Rabu, 31 Desember 2008

Ketika Rumpus dalam Moi

Kusadari sudah hingga berjam-jam aku duduk beberapa meter jauhnya dari pintu rumah kami. Rumah mungil yang menjadi bagian dari komplek gedung rumah susun ini.

Aku dan abangku adalah anak tanpa orangtua. Kami lari dan hidup berdua. Bertiga, karena sejak menemukan kebebsannya, abangku membawa si jalang itu.

Aku tak mau masuk rumah kalau ada dia. Dia di dalam, entah sedang mengapakan abangku, aku tak mau tahu. Mungkin dia adalah korban seperti kami. Tapi aku tak mau dia menjadi bagian dari kami. Membuatku malu saja. Dengan pahit harus kuakui bahwa hanya dia yang mampu membuat abangku kalem di saat masa labilnya datang.

Masa labil itu selalu datang.

Aku tak tahu ke mana harus pulang selain ke tempat ini. Namun bahkan tempat ini pun tak terasa seperti rumah. Tak ada orangtua yang menyambutmu setelah kamu melewati pintu depan, dan bertanya, “Habis dari mana saja?”

Pun tak ada yang namanya berlari-larian mengelilingi rumah bersama saudara kandungmu. Memang, aku dan abangku sudah besar. Tak mungkin melakukan itu lagi. Namun seharusnya kami bisa melakukan sesuatu yang sama hangatnya dengan itu.

Kini tak pernah. Sejak kelabilan itu menguasainya. Sejak si jalang itu datang. Aku terlalu muak untuk menceritakan asal mulanya.

Aku menghela nafas. Sampai kapankah aku harus terus di sini...? Memeluk kedua lutut dan tak tahu harus melakukan apa...

 

Abangku kalau marah buruk sekali. Buruk. Tak perlu banyak kalimat untuk menggambarkan betapa buruknya itu ketika terjadi: Seluruh barang di rumah porak poranda.

 

Tuh dengar. Abangku mulai lagi. Aku menempelkan sebelah telingaku ke pintu. Terdengar suara teriakan. Barang-barang dilempar. Ada yang pecah. Si jalang itu memekik. Mungkin dia bingung harus melakukan apa. Mungkin dia sedang tersengguk-sengguk di pojok ruangan.

Sama sepertiku, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menyandarkan punggungku di pintu dan menerawang ke langit-langit.

Ah, Abang... Abang... Bikin malu tetangga saja kau... Tak tahukah kau bahwa kita hidup bersama kumpulan manusia lainnya di rusun kumuh nan sempit ini.

10 menit... 20... setengah jam... 45 menit...

Aku tak tahan.

Memang kadang-kadang tak terdengar suara lagi di balik pintu ini. Hening. Namun mesti tak lama kemudian akan muncul suara-suara terbenturnya benda keras lagi.

Hal ini terjadi minimal dua kali dalam seminggu.

Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Tapi aku tak mau masuk kalau masih ada si jalang itu di dalam sana.

Masuk... Tidak... Masuk... Tidak...

Secepat mungkin aku menarik gagang pintu, masuk ke dalam. Dari belakang aku menarik kedua lengan abang. Ampun, tenaganya kuat sekali. Aku nyaris melayang-layang dibuatnya. Kuperkuat peganganku. Dia memberontak. Aku menoleh pada si jalang yang tengah menangis ketakutan, memberi isyarat agar dia membantuku melaksanakan rencanaku.

Dengan ragu-ragu dia mendekat...

Dalam waktu beberapa menit kami telah bahu membahu menyeret lelaki muda ini ke tempat yang telah kurencanakan.

Kamar mandi.

Kepayahan kami dengan pemberontakan yang dilakukan abang. Dia bau sekali. Bau badan. Bau alkohol. Matanya kuning. Brewokan. Menyeramkan. Aku akan membuat kami tak usah melihat keseraman itu. Beberapa bagian tubuhku telah sakit karena terantuk-antuk sikut abang dengan kekuatan besar di dalamnya. Mungkin si jalang pun merasakan hal yang sama.

Hingga akhirnya kami berhasil menyentuh ubin dingin kamar mandi.

“Balikkan dia!” seruku pada si jalang. Si jalang mengeluarkan suara payah yang keheranan. Namun tetap dilakukannya juga apa yang ku mau. Kami berhasil memasukkan kepala abang ke dalam bak kamar mandi. Bening dan dingin. Aku menekan kepala abang agar usahanya untuk keluar dari sergapan air tak berhasil. Tangannya menggapai-gapai berusaha untuk mencengkeram dan menghajar lawannya. Hanya tanganku saja yang condong ke depan, menahan kepala abang. Tubuhku kutarik ke belakang. Begitupun si jalang yang sudah terlebih dulu melakukannya. Dia berdiri ketakutan di ambang pintu kamar mandi.

Setelah abangku sudah hampir kehabisan tenaga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan meloncat ke luar kamar mandi. Tergopoh-gopoh si jalang mengikutiku. Pintu kamar mandi kubanting dan kukunci dari luar. Kuncinya lalu kumasukkan lagi ke dalam kamar mandi lewat lubang ventilasi di atas pintu.

Aku dan si jalang terduduk di luar pintu. Sebagian pantat kami menimpa keset, tak peduli betapa itu adalah benda kotor menjijikkan.

“Apa yang kita lakukan tadi...?” si jalang mendesah lemas dan gemetaran.

“Amarah terbuat dari api. Air yang mampu memadamkannya,” ucapku kalem.

Setelah agak tenang dan sengalku berkurang, aku menuju ruang tengah. Kuraih telepon. Kutekan nomor kantor polisi. Aku hendak melapor bahwa telah terjadi usaha bunuh diri di rumahku. Abangku harus segera diselamatkan. Tapi ia mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk ke sana...

 

Kucium kening abang yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Perawat telah membersihkan tubuhnya. Pakaian baunya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit yang bersih. Dia tampak damai sekali. Tak ada yang menyangka bahwa wajah ini bisa menghasilkan seringai beringas dan mulut yang terkatup itu kerap menyemburkan kata-kata kotor.

Tak lama lagi ia sudah dapat keluar dari rumah sakit. Sebetulnya aku tak mau hal itu cepat-cepat terjadi. Aku ingin mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan abangku. Entah itu dalam fisiknya, kejiwaan atau apa. Biar mereka saja yang mengurus abangku. Aku tak mau.

Ketika aku keluar kamar, kulihat si jalang berdiri di hadapanku. Penampilannya rapi dan kuakui dia tampak cantik. Dibawakannya seikat bunga.

Kuajak dia pergi dari situ untuk menuju tempat yang sepi. Dia bertanya-tanya mau dibawa ke mana dirinya. Aku diam saja. Toh dia akhirnya mengikutiku juga.

“Kamu boleh merawat abangku selama dia di sini,” kataku ketika kami sudah berdiri saling berhadapan di pinggir taman yang jarang dilalui orang ini. “Tapi aku nggak mau kamu kembali ke rumah kami lagi.”

Aku memicingkan mataku, tepat menuju ke matanya. “Kembalilah kalau kalian sudah punya surat nikah yang sah.”

Dia menatapku lekat-lekat lalu menunduk sambil tersenyum.

“Semoga abangmu cepat sembuh,” katanya sebelum aku pergi dari situ. Aku menoleh untuk tersenyum sekilas padanya sebelum aku meninggalkan tempat itu dan tak menoleh ke belakang lagi.

 

311208


HABIS KATA #8 

Saya baru membuat cerpen ini di hari deadline-nya Rombongan Cerpen 2008 ini.

Cerpen ini selesai dalam waktu yang singkat. Ide cerpen ini sebenarnya memang muncul sejak Agustus 2008 lalu dan yang mendasarinya adalah masih  suasana kemarahan yang sedang saya rasakan. Biasalah, kita manusia punya saat-saat senang, sedih, melankolis, dan sebagainya. Begitupun saat-saat marah. Segala hal bersalah dan dapat memicu kemarahan kita. Pada akhirnya ya tersimpan saja dalam dada. Jadi tema utama dari cerita ini adalah ‘amarah’. Bagaimana kita dapat memanusiakan amarah. Saya ngunduh banyak artikel tentang amarah dari google. Hasilnya memang tidak begitu banyak memberikan inspirasi sih. Namun alurnya saat itu sudah ada. Ada adegan apa saja. Tinggal bagaimana saya menuangkannya dalam tulisan. Saya telah membuat berbagai versi dari ide ini (tidak banyak sih, cuman 1–2) dan kesemuanya saya hapus karena saya tidak begitu menyukainya.

Pada bulan Agustus 2008 itu sebetulnya kegiatan belajar mengajar di kampus belumlah efektif. Seharusnya saya bisa menggarap cerita ini di bulan itu juga. Namun entah apa yang saya lakukan hingga suasana marah dalam perasaan saya pun keburu berlalu. Ketika saya ingin membuat/meneruskan cerita ini lagi, feel itu sudah tidak ada. Beberapa kali saya mencoba hingga akhirnya saya memutuskan untuk melupakan saja ide ini. Feel sudah tidak ada, cerita ini pun terasa tidak penting lagi artinya untuk digarap. Berbulan-bulan kemudian, mendekati tenggat waktu di mana Rombongan Cerpen 2008 harus segera dituntaskan, cerpen Agustus masihlah kosong. Cerpen Agustus ini haruslah yang idenya muncul di bulan Agustus 2008. Maka saya buka buku ide saya dan membaca-baca apa yang saya tulis selama bulan Agustus 2008 itu. Sebenarnya saya sudah tahu kalau saya harus kembali pada cerita ini lagi. Tidak ada catatan mengenai alur lengkap cerita ini, padahal sepertinya dulu ada dan selalu saya ulang-ulang dalam kepala. Mungkin ada, tapi saya tidak mencarinya lebih jauh. Sehingga karena kelupaan itu akhirnya begini sajalah yang saya buat. Saya langsung pada apa yang saya ingat dan paling ingin saya tampilkan. Seharusnya cerpen ini memang tidaklah sesingkat ini.

Sebenarnya pula saya masih bingung dengan tokoh-tokohnya, terutama latar belakang mereka. Banyak tokoh suram dalam khayalan saya namun belum saya inventarisasi. Untuk efisiensinya sih ya memang jangan terlalu banyak. Seperlunya saja, tapi karakternya kuat dan konflik yang dialaminya memang ‘dalem’. (12/31/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain