Rabu, 08 April 2009

Kala Caca Kayak Cowok

Temanku, Caca namanya.

Suatu hari dia datang ke kampus dengan membawa kejutan. Rambutnya dipangkas pendek seperti cowok. Kami semua pangling melihatnya.

Apalagi, terlepas rambutnya sedang panjang atau pendek, dia selalu cuek dengan apa yang dikenakannya. Kalau boleh ke kampus hanya dengan memakai kaos gombrong, celana bermuda, dan sandal jepit, tentu dia akan melakukannya. Tapi karena tidak diperbolehkan, biasanya sehari-hari dia ke kampus memakai kaos polo gombrong, celana jins, dan sepatu keds. Jarang-jarang dia memakai rok atau pakaian ketat khas cewek. Dan, lagaknya...

“Hoi!” selalu ceria sapanya begitu memasuki ruangan kelas atau saat nimbrung di suatu kerumunan. “Pa kabar nih?”

Siang itu adalah kali pertama kami melihatnya berambut pendek, semakin mendukung pembawaannya yang kecowok-cowokkan.

“Kenapa potong rambut, Ca?” tanyaku.

“Bosen rambut panjang melulu. Lagian kalau panjang gerah sih! Ribet!” tukasnya sambil memegang-megang potongan rambut barunya.

“Aah... Bilang aja habis patah hati... Iya kan?” goda seorang temanku yang pecinta komik dan drama Asia. Yang lain langsung ramai mengompori. “Iya iya, tuh, liat, ada jerawatnya!”

“Ih... Apa sih?!”

“Wah... Caca udah naksir cowok... Cie... Cie...”

Anak-anak ramai menyoraki. Kami memang kerap menggodanya, menerka-nerka cowok seperti apa yang bakalan suka dengan cewek berpenampilan asal seperti dia.

Tanpa terasa kami sudah memasuki pelataran musola. Sambil masih asik becanda ria satu per satu kami memasuki tempat wudlu putri. Ketika sampai pada gilirannya Caca masuk, terjadi kehebohan di dalam tempat wudlu. Para perempuan berjilbab sontak mencari tempat menyembunyikan diri atau cepat-cepat membenahi jilbab mereka.

“Ada cowok! Ada cowok!” terdengar celetukan panik.

Kami menoleh ke sana kemari kebingungan. Termasuk Caca.

“Loh, Mbak, ini kan Caca!” salah seorang dari kami akhirnya menyadari sumber kehebohan. “Caca baru potong rambut, Mbak!”

Sebentar mereka terpana, lalu menghembuskan kelegaan.

“Hoalah... dikira siapa...”

“Aduh, kirain cowok beneran...”

Caca mengusap-usap kepalanya, cengengesan. “Hehe...”

.

Malam itu, Caca menginap di kosanku. Mumpung akhir minggu, jadi kami bisa menonton film sama-sama di laptopku. Namun terlebih dulu aku ingin melihat foto-foto hasil kunjungan anak-anak seangkatan ke Pantai Sundak minggu kemarin. Caca, yang memang pada waktu itu bertugas sebagai fotografer, menuruti keinginanku dengan memasukkan memory card kameranya ke dalam slot di laptopku. Kami duduk berdekatan di depan meja rendah yang mengalasi laptopku. Sedang asyik-asyiknya melihat foto, dari kejauhan terdengar teman sekosanku mendekat sambil memanggili namaku.

Sesampainya di ambang pintu kamarku, kontan dia berteriak, “Masya Allah!”

Dia cepat-cepat berlalu dari situ.

Aku dan Caca saling memandang. Kukejar temanku itu ke kamarnya.

“Eh, kenapa?” tegurku.

Sambil masih meredam detak jantungnya, temanku itu menjawab megap-megap, “Kok ada cowok sih di kamarmu?”

Terang saja temanku itu kaget bukan main. Selain karena di kosan ini berlaku peraturan tidak boleh membawa cowok masuk kamar, temanku itu juga jilbaber sejati, sama sepertiku. Tapi aku tenang saja tidak berjilbab di depan Caca, soalnya dia kan cewek!

“Ih, temenku itu cewek!” tekanku.

Dia melongo. Aku menarik lengannya dan kuseret dia hingga ke ambang pintu kamarku lagi. Menyadari kedatangan kami, Caca mendongak dari layar laptop. Dia tersenyum semanis mungkin pada temanku itu.

“Dian, kenalin ini temenku, Caca. Caca, ini Dian. Caca tuh cewek kok!”

Caca mengangguk-angguk. Untuk meyakinkan Dian, dia mengeluarkan suaranya yang cempreng seperti anak kecil itu. “Bukan cuman kamu doang kok yang nyangka aku cowok. Kemarin mbak kosku juga, yang pake jilbab, kaget banget pas tau-tau aku sapa. Dia kan lagi nggak pake jilbabnya. Kirain aku cowok pake sarung, hahaha...”

“Loh, kamu masih suka tidur sarungan, Ca?” Aku mendecak-decak sambil menggelengkan kepala. Temanku hanya bisa tersenyum-senyum salah tingkah. Malu karena telah salah mengenali orang.

.

Keesokan harinya, bersama beberapa orang teman kami yang lain, kami menunaikan niat kami jalan-jalan di kawasan Nol Kilometer. Tentu saja kami tidak lupa membawa kamera. Jadi kami bisa mengabadikan pose-pose cantik kami untuk kemudian diunggah di Facebook, hihi...

Kami asik mengobrol dan berjalan terus ke selatan, ke arah Kantor Pos Besar, tanpa menyadari Caca tertinggal di belakang. Memang tadi dia sempat tertahan di beberapa lapak. Sedang mencari celana pendek baru, katanya. Biarpun seleranya selera cowok, tapi dalam memilih barang dia tidak ubahnya sebagaimana cewek pada umumnya. Lama!

Kami tidak menyaksikan, di belakang kami sesuatu telah terjadi pada teman kami itu...

.

Caca menyadari dirinya ditinggal oleh teman-temannya. Dia celingukan ke sana ke mari. Akhirnya dia memantapkan diri untuk membeli beberapa potong celana pendek batik yang sedari tadi dipilah-pilahnya. Setelah itu barulah dia bergegas meneruskan langkah.

Lepas dari kawasan pedagang kaki lima, dia melihat kami telah jauh berada di depannya. Tapi karena sosok kami masih dalam jangkauan pandangannya, dia memperlambat langkahnya dan berjalan tenang-tenang saja.

Tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Cepat sekali. Dia tidak sempat meronta-ronta apalagi berteriak-teriak, seorang cowok mendekapnya erat. Seolah mereka sepasang sahabat yang sudah lama sekali tidak bertemu. Sudah tak kuat menahan rindu!

“Bambam! Dicariin dari tadi di depan Vrederburg, kok malah di sini sih? Gila... Sekarang kamu kok pendekan?” Cowok itu nyerocos cukup banyak sambil memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya. Caca hanya bisa bengong. Dia sama sekali tidak mengenal cowok tersebut! Main peluk saja!            Mendadak cowok itu melepaskannya. Kedua tangan cowok itu masih mendarat di pundaknya. Tapi cowok itu memberinya tatapan yang aneh. Tatapan yang turun pelan-pelan dari wajah hingga dadanya. Cowok itu terperanjat. Buru-buru dia mengangkat tangannya dan berkata gagap, “Eh, maaf, maaf, saya salah ngenalin orang!”

“Euh, nggak apa-apa...” balas Caca bingung. Dia hanya ingin cepat-cepat menjauh dari cowok itu. Sekujur tubuhnya terasa merinding. Baru kali ini dia dipeluk cowok sedemikian rupa! Meskipun pembawaannya kecowok-cowokkan, selama ini kebanyakan teman main Caca tetap cewek-cewek—

selain karena di fakultasnya jumlah cowok bisa jadi hanya seperdelapan dari keseluruhan jumlah cewek.

Dan pembawaannya yang kecowok-cowokkan itu bukan karena dia ingin jadi cowok, tapi memang selera Caca saja yang agak-agak berbeda dari cewek kebanyakan. Caca memang selalu ingin jadi yang beda!

Jadi dia merasa aneh sekali diperlakukan intens begitu oleh seorang cowok. Tidak dikenal pula!

“Aduh, maaf ya, maaf ya!” Cowok itu tampak menyesal sekali. Dia menangkupkan kedua belah tangannya. Mengejar-ngejar Caca sampai beberapa meter jauhnya.

“Iya, nggak papa, nggak papa!” Caca meyakinkan cowok itu, berusaha tidak terdengar mengusir. Cowok itu akhirnya berhenti mengikutinya. Caca menemukan kembali teman-temannya.

.

Kami semua memandang Caca dengan khawatir.

“Aduh, dicariin dari tadi, tau nggak?”

“Iya deh, maaf... maaf... Habis tadi aku nemu celana pendek lucu banget...!”

Dia memamerkan belanjaannya kepada kami.

“Ya udah, kita lanjut jalan ke Taman Pintar, yuk!” komando seseorang. Kami menyambut dengan suka cita. Berasa kembali ke masa kanak-kanak!

Rombongan kami melintas jalur zebra, menuju ke seberang jalan. Sesampainya di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret, kami berhenti sebentar untuk mengambil foto. Caca tentu saja tidak mau ketinggalan. Dia segera pasang gaya. Paling lincah di antara kami semua. Sesekali terdengar teriakannya, “Eh, eh, sebelah sini dong! Sebelah sini!”

Berbondong kami menuju ke arahnya. Makin lama dia makin jalan ke selatan saja. Ke depan Benteng Vrederburg.

“Loh, Caca, kita kan mau ke Taman Pintar!”

“Ih, nggak apa-apa dong. Aku kan belum pernah foto-foto di sini!” Dia sudah nungging saja di depan pagar sambil mengacungkan dua jarinya. Ekspresinya yang sudah siap dijepret itu tiba-tiba berubah. Dia melirik sesuatu yang melintas di belakang kami. Menyadari itu, beberapa dari kami menoleh untuk melihat ke mana arah matanya.

Dua orang cowok sedang berjalan memasuki pelataran benteng. Seorang di antaranya tampak seperti sedang menyembunyikan wajah sementara cowok yang satunya lagi tampak bingung dengan sikap temannya itu. Melihat wajah cowok yang satunya itu membuat kami tercekat. Sekilas dia mirip sekali dengan Caca! Dengan tubuh yang lebih jangkung dan tipis, tentu saja. Kami tidak sempat memerhatikan kemiripannya lebih detil karena dia sudah memalingkan wajahnya.

Memang tidak salah orang-orang yang sempat menyangka Caca adalah cowok!

“Eh, udah, udah, kalian jangan ngeliat ke sana terus dong. Aku udah capek nungging nih!” Gerutuan Caca mengalihkan perhatian kami. Menyebar semburat merah di kulit wajahnya yang kuning cerah. Wah, jangan-jangan ada sesuatu nih...

.              

Caca tampak malu sekali saat akhirnya kami berhasil memaksanya menceritakan kejadian yang menimpanya tadi. Berkali-kali dia menangkupkan kedua belah tangan ke mukanya.

“Aduh, matanya tuh pake jelalatan ke mana, coba!” resah Caca.

“Itu tandanya badan kamu masih ada bentuk-bentuk ceweknya, Ca!” selorohku.

“Ih.. Tapi aku malu banget!”

Kami semua tertawa melihat tingkah Caca. Dia memang suka membesar-besarkan masalah. Membuat kami semakin gatal untuk terus mengaraminya.

“Jangan-jangan cowok yang mirip kamu tadi itu saudara kembarmu, Ca?” celetuk seseorang.

“Tapi aku nggak punya saudara cowok!”

“Coba kamu tanya ibumu. Siapa tahu aja kalian dipisahkan sewaktu kecil,” yang lain menimpali.

“Ih, nggak, tau! Kayak sinetron aja!” Caca cemberut, membuat kami ingin tertawa lagi.

“Terus gimana dong kalau aku dikira cowok lagi?” sambung Caca. Mungkin akhirnya dia merasa disangka cowok sudah bukan kejadian mengasikkan yang bisa dinikmatinya lagi. Apalagi sampai dipeluk cowok tak dikenal—sampai-sampai cowok pun pangling! Caca memeluk dirinya sendiri. Mungkin bergidik karena teringat kejadian tadi.

Memang Caca ini tidak seperti cewek lainnya, yang langsung mendamba-damba kalau sudah menyangkut cowok. Baginya, mengurusi cowok itu baru jadi prioritas kalau dia sudah jadi profesional bergaji mapan! Itulah salah satu prinsip hidupnya yang kerap diulang-ulangnya di depan kami, kalau kami sudah menggodainya soal cowok.

“Makanya, rambutmu jangan dipotong pendek banget gitu, Ca,” usul seseorang.

“Ya mau gimana lagi, udah terlanjur... Lagian rambut panjang kan  gerah! Bosen!” Wajah Caca kian merengut.

“Atau kamu pake rambut palsu aja?” Aku ganti mengajukan usul yang langsung disambut Caca dengan mengedikkan bahu.

“Nggak mau!” tukasnya.

“Ya sudah, tunggu sampai rambutmu panjang lagi aja... Habis itu jangan dipotong pendek lagi, “ usul yang lain.

Sambil memegang-megang rambut pendeknya dengan sayang, Caca manyun.

.              

Lagi-lagi Caca membuat kejutan! Pangling lagi kami dibuatnya ketika pagi itu dia memasuki kelas dengan kerudung menutupi kepalanya. Kerudung kaos pendek tapi panjangnya cukup sampai menutupi dada. Namun biar pun bagian atas sudah ditutupi kerudung, bagian bawahnya tetap khas Caca: cuek!         

“Caca...!” Biasanya Caca yang mendekati kerumunan kami, tapi kali ini ganti kami yang menyerbunya. Satu per satu dari kami menyelamatinya. Caca menyambutnya dengan kaget dan bingung. Akhirnya bertambah satu lagi makhluk berkerudung dalam kawanan kami...

“Sesi tanda tangannya habis ini aja ya. Saya mau kuliah.” Masih sempat-sempatnya Caca berujar sok sambil meladeni cipika cipiki dari kami dengan risih.

“Biar nggak disangka cowok lagi, ya?” seseorang menegur.

“Tapi kalau bajunya tetap kayak gitu, entar malah dikiranya ninja!”

Kami tertawa. Caca mendengus, “Ngawur!”

“Entar kalau rambutnya udah panjang, dilepas lagi nggak kerudungnya, Ca?”

Tegas Caca menjawab, “Ya, nggak dong. Aku kan cewek mandiri yang punya prinsip. Dari kemarin-kemarin aku udah mikir, ini nih identitasku sebagai cewek!” Caca menyentuh kerudungnya bangga. “Cewek dan cowok itu beda. Cewek lebih istimewa! Nggak bisa disamain gitu aja...”

“Juga identitasmu sebagai muslimah, Ca!” tandasku,

Caca... Caca...

 

7 April 2010

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain