Minggu, 03 Agustus 2014

Nyonya Misti

Ia hampir tidak melakukan apa-apa sepanjang pagi hingga siang ini, selain tidur, sekadar meneruskan yang semalaman.

Namun, mendekati tengah hari ia bangkit dengan keinginan yang menghentak-hentak bagian dalam dadanya: “Aku ingin menjadi istri teladan!” Ya, itulah yang diinginkannya, menjadi istri teladan! Ia pernah mencita-citakannya. Saat berpacaran dengan lelaki yang dicintainya. Saat bersanding dengan lelaki itu di depan penghulu, di atas pelaminan. Saat itu ia belum benar-benar menjalani upaya untuk menjadi istri teladan. Namun ia telah mencari tahu lewat cukup banyak bacaan, dan merasa mantap bahwa itulah jalan yang telah ditakdirkan untuknya. Ikatan pun dikukuhkan. Ikrar dilantunkan. Aku akan menjalani sisa hidupku bersamamu. Dengan sepenuh hati.

Akhirnya, ia keluar dari kamar, untuk yang kedua kalinya dalam sepanjang hari itu. Pada kali pertama, ia terpaksa bangun karena diteriaki ibunya yang kehabisan sendok untuk sarapan (dengan tambahan: “Ibumu ini sudah tua dan capek!”). Perabotan kotor menggunung di bak cuci dan sekitarnya. Sementara ia membayangkan dirinya membanting setiap pecah-belah yang dicucinya, lalu menghunjamkan pecahan yang paling tajam ke lehernya sendiri, ibunya bertanya apakah ia perlu diantar ke psikolog. Semasa muda, ia sering mengharapkan orangtuanya agar menanyakan itu. Namun ketika harapannya terkabul, ia sudah tidak memercayai yang semacam itu lagi. Kalau orang-orang itu memang tulus, mereka akan rela membantunya membenahi masalah tanpa dibayar. Oh, ya, mereka butuh makan. Kami juga! Untuk apa memberi makan pada kalian sementara kami sendiri kesulitan untuk memenuhinya!?

Ia duduk di kursi paling ujung di ruang makan, membuka sebungkus nasi kuning yang dibelikan ibunya tadi pagi. Kepingan-kepingan kerupuk membuat gundukan lembek itu dapat ditelan.

Ia merasa ingin menangis karena teringat akan mimpinya untuk menjadi istri teladan. Lalu melihat ibunya berpakaian seperti hendak bepergian. Ibunya menutup pintu depan dari luar. Mungkin ibunya hendak berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, mungkin akan lama. Mungkin ibunya sekadar pergi ke warung, mungkin sebentar saja. Sekarang ia sendirian di rumah—apabila kucing-kucing ibunya, dan cecak, dan kecoak, dan kaki seribu yang kadang merayap di muka kamarnya, dan berbagai makhluk hidup lainnya yang tidak kelihatan, tidak masuk hitungan. 

Matanya terasa panas dan penuh. Ia mengusap keduanya dengan punggung tangan dan jemari yang meringkuk. Setetes air bergulir di sisi tangannya itu. Ia mengusapnya dengan tangan yang satu lagi. Lalu tangan itu dipakainya kembali untuk mengusap mata, dan lagi, lagi, dan lagi….

Ini yang kedua kalinya dalam beberapa hari ini.

Ia pernah membaca biografi tentang Alkindi—seorang filsuf pada masa kejayaan peradaban Islam. Dalam buku itu dikatakan bahwa kesedihan ada karena ketidakmampuan dalam menjangkau keinginan. Demikianpun dikatakan oleh temannya (yang sudah tidak berhubungan lagi dengannya) sewaktu mendapat pelajaran filsafat di perkuliahan. Saat itu lama sebelum ia membaca buku tentang Alkindi, dan ia berpikir: Beruntung aku membatasi keinginanku. Aku tidak ingin pakaian mahal maupun kemewahan lainnya, yang dapat mendorong seorang suami untuk melakukan korupsi. Aku hanya ingin menjadi perempuan hebat di balik seorang lelaki cemerlang. Keyakinannya terkuatkan oleh kata-kata yang ditemukannya secara tidak sengaja di kamus: Kebahagiaan itu keinginan yang sedikit.

Sebetulnya ia memiliki banyak keinginan selain menjadi istri teladan. Banyak. Tapi saat ini hanya itu yang membuatnya sering termenung hingga lama—terlalu lama menurut orang-orang yang mengetahuinya—dan akibatnya menangis sewaktu-waktu.

Harusnya ia tidak memikirkannya seserius itu, ia menyadarinya. Ia bisa tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sembari menjadi yang lainnya, demi menjaga kestabilannya baik secara mental maupun finansial, dengan membagi waktu. Ia pernah menjalani kehidupan ganda seperti itu, belasan tahun lamanya. Namun kini ia memilih untuk tidak menjadi keduanya, kendati masih memiliki berbagai hal yang diperlukan untuk menjadi “istri teladan”: waktu, buku-buku self-help, peralatan memasak dan menjahit, orangtua yang tidak lagi menuntutnya untuk memenuhi berbagai peran dan tanggung jawab melainkan mengingatkannya sesekali saja sembari memendam kesedihan, anak-anak yang menyenangkan walau nilai-nilai mereka tidak pernah mencukupi untuk dapat memasukkan mereka ke sekolah yang bagus (dan belakangan ini mereka jarang berada di rumah), dan seterusnya, dan sebagainya… kecuali satu.

Aneh, pikirnya. Belasan tahun lelaki itu mencekoki pikirannya; menjadi sarana baginya untuk mengaktualisasikan diri, memenuhi kebutuhan, mencapai kepuasan…. Lalu pada satu titik lelaki itu tidak lagi berarti baginya. Ia telah memikirkan berbagai hal yang kemungkinan adalah penyebabnya, dan yakin bahwa kepala yang membotak dan perut yang membuncit bukanlah salah satu (atau dua?) di antaranya. Seperti orang yang belajar memainkan suatu alat musik sedari kecil, dan diarahkan untuk menjadi musisi andal, lalu setelah dewasa menjadi bosan dan ingin memiliki keterampilan lain, profesi lain…. Ia telah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk musik, namun musik tidak memberinya penghidupan yang baik: kepribadiannya menjadi eksentrik, orang-orang lebih suka mengunduh karyanya secara cuma-cuma alih-alih membayar jerih payahnya, dan tidak ada produser yang tertarik padanya lagi.

Ketika memijat bahu maupun menyeterika baju suaminya, ia merasakan kesia-siaan. Dengan tubuh yang segar maupun setelan yang rapi, lelaki itu sudah tidak punya tempat untuk dituju. Mestinya ia menyadari sejak awal bahwa lelaki itu memiliki visi yang samar dan kepribadian yang lembam dalam kehidupan yang tidak menentu ini. Tapi cinta mengesampingkan segalanya; kesenangan menumpulkan pikiran. Mereka tidak mengantisipasi apapun yang mungkin mengadang di depan. Mereka hanya mengharapkan kegemilangan. Bisnis itu kini kandas, dan entah sampai kapan mereka mengandalkan cucuran dana dari orangtua. Padahal mereka tidak bisa lagi disebut anak-anak.

Pun, ternyata, sebagai perempuan ia tidak begitu hebat dalam menjadikan suaminya seorang lelaki yang cemerlang. Kadang ia berpikir, mungkinkah ini azab Tuhan, mungkinkah ada yang salah dalam caranya menjalani kehidupan—hubungan dengan suaminya, mungkinkah yang salah adalah keputusannya untuk mengikatkan diri dengan lelaki itu, sementara semasa muda pilihan lain—yang mungkin saja akan menggiring nasibnya ke arah yanglebih baik—terbuka baginya, asalkan ia mau berusaha lebih keras alih-alih percaya begitu saja pada intuisi.

“Ya, aku ingin punya selingkuhan! Dasar kau lelaki tua memuakkan yang tidak bisa lagi memberiku apa-apa! Aku ingin kembali pada orangtuaku saja!”

BLAM.

Setelah makan, ia menyempatkan diri untuk mencari sedikit kesenangan. Ia menyalakan TV dan menonton sinetron; aktor-aktor muda yang tampan. Belum lama ini mendatangi minimarket di dekat rumah orangtuanya untuk membeli sedikit keperluan. Di salah satu lorong, ia berpapasan dengan karyawan minimarket itu. Mungkin baru lulus dari SMK. Tampak manis sekaligus gagah dalam seragamnya, dan kartu identitas yang menggantung dari saku di bagian dadanya. Tebersit bayangan untuk menculik pemuda itu lalu mengurungnya di ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, dan memberinya kenikmatan yang menyiksa. Tapi ia menjadi sedih berkat kewarasan yang menahannya untuk berbuat. Selain karena ia tidak memiliki ruang bawah tanah, dan menyadari bahwa pemuda itu mungkin saja sepantar dengan putranya membuatnya merasa jijik pada diri sendiri.

Ia pun mematikan TV, dan kembali ke tempat tidur. Dalam pencariannya akan selingkuhan yang tidak kunjung ditemukannya (oh, siapa juga yang sudi dengan perempuan ringkih lagi busuk ini?), untungnya ia masih memiliki pelarian. Ia telah kehilangan mimpinya yang satu, tapi masih memiliki mimpi-mimpinya yang lain—dalam tidurnya. Atau malah, justru inilah tujuannya yang baru: tidur selamanya. Memang rekornya baru mencapai dua belas jam sehari, namun ia yakin, kegigihan lambat laun akan membawanya pada tujuan itu.

Maka sembari menunggu kantuk, ia menyalakan ponselnya. Orang-orang dalam daftar kontak di ponselnya acapkali menjadi sasarannya dalam melampiaskan masalah keluarga. Mereka yang tidak tahan mendengarkan ocehannya telah disingkirkannya dari daftar. Sebetulnya ia sudah jenuh menjenuhkan orang-orang itu dengan persoalan yang itu-itu saja. Tapi ia seringkali tidak memiliki hiburan lain. Bahkan ketika ia tidak sedang ingin membicarakan tentang keluarga, orang-orang itu yang akan menanyakannya. Agaknya mereka pun sudah terbiasa dijenuhkan dan membalasnya dengan menambah-nambah kejenuhannya.

Seolah tahu bahwa ponselnya telah dinyalakan, sebuah panggilan datang. Tetangganya melaporkan, “Tora di tempat saya. Lagi makan.”

“Terima kasih, Mbak.” Tetangganya itu selalu baik kepadanya. Betapapun ia sering menghujani perempuan itu dengan keluhan. “Maaf, sering merepotkan.”

“Enggak apa-apa.” Tetangganya itu terdiam lama. “Tahu kan SBMPTN sebentar lagi?”

“Iya, Mbak.” Tetangganya itu juga kadang mengingatkannya akan buah hati yang terlanjur mbrojol dari dalam dirinya—hasil pergulatannya bersama suaminya. Tetangganya itu tidak perlu lagi memberitahunya untuk pulang dan mendampingi Tora. Dan mencari cara untuk membiayai kuliah anak itu, di samping kebutuhan mereka sehari-hari. Atau pemuda itu akan membusuk di dalam ruang bawah tanah miliki seorang perempuan paruh baya, yang mengiming-iminginya dengan kekayaan yang tidak mampu diberikan oleh orangtuanya sendiri. Kadang kehidupan anaknya terasa bagai ilusi, hingga dipikirnya ia harus mendengar Tora sendiri yang bersuara. “Bisa ngobrol sama Tora?”

“Sebentar.”

Ia menunggu.

“Tora udah pergi, ternyata.”

Sambungan telah ditutup, namun ia masih menggenggam ponselnya dan menduga. Anaknya tidak pergi, hanya menantinya mendekat dengan langkahnya sendiri.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain