Senin, 21 Juli 2014

Utang

Sewaktu masih hidup di dunia, aku berjanji akan menulis cerpen pada seseorang, tapi aku tidak menunaikannya. Amalan baik dan amalan burukku selama hidup di dunia nyaris seimbang jumlahnya. Hanya utang itu yang mengganjalku untuk dapat memasuki Surga secara langsung. Pengadilan Akhirat memutuskan untuk memberiku kesempatan memenuhi janjiku itu. Aku dimasukkan ke sebuah ruangan yang berisikan meja, kursi, setumpuk kertas, dan beberapa batang pensil yang telah diserut.

Waktu sudah tidak berlaku di alam ini, namun karena statusku yang masih menanggung beban dunia, mereka mengondisikanku seolah-olah aku masih terikat oleh waktu dunia. Mereka memberiku “delapan jam” untuk menulis sesuatu, setelahnya aku akan diseret keluar untuk bekerja-paksa selama “enam belas jam” di Tambang Akhirat—menggali bahan bakar untuk Neraka di gua-gua yang amat dalam dan super pengap tanpa alas kaki dan standar K3. Tidak ada istirahat sama sekali selama “waktu-waktu” tersebut. Konsep “istirahat” juga hanya berlaku di dunia. (Untungnya selama di dunia aku menjadi pengangguran sehingga aku telah puas merasakan tidur.) Lalu aku akan dimasukkan lagi ke Ruangan selama “delapan jam” (yang terasa bagai “delapan menit”), dan dikeluarkan lagi ke Tambang selama “enam belas jam” (yang terasa bagai “enam belas tahun”), dan begitu seterusnya sampai “seminggu lebih”, sampai-sampai aku dan Malaikat Penjaga Pintu Ruangan dapat menjalin interaksi yang lumayan akrab.

“Susah amat sih nulis,” tegurnya saat aku hendak dikembalikan ke Ruangan. Malaikat-malaikat Petugas Tambang tengah melepaskan belenggu di kedua tangan dan kedua kakiku—wajib terpasang selama berada di Tambang.

“Iya nih, udah lama banget enggak nyoba nulis, soalnya,” kataku. Lalu aku didorong dengan kasar. Pintu di belakangku pun tertutup rapat-rapat.

Selanjutnya, aku hanya bengong selama “delapan jam” ke depan. Selain berbagai perlengkapan menulisku, ruangan ini benar-benar sekosong rongga kepalaku, dan tumpukan kertas di hadapanku. Sama sekali tidak disediakan bacaan, padahal aku membutuhkannya barangkali daripadanya akan tebersit suatu ide di benakku… atau jangan-jangan sebenarnya aku memang sudah berada di Neraka? Ironisnya, ruangan ini secara keseluruhan berwarna putih (kecuali batang hitam dalam selusin pensil yang disediakan untukku menulis, tentunya).

Bahkan, tidak tampak garis sama sekali—selain yang membentuk pintu—sebagai tanda bertemunya sisi-sisi dinding. Maksudku, ruangan ini sepertinya tidak berdinding. Aku pernah mencoba berjalan ke satu arah sambil meraba-raba ke depan mana tahu akan menabrak semacam bidang yang sekiranya dinding, tapi aku menghentikannya sebelum meja tempatku seharusnya menulis makin tidak tampak, dan aku akan makin tersesat dalam “ruangan” tanpa batas ini. Aku kembali ke meja, dan menatap garis pintu. Aku berjalan menuju pintu tersebut, berharap bisa membukanya dengan cara apapun, tapi entah bagaimana langkahku tidak kunjung sampai. Pintu itu sepertinya menjauh sementara aku mendekat. Aku berlarian ke berbagai arah lainnya, lalu kembali sebelum aku kehilangan penampakan meja dan perlengkapan menulisku lainnya, yang kuanggap sebagai satu-satunya realitas dalam ruangan ini, pusat ruangan ini. 

Kondisi yang kemudian berlangsung selama “berminggu-minggu” ini membuatku frustrasi lebih daripada yang kadang kurasakan sewaktu masih hidup di dunia. Sewaktu masih hidup di dunia, aku bisa terjun ke kasur dan tertidur dan terbangun dalam keadaan mental yang sudah tenteram. Tapi di sini, di samping tidak ada kasur, aku tidak merasakan adanya kantuk sama sekali. Sering aku memejamkan mata, membenamkan kepalaku dalam lipatan lengan di atas meja. Tapi bukannya kantuk yang datang, malah kegelisahan makin membayang-bayang. Kadang aku merebahkan diri di lantai—yang tak bergaris dan tak berujung pula, tentu saja—memposisikannya serileks mungkin, mencoba untuk terlelap. Tapi betapapun letihnya aku tiap habis bekerja-paksa di Tambang, lalu mencoba untuk “istirahat” di Ruangan, kantuk tetap tak tergapai. Kegelisahan terus mendera. Sampai kapan aku dibiarkan berada di ruangan ini? Apakah sebentar lagi “waktu” ku akan habis? Bagaimana kalau aku tidak sempat menyelesaikan satu cerpen pun? Semengerikan apakah Neraka sementara Tambang tempat bahan bakarnya saja sudah melepuhkan kulitku begitu memasukinya? 

Sewaktu dibelenggu untuk dibawa ke Tambang kembali, dengan takut-takut aku bertanya pada malaikat yang menjagaku apakah aku boleh meminta bacaan. Tak kusangka permintaan itu membuatku dipanggil ke Mahkamah; ke hadapan sederet malaikat berwajah garang yang duduk di balik meja setinggi gedung.

“Wahai Manusia yang Lalai, untuk apa kau meminta bacaan, sementara semasa hidup di dunia kau selalu dikelilingi bacaan tapi tak pernah memanfaatkannya menjadi bahan tulisan?”

“Wahai Malaikat yang Mulia, tolonglah, beri hamba kesempatan lagi,” tangisku.

Lalu aku dikembalikan ke Ruangan beserta setumpuk buku. Begitu pintu tertutup, barulah aku dapat memerhatikan buku-buku tersebut. Beberapa berupa novel remaja yang alurnya sangat biasa, penokohannya begitu payah, sedang editingnya keterlaluan kacaunya. Sisanya berupa buku-buku sejarah tanpa daftar pustaka, yang membuatnya tidak dapat dipercaya. Bagaimana bisa aku membacanya tanpa merasa tersiksa? Jika Neraka ternyata berupa perpustakaan yang semua koleksinya terdiri dari buku-buku semacam itu, aku benar-benar menyesali segala amalan burukku di dunia.

Begitu “jam” menulisku sudah habis dan aku dibelenggu kembali, aku meminta buku-buku itu disingkirkan. Dengan sangat berhati-hati, aku memanfaatkan kesempatan yang sangat sebentar itu untuk menyelipkan pesan yang sangat memelas pada Malaikat Penjaga Pintu, yang intinya adalah: “Tolong selundupkan buku-buku Dickens, Camus, atau siapa saja yang semacam itu. Fernando Sorrentino boleh juga.”

Di Tambang, ketakutanku menjadi-jadi akibat terpikir kemungkinan kalau-kalau pesan itu malah akan membuatku kehilangan kesempatan untuk memenuhi utang dan segera dijerumuskan ke Neraka. Sambil menahan tangis yang walaupun menetes tidak mengapa karena akan menguap seketika, dalam batin aku mencoba untuk membujuk diriku agar mencoba menulis apapun biarpun hasilnya lebih buruk daripada Neraka, sekembalinya ke Ruangan nanti. Biarlah jeleknya tulisan itu akan menyakiti mata, hati, dan pikiran siapapun yang membacanya, peduli amat, yang penting aku selamat dan terbebas dari segala derita ini.

Sewaktu hendak kembali ke Ruangan, Malaikat Penjaga Pintu ganti menyelipkan pesan untukku. Ia tidak bisa membawakanku buku-buku bermutu karena tidak memiliki akses bebas ke Surga, tapi ia bisa membawaku menemui orang yang kuutangi dan memintanya untuk mengikhlaskan tanggunganku. Maka “keesokan harinya”, ia bertukar posisi dengan Malaikat Petugas Tambang yang ternyata sahabat baiknya. Di perjalanan aku bertanya padanya apakah orang yang kuutangi itu berada di Surga. Malaikat Penjaga Pintu menjawab, “Tidak.”

“Kalau begitu, mengikhlaskan utangku akan memberinya amal baik dan membuatnya dipertimbangkan untuk memasuki Surga,” kataku sok tahu, sebab katanya untuk menjadi penulis itu kadang diperlukan sikap sok tahu.

“Enggak tahu, ya,” kata Malaikat Penjaga Pintu.

Rupanya ia membawaku ke Tambang, ke sisi yang bukan wilayah garapanku dan tak pernah terjamah olehku sebelumnya. Aku agak terkejut karena, berdasarkan keterangan dari Malaikat Penjaga Pintu, para pekerja Tambang adalah orang-orang yang utangnya di dunia belum terpenuhi—setidaknya di Tambang area ini. Aku pun dipertemukan dengan orang yang kuutangi itu. Ia sedang mencangkuli batu membara. (Beda dengan “batu bara” di dunia yang berupa bongkahan hitam sisa fosil, batu membara adalah bongkahan merah yang panasnya sanggup mematangkan sate dalam sekejap.) Karena rasa heranku, yang pertama-tama kukatakan bukanlah permintaan agar ia mengikhlaskan utangku, melainkan, “Utang apa yang menjebakmu di sini, Kawan?”

“Aku sesumbar pada orang-orang kalau aku akan membuat novel,” katanya.

“Mereka mengurungmu juga di Ruangan supaya menulis?”

“Begitulah! Sudah “berminggu-minggu” ini aku tidak kunjung bisa menyelesaikannya, keparat!” Ia membanting cangkulnya kuat-kuat.

Malaikat Penjaga Pintu mengangkat bahu.[]

 

21072014 –

kayaknya gegara nerjemahin cerita-cerita Fernando Sorrentino pas Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain