Minggu, 24 Mei 2009

Ultraboy

Besar tubuh raksasa itu ada kiranya dua puluh kali lipat gedung tertinggi di kota ini. Matanya segitiga dan kejam. Mulutnya yang bagai mulut buaya itu menganga, memperlihatkan gigi-gigi besarnya yang runcing dan siap menggigit benda apapun yang menarik perhatiannya. Sekujur permukaan tubuhnya berupa gerindil-gerindil hijau kasar dan bau. Cakar yang runcing mencuat dari sela-sela jari tangan dan kakinya. Huh, aku tak akan gentar.

“SAAH...” ujarku dalam bahasa planet Zrypkux yang artinya “ayo sini maju, kalau berani.”

“GRRRAAAA....” Monster itu menjawab panggilanku sambil mencari-cari asal suaraku berada. Ia berputar-putar. Ekornya yang panjang menyapu jalanan. Mobil-mobil, gedung, lampu jalanan—semua berpentalan. Orang-orang panik berlarian menyelamatkan diri. Dari balik tempat yang mereka pikir cukup terlindung, mereka mengawasi duel maut yang akan berlangsung antara aku dengan monster jelek itu.

Monster itu tidak bisa melihatku karena aku berusaha agar selalu berada di belakangnya dengan mengikuti gerak tubuhnya. Monster itu terus berputar dan berputar. Mataku awas memperhatikan ekor si monster agar tidak tersandung. Sampai kukira akhirnya monster itu sudah cukup kepusingan, kuhimpun tenaga pada kedua belah tanganku untuk mengangkat ekor si monster. Hup...

Ternyata lebih berat dari yang kukira.

Monster itu sadar ada yang telah menarik ekornya. Dengan cepat ia berbalik, hendak menghalauku dengan sebelah tangan gembilnya. Aku menghindar. Hampir saja ia mengenaiku. Ia melompat hendak menghantamku. Aku berhasil menghindar lagi. Namun akibatnya rubuhlah lagi beberapa gedung perkantoran. Aku harap semua orang di sana sudah mengevakuasi dirinya masing-masing. Oh, tidak! Aku melihat seorang anak kecil menangis di balik reruntuhan! Di manakah ibunya? Monster itu berhasil menggamparku sementara perhatianku sedang teralih ke anak itu. Aku jatuh terjengkang di atas lapangan sepak bola. Punggungku jatuh tepat di atas gawang. Aduh, rasanya sakit sekali. Menusuk. Ini tidak bisa dibiarkan lama-lama.

“TINUTINUTTINUTTINUT...” Lampu merah di dadaku menyala tanda keadaan mulai menggenting: kekuatanku hampir habis! Aku harus cepat-cepat! Kuhimpun sisa kekuatanku dengan segenap konsentrasi yang tersisa. Satu... Dua... Tiga... “HEYAAAH....”

Sinar terang keluar dari bogem yang dengan sekuat tenaga kulepaskan ke perut si monster. Kukerahkan tenaga untuk terbang. Terbanglah aku ke angkasa dengan kecepatan tinggi. Bogem ini ternyata bisa juga membuat si monster pingsan. Dengan bogem ini pula kubawa si monster keluar atmosfer bumi dan kulemparkan dia jauh-jauh biar terbakar oleh bintang-bintang.

“GAAAHHH...” seruku, yang artinya, “Dadah...”

Sambil tetap melayang-layang kupandangi si monster itu terbang menjauh hingga lenyap ditelan warna-warni bintang galaksi. Ah, meskipun aku sedang dalam wujud raksasa bumi namun tetap saja aku merasa kecil di tengah jagat raya angkasa seperti ini. Membuatku sadar bahwa aku tidak akan ada apa-apanya jika dapat berhadapan langsung dengan Sang Pencipta. Sungguh Maha Besar Ia yang telah menciptakan semuanya ini.... Aku tersenyum kendati tidak akan terlihat karena kostum yang kaku ini. Saatnya aku kembali pulang ke bumi. Ketika aku sampai, rupanya telah berjalan waktu sepersekian jam cahaya sehingga lembayung sore, yang terakhir kali kulihat saat aku meninggalkan bumi, telah berganti dengan singsingan fajar.

.

Namaku Matt. Aku adalah seorang pahlawan super pembela kebenaran dan keadilan. Setiap kali ada monster dari luar angkasa yang datang hendak memporakporandakan kota ini, aku akan mengacungkan benda apapun yang sedang kupegang. Entah bagaimana hukum alamnya, yang jelas dengan  begitu wujudku akan segera berubah menjadi ultra—tanpa wing. Seragam ketat dan elastis akan membungkus tubuhku—lengkap dengan tanduk serupa jambul mohawk, sepasang mata bulat yang dapat menyorotkan sinar bagai lampu senter, dan segaris kaku mulut yang tidak bisa digerakkan. Dalam kostum pahlawanku itu, tidak akan ada seorang masyarakat pun yang dapat mengenali identitasku yang sebenarnya. Bahkan ibuku sekalipun. Ia, sebagaimana masyarakat lainnya, memanggilku: Ultraboy.

.

Kurasakan lecutan menyakitkan di betisku sebagai penutup dari mimpiku melawan kalajengking betina raksasa. Suara yang muncul kemudian malah lebih memekakkan daripada lenguhanku saat sedang memanggil monster penghancur kota untuk mengajaknya bertarung, “MAMAT! Bangun! Mau sampai umur berapa dibangunin orangtua?!”

Mamah akan terus memukuliku dengan ganas sampai aku benar-benar bangkit dari kasur.

“Mat baru tidur sejam, Mah...” Mampu juga kujejakkan kedua kakiku di lantai pada akhirnya. Kugaruk-garuk kepalaku sementara mata masih setengah terkatup lantas menguap beberapa kali.

“Alah, paling juga begadang maen game!” tandas Mamah sambil meninggalkan kamarku.

Huh, mana bisa aku bilang kalau aku baru bisa tidur sejam lalu karena baru pulang dari membuang monster di angkasa raya?

.          

Wanita paruh baya berjilbab itu menyelesaikan sebuah persamaan di papan tulis. “Nah,” katanya kemudian, “Ayo siapa yang bisa ngerjain soal ini? Besok keluar di ulangan loh.”

Murid-murid di kelas XI IPA 2 itu segera mencorat-coret di atas media apapun yang ada di depan mereka. Entah apa yang mereka corat-coretkan.

“Mamat? Coba Mamat yang ngerjain? Oh, Mamat pasti lagi tidur yah?” celetukan sang guru membuat sebagian murid menoleh ke bangku di mana kepala Mamat tengah lunglai di atas meja. Asep, teman sebangku Mamat, hanya bisa meringis. Tawa mereka membuat Mamat tergeragap lantas terbangun.

“Hah? Ada apa sih?”

Asep tertawa makin keras melihat sudut bibir Mamat yang basah lantas menetes terus ke celana abu-abunya. Tak lama kemudian guncangan tawa di kelas XI IPA 2 beradu dengan bel nyaring pertanda jam istirahat telah dimulai.

.

“Si Mamat kalau sampai nggak tidur pas jam-jam pelajaran sebelum istirahat, itu namanya rekor!” cecar Rudi yang segera disambut dengan tawa beberapa orang.

“Fisika tidur, Matematika tidur, Kimia tidur, Bahasa Indonesia tidur, tidur aja seharian di kelas!” sambung Asep.

“Ya iya, si Mamat kan makhluk malam sekarang. Kalau udah malam dia kan ganti nama jadi Maisaroh!” tukas Sari—makhluk wanita satu-satunya dalam kelompok ini—tak mau kalah. Gelegar tawa lagi.

Aku hanya bisa mesem-mesem sambil tetap menyeruput Teh Upetku.

“Ya nih, saya lum kelar-kelar aja mainin DOTA.”

“Eh, Mat, itu bukannya ibu kamu?” tiba-tiba Dodi menuding seorang perempuan paruh baya yang baru keluar dari ruang guru. Aku mengintip dari celah pagar lapangan tempat kami sedang nongkrong ini. Kulihat begitu kusut muka Mamah.

Wah, alamat tidak baik sepertinya.

“Eh, saya ke sana dulu yah.” Segera kutinggalkan teman-temanku dan menuju ke arah Mamah yang langsung melotot begitu melihatku.

“Mah, ngapain ke sekolah Mamat, Mah?” tanyaku tanpa perasaan bersalah.

“Hah, kamu ini gimana sih Mamat?” Wah, kalau Mamah sudah menyeruku dengan kata ‘kamu’ itu tandanya ia sudah benar-benar marah! “Bapak dan Mamah nyekolahin kamu di sini bukan buat tidur tapi belajar! Kalau mau tidur di rumah ajalah!”

Kucoba tak menghiraukan tatapan teman-teman yang menyebabkan rasa malu menyesap ke dalam dadaku. Dimarahin orangtua di depan keramaian, gimana bisa nggak malu?

“Yah, Mamat kan tidur nggak sengaja, Mah. Tau-tau aja ketiduran.” Tak tahu lagi apa yang bisa kukatakan untuk membela diriku sendiri. Kukejar langkah Mamah yang panjang-panjang. Lama tak menanggapi perkataanku, kutanya lagi dia, “Mau langsung pulang lagi, Mah?”

“Liat ajar entar di rumah!” bentak Mamah semakin menyesakkan dadaku.

.

Kekuatan ultra yang kumiliki ini berawal dari beberapa bulan yang lalu. Saat itu sore. Hujan deras. Aku baru pulang dari rumah tetanggaku untuk meminjam Final Fantasy terbaru. Sebelum sampai ke rumahku sendiri, kulewati taman bermain di mana kutemukan makhluk ganjil tersebut. Makhluk itu memiliki tubuh yang kecil. Lengannya panjang seperti lengan orangutan. Cengkeraman tangannya besar dan jarinya panjang-panjang. Lehernya jenjang seperti leher jerapah. Kepalanya kecil dengan dua bola mata yang amat besar. Hidung dan telinganya hampir-hampir tidak bercuping. Mulutnya tipis bagai hanya segaris. Makhluk itu tidak berbulu. Kulitnya yang coklat tua begitu keriputnya. Seperti anjing tua yang baru dicukur habis bulunya karena penyakitan. Untuk menunjukkan betapa shock-nya aku karena mendapati makhluk ganjil tersebut: aku menjatuhkan payungku. Saat itu ia berada di dalam lubang pipa beton, kedinginan, begitu ringkih, begitu mengibakan, begitu tidak berdaya, tapi... mengerikan....Wajar saja aku menganggapnya demikian saat itu karena itulah kali pertama aku melihat ada makhluk ciptaan Tuhan yang berwujud seperti itu. Betapa tidak ganjil? Makhluk itu tidak ada dalam Ensiklopedia Lengkap Fauna-ku maupun dalam mata pelajaran Biologi yang sudah bertahun-tahun kupelajari. Biarpun wujudnya agak mirip dengan jagoanku di Space Wars.

Rasa penasaran dan iba mengalahkan rasa ngeriku. Aku tak berpikir apa-apa saat itu. Kudekati dia, kubungkus dia dengan jaketku, lalu kugendong dia dengan sebelah tangan sementara tangan satunya lagi memegang payung. Sesampainya di rumah, kuletakkan dia sebentar di dekat meja belajar di kamarku sampai kutemukan sebuah keranjang bekas parsel Lebaran di gudang. Kubersihkan cepat-cecpat keranjang tersebut dengan kemoceng. Sesampainya di kamarku lagi, kuletakkan keranjang itu, kukeringkan tubuh makhluk tersebut dengan handuk. Perasaan yang sama dengan perasaan saat aku mengeringkan kucingku dulu yang habis kumandikan muncul. Oh, aku kangen sekali pada si Pupus. Tapi sebagaimana namanya, kini dia sudah pupus jadi pupuk. Makhluk itu memandangku lekat-lekat dengan kedua bola matanya yang benar-benar bulat. Pandangan yang begitu polos dan membuatku seketika jatuh hati padanya. Setelah kukeringkan dia, kulapisi keranjang tadi dengan beberapa lapis kain perca lantas kutaruh makhluk tersebut di sana. Gemuruh petir yang muncul kemudian di perutku mengingatkanku bahwa seperti aku, makhluk ini pun pasti butuh makan. Tapi yang jelas makanannya pasti bukan bakso seperti yang sedang aku idam-idamkan saat itu. Aku menguras otak dan akhirnya makhluk tersebut kuberi beberapa butir bakso kecil—setelah akhirnya aku berhasil menyetop Bakso Kang Somad. Makhluk itu tak bergeming. Kuberi sedikit mi, sama saja. Baru dia mau makan setelah kuberi sawi. Sejak itu makhluk tersebut kuberi makan sawi. Kucoba beberapa jenis sayuran lainnya dan ternyata dia mau.

Sambil menyantap semangkuk bakso, kuamati makhluk lucu tersebut. Lucu setelah kuamati dia lama-lama. Matanya itu lho. Aku berpikir, makhluk apakah dia sebenarnya? Mengapa dia tidak teridentifikasi dalam ensiklopedi maupun buku pelajaran Biologi? Mengapa dia bisa terlihat oleh mata kalau ternyata dia termasuk bangsa jin? Mungkinkah dia hewan spesies baru? Kalau demikian akan kupatenkan dia dengan namaku: Mamatus mamatus Matt. Keren kan? Oh, tentu saja selain nama ilmiahnya, dia juga harus punya nama lain yang lebih mudah diingat, sebagaimana Felix tigris yang punya nama lain Harimau. Jadi, apa ya nama yang bagus untuknya supaya aku bisa dengan mudah memanggilnya? Kusingkirkan nama ‘Pupus’ karena aku tidak ingin dia bernasib sama—mati muda—seperti si Pupus dahulu. Kebetulan saat itu di dekatku ada sebuah buku—pinjaman dari temanku dan belum selesai kubaca—berjudul, “A Child Called It.” It! Nama itu segera tinggal dalam benakku. Nasib makhluk ini memang hampir sama dengan nasib anak dalam buku tersebut. Malang dan tersia-siakan (setidaknya dia terlihat begitu). Akhirnya kuberi nama makhluk itu It. Namun agak ganjil juga aku memanggilnya demikian, “It! It! It!” Seperti sedang bersuit memanggil merpati saja. Akhirnya aku menambahkan satu huruf lagi pada nama itu sehingga namanya berganti menjadi Iti.

Kutaruh Iti di balik kasur agar tidak langsung terlihat oleh siapapun yang masuk ke kamarku. Kalau Mamah sampai tahu aku memelihara hewan lagi, bisa-bisa dia ngomel terus. Setiap baru bangun tidur, aku langsung melongok ke balik kasur untuk melihat keadaan Iti yang biasanya tengah tertidur. Kubelai-belai lembut kepalanya sebelum turun dari kasur dan melakukan rutinitas pagiku. Saat sarapan, biasanya kuambil sayur yang cukup banyak ke dalam piringku. Tanpa keluargaku memerhatikan, sambil mencuci piring bekas makan kusisihkan sayur itu untuk kubawa ke kamarku dan kutaruh di pinggir keranjang Iti. Biasanya saat itu Iti belum juga terjaga. Ya, kukira Iti adalah makhluk malam. Ia bisa tidur sepanjang siang namun setelah isya biasanya ia akan seterusnya terjaga. Ia akan memandang terus ke luar jendela dan menggaruk-garuk pintu dengan ujung jarinya. Aku akan membukakan pintu beranda dan membiarkan ia nongkrong di sana sementara aku larut dalam aktivitasku. Ketika tiba saatku untuk tidur, aku memberi pengertian padanya bahwa dia harus masuk kamar karena sudah malam. Aku tidak mungkin membiarkan pintu terbuka atau aku harus berjaga sepanjang malam kalau-kalau nanti ada pencuri masuk ke rumahku lewat situ. Aku juga tak tega membiarkan dia di beranda sendirian, diterpa udara dingin yang malam, sementara pintu kututup dari dalam. Aku juga takut kalau-kalau sampai Iti kabur—meski sepertinya dia takkan melakukannya karena meski dia sudah kuberi kebebasan untuk nongkrong di beranda yang terbuka, dia tak berusaha kabur—atau diculik orang yang menyadari kehadiran makhluk langka sepertinya. Bisa-bisa nanti nama ilmiahnya bukan Mamatus mamatus Matt. lagi. Tidak jadi tenar aku.

Sejauh itu, tidak ada satupun keluargaku yang tahu kalau aku memelihara Iti. Aku berhasil menyembunyikan Iti dengan baik. Memang kadang mereka bertanya mengapa aku jadi suka mengunci kamarku. Aku bilang saja kalau itu adalah manifestasi dari kepatuhanku pada nasihat kedua orangtuaku agar selalu menjaga barang-barang berharga yang kumiliki dengan baik. Untungnya mereka tidak bertanya macam-mcam lagi. Kalau aku sedang di kamar dan aku sedang terjaga biasanya kamar kubiarkan tidak terkunci. Saat ada yang masuk barulah buru-buru kusembunyikan Iti. Entah di kolong meja, di balik rak, maupun di dalam lemari.

Sebetulnya ada satu hal yang membuatku heran setengah mati akan Iti, yaitu bahwa dia tidak pernah buang kotoran. Padahal aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang mungkin terjadi kalau aku memelihara hewan secara sembunyi-sembunyi di kamar, baik itu karena kamarku jadi kotor atau bau.... Tapi ternyata tidak. Entahlah. Mungkin dia makhluk pemakan kotorannya sendiri? Siapa tahu? Aku tidak berminat jadi ilmuwan oleh karena itu aku tidak berminat untuk meneliti Iti.

Sampai pada suatu malam—sepertinya sudah menjelang tengah malam, ketika aku sedang asyik masyuk bermain Warcraft, aku mendengar ada yang memanggilku dari arah beranda. “Mat.... Mamat....” begitu lirih dan mungil suaranya. Pada mulanya aku tidak menghiraukannya karena aku sedang asik-asiknya. Suara itu makin lama makin membesar volumenya dan ingatlah aku kalau di beranda sedang ada si Iti!! Segera ku-pause permainanku. Selain penasaran pada siapa yang telah memanggilku dari arah beranda (lantai dua gitu!), aku juga takut terjadi sesuatu pada Iti karena keberadaan siapapun itu.

Di beranda, kudapati sosok Iti tengah berdiri di atas pagar beranda.

“Iti!” jeritku. “Jangan bunuh diri!”

Aku tidak berpikir saat itu bagaimana seekor hewan dapat memutuskan untuk bunuh diri.

Iti bergeming. Mulutnya tiba-tiba terbuka. Kulihat sorot wajahnya yang begitu tenang. Ia berkata (bayangkan, seekor hewan dapat berkata-kata!), “Kemarilah, Mamat.”

Aku mendekat. Aku tidak merasakan takut sama sekali. Tapi aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Iti ternyata bisa bicara! Bahasa manusia pula!

“Iti, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bisa bicara? Tau gitu kan kita bisa ngobrol bareng tiap hari!”

“Sesungguhnya namaku bukan Iti. Namaku adalah XtRLreAef. Aku berasal dari planet Zrypkux. Aku telah mengadakan penelitian di planet ini selama bertahun-tahun sehingga aku bisa memahami bahasamu.

“Wahai Mamat, makhluk bumi yang budiman, ketahuilah bahwa musuh kami dari planet Sashdul sedang merencanakan sesuatu yang jahat terhadap planetmu. Mereka ingin menguasai planetmu karena mereka tahu bahwa planetmu ini sangatlah biru dan hijau—sangatlah indah! Sementara planet mereka, yang dulu tak kalah indahnya dengan planet kalian—telah menjadi hamparan neraka karena ulah penghuninya sendiri. Mereka—makhluk planet Sashdul—adalah makhluk yang amat cerdas meskipun aku yakin makhluk planet ini—manusia—pun tak kalah cerdasnya karena telah diberi akal oleh Sang Pencipta. Namun dengan kecerdasannya itu, mereka bukannya melestarikan planet mereka melainkan merusaknya. Mereka menguras segala sumber daya yang mereka punya tanpa mengindahkan sesamanya. Kini, setelah sumber daya yang mereka punya telah mereka habiskan tanpa sisa, dengan segala kecanggihan teknologi yang mereka punya, mereka ingin merebut bumi ini dari kalian sebagai pengganti tempat tinggal mereka yang dulu. Mereka tahu bahwa di planet ini masih banyak sumber daya yang bisa mereka kuras habis.

“Wahai Mamat, makhluk bumi yang mulia, ketahuilah bahwa sebelum menyerang planetmu, mereka telah lebih dulu menyerbu makhluk planet kami—sebuah planet yang tak kalah juga indahnya dengan planetmu, planet Zrypkux. Mereka mengirimkan monster-monster mereka yang paling jahat untuk membasmi kami agar mereka dapat menguasai planet kami yang tercinta. Saat ini bala tentara kami tengah mengerahkan kemampuan terbaik kami untuk mengalahkan mereka. Badan intelijen kami telah berhasil mendapatkan informasi bahwa planet kami bukanlah satu-satunya planet yang jadi incaran mereka. Ada beberapa planet indah lainnya di berbagai galaksi telah mereka tandai, salah satunya adalah planetmu. Panglima tertinggi kami akhirnya mengutus beberapa agen terbaiknya untuk memperingatkan planet-planet tersebut agar bersiap-siap menghadapi serangan planet Sashdul. Untuk itulah aku diutus ke planet ini untuk memperingatkan penghuninya—manusia! Manusialah yang menjadi pemimpin di bumi ini bukan?

“Wahai Mamat, makhluk bumi yang berilmu, ketahuilah bahwa kami telah menemukan sebuah formula yang dapat menjadi senjata untuk menghalau monster-monster Sashdul jahanam yang akan segera berdatangan. Formula itu dapat memberikan pemiliknya wujud dan kekuatan yang setara—bahkan bisa pula melebihi—kemampuan monster-monster yang mereka kirimkan. Formula itu telah kami gunakan sampai kami dapat menemukan formula-formula lainnya yang lebih canggih. Formula yang terbaik sejatinya adalah formula yang dapat menyadarkan mereka—makhluk planet Sashdul yang keji itu—agar tidak merampas apa yang bukan hak mereka! Menyadarkan mereka agar mereka seharusnya menjaga dengan baik apa yang telah Sang Pencipta berikan pada mereka! Melestarikannya! Bukannya menggunakannya dengan rakus tanpa memikirkan kepentingan makhluk lainnya!”

Aku hanya bisa ternganga mendengar ini semua. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi menyadari realita bahwa yang sedang berbicara dalam bahasa bumi dengan begitu fasihnya di depanku ini adalah makhluk ganjil yang memang tidak ada di ensiklopedi maupun buku pelajaran Biologi manapun, sepertinya ceritanya itu bisa dipercaya...

“Wahai Mamat, makhluk bumi yang sempurna, aku telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun di planet ini, menyusup dari lorong ke lorong agar kehadiranku tidak diketahui, mencari-cari siapakah kiranya manusia yang pantas untuk kuberikan formula ini. Pencarian itu begitu melelahkan, menguras kekuatan, dan menghabiskan bekal, hingga kautemukan diriku yang sedang dalam kepayahan itu. Kau menolongku dan sejak itulah aku berpikir, jangan-jangan kaulah orangnya...

“Kau tidak seperti anak-anak muda seumuranmu, Mamat. Sementara mereka bersenang-senang dengan sesamanya, menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, kau berada dalam kamarmu. Kalau tidak untuk memulihkan kondisiku, kau gunakan waktumu untuk melatih kemampuanmu membasmi makhluk jahat di dalam kotak berisi gambar bergerak itu...”

Aku mengingat saat-saat di mana Iti berada di sampingku ketika aku sedang memainkan Space Wars. Memang dia tidak selalu berada di beranda sih. Tapi masak hanya gara-gara itu dia memilihku? Ini pasti hanya keberuntunganku saja karena aku yakin pasti ada banyak gamer yang lebih freak daripada aku. Yang main Space Wars-nya lebih jago tentu saja.

“Tanpa sepengetahuanmu, aku telah menelitimu. Aku amati kebiasaanmu, tingkah lakumu, kepribadianmu, juga terhadap segala benda yang kau miliki. Kau adalah anak yang baik, yang jarang membantah perintah orangtua. Kau hampir tak pernah berkata-kata kasar. Kau selalu bertekad menyelesaikan dengan baik apa yang telah kau mulai. Itu terbukti dengan usahamu tiap malam untuk dapat menaklukan Raja Naga dan naik ke level 50 meski sampai sekarang kau belum juga mampu melakukannya. Tapi suatu saat aku yakin kau akan bisa. Kau juga pintar menjaga rahasiamu sendiri, yaitu menyembunyikan keberadaanku tanpa dapat diketahui sama sekali oleh orang-orang yang datang ke kamarmu ini. Aku telah sampai pada suatu kesimpulan, meskipun mungkin kau bukanlah kandidat yang 100% tepat, mengingat bahwa aku tak bisa lebih lama lagi tinggal di sini, maka aku kira aku telah mengambil keputusan yang benar dengan memilihmu. Sang Pencipta telah menggiringku kemari, di saat-saat terakhirku di Bumi, untuk bertemu denganmu, seseorang yang memiliki jiwa penolong yang tinggi, yang telah merawat makhluk yang tak berdaya ini dengan penuh kesabaran. Yang tidak bisa membiarkan makhluk lain berada dalam penderitaan. Hanya segelintir manusia yang memiliki jiwa sepertimu. Kaulah orangnya!”

Aku tersentak. “E—eh, t—tunggu dulu Iti! Aku rasa kamu harus memperpanjang waktu penelitianmu di sini, Ti. Aku punya banyak teman yang jauh lebih baik daripada aku kok, beneran. Ada Tati, Budi, Rudi, Mila, Asep...” Kusebutkan nama anak-anak rajin di kelasku yang suka jadi tempatku berlabuh untuk menyamakan jawaban PR.

Dapat kulihat ekspresi sedih di wajah polos Iti sehingga membuatku terenyuh. “Andaikan aku bisa melakukannya.... Namun untuk saat ini aku tidak bisa! Aku harus segera kembali ke planetku karena serangan dari Sashdul semakin parah! Aku harus ikut mengevakuasi keluargaku! Setiap malam aku memandang ke langit luas sehingga aku bisa membaca isyarat-isyarat yang dikirim dari planetku; isyarat bahwa keadaan di planetku menjadi semakin genting dari hari ke hari! Aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri di sini berada dalam kondisi yang enak dan nyaman berkatmu sementara jauh di atas sana keluargaku berlarian karena serangan Sashdul keparat! Aku berjanji, Mamat, saat keadaan di planetku sudah membaik, aku akan kembali ke sini dengan membawa formula baru temuan kami—yang pastinya sudah jauh lebih canggih daripada formula yang ada sekarang—dan menemuimu. Kita akan melawan Sashdul bersama-sama. Mereka tidak lagi layak hidup di jagat raya semesta ini!”

Tiba-tiba terdengar suara...

“A~a~a~~aaaa....”

Benarkah apa yang kudengar? Udara serasa bergetar? Bagai dua piring yang ditangkupkan, kulihat tak seberapa jauh di atas sana benda itu turun perlahan hingga akhirnya melayang saja di atas langit malam yang kelam. Benda itu duduk dengan nyamannya di atas gumpalan awan hitam. Mataku tak dapat berkedip karena melihatnya. Begitu menakjubkan! Tak kusangka, benda itu sungguh-sungguh bukan khayalan! Aku ingin mengambil kamera dan memotretnya namun kakiku serasa dilem di ubin. Lemnya lem aibon.

Iti menoleh dengan muram. “Ah, itu jemputanku, Mamat. Sudah waktunya aku pergi....” Ia menoleh padaku lagi sambil dengan perlahan menjulurkan telunjuk tangan kanannya yang panjang dan ramping ke arahku. “Kemarilah telunjukmu, Mamat.”

Aku tidak mengerti mengapa lenganku bergetar dengan begitu hebatnya saat kujulurkan telunjuk kananku ke arah Iti. Aku juga tidak mengerti mengapa aku begitu saja melakukannya, seakan-akan ada yang mengambil alih pikiranku untuk memerintahkan tubuhku agar bertindak begitu. Apakah benar alien dapat menguasai pikiran kita?

Perlahan, ujung telunjuk kami akhirnya saling menempel. Secercah sinar keluar dari ujung telunjuknya. Menyesap ke dalam pori-pori kulitku. Membalur seluruh tubuhku. Hangat.... Terasa sekali di tengah terpaan angin malam nan dingin ini... Mengingatkanku akan sebuah lagu lama...

Berhembus angin malam... Mencekam...

Itulah kenangan... yang terakhir.... bersamamu...

Diiringi gemuruh angin... bertiup daun-daun....

Malam yang jadi saksi...

Kuserahkan.... jiwa... raga....[1]

Antara sadar dan tidak sadar—kekuatan yang baru saja merasuki tubuhku itu membuat mataku merem melek—aku mendengar sayup-sayup suara cempreng mungilnya, “Ketika monster itu telah datang... Acungkanlah telunjuk kananmu ke atas, atau tidak gunakanlah suatu benda dan acungkan benda itu ke atas... Itu akan menyertai perubahan wujud dan kekuatanmu... Gumamkanlah... ‘Dengan menyebut nama Sang Pencipta’... Kekuatanmu akan lepas dan membantumu mengalahkan kejahatan....Kekuatanmu akan kembali masuk dalam tubuhmu kalau kau acungkan lagi tanganmu atau benda yang sama seraya mengucap... ‘Segala puji hanya bagi Sang Pencipta’... Jangan sampai seorang pun mengetahui kemampuanmu ini atau kau akan berada dalam bahaya...”

Samar-samar kulihat tubuh Iti mulai melayang terbang mengikuti jalur sinar yang dipancarkan piring terbang di kejauhan sana itu... Sempoyongan, kukejar dia... Tubuhku tertahan pagar pembatas beranda—untung ada itu, kalau tidak mungkin aku sudah terjatuh ke bawah. Aku ingat kalimat terakhir yang kuteriakkan padanya sebelum dia tertelan ke dalam piring terbang adalah, “Iti, bagaimana kamu membuang kotoran?”

Terdengar suara Iti lamat-lamat raib dilumat kecepatan cahaya, “Saat kamu tidak memperhatikan, aku meloncat turun dari beranda dan naik lagi dengan merayap...”

Tak kusangka dia punya kaki cicak.

.

Keesokkan paginya Mamah menemukanku terkapar di beranda dengan sekujur tubuh merah-merah. Pahlawan super yang baru lahir pada tengah malamnya ini dimangsa habis oleh nyamuk-nyamuk kebun.

Hari itu, di saat aku bisa memperoleh lagi kesadaranku dan mengingat kejadian semalam, aku langsung memandang telunjuk kananku. Benarkah, apabila kuacungkan, kekuatan itu akan muncul? Kekuatan seperti apakah yang akan muncul? Aku jadi tidak berani mengacungkan tanganku atau benda apapun. Hal itu tidak begitu merugikanku karena aku memang bukan seorang penjawab yang aktif di kelas. Kalau sedang diabsen aku kan bisa menjawab hanya dengan mengucap, “Hadir.” Memang beberapa kali kerugian sempat kurasakan. Contoh yang terjadi adalah ketika sedang pelajaran Fisika di mana setelah menjelaskan teori fluida gurunya bertanya, “Siapa yang belum paham?” Semua murid di kelas mengacung kecuali aku. Guru tersebut lantas menyuruhku ke depan dan mengulang apa yang tadi dia katakan padahal yang kulakukan sepanjang guru tadi berceloteh adalah belajar Kimia. Aku belum belajar sama sekali padahal jam berikutnya ulangan. Jadi aku tidak mendengar sama sekali apa yang tadi dia katakan dan aku tak bisa menjelaskan apa-apa di depan selain tentang stoikiometri.

Kekuatan tersebut baru kugunakan beberapa minggu setelah kepergian Iti. Saat itu di tengah kota tiba-tiba muncul monster berkepala sembilan yang setiap kepalanya memiliki bentuk yang berbeda. Ini mengingatkanku akan pelajaran Matematika bab Dimensi Tiga di mana aku tidak lulus-lulus juga bab tersebut padahal sudah dua kali remedial. Rasa sebalku akan bentuk si monster menumbuhkan semangatku untuk mencoba kekuatan baru tersebut. Aku melihat kemunculan monster tersebut melalui jendela toilet mal yang sedang kukunjungi. Untungnya tak ada seorang pun yang ada di situ. Iseng kuacungkan pulpen yang kebetulan berada di saku celanaku. Karena sangat tidak etis menyebut nama Sang Pencipta di toilet, maka aku menurunkan tanganku kembali dan berlarilah aku ke tangga darurat yang sepi. Kuacungkan pulpen dengan menggumamkan kalimat yang diperintahkan Iti dan dalam sekejap tahu-tahu aku sedang turun dari langit dan mendarat di depan si monster dalam wujud ultra dan kostum yang tidak kubayangkan sama sekali sebelumnya. Kostum yang sama selalu menutupi tubuhku dalam beraksi di hari-hari selanjutnya. Meski sudah berubah wujud seperti itu, aku belum tahu kekuatan apa yang kumiliki. Kukira kekuatan yang aku punya hanya dapat membuatku jadi besar dan berkostum seperti ini lantas aku harus berkelahi dengan kemampuanku sendiri yang mana aku tidak memilikinya karena aku tidak pernah ikut les bela diri dan dalam adu fisik aku sering kalah—kecuali dalam Virtual Fighters tentu saja. Jadi yang kulakukan adalah dengan penuh kesumat menyerbu kepala-kepala si monster yang berdimensi tiga. Ingin kuhancurkan saja karena nilai yang jelek pada bab yang berhubungan dengan itu telah membuatku bertubi-tubi ditegur orangtua. Namun ternyata makhluk itu kuat juga. Aku dibuat kelelahan olehnya. Keringat yang kukeluarkan pasti bisa membanjiri kota kalau saja kostum ini tidak meredamnya. Dan sulit juga rasanya berkelahi tanpa meninggalkan kerusakan sedikit pun di bawah sana. Sekali-kali menginjak rumah atau merubuhkan sebagian gedung tidak bisa kuhindarkan. Aku jadi bingung kalau hendak menjatuhkan musuhku ini karena pastinya membutuhkan tempat lapang yang amat besar sekali. Aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu manusia pun yang terinjak atau terkubur reruntuhan bangunan karena aksi pertarungan kami. Bukan aku yang memilih cara bertarung seperti ini... Mengapa sih monsternya bukan ukuran biasa saja, seperti monster-monster di serial Power Rangers? Eh, tunggu, mereka juga pada akhirnya menaiki robot raksasa ya? Dalam ukuran tubuhku yang normal mungkin aku bisa cuek saja kalau tanpa sengaja menginjak semut. Kan tidak kelihatan. Tapi kalau manusia? Apa alasan yang sama masih bisa kukemukakan?

Di saat-saat genting seperti itu, lampu di dadaku mulai berkedip-kedip merah dan bersuara, “TINGTUNG! TINGTUNG! TINGTUNG!”

Aku hendak berkeluh, “Uh, apa pula ini?!” Tapi yang keluar dari mulutku (yang tidak bisa membuka itu) hanya lenguhan, “GYAAHH....” yang kemudian kuasumsikan sebagai bahasa planet Zrypkux, tempat dari mana kekuatan ini berasal. Iseng kupencet lampu tersebut, siapa tahu dengan begitu bisa mematikan suara yang membisingkan itu. Dan, wow, selain berhenti, dari tengah lampu tersebut tiba-tiba muncratlah entah berapa liter tinta—setidaknya itulah anggapanku—tepat ke salah satu muka si monster. Monster itu lantas panik. Kesempatan itu kugunakan untuk menyemprotkan tinta ke muka-muka lain si monster dengan memencet-mencet si lampu. Bukan kepalang paniknya si monster itu menjadi. Kuhimpun kekuatanku dan dengan kekuatan tinta ultra yang meluncur dari lampu di dadaku, kuhempaskan dia ke langit sampai lenyap tak berbekas. Setelah lama kutunggu tak terlihat tanda-tanda dia akan kembali lagi ke bawah akibat tarikan gaya gravitasi. Mungkin begitu kuatnya tembakan tintaku sehingga ia terlempar sampai ke lapisan langit di mana gaya gravitasi sudah tak menjangkau lagi. Mungkin dia kini sedang terombang-ambing di angkasa. Menunggu ditabrak asteroid hingga tewas. Hm, kuharapkan itu yang terjadi.

Purnalah sudah tugasku hari itu. Aku berkacak pinggang. Kutatap bulan purnama keemasan di kejauhan sana. Setelah puas bergaya—aku tahu manusia-manusia di bawah sana sedang ramai mengamatiku—aku mengacungkan pulpenku yang juga ikut membesar bersama tubuhku (hebat! Kostumku ini juga ada sakunya jadi selama aku bertarung aku bisa menyimpan pulpenku di sana!). Kuucapkan kalimat syukur pada Sang Pencipta karena telah berhasil mengusir si monster dari muka bumi. Dalam sekejap seperti ada kekuatan yang menarikku naik ke atas langit dan tahu-tahu aku sudah berada di tangga darurat lagi. Aku segera mencari jalan keluar dari mal yang ternyata sudah tutup dari beberapa jam yang lalu. Beberapa lama kemudian petugas keamanan menemukanku dan menggiringku ke posnya di mana di sana sudah ada keluargaku menunggu dengan wajah cemas. Mamah berurai air mata menyambutku namun tak pelak aku kena marah juga.

Semenjak kejadian itu, masyarakat heboh membicarakan kemunculan si monster, aku (dalam kostum yang menyembunyikan identitasku tentu saja), dan pertarungan di antara kami berdua. Aku bisa maklum semua kalangan ribut karena ini adalah fenomena alam yang memang aneh sekali. Bayangkan, dua raksasa tiba-tiba muncul dari langit dan bertarung satu sama lain. Pertama-tama, datang dulu raksasa menyeramkan yang memporakporandakan kota. Orang-orang panik berlarian bagai anai-anai yang bertebaran. Tak lama kemudian, datanglah raksasa yang jauh lebih bagus bentuknya dan kedatangannya itu adalah untuk menghajar si raksasa menyeramkan dan setelah takluk dibawanya makhluk jelek itu untuk dibuang entah ke mana. Kejadian ini kemudian tidak hanya sekali itu saja terjadi melainkan berkali-kali. Monster-monster itu terus berdatangan dan tugaskulah untuk mengusir mereka dari bumiku yang indah. Hanya aku di planet ini kiranya yang mempunyai kekuatan untuk menghancurkan para monster bandel itu sehingga tugas berat ini adalah tanggung jawabku. Untungnya lama kelamaan masyarakat bisa pula terbiasa dengan kehadiran monster-monster tersebut sehingga kalau tiba-tiba muncul monster mereka sudah tahu harus menyelamatkan diri ke mana. Kini di beberapa tempat sudah mulai dibangun tempat-tempat perlindungan meski masyarakat membangunnya dengan masih terheran-heran. Yang pasti tempat perlindungan tersebut bukanlah sejenis lubang di bawah aspal. Jalanan pun bisa melesak ke dalam kalau sudah ditimpa monster.

Setiap kali hendak berubah wujud, kugunakan benda yang berbeda. Tahulah aku bahwa setiap benda punya pengaruhnya sendiri-sendiri dalam membantuku menjalankan tugasku. Saat aku mengacungkan sedotan misalnya, tubuhku jadi bisa meliuk-liuk dan aku bisa menyedot si monster ke arahku lantas meniupkannya lagi kencang-kencang ke udara. Saat aku mengacungkan uang, itu membuat si monster jadi selalu mengejar-ngejarku ke manapun aku melangkah. Namun itu jadi mempermudahku untuk menjebaknya masuk dalam perangkapku. Aku buat dia rela membunuh dirinya sendiri demi mendapatkanku. Kekuatan yang aneh...

Para ilmuwan sains, sosial, hingga parapsikologi ramai membicarakan fenomena munculnya monster-monster ini dan terutama soal diriku yang selalu jadi pahlawan dalam memberantas monster-monster tersebut. Mereka mencoba berbagai macam teori dan spekulasi, mengadakan kajian, menjadi pengamat yang baik saat pertarungan dilakukan, mengidentifikasi sisa-sisa pertarungan, bahkan sebuah komisi baru telah dibentuk PBB secara khusus untuk mengkaji masalah ini! Namanya kalau tidak salah Ultraboy World Research Study Center atau apa ya... Entahlah, aku lupa. Yang jelas aku selalu berusaha agar pertarunganku dengan monster bisa berjalan secepat mungkin. Kalau pertarungan terpaksa dilakukan di tengah kota, aku berusaha agar kerusakan yang terjadi tidak parah. Kalau perlu si monster kubawa ke tempat luas yang benar-benar sepi dulu baru kuhajar. Aku tidak nyaman dengan sorotan publik ini. Apa boleh buat, inilah konsekuensi dari permasalahan yang sedang menimpa bumi sedang para makhluk bumi sendiri tidak ada yang mengetahuinya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain beraksi tanpa banyak bicara. Dalam wujud seperti ini aku mau tak mau harus selalu bungkam. Ketika aku dalam wujud di mana aku bisa dengan bebasnya bicara, aku harus mempertimbangkan kemungkinan ditertawakan dan dicemooh habis-habisan kalau aku bilang ada makhluk jahat dari planet lain yang ingin membasmi manusia agar bisa menempati planet yang indah ini.

Jadi untuk saat ini hanya inilah yang bisa kulakukan. Aku berusaha sehati-hati mungkin ketika hendak berubah wujud. Aku berusaha keras agar tidak membuka rahasiaku ini pada siapapun. Aku menutup diri dari segala publikasi tentang apa-apa yang melibatkan diriku. Bahkan jika teman-temanku sudah mulai membicarakan topik ini, aku hanya bisa diam dan berharap mereka segera beralih ke lain topik.

Belum ada seorang pun yang dapat menguak misteri di balik fenomena ini. Aku berharap Iti segera kembali dengan formula baru yang lebih canggih dan bisa menghapus ingatan masyarakat bumi akan kehadiran Ultraboy dan monster-monsternya. Harapan yang lebih baik lagi tentu saja, semoga mereka telah menemukan formula yang bisa menghentikan niat jahat makhluk planet Sashdul. Mengajak mereka berdamai atau apalah.

.

Sore itu kulewati Mamah di ruang tengah yang diam saja tak menegur kepulanganku dari sekolah seperti biasa. Mungkin perasaannya masih tidak enak karena dipanggil ke ruang guru tadi. Nilai-nilai ulanganku yang jelek dan PR-PR yang kulalaikan pasti sudah diketahuinya. Begitu Bapak pulang, pasti segera diadukannya hal ini. Sementara mereka marah-marah di luar kamarku yang pintunya terkunci, aku pun hanya bisa menenggelamkan diri dalam dunia di balik layar kaca: game-game-ku...

...tidak ada di tempatnya.

Begitupun dengan TV 14 inch-ku. Dan PS 3-ku. Lunglailah diriku. Aku merasa sedih dan tidak berdaya.

“Kamu dulu tidak seperti ini,” ucap Bapak di meja makan pada malamnya setelah mendapat laporan Mamah. Emosi yang ditahan mengambang dalam intonasi suaranya. Map berisi rapot bayangan hasil ujian tengah semesterku terbuka di hadapannya. Hasilnya buruk dan aku sudah ditegur habis-habisan gara-gara itu pada malam setelah pembagiannya.

“Mamat, Mamat kenapa sih, Mat?” nada bicara Mamah melunak. “Makanya Mamah ambil PS Mamat supaya Mamat nggak keblablasan main terus sampai nggak tidur semalaman.”

Kalau saja aku punya waktu untuk main PS semalaman....

Aku tidak mungkin bilang sama mereka kan kalau aku menghabiskan malam-malamku untuk membuang bangkai monster ke lubang hitam nun jauh di langit sana?

“Mat, minggu depan kan sudah UAS... Malu nggak sih Mat, kalau ketiduran terus di kelas? Dapat nilai paling jelek terus?”

Siapa juga yang suka dapat nilai jelek, Pak? Kapasitas otakku memang terbatas. Sebelum jadi ‘pahlawan’ saja nilaiku sudah pas-pasan, kini setelah beban menyelamatkan bumi berada di pundakku makin keteteran saja aku. Makin jatuh nilaiku. Hei, pahlawan penyelamat bumi tidak mesti punya kehidupan akademis yang baik kan?

“Guru Mamat tadi bilang, kalau UAS kali ini nilaimu bagusan, kamu nggak jadi tinggal kelas.”

“Hah?! Mamat apa—?”

Tak kukira kehidupan ganda ini telah kujalani selama hampir setahun lamanya. Semester lalu yang telah kujalani berakhir dengan mengenaskan. Kali ini adalah semester penentuan karena merupakan semester genap. Di mana pada semester berikutnya aku sudah akan jadi kakak kelas lagi untuk adik-adik kelas yang baru.

“Ini kesempatan terakhir, Mat. Jangan disia-siakan.” Bapak menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya.

“Iya, makanya jangan main PS dulu ya, Mat. Konsen dulu belajar. Kalau hasil UAS Mamat bagus, Mamat naik kelas, Mamah balikin PS Mamat.”

Aku... tinggal kelas?

Urusan mengenyahkan monster-monster benar-benar harus disingkirkan dulu! Maafkan aku, Iti!

.

Aku bersyukur sejak orangtuaku memperingatkanku akan kemungkinanku tinggal kelas, para monster itu sudah semakin jarang muncul. Bahkan saat UAS pun sama sekali tidak ada panggilan kerja yang biasanya berupa bunyi sirine yang mengiang-ngiang dalam kepalaku. Aku semakin dapat merasakan adanya panggilan kerja ini seiring dengan makin tingginya jam terbangku (aku benar-benar dapat terbang!). Aku menganggapnya sebagai semacam insting atau naluri.

Oh, apakah Iti dan kawan-kawan seplanetnya telah menemukan formula yang dapat menjinakkan makhluk-makhluk Sashdul yang beringas ingin membantai makhluk planet lainnya itu? Aku jadi kangen padanya. Iti, bagaimanakah keadaannya sekarang?

Meski minggu UAS telah berhasil kulewati dengan baik tanpa ada gangguan dari satupun monster (seakan mereka mengerti kalau aku sedang UAS), namun aku masih tetap tak bisa luput dari remedial. Aku bersyukur satu-satunya mata pelajaran yang harus diremedial hanya Fisika. Maklum saja aku jatuh di mata pelajaran ini. Selain karena aku memang sulit memahaminya, selama satu semester ini aku hampir-hampir tidak pernah membuka mataku saat gurunya sedang menerangkan. Jadi bisa dikatakan bahwa isi folder ‘Fisika’ dalam kepalaku fully blank. Karena sudah terlalu sering diremedial, maka guruku hanya memberiku satu kesempatan lagi untuk meremedial mata pelajaran ini: besok.

Tidak ada waktu untuk menyesal. Yang ada hanyalah sekarang dan masa depan.

Dari bawah sayup-sayup terdengar suara TV dibesarkan. Mungkin Mamah atau Bapak sedang menonton acara dialog interaktif yang lagi sengit-sengitnya. Aku mencoba untuk tidak mengindahkannya.

“Monster itu semakin mendekat ke arah pusat kota. Tingginya sekitar 15 meter....”

Ah, peduli amat, pusat kota kan masih jauh dari sini...

MONSTER?

“Warga kini sedang dievakuasi oleh tentara ke arah timur. Mereka bersembunyi di....”

“...menanti kedatangan Ultraboy....”

”Ultraboy... Tolong kami.... Monster telah menghancurkan tempat tinggal kami...”

Aliran rumus berhenti memasuki rongga otakku. Bukan karena mereka tiba-tiba mogok atau apa tapi semata-mata karena pintu-pintu yang ada menuju ke dalam rongga otakku telah tertutup rapat. Yang ada hanya sirine yang mengiang-ngiang dengan keras, memekik, menghunjam setiap sudut otakku...

Ada monster.

Aku harus cepat berubah wujud.

Tapi, aku harus belajar.

Kesempatanku untuk lulus Fisika hanya besok.

Tidak ada lain kali.

Itu harus dipersiapkan habis-habisan malam ini.

Malam ini harus dioptimalkan untuk belajar Fisika.

Biarpun aku lulus di mata pelajaran lainnya, tapi kalau ada satu saja mata pelajaran yang nilainya tidak mencukupi untuk lulus, aku tetap akan tinggal kelas.

Aku tidak mau tinggal kelas.

Itu memalukan.

Bagiku dan bagi keluargaku, orangtuaku.

Orangtuaku yang telah begitu baik padaku. Secara sukarela membayar biaya sekolah yang amat mahal.

Anakmu ini tak mampu mensyukurinya karena sering molor di kelas dan mendapat nilai jelek.

Aku harus belajar.

Harus belajar.

Belajar.

Harus.

Aku...

....membuka pintu kamarku dan dengan emosi memarahi kedua orangtuaku yang sedang terpaku di depan TV.

“Gimana sih, Mamat kan mau belajar? Matiin dong TV-nya! Jadi nggak bisa konsen nih. Atau pelanin kek!”

Bapak buru-buru mengambil remot dan memelankan suara TV namun matanya masih tak bisa lepas dari layar kaca tersebut. “Ultraboy kok nggak muncul-muncul ya?” gumamnya.

“Kejadiannya di kota kita, Mat...” Kudengar juga suara Mamah namun aku tak menanggapinya. Aku bahkan tak menengok ke arah TV sama sekali. Aku pusing dengan rumus dan juga soal monster. Huh, tak bisakah monster itu muncul besok malam saja?

Kupikir-pikir capek juga mengurusi monster-monster itu. Sungguh menguras tenagaku harus bergulat dengan mereka, memelintir, mengangkat, membanting, menendang, melemparkan... Semua itu kujalani beberapa kali dalam sebulan dan itu sudah kulakukan selama berbulan-bulan—hampir setahun malah ternyata—dan aku tidak heran kalau tubuhku jadi cukup kekar.

Sirine itu makin kuat mengguncang kepalaku. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar geraman si monster.

Aku membanting pintu beranda, menguncinya, menutup gordin rapat-rapat—tak peduli bahkan jika monster itu dapat mengeluarkan api sekalipun—aku harus belajar!

Masa depanku dipertaruhkan!

Meskipun kemampuan lainku mungkin lebih berguna bagi masyarakat, tapi tetap akademik yang harus didahulukan!

.

Aku tidak tahan lama-lama berada di kamarku. Di lantai dua ini rasanya suara-suara di seluruh kota dapat terdengar masuk menembus kepalaku. Kucari-cari bagian terdalam rumah yang paling kedap terhadap gangguan suara dari luar... Hm.... Di mana ya? Kuputuskan untuk pindah ke ruang kerja Bapak. Ha, benar sekali. Ini adalah tempat yang tepat. Sangat tenang. Kutempelkan pantatku pada kursi Bapak yang besar dan empuk. Hm, nyamannya! Kusuruh sirine dalam kepalaku diam. Karena terbiasa berkonsentrasi menghimpun tenaga agar bisa menghasilkan kekuatan ultra sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi si monster, agak mudah pula jadinya bagiku untuk berkonsentrasi mendiamkan sirine di kepalaku itu. Dalam waktu yang tidak begitu lama, akhirnya isi kepalaku dapat tenang juga. Kini bisa kucurahkan seluruh perhatianku agar bisa menjadi The Master of Physic dalam semalam.

Wakaka....

.

Kudapati jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Huahm, aku ketiduran rupanya. Untungnya di kepalaku telah lengket beberapa rumus. Aku bangkit untuk melaksanakan solat tahajud. Ya, akhir-akhir ini memang ibadahku jadi rajin gara-gara UAS. Solat lima waktu tak pernah ketinggalan, lengkap dengan solat sunah rawatib, duha, dan tahajudnya. Puasa Daud apalagi. Orangtua dan teman-temanku sampai geleng-geleng kepala. Bapak hanya bilang, “Bagus kalau Mamat bisa pertahankan terus.” Hm, aku tak yakin.

Setelah melaksanakan solat, aku menyeduh sebungkus kopi instan agar kantuk tak lagi muncul. Aku berhasil bertahan sampai subuh dan beberapa tambahan rumus dan konsep telah menempel di kepalaku. Setelah solat subuh kuteruskan lagi hapalan dan latihanku. Karena sehabis UAS tidak ada KBM sebagaimana biasa, maka aku pun baru akan ke sekolah sekitar jam setengah sembilan pagi. Jadwal remedialku jam sembilan. Pada jam delapan pagi, aku, yang telah siap berangkat, melewati kamar orangtuaku di mana kulihat mereka berdua sedang berbenah seperti hendak pergi ke suatu tempat. Aku heran karena seharusnya Bapak sudah berangkat ke kantor pada jam segini. Kulihat raut muram di wajah Bapakku.

“Kok nggak ngantor, Pak?” tanyaku.

“Ikut runtuh, Mat, kantor Bapak.” Bapak mengancingkan lengan batiknya.

“Hah?” Dahiku berkerenyit. Lantas teringat kejadian semalam. Kejadian yang seharusnya menjadi tanggung jawabku untuk mengatasinya. Ah, mereka kan tidak tahu kalau itu tanggung jawabku. Jadi untuk apa aku merasa bersalah? Itu kan tanggung jawabnya Ultraboy.... yang mana adalah aku... Tidak, saat ini Mamat namaku. Rahmat Hidayat. “Oh iya, kemarin gimana? Itu... Berita monsternya?”

“Yah, sama tentaralah, Mat. Untung kita masih punya tentara....”

“Trus sekarang Mamah sama Bapak pada mau pergi ke mana?”

“Mau ngelayat temen...”

“Ah, udahlah Mat, liat aja berita kalau pingin tau beritanya lebih lengkap,” usir Mamah yang tidak bisa menyembunyikan kedukaannya.

Bergegas aku ke ruang tengah di mana sudah tergeletak di atas meja koran terbaru edisi hari ini. Kubaca angka yang tertera: 23. Sebanyak 23 warga tewas karena kerusuhan yang diakibatkan oleh si monster tadi malam. Monster tersebut akhirnya dapat ditaklukan setelah ditembaki berliter-liter gas air mata. Kini monster itu dibawa dengan kapal angkut... apalah itu namanya... ke Jepang untuk diteliti lebih lanjut.

Dari 23 warga yang meninggal itu salah satunya adalah teman orangtuaku.

Kubaca angka yang menggambarkan besarnya kerusakan infrastruktrur perkotaan yang ada. Wah, hebat juga.

Aku membayangkan sekiranya tadi malam aku menyempatkan diri untuk membantai monster tersebut. Melihat potret si monster kukira aku dapat menghabisinya dalam waktu... kurang dari sejam saja. Korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dapat kuhindari dengan membawa terbang si monster ke tempat sepi dan baru di sana aku mengajaknya berduel. Benda yang akan kuacungkan untuk menyertai perubahan wujudku mungkin ketapel. Akan kuketapel makhluk itu langsung ke lubang hitam. Atau kalau tidak buku pelajaran Fisika saja sekalian. Akan kuhancurkan si monster butut ini dengan aplikasi rumus-rumus di dalamnya. Rumus momentum boleh juga. Akan kucari momentum yang tepat untuk men-smack-down-nya.

Mungkin tidak akan terlalu melelahkan jika aku pergi semalam meski tetap saja stamina termakan. Aku akan begitu letih dan mengantuk sesampainya di rumah. Aku tidak akan sanggup menggerakkan tangan apalagi membuka mata untuk mengerjakan soal-soal latihan.

Bapak dan Mamah telah keluar dari kamar. Mereka menawarkan siapa tahu aku mau ikut pergi dengan mereka sekalian diantar ke sekolah. Tentu saja aku mau. Bertiga kami menaiki mobil. Di dalam mobil Bapak tak henti-hentinya mengingatkan kami agar mengucap syukur rumah kami tak jadi sasaran injakan si monster. Untung juga si monster itu tidak menjangkau sampai ke daerah sekitar rumah kami.

Sepanjang jalan ke sekolah bukanlah pemandangan yang biasa yang kutemui. Banyak bangunan yang sudah tidak utuh lagi. Di sekitar bangunan-bangunan rusak itu kulihat orang-orang mondar-mandir dengan wajah frustasi, bingung, atau malah tersenyum tawakal. Hatiku mencelos. Tubuhku merinding. Selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi orang-orang di bawah kakiku. Memandangi monster mengerikan tanpa ancang-ancang meratakan segala bangunan dengan tanah. Tempat-tempat yang mungkin jadi penyimpan kenangan telah luluh lantak. Maklum saja, saat itu terjadi aku sedang berada di atas dan tak kupungkiri mungkin aku menginjak satu-dua bangunan. Dalam keadaanku yang sedang di bawah ini, dan tidak ada tanduk bagai jambul mohawk yang nyaris menyentuh atap langit, aku mendapat pandangan seorang korban dari pertarungan sengit yang terjadi di atas. Tanpa dapat dihindari, masyarakat di bawah akan selalu jadi korban....

Mobil berhenti di tepi sebuah reruntuhan bangunan berwarna hijau.

Sekolahku.

“Semoga remedialnya sukses ya.”

Aku menyalami Mamah dan Bapak bergantian. Kami bersikap seolah tidak terjadi apa-apa yang luar dari biasa. Seolah bangunan sekolahku masih utuh berdiri. Mobil orangtuaku segera melaju pergi. Meninggalkanku yang hanya bisa terdiam.

Aku mungkin tak jadi remedial hari ini.

Padahal aku sudah belajar semalam sampai suntuk.

Apa kususul saja ya gurunya sampai ke rumah?

Beberapa orang yang kukenali bermunculan. Kulihat dari ekspresi mereka, mereka sedang berusaha menerima kenyataan bahwa sekolah mereka kini telah hancur lebur.

Adakah guru Fisikaku di sana? Bisakah segera kita mulai remedial Fisikanya? Bisakah segera kumuntahkan kembali tetek bengek Fisika dari dalam kepalaku? Bisakah segera kita selesaikan ini? Karena ada satu urusan yang ingin cepat-cepat kuselesaikan.

Jika itu adalah kehadiran monster, aku akan dengan senang hari lekas-lekas berubah wujud dan menggempurnya.

Jika tidak ada pun, kutatap langit pucat, akan kukeluarkan buku Fisikaku. Akan kuacungkan ke langit sana. Dengan menyebut nama Sang Pencipta, dan segala konsep mengenai hukum-Nya yang terhimpun di dalam buku tersebut, lihatlah apa yang bisa kulakukan sesampainya aku di neraka Sashdul.

 

akhirnya...

24 Mei 2009

0:15 WIB

18.09 WIB



[1] Dari lagu berjudul Angin Malam, pernah dinyanyikan oleh Bob Tutupoli, Broery Marantika, Trio Ambisi, maupun Pance

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain