Rabu, 11 Juli 2012

Hukuman

            Aku pernah menanyakan sesuatu padanya, semacam mencari petunjuk apakah dugaanku benar.

            Kalau aku salah, kenapa ia memukuliku?

            Ia bilang kalau Papa juga begitu.

            Persetan.

            Tapi tidak ada seorangpun yang bisa jadi saksi, termasuk aku. Yang bisa aku jadikan bukti hanya sms-sms di ponselnya, yang mestinya sudah ia hapus setelah aku mengungkapnya kapan itu.

            Pokoknya aku tahu ia begitu. Seharusnya ia dirajam sampai mati.

            Aku pernah menendanginya, ketika ia mendekat untuk minta maaf padaku. Anggap saja itu sudah lima kali dera.

            Aku melemparkan botol ke arahnya. Kena lengannya. Enam kali. Ia tahu itu aku, tapi aku langsung lari.

            Aku coba melemparkan benda-benda lain. Pulpen, buku, bola tenis, tahu… tidak selalu kena. Tujuh, delapan, sembilan… Ketika tubuhnya berbalik, aku sudah tidak ada. Aku harap ia terima kalau aku tengah mencicil hukuman untuknya.

            Akhirnya ia menghardikku. Mungkin karena aku melemparinya di hadapan orang lain.

            Aku sontak menjauh ketika ia menuju ke arahku. Aku sampai di kamar, lalu aku melemparinya dengan joystick, bantal, selimut… Ia memunguti benda-benda itu satu per satu, menepikannya. Nada suaranya berangsur-angsur memelas.

            “Ari, kenapa Ari jadi suka lempar-lempar barang ke Mama sih?” Gulungan seprei sampai ke mukanya. Ia melipat seprei itu sekenanya, sembari lanjut mendekatiku. “Mama salah apa...?”

            “Aku enggak tahu. Cuman Mama sama orang itu yang tahu!” sentakku. Aku ingin melemparkan ranjang ini juga, tapi aku tidak kuat.

            Serta-merta Mama mengunciku dalam pelukan. “…Om *** udah pergi… Mama enggak akan ketemu sama Om *** lagi…” ucapnya pelan dan lirih. Hembusan napasnya menggelitik telingaku.

            Penzina!

            Aku memukulinya. Pelukannya semakin ketat. Aku memukulinya. Ia tidak membiarkanku melepaskan diri. Aku memukulinya, kali ini sekuat tenaga. Ia terkulai. Kedua tangannya menutupi muka, alih-alih menahan seranganku. “…pukul… pukul aja Mama sampai mati…” sedunya.

            …dan yang  ini karena kamu minta cerai sama Papa!

            Sosok yang besar menelanku dari belakang. Gerakan-gerakan tanganku yang liar teredam. Eyang putri berusaha menangkap kakiku yang meronta-ronta. Aku semakin kencang menggeliat… Sentilan Eyang putra bagai petir menghantam pelipisku.

            Lama berselang. Aku tidak menyerang Mama lagi, asal ia tidak satu ruangan denganku.

Sebelum tidur malam itu, adikku merayap ke kasurku. “Kakak, Kakak jangan jahat sama Mama… Nanti Kakak kena azab Allah, matinya dikerubutin ular…”

            ...kenapa? Kenapa? Anak sok tahu, terlalu banyak baca majalah takhayul. Bukannya aku lebih mencintai Allah daripada Mama?

 

 

11/07/12

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain