Temanku, Caca namanya.
Suatu hari dia datang ke kampus
dengan membawa kejutan. Rambutnya dipangkas pendek seperti cowok. Kami semua
pangling melihatnya.
Apalagi, terlepas rambutnya
sedang panjang atau pendek, dia selalu cuek dengan apa yang dikenakannya. Kalau
boleh ke kampus hanya dengan memakai kaos gombrong, celana bermuda, dan sandal
jepit, tentu dia akan melakukannya. Tapi karena tidak diperbolehkan, biasanya
sehari-hari dia ke kampus memakai kaos polo gombrong, celana jins, dan sepatu
keds. Jarang-jarang dia memakai rok atau pakaian ketat khas cewek. Dan,
lagaknya...
“Hoi!” selalu ceria sapanya
begitu memasuki ruangan kelas atau saat nimbrung di suatu kerumunan. “Pa kabar
nih?”
Siang itu adalah kali pertama
kami melihatnya berambut pendek, semakin mendukung pembawaannya yang
kecowok-cowokkan.
“Kenapa potong rambut, Ca?”
tanyaku.
“Bosen rambut panjang melulu.
Lagian kalau panjang gerah sih! Ribet!” tukasnya sambil memegang-megang
potongan rambut barunya.
“Aah... Bilang aja habis patah
hati... Iya kan?” goda seorang temanku yang pecinta komik dan drama Asia. Yang
lain langsung ramai mengompori. “Iya iya, tuh, liat, ada jerawatnya!”
“Ih... Apa sih?!”
“Wah... Caca udah naksir cowok...
Cie... Cie...”
Anak-anak ramai menyoraki. Kami
memang kerap menggodanya, menerka-nerka cowok seperti apa yang bakalan suka
dengan cewek berpenampilan asal seperti dia.
Tanpa terasa kami sudah memasuki
pelataran musola. Sambil masih asik becanda ria satu per satu kami memasuki
tempat wudlu putri. Ketika sampai pada gilirannya Caca masuk, terjadi kehebohan
di dalam tempat wudlu. Para perempuan berjilbab sontak mencari tempat
menyembunyikan diri atau cepat-cepat membenahi jilbab mereka.
“Ada cowok! Ada cowok!” terdengar
celetukan panik.
Kami menoleh ke sana kemari
kebingungan. Termasuk Caca.
“Loh, Mbak, ini kan Caca!” salah
seorang dari kami akhirnya menyadari sumber kehebohan. “Caca baru potong
rambut, Mbak!”
Sebentar mereka terpana, lalu
menghembuskan kelegaan.
“Hoalah... dikira siapa...”
“Aduh, kirain cowok beneran...”
Caca mengusap-usap kepalanya,
cengengesan. “Hehe...”
.
Malam itu, Caca menginap di
kosanku. Mumpung akhir minggu, jadi kami bisa menonton film sama-sama di
laptopku. Namun terlebih dulu aku ingin melihat foto-foto hasil kunjungan
anak-anak seangkatan ke Pantai Sundak minggu kemarin. Caca, yang memang pada
waktu itu bertugas sebagai fotografer, menuruti keinginanku dengan memasukkan memory card kameranya ke dalam slot di
laptopku. Kami duduk berdekatan di depan meja rendah yang mengalasi laptopku.
Sedang asyik-asyiknya melihat foto, dari kejauhan terdengar teman sekosanku
mendekat sambil memanggili namaku.
Sesampainya di ambang pintu
kamarku, kontan dia berteriak, “Masya Allah!”
Dia cepat-cepat berlalu dari
situ.
Aku dan Caca saling memandang.
Kukejar temanku itu ke kamarnya.
“Eh, kenapa?” tegurku.
Sambil masih meredam detak
jantungnya, temanku itu menjawab megap-megap, “Kok ada cowok sih di kamarmu?”
Terang saja temanku itu kaget
bukan main. Selain karena di kosan ini berlaku peraturan tidak boleh membawa
cowok masuk kamar, temanku itu juga jilbaber sejati, sama sepertiku. Tapi aku
tenang saja tidak berjilbab di depan Caca, soalnya dia kan cewek!
“Ih, temenku itu cewek!” tekanku.
Dia melongo. Aku menarik
lengannya dan kuseret dia hingga ke ambang pintu kamarku lagi. Menyadari
kedatangan kami, Caca mendongak dari layar laptop. Dia tersenyum semanis
mungkin pada temanku itu.
“Dian, kenalin ini temenku, Caca.
Caca, ini Dian. Caca tuh cewek kok!”
Caca mengangguk-angguk. Untuk
meyakinkan Dian, dia mengeluarkan suaranya yang cempreng seperti anak kecil
itu. “Bukan cuman kamu doang kok yang nyangka aku cowok. Kemarin mbak kosku
juga, yang pake jilbab, kaget banget pas tau-tau aku sapa. Dia kan lagi nggak
pake jilbabnya. Kirain aku cowok pake sarung, hahaha...”
“Loh, kamu masih suka tidur
sarungan, Ca?” Aku mendecak-decak sambil menggelengkan kepala. Temanku hanya
bisa tersenyum-senyum salah tingkah. Malu karena telah salah mengenali orang.
.
Keesokan harinya, bersama
beberapa orang teman kami yang lain, kami menunaikan niat kami jalan-jalan di
kawasan Nol Kilometer. Tentu saja kami tidak lupa membawa kamera. Jadi kami
bisa mengabadikan pose-pose cantik kami untuk kemudian diunggah di Facebook,
hihi...
Kami asik mengobrol dan berjalan
terus ke selatan, ke arah Kantor Pos Besar, tanpa menyadari Caca tertinggal di
belakang. Memang tadi dia sempat tertahan di beberapa lapak. Sedang mencari
celana pendek baru, katanya. Biarpun seleranya selera cowok, tapi dalam memilih
barang dia tidak ubahnya sebagaimana cewek pada umumnya. Lama!
Kami tidak menyaksikan, di
belakang kami sesuatu telah terjadi pada teman kami itu...
.
Caca menyadari dirinya ditinggal
oleh teman-temannya. Dia celingukan ke sana ke mari. Akhirnya dia memantapkan
diri untuk membeli beberapa potong celana pendek batik yang sedari tadi
dipilah-pilahnya. Setelah itu barulah dia bergegas meneruskan langkah.
Lepas dari kawasan pedagang kaki lima,
dia melihat kami telah jauh berada di depannya. Tapi karena sosok kami masih
dalam jangkauan pandangannya, dia memperlambat langkahnya dan berjalan
tenang-tenang saja.
Tiba-tiba seseorang menarik
lengannya. Cepat sekali. Dia tidak sempat meronta-ronta apalagi
berteriak-teriak, seorang cowok mendekapnya erat. Seolah mereka sepasang
sahabat yang sudah lama sekali tidak bertemu. Sudah tak kuat menahan rindu!
“Bambam! Dicariin dari tadi di
depan Vrederburg, kok malah di sini sih? Gila... Sekarang kamu kok pendekan?”
Cowok itu nyerocos cukup banyak sambil memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya.
Caca hanya bisa bengong. Dia sama sekali tidak mengenal cowok tersebut! Main
peluk saja! Mendadak cowok itu
melepaskannya. Kedua tangan cowok itu masih mendarat di pundaknya. Tapi cowok
itu memberinya tatapan yang aneh. Tatapan yang turun pelan-pelan dari wajah
hingga dadanya. Cowok itu terperanjat. Buru-buru dia mengangkat tangannya dan
berkata gagap, “Eh, maaf, maaf, saya salah ngenalin orang!”
“Euh, nggak apa-apa...” balas
Caca bingung. Dia hanya ingin cepat-cepat menjauh dari cowok itu. Sekujur
tubuhnya terasa merinding. Baru kali ini dia dipeluk cowok sedemikian rupa!
Meskipun pembawaannya kecowok-cowokkan, selama ini kebanyakan teman main Caca
tetap cewek-cewek—
selain karena di fakultasnya
jumlah cowok bisa jadi hanya seperdelapan dari keseluruhan jumlah cewek.
Dan pembawaannya yang
kecowok-cowokkan itu bukan karena dia ingin jadi cowok, tapi memang selera Caca
saja yang agak-agak berbeda dari cewek kebanyakan. Caca memang selalu ingin
jadi yang beda!
Jadi dia merasa aneh sekali
diperlakukan intens begitu oleh seorang cowok. Tidak dikenal pula!
“Aduh, maaf ya, maaf ya!” Cowok
itu tampak menyesal sekali. Dia menangkupkan kedua belah tangannya.
Mengejar-ngejar Caca sampai beberapa meter jauhnya.
“Iya, nggak papa, nggak papa!”
Caca meyakinkan cowok itu, berusaha tidak terdengar mengusir. Cowok itu
akhirnya berhenti mengikutinya. Caca menemukan kembali teman-temannya.
.
Kami semua memandang Caca dengan
khawatir.
“Aduh, dicariin dari tadi, tau
nggak?”
“Iya deh, maaf... maaf... Habis
tadi aku nemu celana pendek lucu banget...!”
Dia memamerkan belanjaannya
kepada kami.
“Ya udah, kita lanjut jalan ke
Taman Pintar, yuk!” komando seseorang. Kami menyambut dengan suka cita. Berasa
kembali ke masa kanak-kanak!
Rombongan kami melintas jalur
zebra, menuju ke seberang jalan. Sesampainya di depan Monumen Serangan Umum 1
Maret, kami berhenti sebentar untuk mengambil foto. Caca tentu saja tidak mau
ketinggalan. Dia segera pasang gaya. Paling lincah di antara kami semua.
Sesekali terdengar teriakannya, “Eh, eh, sebelah sini dong! Sebelah sini!”
Berbondong kami menuju ke
arahnya. Makin lama dia makin jalan ke selatan saja. Ke depan Benteng
Vrederburg.
“Loh, Caca, kita kan mau ke Taman
Pintar!”
“Ih, nggak apa-apa dong. Aku kan
belum pernah foto-foto di sini!” Dia sudah nungging saja di depan pagar sambil
mengacungkan dua jarinya. Ekspresinya yang sudah siap dijepret itu tiba-tiba
berubah. Dia melirik sesuatu yang melintas di belakang kami. Menyadari itu,
beberapa dari kami menoleh untuk melihat ke mana arah matanya.
Dua orang cowok sedang berjalan
memasuki pelataran benteng. Seorang di antaranya tampak seperti sedang
menyembunyikan wajah sementara cowok yang satunya lagi tampak bingung dengan
sikap temannya itu. Melihat wajah cowok yang satunya itu membuat kami tercekat.
Sekilas dia mirip sekali dengan Caca! Dengan tubuh yang lebih jangkung dan
tipis, tentu saja. Kami tidak sempat memerhatikan kemiripannya lebih detil
karena dia sudah memalingkan wajahnya.
Memang tidak salah orang-orang
yang sempat menyangka Caca adalah cowok!
“Eh, udah, udah, kalian jangan
ngeliat ke sana terus dong. Aku udah capek nungging nih!” Gerutuan Caca
mengalihkan perhatian kami. Menyebar semburat merah di kulit wajahnya yang
kuning cerah. Wah, jangan-jangan ada sesuatu nih...
.
Caca tampak malu sekali saat
akhirnya kami berhasil memaksanya menceritakan kejadian yang menimpanya tadi.
Berkali-kali dia menangkupkan kedua belah tangan ke mukanya.
“Aduh, matanya tuh pake jelalatan
ke mana, coba!” resah Caca.
“Itu tandanya badan kamu masih
ada bentuk-bentuk ceweknya, Ca!” selorohku.
“Ih.. Tapi aku malu banget!”
Kami semua tertawa melihat
tingkah Caca. Dia memang suka membesar-besarkan masalah. Membuat kami semakin
gatal untuk terus mengaraminya.
“Jangan-jangan cowok yang mirip
kamu tadi itu saudara kembarmu, Ca?” celetuk seseorang.
“Tapi aku nggak punya saudara
cowok!”
“Coba kamu tanya ibumu. Siapa
tahu aja kalian dipisahkan sewaktu kecil,” yang lain menimpali.
“Ih, nggak, tau! Kayak sinetron
aja!” Caca cemberut, membuat kami ingin tertawa lagi.
“Terus gimana dong kalau aku
dikira cowok lagi?” sambung Caca. Mungkin akhirnya dia merasa disangka cowok
sudah bukan kejadian mengasikkan yang bisa dinikmatinya lagi. Apalagi sampai
dipeluk cowok tak dikenal—sampai-sampai cowok pun pangling! Caca memeluk
dirinya sendiri. Mungkin bergidik karena teringat kejadian tadi.
Memang Caca ini tidak seperti cewek
lainnya, yang langsung mendamba-damba kalau sudah menyangkut cowok. Baginya,
mengurusi cowok itu baru jadi prioritas kalau dia sudah jadi profesional
bergaji mapan! Itulah salah satu prinsip hidupnya yang kerap diulang-ulangnya
di depan kami, kalau kami sudah menggodainya soal cowok.
“Makanya, rambutmu jangan
dipotong pendek banget gitu, Ca,” usul seseorang.
“Ya mau gimana lagi, udah
terlanjur... Lagian rambut panjang kan
gerah! Bosen!” Wajah Caca kian merengut.
“Atau kamu pake rambut palsu
aja?” Aku ganti mengajukan usul yang langsung disambut Caca dengan mengedikkan
bahu.
“Nggak mau!” tukasnya.
“Ya sudah, tunggu sampai rambutmu
panjang lagi aja... Habis itu jangan dipotong pendek lagi, “ usul yang lain.
Sambil memegang-megang rambut
pendeknya dengan sayang, Caca manyun.
.
Lagi-lagi Caca membuat kejutan!
Pangling lagi kami dibuatnya ketika pagi itu dia memasuki kelas dengan kerudung
menutupi kepalanya. Kerudung kaos pendek tapi panjangnya cukup sampai menutupi
dada. Namun biar pun bagian atas sudah ditutupi kerudung, bagian bawahnya tetap
khas Caca: cuek!
“Caca...!” Biasanya Caca yang
mendekati kerumunan kami, tapi kali ini ganti kami yang menyerbunya. Satu per
satu dari kami menyelamatinya. Caca menyambutnya dengan kaget dan bingung. Akhirnya
bertambah satu lagi makhluk berkerudung dalam kawanan kami...
“Sesi tanda tangannya habis ini
aja ya. Saya mau kuliah.” Masih sempat-sempatnya Caca berujar sok sambil
meladeni cipika cipiki dari kami dengan risih.
“Biar nggak disangka cowok lagi,
ya?” seseorang menegur.
“Tapi kalau bajunya tetap kayak
gitu, entar malah dikiranya ninja!”
Kami tertawa. Caca mendengus,
“Ngawur!”
“Entar kalau rambutnya udah
panjang, dilepas lagi nggak kerudungnya, Ca?”
Tegas Caca menjawab, “Ya, nggak
dong. Aku kan cewek mandiri yang punya prinsip. Dari kemarin-kemarin aku udah
mikir, ini nih identitasku sebagai cewek!” Caca menyentuh kerudungnya bangga.
“Cewek dan cowok itu beda. Cewek lebih istimewa! Nggak bisa disamain gitu
aja...”
“Juga identitasmu sebagai muslimah,
Ca!” tandasku,
Caca... Caca...
7 April 2010