ASA UNTUK DESAKU
Mereka datang lagi seiring dengan pudarnya hujan di penghujung Januari. Kompleks bangunan itu akan ramai lagi—mungkin ada hampir sebulan setiap tiga kali dalam setahun mereka menghuninya. Papan kayu di balik pagarnya tertulis: Kampus Lapangan Getas Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Mereka disebut mahasiswa. Aku tak pernah mengira suatu saat akan mengobrol dengan mereka. Suatu kali aku mampir untuk membeli sabun di warung pinggir lapangan. Sebelum pulang, kusempatkan menyaksikan permainan bola mereka. Tak kusangka salah seorang dari mereka akan menegurku.
Namaku Cahyo. Aku sekolah di SMP yang berjarak kurang lebih sepuluh menit dari sini. Aku duduk di kelas VIII. Begitu aku mengenalkan diriku ketika mereka bertanya.
Mereka mengenalkan diri mereka sebagai mahasiswa kehutanan. Iseng, aku menanyakan apa yang mereka lakukan di tempat ini. Dengan semangat mereka bilang bahwa mereka datang untuk main dan jalan-jalan ke hutan. Namun, itu hanya gurauan. Salah seorang dari mereka melanjutkan, “Kita juga ngukur-ngukur pohon, Dek. Liat tanaman jagung, ketemu pak mandor, liat orang nebang pohon…”
“…pokoknya kita belajar untuk bisa membangun hutan yang baik, Dek…”
Ah, tak begitu kupahami omongan mereka sebetulnya. Apalagi ketika mereka mulai menceletukkan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya, berupa singkatan atau apa. Dan memangnya ada apa dengan hutan di desaku? Mengapa mereka sampai jauh-jauh ke mari untuk mempelajarinya?
`
Aku ungkapkan saja penasaranku itu. Cara mereka menanggapiku begitu hangat, seakan aku juga bagian dari mereka. “Karena kita semua membutuhkan hutan, Dek,” jawab mereka.
Lalu mereka menerangkan tentang bagaimana hutan mempengaruhi kehidupan mereka—meski seharusnya mereka tak memiliki ternak maupun masih memasak dengan kayu bakar di tempat asal mereka. Mereka mengingatkanku pada pelajaran Biologi, pada bagaimana tumbuhan berfotosintesis, menghasilkan oksigen, menyimpan unsur karbon, menyerap air, dan berbagai manfaat lain yang tak dirasakan secara langsung.
Aku memang tidak mengerti ucapan mereka secara keseluruhan, namun diam-diam tumbuh rasa kagumku pada mereka. Aku jadi membayangkan diriku suatu saat kelak mampu berbicara seperti mereka, berpakaian ala mereka, berilmu setinggi mereka. Mereka seakan tahu lebih banyak dariku mengenai hutan, padahal selama ini hutan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupku.
Aku ingat bagaimana hutan telah memenuhi kebutuhan hidup keluargaku. Bapakku kadang mendapat uang dari pak mandor karena telah membantunya menebang pohon di hutan. Ibuku sering pulang dengan menggendong tumpukan kayu bakar dari hutan. Adik-adikku kini ganti mendapat tugas untuk menggembalakan sapi-sapi dan kambing-kambing kami di hutan kalau sekolah libur. Begitu pun yang penduduk desa lainnya lakukan. Tentu saja aku berharap agar kami bisa terus mengambil sesuatu dari hutan demi kebutuhan hidup kami.
“Cita-citamu apa, Dek?”
Ah. Aku termenung. Mendadak pupus bayanganku akan menjadi bagian dari mereka. Yang terbayang adalah membantu pekerjaan bapakku di sawah. Sebenarnya aku malas melakukannya. Tapi kalau ditanya apa sebenarnya yang aku inginkan, aku tak punya bayangan. Menikahi Puji, teman sepermainanku sejak kecil, mungkin bisa jadi salah satu pilihan. Namun kuingat guruku pernah berkata bahwa sebaiknya kami sekolah setinggi mungkin. Akan ada lebih banyak peluang bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Masa depan mereka tak hanya terbatas pada meneruskan pekerjaan bapak mereka di sawah maupun langsung menikah selulus SMP. Terbayangkan olehku akan kemungkinan diriku menjadi sesuatu yang lain. Kubayangkan diriku berseragam safari seperti pak mantri di Polindes atau pak asper di kantor Perhutani. Ah, mungkin aku bisa jadi seseorang yang lebih hebat dari itu. Seseorang dengan kemeja berkerah, dasi, dan wajah cerah. Bukan seseorang berkaos lusuh, wajah kumal, dan kekurangan air setiap hari. Berpeluh payah mencangkuli sawah seperti yang para pemuda desaku ini enggan kerjakan.
“Kowe sekolah ae ning Jogja…” teguran seorang mas-mas memecahkan lamunanku. Aku tersipu. Lanjut mas-mas yang lain, “supaya kamu bisa jadi orang besar. Nanti kamu kembali lagi ke sini untuk membangun desamu, hutanmu…”
“…nanti kamu bisa punya uang untuk memperbaiki jalan dari desa ini ke depan sana, biar nggak jelek lagi…”
“…bangun SMP, SMA lagi di sini, jadi adik-adikmu nanti nggak usah jauh-jauh kalau ingin melanjutkan sekolah.”
“…supaya hutan di desamu ini bisa jadi lebih bagus lagi…”
Ah, mereka seakan bisa membaca pikiranku. Butuh tiga jam dari sini untuk mencapai SMA terdekat, satu dari sekian hal yang membuatku dan teman-teman tak kepikiran untuk melanjutkan pendidikan. Padahal bukannya kami tak pernah coba mengimpikan untuk menjadi dokter, insinyur, atau bos perusahaan seperti yang suka ibu-ibu tonton di sinetron. Selama ini mimpi itu hanya jadi mimpi. Untuk mewujudkannya dibutuhkan cara yang tak semua orang mampu menempuhnya. Kalau pun mampu, belum tentu mau. Tanpa disadari, bahwa pada pundak kamilah tersimpan harapan akan keadaan yang lebih baik bagi semua orang.
Salah satu dari mereka menepuk bahuku, seakan memberiku dorongan. “Bukannya nggak mungkin tho?”
Mereka semua memandangiku. Menguatkan sebuah kemauan akan arah baru dalam hidupku.
Aku mengangguk. Sehabis ini aku pulang ke rumah. Aku harap aku bisa langsung menemui orangtuaku. Kuceritakan—aku bertemu dengan mas dan mbak di kampus Getas, mereka memberikan petuah-petuah dan setitik asa untukku. Akan kukembangkan setitik asa menjadi impian yang akan kupupuk. Impian itu akan kuiringi dengan usaha dan doa. Aku ingin seperti mereka, sekolah setinggi mungkin. Ketika aku pulang ke desaku lagi, desa dengan berlimpah kekayaan yang tersembunyi di setiap akar, batang, daun yang tumbuh, aku akan bisa memberikan masa depan yang lebih baik untukku, untuk desaku, untuk hutanku.
Itulah impianku saat ini.
***
Salah satu program bakmas PU Getas Gelombang Cinta 2011 adalah membuat mading. Mading ini diserahkan bersamaan pelaksanaan acara pendidikan lingkungan di SMP terdekat (saya tidak ikut ke sana, jadi kurang tahu) pada 21 Februari 2011. Sebagai salah seorang yang dipercaya untuk menyemarakkan mading, maka cerpen ini dibuat dengan bantuan dari Fitri Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar