Senin, 24 November 2008

Makan Langit-langitmu

Bagaimana ia dapat melukiskannya ya. Lukisan yang berisi apa yang dirasakannya saat ini. Ia hanya mematung dengan dagu menggantung di meja belajar. Alat tulis, kertas folio, buku praktikum, textbook-textbook kuliah... Benda-benda lain semacam itu yang terletak di sana dan sini kamar adalah seperti apa yang ada dalam dirinya.

Ia menghela nafas. Dinyalamatikannya lampu temaram. Kegelapan meliputinya selama beberapa detik lalu segera digantikan lagi oleh remang-remang selama beberapa detik. Dibiarkannya kepalanya jatuh hingga menindih kuping sehingga ia bisa melihat buku praktikum berwarna pink itu. Pink itu lembut. Tapi pink yang ini merisaukan. Ia mengganti arah sehingga yang ditatapnya adalah jam weker. Pukul sembilan kurang di mana kesunyian mulai melanda. Sekitar dua belas jam dari sekarang ia harus berlari menyusuri koridor, masuk ke dalam laboratorium, dan meletakkan buku itu pada tempatnya sehingga saat hari praktikum acara selanjutnya tiba ia bisa mendapatkan buku itu kembali ke tangannya dengan angka puluhan tertera di sudut kanan suatu halaman. Tidak bisa dipungkirinya bahwa berapa besar pastinya angka puluhan itu kerap terpikirkan juga.

Dibalikkannya kepalanya ke arah sebelumnya. Dengan jari-jari ia buka-buka halaman per halaman buku praktikum itu. Lalu ditutupnya. Kepalanya dipalingkan ke arah lain.

Bangkit lagi kepalanya. Ia ambil buku ilustrasi itu. Ia buka halaman per halaman. Buku ilustrasi itu isinya ratusan halaman tanpa garis. Sebagian besar darinya telah terukir oleh pensil; variasi garis yang membentuk rangkaian imaji.

Ia menggambar kepala orang dengan ekspresi wajah muram. Ketika sudah selesai menggambar setengah badan, ia berhenti. Ia menggambar lagi orang yang sama tapi dengan ekspresi yang berbeda. Orang itu digambarnya memegang korek. Beberapa jauh dekat kaki orang itu (ia tersenyum ketika bisa menggambar kaki dengan garis yang sempurna sehingga sepasang kaki itu bisa tampak proporsional) digambarnya sebuah buku yang sedang terbakar api unggun. Ia meraih buku praktikum pink itu. Dicermati sebentar cover-nya. Diletakkannya kembali sementara ia mulai menyalin apa yang barusan dicermatinya pada buku yang sedang terbakar api unggun itu. Sekali-kali diraihnya kembali buku praktikum pink itu untuk memastikan bahwa apa yang telah digambarnya telah mirip. Orang pada gambar ia berikan ekspresi sadis. Kedua alis terangkat ke atas. Mulut menyeringai lebar. Ia gambar balon suara besar-besar di atas kepala orang itu dengan bingkai garis naik turun. Tulisannya: “MMUUHAHAHHAHAHHAA...!”

Tanpa sadar ia mengikuti ekspresi orang yang digambarnya itu. Lalu ingatannya melayang dan melayang...

 

Ibu sudah lewat beberapa kali kamarnya.

“Kamu sudah makan belum?”

Setiap kali ibu mengintip ke dalam kamar melalui pintu yang terbuka sedikit, ia cepat-cepat menutup buku ilustrasinya.

“Istrirahat dulu gambarnya. Makan dulu.”      

Melihat ibu pergi lagi, pelan-pelan ia membuka lagi buku ilustrasinya.

“Kalau di dalam kamar gelap, di luar saja gambar-gambarnya. Di luar terang gini kena matahari kok malah gelap-gelapan. Nanti matanya rusak!”

Sehabis ibu pergi, ia benar keluar kamar tanpa membawa buku ilustrasinya. Tak pernah ia akan melakukan itu. Buku ilustrasinya... buku-buku ilustrasinya yang gembung karena lembaran-lembarannya penuh terisi dan semua itu ada di atas lemarinya.

Orang bijak bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit-langit, karena jika kamu menggantungnya di langit, kamu tidak akan pernah bisa mencapainya. Kecuali kalau kamu punya kesempatan untuk menaiki roket. Jadi buku-buku ilustrasinya itu ia taruh di atas lemari. Akan tiba saatnya tumpukan itu meninggi sampai menyentuh langit-langit. Tapi mungkin juga tidak. Bagaimana kalau itu ternyata bukan cita-citanya?

Sambil mengunyah, ia pandangi lemari di seberangnya. Pada lemari itu terdapat selembar piagam penghargaan dalam bingkai berdebu; didapatkan karena partisipasinya dalam lomba melukis antar SD dalam lingkup nasional. Ia ingat bahwa ia sudah merasa puas dengan juara harapan III. Bukan itu cita-citaku. Aku ingin yang tertumpuk di atas lemariku hingga berhimpit dengan langit-langit, bersanding dengan buku-buku ilustrasiku yang tinggal membutuhkan beberapa buku lagi untuk mencapai langiit-langit, adalah diktat-diktat kuliahku di Kedokteran. Lemariku pun bukanlah lemari dari kayu ringan murahan yang selalu menghasilkan banyak serbuk di lantai yang membuat kamarku kotor, tapi lemari dari kayu jati! Kalau bukan cendana atau eboni... Matanya kini sedang menekuri halaman koran yang menampilkan iklan mebel dari kayu.  

 

Tampangnya sekusut rambutnya.

“Kamu tuh mau masuk Kedokteran ngapain?”

Jika ia hendak menggambarkan adegan ini dalam buku ilustrasinya nanti, tentu ia akan menambahkan banyak warna merah untuk api yang menjalar di sekeliling tubuh manusia kurus gondrong berkumis lebat ini. Mungkin ia bisa menggambarkan sesajen berupa bunga-bungaan dan kepala kerbau untuk menambah kesan lain.

“Ya jadi dokterlah!”

“Untuk apalah kamu jadi dokter itu? Kamu takkan tahan. Ayah tau dalam darahmu itu mengalir jiwa yang sama dengan Ayah!”

Ia memalingkan muka; pasang tampang malas.

“Ayah, kalau aku selama 12 tahun ini belajar keras hanya untuk menjadi seperti Ayah, apa gunanya? Aku nggak mau kayak Ayah, hidup pas-pasan cuma mengandalkan lukisan-lukisan yang belum tentu laku!”

“Apa?!” Mata Ayah melotot. Cuping hidungnya mengembang. Warna merah sudah tak tepat lagi untuk menggambarkan adegan yang akan dicatat dalam buku ilustrasinya ini nanti, melainkan warna ungu!

“Mana formulir SPMB-mu itu?! Masuk jurusan Seni sajalah kamu! Kamu kira kamu bisa mengingkari takdir keluarga kita?!”

Pada halaman selanjutnya ia akan menggambar imajinasi akan ayah dari ayahnya, ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari ayah kakeknya, dan seterusnya, dan seterusnya, sampai halaman itu penuh... dan semuanya akan menjadi orang dengan tipe yang sama; dandanan nyentrik seniman gila! Ia tidak mungkin menggambarkan dirinya dengan penampilan tak terurus sebagaimana mereka-mereka yang telah menduluinya. Ia akan memakai kalung stetoskop di lehernya dengan uang terus mengalir ke dalam jas putihnya.

“Aku nggak mau kayak Ayah! Aku mau masa depanku lebih terjamin!” Ia melirik ibunya yang mengawasi pertikaian ini dengan wajah prihatin dari sisi ruangan yang gelap. Hampir semua temanku memilih Kedokteran. Mereka mengharapkan masa depan yang cemerlang. Dengan menjadi dokter kehidupan yang mapan adalah lebih pasti ketimbang memilih jalan hdup menjadi seorang seniman!

“Memangnya kenapa kalau kamu ikut jejak Ayah? Bukankah kamu tau kamu mampu?”

“Yah, masyarakat nggak membutuhkan lebih banyak seniman yang hidup jauh dari kota, nggak mengurusi masyarakat secara langsung! Mereka butuh lebih banyak dokter. Ayah baca koran nggak sih? Bencana di mana-mana! Kesehatan penduduk siapa yang mau menjaganya? Dengan menjadi dokter, kita bisa menjaga kelangsungan hidup manusia...”

Ia sadar sebenarnya pengetahuannya akan hal ini minim. Jadi ia meninggalkan arena perdebatan di mana lawan sudah akan melontarkan serangan lagi; masuk ke dalam kamarnya yang hanya mampu disinari lampu temaram. Ia membuka-buka buku ilustrasinya yang sedari tadi tergeletak di meja; merekam segala yang terjadi tanpa mampu menyajikan bukti dan komentar. Kecuali oleh tangan kanan yang lihai mengisinya beberapa kali dalam sehari. Ketika halaman demi halaman buku itu terbuka, sebagian besarnya adalah api merah yang menusuk mata dengan tanggal pembuatan yang berbeda-beda. Beberapa jauh dalam dada pembuat gambar-gambar itu seakan tertusuk benda tumpul saat melihat gambar-gambar itu.

 

Ayah menepuk-nepuk kepalanya.

“Baik-baiklah kamu di kota ini,” katanya.

“Kembali kalau sudah jadi dokter ya.” Ibu tidak bisa menyembunyikan kesedihan bercampur haru.

Ia hanya mengangguk-angguk, mengiyakan segala macam nasihat ini itu dari kedua orangtuanya. Dipandanginya adik-adiknya yang menatapnya dengan polos. Ayah dan ibu kini tak usah merisaukannya lagi. Risaukan saja mereka yang masih kecil-kecil itu. Mereka pun masuk ke dalam mobil mungil reyot itu, yang akan kembali melakukan perjalanan lintas pulau. Betapa jauh dari mata kampung halaman. Namun inilah kampus Kedoteran terbaik di negri ini, yang telah begitu bermurah hari mengizinkan keberuntungannya mengetuk pintu. Dipasangnya muka tegar. Dikumpulkannya kembali segenap idealisme dan harapannya untuk membunuh romansa yang mulai bergolak.

Setelah melambaikan tangan sampai mobil mungil reyot itu tak terlihat lagi, ia masuk dan membuka buku ilustrasinya yang baru. Digambarnya dirinya sedang melonjak-lonjak. Kedua tangan diangkat ke atas. Mata berbinar. Tawa yang lebar. Ekspresi kesenangan. Jauh dari rumah! Kebebasan! Menjadi mahasiswa Kedokteran! Kemapanan! Digambarnya kalung stetoskop pada bagian leher. Beberapa jauh di depan orang gambarannya, selembar uang raksasa bersiap memeluk orang tersebut jika telah sampai padanya dan menghambur. Di belakang uang raksasa itu ia gambar lembar-lembar uang lainnya terpisah-pisah dengan ekspresi minta dipeluk juga.


Ia telah kembali ke masa kini. Telah digambarnya sebuah rumah. Terbuat dari bambu. Atapnya dari ijuk. Ada macam-macam ornamen menghiasi baik di dinding rumah maupun di halaman, membuat rumah itu terlihat unik dan ramai. Pada aslinya, rumah itu memang ada. Ayah, dengan segala daya kreativitasnya, yang membuatnya. Di bagian paling depan, ia gambar keluarganya saling bergandeng tangan. Ayahnya bergandeng dengan ibunya bergandeng dengan adiknya dengan adiknya dengan... Dirinya tidak di situ. Karena dirinya berada di kota ini.

Digambarnya tali berduri tengah menjerat tubuh seseorang...

Bagian muka orang itu dibekap buku tebal. Di kakinya dijerat buku tebal. Di lehernya terikat kalung anjing. Tali kalung itu dipegang oleh buku tebal. Dan ia dengan enggan sekali-kali melirik textbook-textbook kuliahnya yang bertebaran di kasur. Semua buku tebal pada gambar memiliki cover yang serupa dengan textbook-textbook itu.

Selesai dengan itu, ia menyenderkan badan sejenak pada punggung kursi sambil menutup mata. Tak lama kemudian ia buka halaman-halaman yang telah terisi sebelumnya pada buku ilustrasi tersebut. Gambar-gambar dengan tema serupa dengan apa yang ia gambar malam ini yang mendominasi. Ia berhenti pada suatu gambar tertanggal dua hari yang lalu. Gambar itu menunjukkan dirinya yang sedang menggambar. Di belakangnya ada lemari kayu reyot dengan buku ilustrasi-buku ilustrasi yang telah menghimpit langit-langit. Gundukan serbuk kayu teronggok di salah satu kaki lemari tersebut. Di samping lemari tersebut ada pigura berisi gambarnya sedang bersalaman dengan Benny dan Mice di sampingnya. Pada dua orang yang bersalaman itu, tangan yang satunya lagi memegang sebuah piagam. Bagian bawah piagam itu diisi titik-titik teratur yang maksudnya adalah tulisan yang saking kecilnya sampai tak terbaca. Namun di atas titik-titik itu terdapat rangkaian huruf yang masih dapat terbaca: “Juara Harapan III”

Tangannya bergerak lagi pada sisa halaman yang masih kosong cukup banyak. Jas dokter dan stetoskop itu terbang. Sesosoknya dari tampak belakang berlari ke arah sesosok ayahnya. Sesosoknya memegang kuas. Ayahnya memegang kanvas.

Dicoretnya gambar itu dengan sekali tarikan garis yang membelah kepala ayah. Diraihnya buku praktikum pink untuk ia sandingkan di sebelah buku ilustrasinya yang terbuka. Ia diam, mungkin berpikir mungkin tidak, sampai matanya menutup perlahan. Kepalanya lunglai dan terjatuh di antara dua buku.

 

                                                bermula dari...

istilahna mah,

krisis cita-cita euy..

23-241108.22:12


HABIS KATA #11

Ya, cerpen ini berasal dari krisis cita-cita yang saya alami. Saya memilih sendiri jurusan saya di kampus. Saya tidak berminta masuk ke jurusan tenar meski orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya masuk ke jrurusan tenar? Setelah setahun lebih saya kuliah, saya mengalami suatu kebingungan yang amat merisaukan yaitu, selulusnya saya kuliah, saya mau kerja jadi apa? Dimana? Dan sebagainya. Saya memikirkan lagi, jika dulu saya mengikuti keinginan orangtua saya masuk jurusan tenar, apakah yang akan saya rasakan?

Berangkat dari situ, cerpen ini juga bermaksud menceritakan tentang krisis cita-cita dalam kasus yang lain. Yaitu dimana orangtua si tokoh utama sudah tahu potensi anaknya, akan tetapi anaknya itu tidak menganggap itu penting. Dia merupakan korban dari paradigma masuklah-jurusan-tenar-setelah-lulus-SMA. Di kemudian hari, setelah mengalami apa yang dia penasarani dan harapkan dulu ternyata tidaklah selalu enak, dia memikirkan kembali keputusannya dulu itu sembari menyadari akan potensinya yang sebenarnya. Namun tidak banyak yang bisa dia lakukan karena sudah terlanjur basah.

Urusan potensi dan cita-cita itu tidaklah boleh sembarangan karena itu menyangkut pada ketentraman batin. Kita tidak bisa menikmati hidup kalau batin kita tersiksa, ya kan?

Sama seperti cerpen September, cerpen ini pun terjadi begitu saja. Saya mengalami kegelisahan dalam suatu hal selama berhari-hari, dan pada suatu malam di antara hari-hari itu saya luapkan. Mestilah memang sebelumnya harus ada bayangan akan bagaimana jadinya alur cerita.

Pada cerpen ini saya sadari saya banyak menggambarkan apa yang dilakukan tokoh utama, yang memang kerjaannya sukanya menggambar, dan gambarannya itu mewakili apa yang sedang dia rasakan. Saya kira cukuplah itu yang berbicara. Penjelasan-penjelasan selain itu diberikan kalau diperlukan. Cerpen ini selesai dalam sekali duduk. Setelah itu ya masih dbaca ulang dan diperbaiki dikit-dikit tapi tidak sesering cerpen-cerpen kemarin.

Oh ya, lagi-lagi saya memasukkan tokoh utama yang tidak jelas jenis kelaminnya apa. Pada cerpen-cerpen sebelumnya juga begitu. Saya malas sih menentukan si tokoh ini cewek atau cowok. Menurut saya, dalam konteks cerpen-cerpen saya ini, hal itu baru penting kalau memang dibutuhkan. Tergantung konteks cerita yang saya mau bikin tentang apaan, apakah itu membutuhkan pembedaan jenis kelamin yang jelas atau tidak. Kalau bikin novel sih mungkin sudah jelas ya. (12/31/2008)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain