Senin, 20 Juli 2009

Kaum Parsimonious

Kaum Parsimonious membuat gubuk—begitu mereka menyebutnya—mereka di pinggiran kota. Jauh dari hiruk pikuk masyarakat kota dan tidak ada yang bisa membujuk mereka untuk membeli barang-barang yang tidak mereka perlukan.

Brangkal merupakan bahan utama yang digunakan Kaum Parsimonious untuk membangun gubuk mereka. Mereka mengolahnya lagi sehingga layak dipakai. Jika mereka membutuhkan yang lain mereka akan mengambil secukupnya. Gubuk itu dirancang bersama-sama dan seorang pensiunan insinyur sipil di antara mereka memberitahu bahan mana yang baik untuk dijadikan bagian apa. Gubuk itu masih utuh meski angin puting beliung dan gempa pernah menghampiri daerah tersebut.

Ruang utama gubuk mampu menampung puluhan anggota Kaum Parsimonious. Ruangan itu temaram karena mereka belum merasa butuh untuk mengganti lampunya dengan lampu 100 watt. Mereka menggunakan ruangan itu hanya untuk rapat atau kegiatan verbal lainnya yang tidak membutuhkan pencahayaan tinggi.

Di satu sisi terpampang sebuah papan ukuran besar yang bersih dari serangan debu. Papan itu berisi tulisan demikian:

 

P R I N S I P – P R I N S I P

K A U M  P A R S I M O N I O U S

 

1

Gunakan akal pikiranmu.

Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.

2

Carilah penghasilan sendiri.

3

Simpan untuk orang lain dan diri sendiri untuk masa depan.

4

Gunakan jika menyangkut kebutuhan hidup yang vital.

Pilih produk yang murah tapi berkualitas

5

Untuk kebutuhan yang tidak terlalu vital, terapkan selalu 3R: Reuse, Recycle, Refill.

Ingat selalu prinsip “dengan modal kecil mendapatkan keuntungan secukupnya”

6

Manfaatkan kebaikan orang lain tanpa harus kehilangan harga diri. Jangan melewatkan orang-orang ikhlas yang memberikan gratis.

7

Bermurahhatilah. Maka orang lain pun akan bermurah hari padamu.

 

Kaum Parsimonious berpegang pada ketujuh prinsip ini dalam urusan mereka yang berhubungan dengan finansial.

Kamis malam ini, yang merupakan jadwal pertemuan rutin diadakan, ruangan itu tengah diisi sekitar duapuluhan anggota. Mereka duduk melingkar dan tampak serius membicarakan sesuatu.              

“Terimb membeli silikon untuk membungkus ponselnya,” seorang wanita mendesis.

“Kemarin kita sudah sepakat bahwa kita tidak membutuhkannya kalau kita bisa menjaga barang kita dengan hati-hati,” sahut seorang pemuda yang berpeci hijau.

“Tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau kita bisa selalu bersikap hati-hati,” celetuk seseorang dengan lantang.

“Kalau kita menggunakan pelindung, itu akan mengurangi kehati-hatian kita. Jatuh sesekali mungkin tidak apa-apa. Itu akan menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berhati-hati menjaga barang kita,” balas si pemuda berpeci hijau lagi.

“Ya, sesungguhnya kita tidak membutuhkannya. Kaum Enturpeneer telah mempengaruhi masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka merasa membutuhkannya,” tambah seorang perempuan yang sedang memelintir tali yang menjuntai dari rok belelnya.

“Bagaimana dengan Konstipastop?”

“Apa itu?”

“Obat sembelit. Aku melihat Hilda memborongnya kemarin.”

“Satu lagi anggota kita yang kelebihan uangnya,” gumam seseorang. “Padahal ia bisa menggunakan uangnya untuk hal yang lebih penting.”

“Ia tak perlu membelinya kalau saja ia rajin makan sayur dan buah berserat. Itu lebih murah ketimbang membeli produk-produk Taishit,” kata perempuan dengan rok belel itu lagi.

“Ya... Ya...” Orang-orang bergumam menyetujui.

Pemuda berpeci hijau menepuk tangannya beberapa kali agar perhatian orang-orang beralih kembali padanya. “Hari ini telah kita dengar beberapa saudara kita telah terjerat bujuk rayu Kaum Enturpeneer.”

“Ya! Mereka telah membuat orang-orang membeli barang yang tidak perlu!”

“Kita tidak boleh lengah, Saudara-saudara! Kita harus selalu berpikir sebelum memutuskan membeli sesuatu.”

“Ya! Ya!” Orang-orang berseru dan itu menutup pertemuan rutin kali itu.

Lepas dari ruang utama di mana beberapa orang masih tinggal untuk berdiskusi, Mahet, perempuan dengan rok belel tadi, berjalan gontai menuju satu pintu. Dibukanya pintu itu dan didapatkannya beberapa orang di dalam ruangan kedap suara. Setiap sisi dinding ruangan itu dilapisi busa styrofoam tebal. Mereka banyak mendapatkannya di Tempat Pembuangan Sampah Akhir—sumber utama bahan bangunan gubuk tersebut. Orang-orang dalam ruangan itu sedang bermain-main dengan alat musik mereka masing-masing. Alat musik buatan mereka sendiri yang bahan-bahannya kau-pasti-sudah-dapat-menebak-darimana-mereka-mendapatkannya.

Mahet tersenyum murung pada mereka semua. Seseorang berpeci Turki menyapa, “Hai Mahet, lagu apa lagi yang kau buat?”

“Kami menanti-nanti lagu ciptaanmu yang bercerita tentang seseorang berpeci hijau,” celetuk seorang yang lain dengan nada menggoda sambil mengedipkan mata. Mahet menyeringai.

“Oh Raf, memang apa yang bisa dia lihat dari aku? Yang hanya bisa mengkhayalkan kata-kata dan nada?”

“Setidaknya kami bisa membuatnya jadi nyata.” Raf mengangkat bahu.

Mahet mencoba terlihat senang untuk merespons orang-orang yang mencoba menghiburnya ini. Mereka pandai bermusik tapi terlalu malas berupaya menciptakan sendiri lagu mereka. Kemunculan Mahet sedikit banyak menolong mereka meski kebanyakan lagu-lagu ciptaannya bernada pesimis—berkebalikan dengan mereka yang rata-rata selalu menanggapi apapun dengan positif.

“Sebetulnya sejak kemarin-kemarin aku memikirkan lagu yang menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kaum Parsimonious, Abun,” Mahet membalas pertanyaan dari orang yang tadi pertama kali menyapanya.

“Bagaimana liriknya?” teriak seseorang di pojok belakang seakan sudah siap membuat irama. Keahliannya adalah dalam memainkan alat musik pukul.

“Sebenarnya aku belum benar-benar merangkai liriknya. Mm, mungkin seperti ini...

dalam gubuk kecil ini kami adalah mereka

yang tergerus dari peradaban

karena tak punya cukup uang

untuk mengikuti gaya hidup masyarakat urban

jadi kami mundur dan hidup dengan cara kami sendiri

mereka menerimanya dengan cibiran dan cemoohan

menjauhlah kami ke pinggiran.”

“Nada minor seperti biasa,” Raf mengedipkan mata pada Abun.

tapi kami menemukan bahwa kami masih bisa hidup

dengan cara kami yang sederhana

kami tak butuh semua barang itu

kami hanya butuh yang kami butuhkan bukan yang kami inginkan

 jika kau punya lebih, lebih baik berikan pada yang

membutuhkan.” 

Masih dengan peci hijau bertengger di kepalanya, Sotka masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya sambil melanjutkan kalimat Mahet.

“Lirik buatanmu butuh polesan lagi,” ucap Mahet gagap karena menyadari kehadiran Sotka.

“Hei, kayak lirik buatanmu sendiri cukup bagus saja,” ledek Raf.

“Memang tidak ya?”

“Keluarlah dan kembali kalau sudah mendapatkan mood.”

Mahet menurut. Lewat pintu di sisi lain ruangan ia keluar dan mendapatkan langit gelap bergemerlapan bintang-bintang menaungi Tempat Pembuangan Sampah Akhir yang terhampar beberapa puluh meter jauhnya di depan. Di belakangnya tampak siluet beberapa gundukan bukit. Perbukitan tandus yang Kaum Parsimonious terlalu-sibuk-mengolah-sampah untuk memikirkannya.

Ia mencoba merangkai kata-kata lagi. Yang penting adalah idenya. Bagaimana memoles kata-katanya menjadi lirik yang mengena itu urusan nanti. Ia mengeluarkan isi kepalanya sambil coba-coba menyanyikannya.

mereka membeli terlalu banyak barang

dan membuangnya ke tempat kami.

negeri ini tidak tahu bagaimana mengelola sampahnya,

(meski kami tahu)

tapi mengapa mereka tetap membeli banyak barang...

kau tahu berapa banyak sampah yang bakal dihasilkan

karena itu...

Ponselnya berbunyi dan ia kehilangan kata-kata. Ah, biarlah. Toh yang barusan keluar dari mulutnya itu pun terasa bagai sesuatu yang tak ada maknanya. Dibacanya sms yang masuk. Sms itu dari temannya yang ia kenal dari kursus menjahit semester pendek yang diikutinya setahun lalu. Kursus yang berguna karena kini ia bisa menambal sendiri pakaiannya meskipun itu membuat bisik-bisik tetangganya semakin keras. Mereka bisa menjadikan pakaian kurang bahan sebagai mode lalu apa salahnya jika pakaian penuh tambalan dipandang juga sebagai suatu mode?

Yafa menawarkan suatu pekerjaan part time yang bisa memberinya lima ratus ribu per bulan. Ia sendiri sudah mencobanya. Menarik! Penghasilannya selama ini sebagai penulis lagu untuk The Parsimoniy tidak bisa dibilang cukup berarti. Band milik Kaum Parsimonious ini mengedarkan sendiri lagu-lagu mereka. Label mayor tidak bisa menerimanya karena meskipun komposisi musiknya kaya (bunyi-bunyian yang hanya bisa kau dapatkan dari alat musik-alat musik hasil modifikasi berbahan sampah) akan tetapi kebanyakan liriknya amat tidak komersil. Selain itu masyarakat pun tidak menyukai lirik lagu-lagu The Parsimony karena isinya kebanyakan menohok masyarakat dengan keburukan-keburukan yang mereka perbuat sendiri. Hanya segelintir manusia idealis-realistis yang cukup berani untuk menyukai karya mereka.

Mahet tersenyum sendiri membayangkan ia akan bisa memenuhi biaya hidupnya sendiri tanpa harus bergantung pada orangtuanya. Orangtuanya yang masih bertahan dengan gaya hidup masyarakat kota padahal akan lebih baik bagi masa depan mereka kalau mereka mau menganut juga prinsip-prinsip Kaum Parsimonious sepertinya.

Ia membalas sms temannya itu dengan menanyakan deskripsi pekerjaan itu setelah mengucapkan terimakasih atas tawarannya.

Mari besok bertemu di Selasar Balai Kota. Akan kubawa kau ke kantor dan mereka akan menjelaskannya untukmu.

Tidak bisakah lewat sms saja, please?

Tiba-tiba ia ingat jangan-jangan pekerjaan ini adalah semacam MLM seperti Taishit. Kalau benar begitu tentu saja ia tidak bisa menerima pekerjaan ini! Ia melanjutkan mengetik sms,

Apakah ini semacam MLM? Kalau iya, aku tidak bisa. Aku tidak yakin memiliki kemampuan seperti itu.

Bukan jadi sales, kok. Pekerjaan ini semacam menjadi promotor produk kesehatan.

Mahet terdiam. Tuh kan, benar. Ia tidak bisa menerima pekerjaan ini. Ia tidak bisa menjadi bagian dari mereka yang membujuk rayu orang-orang agar jadi konsumtif. Membeli barang-barang yang tidak mereka mereka butuhkan.

Mahet, sebagaimana anggota setia Kaum Parsimonious lainnya, yakin bahwa mereka masih dapat hidup sehat tanpa harus mengonsumsi produk kesehatan macam itu. Asalkan mengaplikasikan gaya hidup sehat tentu saja. Kaum Parsimonious tahu bagaimana mengaplikasikannya dengan cara semurah-murahnya dan sehemat-hematnya karena itu sudah bisa dikatakan asas hidup mereka. Kaum Parsimonious memahami bahwa sesungguhnya manusia zaman ini semakin kesusahan mendapatkan uang karena persaingan mendapatkan penghasilan yang makin ketat dan tidak sehat. Tapi Kaum Enturpeneer terus menerus menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Mereka mempengaruhi masyarakat bahwa kebutuhan-kebutuhan itu harus mereka penuhi kalau tidak mau ketinggalan zaman. Kini kita hidup di masa di mana bukan lagi kerusakan moral akan tetapi menjadi ketinggalan zamanlah yang merupakan sanksi sosial terberat. Namun Kaum Parsimonious terdiri dari orang-orang menengah ke bawah yang tidak boleh begitu saja terjerat pengaruh Kaum Enturpeneer yang sangat menuntut tingginya finansial. Mereka berhasil menggunakan akal mereka untuk memilah-milah mana kebutuhan yang vital dan mana yang tidak. Mereka memisahkan antara kebutuhan yang menopang hidup dengan keinginan sesaat yang tidak akan menyebabkan kefatalan kalau tidak mereka penuhi. Prinsip-prinsip Kaum Parsimonius—yang dirancang oleh para pemikir terdahulu mereka—begitu kuat mereka terapkan sehingga ketika mereka mendapatkan kelebihan, itu tidak akan mereka gunakan untuk menyenangkan diri mereka dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu, melainkan akan mereka berikan kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan vital mereka. Masih ada banyak orang-orang seperti itu di negeri ini.

Mahet tidak memberitahu alasan itu pada Yafa, demi hubungan baik mereka, meskipun hubungan itu belum begitu dekat sehingga Mahet bisa mengajak Yafa untuk bergabung dengan Kaum Parsimonious.

.

Sebenarnya Mahet agak paranoid ketika harus memasuki kawasan pusat kota. Orang-orang pasti memperhatikannya, entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka akan memperhatikan penampilannya yang sederhana dan mencela pilihannya pada produk-produk yang tidak bergengsi.

Apa boleh buat. Pusat kota adalah pusat segalanya, di mana kita bisa mendapatkan supermarket, toko sayur dan buah, toko daging, toko buku, perpustakan, dan seterusnya. Mahet harus ke pusat kota setidaknya dua hari sekali untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Meski harus mengecap paranoia, setidaknya apa yang ia dapatkan dengan indranya di sana bisa menjadi stimulan untuk ide-ide kreatifnya.

Seperti biasa Mahet menapaki jalan yang memisahkan deretan toko yang satu dengan deretan toko yang lainnya. Jalanan itu tertutup paving blok yang rapat dan tidak akan membiarkan tanah di bawahnya meresap air kecuali setetes demi setetes yang melalui celah-celahnya. Mereka seharusnya tidak perlu menghabiskan begitu banyak uang membuat ini, pikir Mahet. Setidaknya dengan paving blok serapat ini. Andai mereka memilih paving blok dengan lubang-lubang yang berumput, mereka tidak akan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh air bersih. Rerumputan akan menghisap air hujan yang turun, menampungnya di dalam tanah, menjadi sumber air bagi masyarakat kota...

Mahet berbelok ke jalan raya. Ia berjalan di jalur pedestrian yang ditutupi oleh kanopi yang ditopang tiang-tiang. Mereka seharusnya tidak perlu mengeluarkan begitu banyak uang untuk membuat ini. Tanami saja pepohonan di sepanjang jalan ini, yang terdiri dari jenis-jenis bertajuk rindang dengan perakaran dalam. Jalur di pinggir pepohonan akan cukup teduh untuk menaungi pedestrian, pikir Mahet. Polusi dari kendaraan-kendaraan yang berseliweran pun akan terserap oleh kehadiran pohon-pohon itu.

Mahet telah memasuki pusat perbelanjaan yang lain dan kembali menapaki paving blok. Ia menangkap headline beberapa koran berbeda yang dijajakan sebuah kios yang dilewatinya. Ia berhenti sebentar untuk membaca berita apa yang tengah jadi sajian utama koran-koran itu. Rupanya negeri ini sedang digemparkan oleh hasil sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan serentak di seluruh negeri. Penelitian ini melibatkan sekitar 10% dari jumlah populasi penduduk dan menghasilkan suatu kenyataan mengerikan: Kualitas Intelejensia Sumber Daya Manusia Terancam Mengalami Penurunan.

Mahet tahu negerinya sedang dalam usaha menjadi negara maju dan tentu saja itu membutuhkan SDM yang berotak cemerlang. Pembangunan telah dilakukan di mana-mana dan ternyata itu menjadi pedang bermata dua. Pembangunan yang dilakukan di negeri ini ternyata tidak memenuhi AMDAL. Banyak polutan dilepas begitu saja di alam. Polutan tersebut banyak terhirup dan mengental bersama darah masyarakat lewat udara, makanan, dan masih banyak lagi sumber tercemar lainnya. Polutan yang paling berbahaya adalah Pb alias pumblum atau timbal. Hasil penelitian menunjukkan 10% penduduk yang tersebar di seluruh penjuru negeri yang telah hampir merata pembangunannya ini telah menurun intelejensianya akibat sering terpapar timbal. Penelitian itu juga memaparkan bahwa semakin banyak bayi autis yang dilahirkan di negeri ini adalah akibat paparan timbal juga.

Tidak heran, Mahet mengerling ke arah jalan raya, kalau jumlah kendaraan bermotor yang lewat setiap harinya sebanyak ini. Awalnya Kaum Parsimonious juga tidak mau melepaskan ketergantungan mereka pada kendaraan bermotor karena itu lebih murah ketimbang harus menggunakan kendaraan umum. Tapi lalu seorang pemikir di antara mereka berhasil meyakinkan bahwa berjalan kaki dan bersepeda jauh lebih murah daripada naik kendaraan bermotor dan keuntungan yang didapatkan jauh lebih besar dan berjangka panjang ketimbang menggunakan kendaraan bermotor, meskipun harus berlelah-lelah dulu karenanya. Ya, pada mulanya tidak sedikit Kaum Parsimonious yang mengeluh kelelahan karena mencoba usul sang pemikir ini. Mereka juga harus menahan celaan dari masyarakat yang memandang rendah mereka, mengira mereka orang tak berpunya, karena tidak menggunakan kendaraan bermotor. Tapi lama kelamaan mereka dapat menepis celaan itu. Mereka juga tidak merasakan kelelahan lagi ketika harus mengayuh pedal berkilometer-kilometer jauhnya karena mereka menyadari stamina mereka meningkat dari hari ke hari. Mereka jadi tidak mudah sakit dan itu mengurangi anggaran untuk ke dokter.

Tapi kini masyarakat tidak perlu khawatir, Mahet membaca di kolom lain, Perusahaan Taishit telah menemukan tablet kalsium yang dapat mengurangi kadar timbal dalam darah. Presiden bahkan menganjurkan masyarakat agar mengonsumsinya. Perusahaan Taishit pun tidak mematok harga yang tinggi sehingga semua lapisan masyarakat bisa membelinya.

Mahet mencoba menerka-nerka berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh Perusahaan Taishit dari penjualan tablet kalsium ini.

Oh, oh, sungguh pengeluaran yang tidak perlu! Masyarakat seharusnya tidak perlu membeli tablet ini. Kalau saja mereka rajin mengonsumsi pangan yang mengandung kalsium dalam makanan sehari-hari mereka (yang dengan semakin cepatnya zaman bergerak, maka orang-orang pun membutuhkan makanan yang ‘cepat’. Kau tahu, gizi di dalamnya sudah banyak terdegradasi). Kalau saja mereka mau mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menciptakan pembangunan yang bebas polusi...

“Heh, kau pasti si Parsiomonious pelit!” Tahu-tahu pemilik kios telah berada di sampingnya, mengawasinya.

“Darimana kau tahu?” Mahet menatap curiga. Tubuhnya mengkeret.

“Kaum Parsimonious adalah orang-orang kikir yang inginnya mendapat gratisan...” desis si pemilik kios bengis. Mahet ingat kata ‘gratis’ memang ada di salah satu sila Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious dan jelas si pemilik toko ini bukanlah orang yang ‘ikhlas’. “Dan kalian suka membeli barang-barang murahan, saking kikirnya kalian...”

“Hei, kami lihat-lihat kualitas juga, tahu!”

“Kau harus bayar kalau mau membaca koran ini!”

Pemilik toko itu mengusirnya. Mahet beringsut menjauh. Seorang ibu berpakaian modis menarik anaknya, yang pakaiannya senada dengan ibunya, menjauh begitu jarak Mahet dengan mereka berdekatan. Mahet hanya bisa menelan kepahitannya. Namun ia punya sesuatu yang bisa menjadi topik menarik untuk dibahas dalam pertemuan rutin berikutnya!

.

Orang tua itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Mereka memeriksa kandungan timbal di darahku dan mereka menyuruhku mengonsumsi banyak tablet kalsium...”

Semua orang dalam keremangan ruang utama menyimak perkataan orang tua tersebut dengan serius.

“Karena aku juga sering membawa cucuku tersayang berjalan-jalan di kota, maka aku khawatir ia terpapar juga. Padahal ia masih berumur 6 tahun! Ia baru akan menginjak Sekolah Dasar! Ia membutuhkan kecerdasannya!” Orang tua itu memandang sekitarnya sambil mengumpulkan keberanian untuk berbicara, “Bolehkah aku memberinya tablet kalsium?”

“Kau tidak perlu memberinya,” sahut Sotka tenang. Semua mata menatap ke arahnya. Sebagian besar terkejut—terutama si orang tua—dengan perkataan pemuda yang yang kerap menjadi pemimpin pertemuan itu. “Cucumu makan tiga kali sehari kan? Jika setiap ia makan, kau berikan ia makanan yang mengandung banyak kalsium, aku rasa itu sudah cukup. Kau cukup memberinya susu di pagi hari, ikan teri dan brokoli di siang hari, dan yoghurt di malam hari. Itu semua mengandung kalsium dan kau tidak usah memberinya lagi tablet kalsium. Masih banyak contoh makanan lainnya yang mengandung kalsium. Mereka membuatmu ketakutan, itu taktik mereka agar kau membeli produk mereka.”

“Ya, aku pikir itu lebih efektif,” seseorang menanggapi. “Masukkan pangan yang mengandung kalsium dalam menu harianmu. Kau tidak lagi membutuhkan tablet kalsium.”

“Lagipula kita tinggal di pinggiran kota, tersisih dari masyarakat pemakai kendaraan bermotor. Sedikit kita hirup asap kendaraan di sini dan bukankah kita juga menjaga dengan ketat limbah pabrik pengolahan sampah kita? Bahkan kita memanfaatkan limbah untuk sesuatu yang dapat berguna untuk kita! Kita tidak begitu saja membuangnya dan mencemari lingkungan, bukan?”

“Tunggu, bukankah jika kita menggunakan lagi limbah itu... Apakah di dalamnya masih terdapat polutan?”

“Hei, percayalah pada para ilmuwan kita! Kita punya beberapa ilmuwan yang secara sukarela bekerja di sini dan tidak terikat kegilaan materi!”

Hampir saja terjadi perdebatan yang mengarah pada kesengitan antara dua orang itu. Sotka menepuk tangannya berkali-kali untuk menengahi.

“Intinya, kita semua juga punya potensi untuk terpapar. Setelah ini kita harus melakui pemeriksaan, sudah aku siapkan beberapa orang kita yang kompeten dalam hal itu. Beberapa di antara mereka adalah masyarakat kota tapi mereka adalah simpatisan kita.”

“Kalau begitu, berarti kita memang membutuhkan tablet kalsium?!”

“Oh, Gia, kau bilang begitu seakan kita tidak akan bisa hidup tanpa mengonsumsi tablet itu. Bukankah itu racun Kaum Enturpeneer?” seseorang memprotes dan yang disebut Gia langsung diam.

“Ya tentu saja dia sudah terpengaruh. Aku melihatnya kemarin mengganti ponselnya padahal kalian tahu ponselnya yang lama masih berfungsi dengan baik,” seseorang bicara dengan ketus.

“Tenanglah kalian semua!” suara Sotka menggelegar, mendiamkan ruangan utama yang dipenuhi oleh suara orang-orang saling berdebat.

“Sotka! Sotka!” seseorang mencoba menarik perhatiannya. Setelah ia berhasil mendiamkan orang-orang, ia mempersilahkan orang itu berbicara. “Aku rasa memang benar apa yang dikatakan masyarakat, kita terlalu ekstrim dalam menghemat.”

“Kau bisa bicara begitu karena asalmu dari kalangan menengah ke atas,” sela seseorang dengan nada benci.

“Ya, kita menerapkan prinsip-prinsip ini karena dengan beginilah kami bisa tetap bertahan hidup, tapi masih bisa tetap memberi orang lain, sampai saat ini.”

“Kalau kau tak suka dengan ini semua, gabung saja dengan masyarakat konsumtif di pusat kota sana!” tambah yang lain dengan kemarahan tertahan.

“Hei, maksudku tidak sampai seperti itu. Kita beri kelonggaran sedikit saja dalam prinsip kita—maksudku, lambat laun tablet kalsium akan menjadi kebutuhan vital bagi kita di tengah kemajuan zaman ini!”

“Ya, dan itu yang juga mereka lakukan dengan silikon dan Konstipastop,” seseorang berkata sambil mendelik kepada Terimb dan Hilda bergantian. Keduanya kebetulan saja sedang menghadiri pertemuan rutin yang jarang-jarang mereka hadiri itu.

“Memang itulah hasrat para Kaum Enturpeneer, mereka membuat kita membutuhkan barang yang sebetulnya tidak kita benar-benar butuhkan! Mereka membuat barang itu menjadi vital artinya bagi kita!”

“Tapi tak bisa kita pungkiri bahwa kita juga sudah terjerat pengaruh mereka. Orang zaman dulu masih bisa hidup tanpa ponsel? Sekarang? Aku tak akan bisa mendapatkan pekerjaanku yang sekarang kalau aku tidak memberikan nomor ponselku dan itu sebabnya aku punya ponsel...”

“Ya, ya, kau benar,” sela Sotka. “Memang ada beberapa barang yang pada akhirnya menjadi bagian dari kebutuhan kita sehari-hari. Kita tidak bisa menghindar dari kemajuan zaman. Tapi bukan berarti kita harus mengikuti arusnya begitu saja. Karena jika demikian kita akan mulai menghabiskan uang kita untuk barang-barang yang kurang penting—yang Kaum Enturpeneer membuatnya seolah-olah barang itu sangat penting—padahal sebetulnya kita tidak membutuhkan barang itu sama sekali. Barang itu hanya terpakai sekali lalu tidak kita acuhkan sama sekali, menumpuk begitu saja di gudang. Padahal seseorang di luar sana mungkin lebih membutuhkannya daripada kita. Mungkin bukan benar-benar barang itu yang dia butuhkan, tapi uang yang digunakan untuk membeli barang itu, yang dia butuhkan untuk memenuhi kebutuhan vitalnya!

“Memang seiring dengan perkembangan zaman kita tidak bisa bertahan hidup hanya dengan pangan, papan, dan sandang saja. Itu kebutuhan manusia primitif! Sekarang kita butuh ponsel, bahkan tukang cendol pun butuh! Ponsel tidak bisa digantikan fungsinya dengan telepon biasa, yang kalau kau bawa ke mana-mana kabelnya akan copot dari colokannya dan memutus urusan pentingmu atau malah kau tersandung karenanya, atau mungkin dengan barang lainnya... apalah. Memang ada toleransi-toleransi semacam itu. Tapi selama kita masih bisa menemukan barang pengganti, mengapa tidak? Dalam hal tabet kalsium, aku sudah menyebutkan beberapa contoh penggantinya.”

“Sotka mulai panas nih,” seseorang berbisik di kuping Mahet, membuatnya terkikik kecil.

“Ya, jangan menerapkan Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious secara picik. Sila satu saja menyuruhmu agar menggunakan akal pikiranmu.”

“Mereka mengatakan kita terlalu kikir... Kata guruku kikir itu tidak baik,” seorang anak menyahut pelan.

Sotka memandangnya, “Kita menyimpan setiap kelebihan dari penghematan kita dan memberikannya sebagian untuk orang-orang yang kekurangan, apa itu disebut kikir? Kita tidak menggunakan kelebihan itu untuk membeli barang-barang yang kurang perlu!”

Seseorang berdeham yang kedengarannya seperti, “Kembali ke masalah tablet kalsium.”

“Terimakasih telah mengingatkan.” Sotka menyapu pandangannya pada semua orang yang memenuhi ruangan remang-remang itu. “Jadi, apa kita akan menoleransi penghematan kita untuk tablet kalsium? Aku rasa tidak.”

“Hei, memangnya kau pikir kita semua punya uang untuk membeli susu dan semacamnya itu? Itu kan barang mahal. Aku tidak mungkin punya uang untuk membelikan anak-anakku susu setiap hari!”

“Ya, dia benar!”

Ruangan itu dipenuhi suara-suara protes. Sotka mengusap mukanya. Ia mengira telah berhasil menentramkan mereka tapi ternyata belum. Mahet mengamati Sotka dan merasa iba padanya. Seharusnya ia sebagai orang muda dari kaum ini mampu memikirkan sesuatu yang bisa memecahkan masalah. Tapi apa? Tiba-tiba ia ingat akan pikirannya kemarin siang bahwa akan lebih baik jika jalur pedestrian diganti dengan pepohonan...

Mahet mengacungkan tangan.

“Hei, penulis lagu kita mau bicara!” seru Raf menarik perhatian.

“Ya, kembalilah tulis lirik-lirik nakalmu dan buat kita makin dicela!”

“Hei, lirik-lirik yang dibuat Mahet itu revolusioner tahu!” Raf hampir saja berdiri untuk menghajar orang yang barusan bicara itu kalau saja Abun tidak menahannya.

“Bicaralah, Mahet!” ujar Sotka.

Mahet merasa mukanya memanas ketika ia berdiri dan berbicara, “Aku rasa, keterbatasan seharusnya dapat membuat kita lebih kreatif.”

“Langsung saja, Mahet!”

“Baiklah, kita berada di pinggiran kota yang tandus...”

“Karena setiap lahan yang subur segera dirampok Kaum Enturpeneer begitu mereka menemukannya!” timpal Raf.

“Itu ada dalam lirik salah satu lagu di album kedua kami, kalian harus mendengarkannya,” Abun menambahkan.

Beberapa orang tertawa. “Huu, promosi!”

“Tapi kami tidak menyuruh kalian membelinya! Kami hanya meminta kalian memasukkan harga yang pantas di kenclengan ayam kami, untuk biaya produksi! Itu pun kalau kalian berkenan dan ikhlas!” bela Abun. Sotka segera membentaknya untuk diam.

Mahet melanjutkan. “Bukannya lahan tandus itu tidak berguna. Kita melewatkannya karena selama ini kita hanya sibuk-sibuk dengan sampah-sampah kita—“

“Masyarakat kota membuang semua sampah mereka ke tempat kita.”

“Dan kebanyakan dari sampah-sampah itu masih bisa diolah untuk dimanfaatkan!”

“Raf, Abun, diamlah atau kukurung kalian dalam studio kalian, SELAMA-LAMANYA.”.

“Aku takut,” kata Raf tanpa ekspresi. Abun terkekeh. Lalu mereka berdua benar-benar diam.

“Kita bisa menggunakan produksi kompos kita untuk menyuburkannya. Kita tanam dengan tanam-tanaman yang mengandung banyak kalsium. Lalu kita ternakkan banyak sapi perah untuk memberi kita susu, dan kita bisa mendapatkan banyak hasil olahannya.”

Orang-orang terdiam sampai seseorang menyahut, “Ya, kita tidak pernah berpikir tentang sektor agrokompleks. Kita selalu berpikir tentang hal-hal di luar itu, mengirim anak-anak kita ke kedokteran dan teknik... Itu sangat paradigma masyarakat kota.”

“Tapi kita memang membutuhkannya. Setidaknya untuk komunitas kita sendiri.”

“Ya, tapi semuanya harus merata, seimbang, adil. Bukankah begitu arti pembangunan seharusnya?”

Memang ada beberapa perdebatan lagi tapi pada akhirnya pertemuan rutin itu ditutup dengan kesepakatan untuk membentuk tim kerja pemanfaatan bukit tandus di belakang Tempat Pembuangan Akhir.

.

Mahet, Raf, Abun, dan si ahli alat musik pukul duduk gelisah dalam studio.

“Mengapa Sotka lama sekali?” tanya Abun.

“Untuk memberi kalian waktu untuk melakukan latihan solo. Ayo kalian semua, mainkan lagi alat musik kalian!”

“Ah, Mahet, meski berkata begitu aku tahu kau sangat mencemaskannya, haha...” Raf tak tahan untuk menggoda Mahet, setidaknya itu cukup untuk mencairkan kegelisahannya. Tadi di tengah latihan, seseorang datang memanggil Sotka untuk menjadi wakil pemuda dalam pertemuan dengan Kaum Enturpeneer. Semua orang dalam studio tersebut langsung ternganga.

“Mau apa para bangsat itu datang kemari? Hidup kami sudah susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus dipengaruhi bujuk rayu mereka!” umpat Raf.

“Raf, seharusnya tadi kamu melengking seperti itu di bait ketiga,” ucap Mahet spontan.

“Tenanglah, teman-teman. Aku tak bisa mendengarnya bicara!” volume suara Sotka membesar. “Mau apa mereka ke sini?”

“Entahlah. Mungkin membicarakan soal kerjasama?” jawab pemanggil itu seadanya.

“Kerjasama apa?” Sotka mengerutkan dahi.

“Entahlah,” jawab orang itu lagi. “Aku percaya kau akan mampu mengatasi ini bersama para tetua. Ayo, mereka semua sudah menunggu.”

Sotka menaruh alat petiknya dan pergi keluar ruangan bersama orang itu.

“Jadi apakah benar isu itu?” si ahli alat musik pukul bersuara. “Taitshi menaikkan harga obat kalsium. Banyak perusahan pesaing. Kehabisan bahan baku. Masyarakat resah karena persedian obat kalsium menipis?”

“Oh, ayolah, yang perlu mereka lakukan hanya mengurangi kendaraan bermotor, lalu naik kendaraan umum, bersepeda atau berjalan kaki seperti kita. Dan semua permasalahan beres! Polusi akan berkurang drastis dan mereka akan menjadi lebih sehat dan lebih bahagia,” Mahet mengangkat kedua tangannya ke samping.

“Sesimpel itukah?”

“Raf, pakai otakmu dong.”

“Kabarnya mereka tahu kalau kita punya cadangan kalsium yang cukup banyak,” lanjut si ahli alat musik pukul.

“Tentu saja, sapi-sapi kita gemuk-gemuk kok,” timpal Abun.

“Dan kita bisa mengubah gurun jadi ladang brokoli atau tambak ikan teri.”

“Kita tidak punya gurun, Raf.”

“Aku menyebut bukit-bukit tandus di belakang itu gurun.”

“Tapi gurun tidak seperti itu.”

“Kurasa Mahet lebih cocok dengan Raf daripada dengan Sotka,” Abun mengerling pada si ahli alat musik pukul. Mahet dan Raf merengut. Ahli alat musik pukul melanjutkan, “Jadi aku dengar-dengar mereka hendak menanam investasi di sana.”

Butuh beberapa menit bagi ketiga temannya untuk memikirkan hal itu dan menyambungkannya dengan bayangan masa depan mereka.

“Jadi kaki tangan Kaum Enturpeneer? Taishit sialan! Sampai kapan pun aku tak sudi! Kita harus mempertahankan tempat kita!” Raf menendang kursi di depannya.

“Hei, tenanglah Raf! Itu belum terjadi!” Abun dan si ahli alat musik pemukul segera bangkit untuk mencegah Raf merusak seluruh isi studio.

“Laguku berikutnya akan berjudul ‘Enturpener Keparat’...” sahut Mahet nyinyir. Sudah cukup masyarakat kota, dengan Kaum Enturpeneer di belakang mereka, mencela-cela gaya hidup Kaum Parsimonious. Mereka menyebut kaumnya gila hemat, kikir, miskin, dan sebagainya. Kini, setelah Kaum Parsimonious berhasil menyimpan manfaat dari gaya hidupnya selama ini, mereka hendak merebutnya! Mereka pikir darimana Kaum Parsimonious berhasil membangun ladang kalsium yang luas dan kaya? Semua bibit untuk membuat itu didapatkan dari tabungan Kaum Parsimonious, yang mencari penghasilan dengan gigih dan mengatur pengeluaran seirit mungkin agar bisa menyimpan kelebihannya untuk hari-hari ke depan!

Raf berhasil didiamkan dan mereka semua menyimpan kegelisahan mereka masing-masing sebagai usaha untuk menghindari konfrontasi.

Pintu studio terbuka.

“Kau lama sekali, Sotka!” suara Raf hampir seperti bentakan. Sotka tampak kaget dibuatnya. Ia meraih alat petiknya kembali, duduk di kursinya, dan mulai memainkannya lagi.

“Hei, jangan bertingkah seolah tak ada apa-apa seperti itu!” emosi Raf meluap. Sotka menoleh dengan pandangan letih. “Setengah jam kami membentak mereka, menghalau mereka agar tidak merampas apa yang kami bangun dengan susah payah, lalu menjualnya dengan harga tinggi pada masyarakat. Sementara kami di sini hanya mengambil secukupnya untuk kami, secukupnya untuk orang-orang yang kekurangan, dan sisanya untuk masyarakat kota simpatisan yang sudah tidak kebagian tablet kalsium lagi. Lalu apa yang mereka bilang sebelum mereka pergi? Mereka bilang mereka akan kembali lagi. Kalian tahu apa artinya itu.

“Sekarang kalau kalian ingin agar aku bicara lebih, dengarkan saja suara alatku ini. Aku benar-benar butuh rileks sejenak sebelum memikirkan bagaimana nanti kalau mereka datang ke sini lagi. Kalian tahu, apa yang mungkin bakal terjadi.”

Setelah itu Sotka diam dan memainkan alat petiknya dengan brutal.

“Apa memang artinya?” Raf menoleh ke arah lain, meminta jawaban.

“Seperti anak angsa di tengah kawanan anak itik. Sekuat apapun si anak angsa melawan, jumlahnya tetap tidak lebih banyak dibandingkan anak-anak itik itu,” jawab Mahet. “Oke, mungkin itu bukan analogi yang terlalu tepat.”

Raf masih memandangnya dengan penuh ketidakmengertian.

“Kaum Enturpeneer akan masuk ke wilayah kita dengan menunggangi masyarakat kota yang congkak... Mereka akan menguasai wilayah kita. Mau tak mau kita harus berbaur dengan mereka sampai kita bisa menemukan tempat baru. Bayangkan kalau kita harus berbaur dengan mereka? Beberapa dari kita mungkin tidak akan terkondisikan. Kaum Enturpeneer akan terus mengeluarkan bujuk rayu mereka dan kita, yang berada di posisi lemah, bisa apa selain menuruti mereka? Lepaslah prinsip-prinsip kita,” Sotka tak tahan untuk tidak berbicara. “Pada akhirnya, mereka akan membuat kita merasa tidak bisa hidup kalau tidak mengikuti gaya hidup mereka.”

“Hai, Sotka, kau ikut-ikutan pesimis seperti Mahet!” celetuk Abun.

Mahet cemberut. Oh, andaikan mereka tahu... Mereka adalah bagian dari Kaum Parsimonious yang terlalu lama tinggal di ‘surga’ mereka, tak berbaur dengan ‘peradaban’ di tengah kota. “Kalian tahu, aku termasuk salah satu yang tetap tinggal di kota sementara sebagian kalian menyepi di pinggiran kota. Aku ke sini hanya untuk pertemuan rutin dan menemui kalian. Selebihnya waktuku kuhabiskan di kota, bersama keluarga dan tetanggaku dan kau tahu, merekalah orang-orang itu! Orang-orang yang terjerat senjata bujuk rayu Kaum Enturpeneer. Sebagian besar teman-temanku juga dan aku hampir putus asa sampai aku menemukan kalian. Tapi itu tidak serta merta melabuhkan diriku terus menerus di sini. Aku masih bisa bertahan di kota, yang merupakan sumber inspirasiku, sehingga aku bisa memberikan kalian lirik-lirik ‘nakal’ itu, karena aku mengamati dan mengalami benar-benar keburukan mereka. Dan inilah aku, contoh nyata seorang Parsimonious bisa bertahan di tengah masyarakat konsumtif. Kalian mestinya juga bisa dan lebih kuat daripada aku. Ayo, kita bertahan dengan prinsip-prinsip kita dan tunjukkan pada orang lain bahwa apa yang kita lakukan adalah benar, maka mungkin mereka akan mengikuti kita. Meski itu mungkin membutuhkan waktu yang tidak sebentar...”

“Apa judul lagu yang tepat untuk lirikmu yang panjang tadi itu?” Sotka menunjukkan ketertarikkannya.

“Mempertahankan Prinsip!”

 

 

200709, 18.48 WIB

aku tau ini masi sangat kurang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain