memasuki Starbucks-nya saja kepala Aze sudah mendongak. Sambil mangap ia terperangah dan melihat ke sekelilingnya. Mengamati mesin pembuat kopi, orang-orang yang sedang ngopi di sana, apa saja yang ada di meja mereka, musik yang mengalun lembut... Emang sih, Aze sering main ke mal ini bersama teman-temannya. Tapi biasanya mereka ke atas, cuma beli pernak-pernik murah buatan Cina di toko-toko berdekor pink.

Trista mendahului mereka ke counter, di mana berjejer para barista yang siap meracik kopi. Salah satu barista tersenyum begitu Trista mendatangi. Dia menyapa Trista dengan cara yang lebih akrab dari sekedar sapaan seorang pembuat kopi kepada seorang pelanggan tidak dikenal tapi berkantong tebal. Aze dan Elmo berdiri diam-diam saja menunggui Trista mengobrol. Lagi sepi ini.

Saat itulah Aze merasakan dorongan gila yang tidak salah lagi timbul karena habis nonton drama Korea. Dengan Trista mendahului mereka, Elmo bertindak sebagai penengah, ia berdiri menghadap punggung Elmo. Aze memelototi punggung Elmo dengan jantungnya hampir melompat ke mulut karena berdebar keras. Samar-samar terhirup wangi tubuh Elmo.

Oh Tuhan, lindungilah hamba-Mu dari godaan setan yang terkutuk.

.

“Pesen yang biasa, ya,” kata Trista, lalu ia berbalik pada pasangan yang menyertainya.

“Aze pesen apa?”

“..”

“Mm?”

“Euh, kopi. Kopi..”suara Aze entah kenapa terdengar takut.

“Iya, yang mana?”tanya Trista dengan gaya cewek antagonis sinetron yang sesuai.

“Eh, itu aja deh, yang pink, kayak yang punya orang itu,”kata Aze sambil menunjuk gelas di atas meja dekat mereka. “Itu jus jambu kan yah?”

“Bukan Aze, itu Frapuccino Ice Blended rasa Raspberry,” Trista memberikan senyum charming-nya yang harus selalu ada kapanpun dan di manapun pada Aze. Orang yang dituju merasa itu teror, bukan senyum.

Aze terhenyak. Oh, memang ini bukan tempatku. Seharusnya aku pergi saja...

 

3

“Jadi, udah berapa lama kalian jadian?” Trista membuka topik begitu mereka duduk.

“Berbulan-bulan,” kata Aze mantap.

Sebagai anak SMAN Bilatung, SMA terfavorit di Bandung, itu bukan jawaban yang bagus, batin Trista sinis.

“Sebetulnya hari ini tepat 4 bulan kita jadian, Aze...” jawab Elmo sendu karena ceweknya sama sekali tidak ingat.

“Oh, ya?!” Aze tampak terkejut. 

“Ya, masak Aze nggak sadar sih, setiap ulang bulan Elmo kan selalu ngajak Aze keluar makan enak?”

“Aku taunya sebulan sekali semenjak jadian Elmo selalu ngajakin aku ke warung timbel di jalan Sungaibekas tea...”

Trista tak bisa menahan tawanya. Namun ia tetap berhati-hati agar tak tersedak kopinya. Kalau kopinya sampai keluar lagi lewat lubang hidung itu bakal jadi aib yang paling memalukan.

“Ah, masak... yang bener? Si Elmo?” sahut Trista tampak tak percaya. Ia ganti menatap Elmo dengan pandangan menohok sejak-kapan-kamu-jadi-begitu-kampungan?

Elmo mengelap kacamatanya dengan ujung kemeja dengan hasrat ingin mati.         “Kita kan nggak bisa terus-terusan di atas. Kita juga harus merakyat, sekali-kali mencoba menyelami kehidupan masyarakat bawah. Elmo mau jadi wakil rakyat katanya, jadi dia harus latihan hidup susah dari sekarang...” Aze mencoba menyelamatkan Elmo dengan alasan yang dianggapnya bagus. Tapi tak urung dia masih merasa harus duduk sejauh-jauhnya dari Elmo.

“Ah iya?” Trista mengeluarkan ekspresi seakan-akan hal itu merupakan hal paling tragis yang bisa terjadi dalam panggung kehidupan.

Coba kalau dia menikah dengan aku, aku bisa bujuk papa buat kasih dia posisi bagus di perusahaannya dan dia nggak perlu hidup melarat, pikir Trista.

Hey, kenapa aku mikirin si Elmo menikah sama aku? Sadar Trista kemudian.

Apakah ini... takdir? Apakah takdir ini aku yang menyadarinya duluan? Jadi... apakah aku benar-benar bakal menikah dengan Elmo suatu saat nanti...?

Trista tidak menyadari bibirnya telah melengkung membentuk senyum sinis.

“...karena itulah aku juga nyoba buat ikutan hidup susah juga...” sebenarnya nggak udah ikut-ikutan Elmo hidup susah juga aku emang udah hidup susah... lanjut Aze merana dalam hati, tentu saja tak terlihat di luarnya.

“Hah, kenapa?” tanya Trista heran. “Kenapa kamu juga ikut-ikutan?”

Tiba-tiba Elmo dan Aze sama-sama mengulas senyum terkembang di bibir mereka. Menyebarkan hawa beracun bagi Trista. Mereka jadi seperti malu-malu kucing menjijikan. Pipi Elmo nge-blush dan menimbulkan debar jantung Trista meningkat dua kali lipat.

.

Sekonyong-konyong Aze merasa canggung dan risih. Ini salah satu saat di mana Aze teringat bahwa mereka pacaran, dan itu tidak sama dengan berteman. Juga, ya ampun, tadi pas di kasir itu apa yang dia rasakan? Aze cepat-cepat menyingkirkan perasaan jengahnya dan kembali bersikap bahagia dan kasmaran sebagaimana seharusnya.

“Mmm... Elmo janji sama aku. Katanya kalau dia udah lulus kuliah... mmm... Elmo, kamu ah yang terusin!”

“Ah, nggak ah! Apaan sih, kok kamu bilang-bilang?” Elmo jelas-jelas malu sambil mengenakan kacamatanya kembali. Tapi tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan yang seketika muncul karena ceweknya mengungkit hal paling penting dalam hidupnya itu.

Senyum yang sedari tadi menempel di wajah Trista memudar pelan-palan. Sepercik dugaan muncul di benaknya. Dugaan mengerikan yang tak ingin ia bawa ke permukaan. Namun dorongan impulsif yang menang. “Apa? Kalian mau menikah?”

Aze dan Elmo agak terkejut menerima kenyataan bahwa Trista bisa tahu rencana besar mereka. Tapi mereka kembali terjun dalam kebahagiaan yang sejenak tergantikan itu.

“Ya, kalau uangnya udah cukup, dia...,” Aze menunjuk Elmo, “Mau beli cincin dan kita tunangan dan... kayak di film-film itu loh.”

Aze tidak meneruskan. Karena orang yang ingin diberitahu sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya.  Dengan gugup ia membentur-benturkan kedua ujung telunjuknya di depan dada.

Trista seakan meninggalkan dunia yang sedari tadi dipijakinya. Kegelapan mulai menyelimuti dunia sekitarnya. Isi kepalanya blank. Ia bahkan lupa berapa hasil 9 x 9, draft teenlitnya...

Tadinya ia ingin mencabut meja di hadapannya hingga mur-murnya terlepas dan memporakporandakan seluruh isi Starbucks. Membanting-membantingnya, memukuli pasangan memuakkan di hadapannya. Tapi pikiran sehat yang untungnya tertinggal di kepala ketika isi kepalanya tiba-tiba blank tadi mengatakan, “Kalau kamu melakukan itu, malah membuat keduanya ketakutan dan saling berpelukan. Aze akan berkata tanpa daya, ‘...save me, Elmo, i’m so scared...’. Elmo akan memeluknya semakin erat untuk melindunginya...dan... seterusnya bisa kamu bayangkan sendiri, kamu kan pengarang hebat. Bukan pemandangan yang kamu inginkan, bukan?”

Ya, benar. Akhirnya Trista berusaha tersenyum selebar mungkin meskipun urat-urat sudah bertonjolan di pelipisnya—malah membuatnya terlihat seperti Joker—dan berkata dengan nada yang ditulus-tuluskan, “Wah, selamat!”

Setelah itu Trista merasa ada teflon sebesar dan seberat gong menghantamnya. Bunyinya keras dan sangat memprihatinkan. Tubuhnya terhantam di dinding yang remuk. Tidak—tidak, seharusnya Aze yang berada dalam posisiku kalau begitu...

Tiba-tiba Trista berdiri dengan gelisah.

“Aku harus ke toilet!”

“Wah, semangat amat...,” komentar Elmo.

Tuhan... tolong bantu aku membedakan mana yang ilusi dan mana yang nyata!!! Jerit Trista pedih dalam hati sambil berlalu.

 

4

Malam menyelimuti bumi. Beberapa keluarga tidur kelaparan karena tidak punya minyak untuk menggoreng lauk makan malam. Tidak begitu di rumah Elmo. Elmo tidak menyadari bahwa seharusnya ia bersyukur pada Tuhan Yang Maha Pengasih. Orangtuanya masih punya anggaran buat beli minyak goreng. Sehingga Elmo punya lauk makan malam lezat temannya nasi. Sehingga dia tidak kelaparan dan bisa belajar semalam suntuk dengan perut kenyang. Penyebab insomnia akut yang membuat Elmo terlihat seperti vampir dengan lingkaran mata menggantung seperti jamur pagi harinya.

Elmo belajar dengan semangat berjuang yang tinggi. Belajar buat SPMB tahun ini. Belajar buat masuk jurusan STEI Institut Top Banget. Padahal Elmo sendiri tidak punya gambaran lulus dari situ dia mau kerja jadi apa. Dia tidak terlalu ngebet pula jadi manajer atau direktur. Jadi mahasiswa  STEI Institut Top Banget udah keren banget. Dan pastinya, bangga!

I can’t sleep tonight/Everybody’s saying everything is alright/Still i can’t close my eyes/I’m seeing a tunnel at the end of the light[2]

Elmo meraih hapenya yang bernyanyi dan melihat nama yang tertera di LCD. Hampir aja dia menjatuhkan hape tersebut. Begitu ingat harga hapenya ini mahal dia langsung sigap menangkap sebelum hape hancur berderai menubruk lantai.

Ya, Elmo panik mengetahui siapa yang menelponnya itu. Nomor itu belum dia hapus dari phonebook hapenya walaupun ia sudah mengganti nomor. Sebenarnya dia kan sudah bertemu, bahkan memberikan nomor hapenya yang baru, dengan pemilik nomor ini tadi , tetapi tetap saja dia bingung sebaiknya dia menerima apa tidak. Antara takut, malu, dan pikiran rasional yang tidak mempedulikan perasaan yang bertanya, kenapa harus panik sih menerima panggilan dari sahabat lama? Kesalahan lo kan cuman nggak lulus SPMB dan itu bukanlah aib sepanjang masa karena kegagalan merupakan...

Elmo menekan tuts bertuliskan ‘yes’ setelah menyuruh rasionalitas-tukang-bacotnya untuk kalem bentar.            

“Halo.” Elmo berusaha menjaga agar suaranya tidak terdengar gugup. Elmo merasa kurang berhasil.

Terdengar suara lembut dari ujung sana. Suara yang bisa menaikkan gairah pria mana saja. “Elmo...”

“Ng... Trista... kenapa? Ada apa?”

“Aku mau minta maaf. Tadi tiba-tiba aja aku pulang nggak bareng-bareng kalian.”

“Oh, nggak papa...”

“Trus habis aku pergi kalian ngapain aja? Cerita-cerita dong...”

Maksud Trista : “Kalian gak ngapa-ngapain kan abis itu?”

“Mm... kita ini kok, tadinya sih mau nonton DVD Sponbob bareng di rumah Aze. Tapi nggak tau kenapa si Aze tadi kayak linglung, pengen cepet-cepet pulang. Agak aneh dia, karena keracunan kafein kali, hehehe...”

Trista mencengkram gagang telepon erat-erat. Tak peduli kuku mengkilapnya tergesek. Cepat-cepat ia mengganti topik sebelum obrolan satu arah ini berakhir dengan segera.

“Kok belum tidur sih?”

“Ng, Elmo lagi... lagi mau tidur.” Elmo bohong. Tengsin dia kalau mesti bilang lagi belajar buat persiapan SPMB. Bilang belajar saja juga tak mungkin. Belajar. Belajar buat apa? Buat kuis Kalkulus II besok? Lulus SPMB aja nggak, udah main Kalkulus aja.

“Oh... Trista kira Elmo masih kena insomnia akut.”

“Gak... kok.” Elmo tak yakin. Susah jadi pria jujur.

“...kalau gitu Trista ganggu, ya?” Suara Trista seperti bersalah dan termenung.

.

Di ujung sana Trista berprasangka jangan-jangan cewek-tidak-berselera pacar barunya Elmo itu telah mengobati insomnia Elmo. Tapi dengan apa? Sebagai pengarang teenlit Trista berasumsi jawabannya adalah dengan...

Cinta.

W—what?!

Trista cepat-cepat menepis bayangan yang mulai membentuk balon di atas kepalanya. Tidak mungkin! Trista! Kenapa bisa-bisanya kamu coba-coba membayangkan hal rendahan seperti itu?!

The spirit of positivity muncul perlahan di batin Trista. Mengusir kegalauan hati nan psychedelic.

“Trista? Kamu kok terdiam gitu?” suara Elmo terdengar kembali samar-samar makin jelas dari kejauhan, semakin menariknya ke dunia nyata lagi.

“Entahlah, Elmo. Akhir-akhir ini aku suka agak-agak...” Trista mencari-cari kata yang tepat untuk mengungkapkan maksudnya... well, yah... agak-agak... agak-agak seperti penderita schizophrenia...

“Agak-agak kenapa?” kepedulian Elmo pada Trista perlahan muncul. Ibaratnya orang pingsan, saat mendapatkan kembali kesadarannya ia akan menggerakkan jarinya sedikit setelah itu diam lagi. Seperti itulah.

Trista bingung. “Ehm... yah... just... agak-agak...” Titik. “ Well, aku pingin tahu, apa rahasianya kamu bisa mengobati insomnia kamu. Karena akhir-akhir ini aku kayaknya mulai kena...”

Ya, gara-gara aku mikirin kamu terus, Elmo...

“Hehe, ketularan Elmo apa, ya? Elmo gak tau kenapa bisa insomnia Elmo bisa ilang. Sembuh sendiri meureun.”

Sementara Elmo mengoceh terus di sana untuk menutupi kebohongan demi kebohongan yang akhirnya keluar tanpa bersalah dari mulut pemiliknya, Trista menatap penuh kenestapaan. Sebenarnya Trista ingin berteriak pada Elmo. “Elmo! Kenapa kamu jadi begitu? Kenapa kamu harus nggak lulus SPMB? Kenapa kamu harus berhubungan dengan cewek yang seperti itu dan bukannya denganku? Kurang peduli apa aku padamu?!”, tapi itu akan terasa sangat  tidak sophisticated.

Satu hal yang sebenarnya sangat menggalaukan Trista adalah pertanyaan terakhir karena orang bilang cinta mengalahkan segalanya. Oke, Trista hanya ingin tahu kenapa Elmo bisa begitu tertarik pada gadis macam Aze. Secara level mereka beda banget gitu loh. Namun Trista tak kuasa berkata-kata. Ia tak bisa mengungkapkan sesuatu segamblang itu. Yang ia bisa ungkapkan dari dalam dirinya pada dunia adalah kata-kata indah sebagai pengantar ke dunia angan-angan. Ia tak tahan dengan hal-hal seperti kemiskinan, kejelekan, keburukan, dan sebagainya. Hal-hal yang ia rasakan dari aura yang dipancarkan gadis-gadis macam Aze. Okh...

“Trista, kok kamu jadi suka diem gitu sih?”

Yang sebenarnya mau dikatakan Elmo adalah: “Trista, kamu tau nggak kalau waktu yang kita pakai buat teteleponan ini bisa Elmo manfaatkan buat ngerjain 3 soal fisika SIPENMARU?”

“Trista, udah ya? Elmo besok shift 1 nih.” Kali ini Elmo jujur.

“Maaf ya, Elmo, Trista udah ganggu...”

“Gapapa kok. Kalau kata Elmo mah Trista jangan terlalu stres ma kuliah, ma kerjaan Trista yang lain juga. Jangan banyak pikiran.”

“Iya, Elmo, makasih ya.” Trista menyalakan satu lilin aromaterapi lagi dan menghirup asapnya begitu tampak cahaya api lilin yang merah kekuningan.

“Oh ya, Elmo. Kapan-kapan kita jalan-jalan berdua lagi yuk, kayak waktu SMA dulu. Kangen deh. Just the two of us,“ ujar Trista dengan suara tabah. Waktu SMA dulu meski Elmo udah punya pacar tapi Elmo selalu mau menemani Trista jalan-jalan berdua dan itu tak pernah jadi masalah karena hubungan mereka berdua waktu itu hanya sebatas sahabat. Orang-orang dengan naifnya tidak ada yang curiga.

Jawaban Elmo kemudian sungguh mengejutkan Trista. “Nggak ah.”

Trista, “Hah?—E—eh, yah, nggak papa deh.”

“Ehm, maksudnya nggak untuk sekarang-sekarang ini. Maaf banget ya, Tris.” “Oke. Lain kali lagi aja. Dadah, Elmo.”

“Dadah... Eh, ya, Trista, kamu masih hapal nggak teori tentang kecepatan suara di ruang vakum?” ternyata Elmo sudah sibuk lagi dengan soal-soalnya.

Perlahan Trista memutuskan sambungan telepon.

Di sebelah kamarnya terdengar sayup-sayup seseorang memainkan piano.

Satu lilin aromaterapi lagi deh.

Sementara itu Elmo tengah mengingat-ingat lagi apa korelasi antara pegas, beban, gesekan, gaya gravitasi, momentum dan relativitas, karena semua itu ada dalam satu soal yang sedang dihadapinya, sambil memandangi hape. Menunggu apakah benda itu akan berjoget lagi meski Elmo sebenarnya sungguh ingin melupakan masa lalu.



[1] Desy Ratnasari – Tenda Biru

[2] Travis – Why Does It Always Rain on Me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain