Aku pernah menanyakan sesuatu
padanya, semacam mencari petunjuk apakah dugaanku benar.
Kalau aku salah, kenapa ia
memukuliku?
Ia bilang kalau Papa juga begitu.
Persetan.
Tapi tidak ada seorangpun yang bisa
jadi saksi, termasuk aku. Yang bisa aku jadikan bukti hanya sms-sms di
ponselnya, yang mestinya sudah ia hapus setelah aku mengungkapnya kapan itu.
Pokoknya aku tahu ia begitu.
Seharusnya ia dirajam sampai mati.
Aku pernah menendanginya, ketika ia
mendekat untuk minta maaf padaku. Anggap saja itu sudah lima kali dera.
Aku melemparkan botol ke arahnya.
Kena lengannya. Enam kali. Ia tahu itu aku, tapi aku langsung lari.
Aku coba melemparkan benda-benda
lain. Pulpen, buku, bola tenis, tahu… tidak selalu kena. Tujuh, delapan,
sembilan… Ketika tubuhnya berbalik, aku sudah tidak ada. Aku harap ia terima
kalau aku tengah mencicil hukuman untuknya.
Akhirnya ia menghardikku. Mungkin
karena aku melemparinya di hadapan orang lain.
Aku sontak menjauh ketika ia menuju
ke arahku. Aku sampai di kamar, lalu aku melemparinya dengan joystick, bantal,
selimut… Ia memunguti benda-benda itu satu per satu, menepikannya. Nada
suaranya berangsur-angsur memelas.
“Ari, kenapa Ari jadi suka
lempar-lempar barang ke Mama sih?” Gulungan seprei sampai ke mukanya. Ia
melipat seprei itu sekenanya, sembari lanjut mendekatiku. “Mama salah apa...?”
“Aku enggak tahu. Cuman Mama sama
orang itu yang tahu!” sentakku. Aku ingin melemparkan ranjang ini juga, tapi
aku tidak kuat.
Serta-merta Mama mengunciku dalam
pelukan. “…Om *** udah pergi… Mama enggak akan ketemu sama Om *** lagi…” ucapnya
pelan dan lirih. Hembusan napasnya menggelitik telingaku.
Penzina!
Aku memukulinya. Pelukannya semakin
ketat. Aku memukulinya. Ia tidak membiarkanku melepaskan diri. Aku memukulinya,
kali ini sekuat tenaga. Ia terkulai. Kedua tangannya menutupi muka, alih-alih
menahan seranganku. “…pukul… pukul aja Mama sampai mati…” sedunya.
…dan yang ini karena kamu minta cerai sama Papa!
Sosok yang besar
menelanku dari belakang. Gerakan-gerakan tanganku yang liar teredam. Eyang
putri berusaha menangkap kakiku yang meronta-ronta. Aku semakin kencang
menggeliat… Sentilan Eyang putra bagai petir menghantam pelipisku.
Lama berselang. Aku tidak menyerang Mama
lagi, asal ia tidak satu ruangan denganku.
Sebelum tidur malam itu, adikku merayap ke kasurku. “Kakak,
Kakak jangan jahat sama Mama… Nanti Kakak kena azab Allah, matinya dikerubutin
ular…”
...kenapa? Kenapa? Anak sok tahu,
terlalu banyak baca majalah takhayul. Bukannya aku lebih mencintai Allah
daripada Mama?
11/07/12