Rabu, 20 Agustus 2014

Namaku Kesedihan

Namaku Kesedihan. Orang-orang suka menertawakanku. Kau tahu bagaimana sakitnya ditertawakan. Bukan karena kau memang bermaksud melucu, melainkan karena kau dianggap buruk, remeh, dan rendah. Kau tahu orang menertawakan suatu hal karena merasa superior. Sungguh, itu ada dalam teori tentang Humor.

Ah…! Ya, ya. Humorlah si jahanam itu, dalang di balik inferioritasku. Orang-orang menggunakan jasanya untuk melawanku. Dengan cara apapun. Lewat corong manapun. Ia ada di TV, di buku, di radio, di bacotmu—mungkin.

Dan ia melaksanakan tugasnya dengan keterlaluan baiknya. Begitu melihatku, ia akan menunjuk-nunjuk dengan jari-jemarinya yang keriting. “Itu Kesedihan! Mari tertawakan!”

Orang-orangpun mendekat, dan turut menunjuk-nunjuk. Tawa mereka membahana.

“Hei, Kesedihan! Kau tak layak berada di muka bumi! Hahahaha….”

Aih! Bisa kau bayangkan ada yang mengatakan itu padamu? Bisa kau bayangkan betapa perihnya? Begini-begini, aku juga perasaan!

Akupun menjauh. Menyingkir ke kedai kumuh ini. Menghampirimu yang sedang minum-minum. Menyampaikan keluh-kesahku padamu.

“Seperti setiap orang, aku juga ingin dianggap serius,” kataku muram.

“Memangnya kau orang?” Matamu yang sudah menguning itu separuh terpejam. Tapi masih kau tenggak juga tuak itu. Menyengat kerongkonganmu keras-keras. Lalu kau pula bersendawa keras-keras. Mengibas-ngibaskan tanganmu padaku hingga menghempas aroma busuk dari ketiakmu ke penciumanku. “Sudah, sana. Jangan ganggu aku terus. Aku ke sini justru supaya aku bisa lari sejenak darimu, tahu? Suh! Suh! Husss…!” Ludah bercipratan dari mulutmu, efektif sungguh untuk menggusahku dari dirimu.

“Sejenak”, katamu? Huh!

***

Walau tampaknya tak ada yang menginginkanku, sesungguhnya ada pula yang menanti-nantikan kehadiranku.

Ia seorang gadis yang tinggal di lantai dua sebuah bangunan. Begitu memasuki ruangannya, harus kau arungi terlebih dulu lautan sampah yang sengaja dikumpulkannya bertahun-tahun. Bagian yang leluasa dari ruangannya itu hanya di tepi jendela, tempatnya duduk mendengarkan cericit beburungan yang ramai namun menenteramkan. Selain itu, ia suka mengamati pemandangan di luar, di bawah.

“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan rindu. Begitu tampak olehnya diriku, aku dirangkulnya, dielus-elusnya.

“Aku tak ke mana-mana. Aku ada di mana-mana,” kataku. Lalu menemaninya duduk mengabsen pedagang keliling yang lalu-lalang di jalan.

“Kau tahu, Kesedihan, sudah tiga hari ini si penjaja sapu tidak lewat.”

“Mungkin dia sedang sakit.”

“Oh….” Dia tampak murung. “Kemarin aku membaca berita—kalau sedang kangen padamu, aku membaca berita, itu membuatku merasa dekat denganmu. Ada berita tentang seorang perempuan di kampung yang membunuh anak-anaknya, lalu membunuh dirinya sendiri. Suaminya tidak ada. Katanya bekerja di kota. Mungkinkah itu si penjaja sapu? Mungkinkah dia absen karena sedang melayat keluarganya?”

“Mungkin.”

Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengusapnya. “Kau tahu, Kesedihan, kenapa aku menyukaimu? Kau membuatku merasa kembali berpijak di bumi. Kesenangan suka mengajakku ke awang-awang. Tapi aku takut ketinggian. Aku takut jatuh. Maka denganmu, aku merasa aman.”

Aku sempat sebal ketika ia menyebut-nyebut nama musuh bebuyutanku itu. Tapi toh diriku yang disukainya. Kesenangan malah mengajaknya pada Ketakutan. Hei, siapa juga yang mau dekat-dekat si begundal itu? Kamipun berpelukan. Ia mulai terisak. Aku mengusap-usap punggungnya. “Keluarkan…. Keluarkan….” Untuk membantunya, kuingatkan dirinya akan segala kesalahannya pada masa lalu. Mimpi-mimpinya yang kandas. (Tak ada teman sebaik orang-orang yang bermimpi! Di mana ada mereka, ke situ aku menuju.) Ia mulai menggerung. Kubelai-belai rambutnya yang gimbal akibat jarang disisir. Kucomot sekalian bungkus kopi yang entah bagaimana menempel di sana dan tidak diketahuinya.

Pada saat itulah hadir Kesenangan. Tanpa menampakkan rasa sungkan sedikitpun, ia masuk ke dalam ruangan dan ikut berangkulan. Mula-mula aku menahan demi gadis  yang sedang khusyuk dalam kemesraannya denganku ini, tapi lama-lama aku melepaskan diri. “Apa-apaan ini?!” sentakku.

Gadis itupun tersadar. “Kesenangan, kau sudah datang?”

“Iya, manisku,” Kesenangan memamerkan senyumnya yang memuakkan.

Mereka terus berangkulan.

Gadis itu berusaha menggaetku lagi, tapi aku terus mengelak. “Kau kenapa?” akhirnya ia bertanya.

“Kesedihan dan Kesenangan tak bisa berada dalam satu ruangan. Aku tak terima itu!” ucapku dengan dongkol. Kau tahu Humor dan Kesenangan adalah sejoli yang selalu berusaha mengenyahkanku jauh-jauh. Orang-orang selalu memihak mereka. Tidak bisakah aku menikmati momen dengan orang yang menginginkan keberadaanku saja? Tapi ternyata aku telah dikhianati!

“Tidak bisakah kalian berdamai?” Nada dan tatapan gadis itu tampak memohon. Ia mencelat dari pelukan Kesenangan lalu terjun ke dalam lautan sampahnya. Ia muncul lagi dengan membawa sebuah kanvas yang ditempeli oleh berbagai warna dan material—mulai dari cat minyak sampai potongan sampah. “Lihat, aku berusaha menyatukan kalian di sini. Warna-warna terang untuk Kesenangan, dan warna-warna gelap untuk Kesedihan.” Ia memandangi kami bergantian. Kesenangan manggut-manggut. Namun aku masih jauh dari harapannya untuk dapat menerima. Bagaimana warna-warna yang saling bertolak-belakang itu dapat teraduk-aduk begini? Sungguh komposisi yang menyayat mata—mencemari hati! Aku juga tidak dapat menerima Kesenangan disebut lebih dulu daripadaku!

“Bagus!” ujar Kesenangan.

“Masak?” Gadis itu memekik girang.

“Jelek!” ujarku masam.

“Masak?” Gadis itu bergumam sendu.

Sementara gadis itu meratapi lukisannya yang amburadul sambil merenungkan perkataan kami, Kesenangan menggiringku ke pojok ruangan.

“Kau harus mengerti. Gadis ini seorang melankolis. Memang sudah tabiatnya menyenangi Kesedihan!”

“Itu aneh!” Aku mengernyit.

“Kau akan terbiasa. Kau ini Kesedihan generasi keberapa sih? Mestinya ayahmu, kakekmu, kakek-buyutmu—atau siapalah dari keluargamu—sudah menyampaikannya padamu. Meskipun kita ini bagaikan air dan minyak, tapi para seniman telah membuktikan bahwa sesungguhnya kita dapat bekerja sama. Kita—”

Kucampakkan tangan Kesenangan yang mulai memegang-megangku. Entah maksudnya itu untuk meyakinkanku atau membakarku sampai menguap. Aku berseru pada si gadis yang sontak terkaget-kaget. “Pada akhirnya kau hanya mencari Kesenangan! Kau mencariku hanya untuk mendapatkan Kesenangan nantinya! Aku tidak terima diduakan begitu! Aku juga perasaan! Kau kira aku terbuat dari apa?”

Akupun membalikkan badan, berusaha mengabaikan jeritan gadis itu. “Jangan pergi, Kesedihan! Bagaimana aku bisa berkarya tanpamu?!” Ia mulai tersedu-sedu.

Langkahku tertahan. Namun kembali melaju begitu terdengar Kesenangan berusaha menghiburnya, “Ia pasti kembali.”

Tidak! Aku tidak akan kembali! Kupaksakan langkahku untuk terus menjauh. Berat rasanya. Aura gadis itu terlalu suram untuk dapat kuhindari. Bahkan meskipun aku sudah berada puluhan meter jauhnya dari tempat itu, kemuramannya masih menggapai-gapaiku. Berusaha menyeretku. Mungkin aku akan kembali. Kesenangan benar. Tidak! Mungkin aku akan kembali tapi bukan karena Kesenangan benar. Tidak! Aku tidak akan kembali! Pokoknya aku tidak akan kembali! Tidak! Cukuplah Kesenangan bagimu, gadisku! Tidak! Aku harus merebutnya dari Kesenangan! Masak aku kalah begitu saja? Mungkin aku akan kembali. Bukan karena Kesenangan yang mengatakannya pada gadis itu, tapi karena aku harus memperjuangkan eksistensiku!

Kericuhan itu menyertaiku sepanjang perjalanan hingga mereda dengan sendirinya.

Aku teringat pula ada janji malam ini. Semoga belum terlambat! Akupun bergegas.

***

Dari jauh tampak sebuah rumah yang ditempeli beberapa titik cahaya. Namun selebihnya temaram. Begitupun bagian dalam rumah itu. Hanya cahaya bulan menerobos dengan lemah melalui lubang-lubang ventilasi serta jendela yang tidak tertutup oleh tirai. Selebihnya gulita. Aku menuju sebuah kamar. Seorang wanita berbaring di tempat tidurnya yang besar. Di dekatnya, Kesepian duduk memetiki senar gitar. Permainan yang lirih itu dihentikannya begitu melihatku.

“Maaf. Sudah lama menunggu, ya?”

“Tidak apa-apa.” Wanita itu tersenyum sambil memperbaiki posisinya hingga bersandar pada kepala tempat tidur. Dalam kegelapan ia tampak lembut dan cantik. Begitupun dari depan. Helai-helai rambutnya membingkai wajahnya yang bulat. Ia tidak memakai topinya. Bagian belakang kepalanya bukan pemandangan yang kau ingin lihat sejak ia divonis mengidap kanker bertahun-tahun lalu.

Aku duduk di samping Kesepian, menghadap wanita itu.

“Sendirian?” tanyaku berbasa-basi.

“Yah…. Seperti biasa….”

“Suamimu dan anak-anakmu tampaknya tidak berada di rumah.”

“Yah…. Mereka sedang pergi. Tidak apa-apa. Mereka capek. Mereka butuh Kesenangan. Lagipula semuanya akan berakhir.”

Sesaat aku meringis sambil berharap wanita itu tidak melihatnya. Kesenangan bersama orang-orang yang lupa. Karena itu ia layak dibenci. Kupegang tangan wanita itu. “Kau siap?” tanyaku.

Ia mengangguk sambil menyambut genggamanku. “Kalian sendiri, siap mengeloniku sampai tidur?” Dikedipkannya sebelah matanya. Mengulangi kegenitan yang barangkali menjadi keahliannya pada masa muda.

Aku dan Kesepian tertawa. “Kami berdua tidak akan melepaskanmu sampai kau lelap, Sayang,” kataku. “Seperti biasa.”

“Seperti biasa,” ia mengulang dalam bisikan.

Pada rak di samping tempat tidurnya telah disiapkan segelas air putih dan sebuah kotak kecil. Di dalam kotak itu terdapat obat dalam berbagai bentuk, warna, dan ukuran yang harus diminumnya sehari-hari. Ia pernah menjelaskan pada kami berdua apa kegunaan dari masing-masing obat itu. Namun pada malam ini ia hanya meminum salah satu jenis saja. Beberapa butir sekaligus. Setelahnya, ia membenamkan bagian atas tubuhnya pada tumpukan bantal yang nyaman.

“Terima kasih telah menjadi teman baikku selama ini,” kata wanita itu.

Kamipun tersenyum padanya dengan setulus-tulusnya.  

“Kami akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu,” kata Kesepian. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kecrekan dan menyerahkannya padaku. “Kuharap kau menyukainya. Ini spesial untukmu. Dan cara yang kau pilih untuk menyudahi segalanya.” Kesepian tidak kuasa menahan haru. Suaranya mulai terdengar seperti mencicit. “Kami akan merindukanmu….” Aku menepuk-nepuk punggungnya. Sisi sentimentalnya mulai kambuh. Jangan sampai menulariku! Lalu ia mengusap mata kanan-kiri dengan sebelah telunjuknya dan berdeham. “Mungkin kami tidak akan bisa menemuimu lagi di alam sana, tapi… kau akan segera mendapatkan gantinya. Kedamaian akan menyambutmu. Sampaikan salam kami padanya. Peace!” Ia mengacungkan jari tengah dan telunjuk tinggi-tinggi lalu dalam sekejap mengganti jari tengah dengan kelingking dan jempol sementara telunjuk tetap di tempat.

Wanita itu tertawa kecil. “Kalian ini selalu berjiwa muda. Oh, aku tak sabar mendengarnya. Ayo, mainkan.”

“Kamu suara satu. Aku suara dua, ya,” Kesepian sempat-sempatnya mengulang instruksi biarpun kami sudah sering sekali memainkan lagu ini sejak mula diciptakan.

“Iya, iya,” kataku.

Kesepian pun memainkan intro lalu suara kami berdua mengalun padu. Begitu sampai di bagian reff, aku membentur-benturkan kecrekan itu ke sisi lututku pelan-pelan.

“…. Suicide is painless. It brings on many changes. And I can take or leave it if I please….[1]

“Lagu yang indah…” terdengar wanita itu berucap di sela-sela pergantian lagu. Biarpun yang kami mainkan adalah lagu yang sama. Terus-menerus. Dengan khidmat

Hingga Kematian menampakkan sosoknya yang mencekam. Namun kami sudah terbiasa. Ia juga. Malah ia mendengus begitu melihat kami. “Lagi-lagi kalian.” Kalau ia punya bola mata, mungkin bakal diputar-putarnya benda itu dalam rongganya.

“Hei, kami ini teman baik orang-orang yang sendirian, tahu?” Kesepian memprotes.

“Teman baik yang buruk, ha-ha,” ia tertawa sinis. “Menambah-nambah tugasku saja. Minggir. Aku lagi butuh privasi.”

Kami pun membereskan alat musik lalu menyingkir ke luar.

“Habis ini mau ke mana?” tegurku pada Kesepian. Biasanya kami ke mana-mana bersama-sama. Nyaris tidak terpisahkan. Memang adakalanya kami punya urusan sendiri-sendiri.

“Sepertinya aku mau melayap ke festival di tengah kota.”

“Lho? Di sana pasti ramai sekali. Bukannya Keramaian itu musuhmu?”

“Hahaha. Kau ini seperti yang tidak tahu saja. Selalu ada yang butuh kutemani biar di tengah hiruk-pikuk sekalipun!”

Kesepian menepuk pundakku lalu kami berpisah jalan. Kuputuskan untuk mencari teman juga. Ke tempatmu.

***

Di tengah jalan aku terpikir untuk membawa adik-adikku serta. Mengingat perlakuanmu yang terakhir padaku, aku merasa agak trauma. Kuharap keberadaan adik-adikku yang bongsor-bongsor itu akan membuatku merasa tenang, sekaligus memberimu lebih banyak dukungan.

Kami lebih dikenal dengan nama klan ketimbang nama personal. Jadi boleh juga kami disebut dengan Kesedihan 1, Kesedihan 2, Kesedihan 3, Kesedihan 4, dan seterusnya…. Kami juga memiliki banyak nama alias seperti Kedukaan, Kegetiran, Keharuan, Kepahitan, Kepedihan, Kepiluan, Keprihatinan, Kesayuan, dan sebagainya[2]. Terserah mau memanggil dengan yang mana. Semua sama saja. Hanya yang satu kemungkinan lebih besar—atau lebih sering menggentayangimu—daripada yang lain. Nah, apabila keluarga besar kami berkumpul, orang biasanya memberi julukan yang khas pula pada kami, yaitu Depresi.

Kami mendapatimu masih terkapar di kamar pada waktu siang. Mungkin akibat maraton tuak kapan itu.

“Kasihan dia. Kalau begini dia kesiangan masuk kerja lagi. Dipecat lagi. Mari kita bangunkan dia,” kataku.

Adik-adikku dengan patuh menurut. Mereka mulai mengguncang-guncang, menepuk-nepuk, dan memukul-mukul kepalamu, pipimu, pundakmu, lenganmu, punggungmu, pantatmu, pahamu, betismu, tumitmu, sampai ujung jempol kakimu.

Kau pun mengerang. Memegangi kepalamu. Menggeliat-geliat. Berusaha bangkit tapi ambruk lagi. Meringkuk lagi. Adik-adikku berusaha membangunkanmu lagi sampai akhirnya kau sanggup membuka mata. Terbelalak. “Jangan keroyokan begini dong!” keluhmu. Lalu kau merutuk-rutuk, tersedu-sedu.

Namun kami temanmu yang setia! Bagaimanapun upayamu mengusir kami, tak ada yang benar-benar ampuh. Kau bisa saja mengabaikan yang lain, tapi akan selalu ada di antara kami yang mendampingimu. Kami menyayangimu! Kami ingin kau dapat menghadapi kenyataan dengan tegar! Maka di sini kami mengerumunimu rapat-rapat. Membentengimu dari Humor cecurut yang mulai mengendus-endus adanya peluang usaha. Tak akan kami biarkan ia menemukan celah supaya dapat menyusup dan menawarkan jasa tipu-tipunya itu padamu.[]



[1] Dari soundtrack film MASH (AS), “Suicide is Painless”

[2] Terima kasih, Tesaurus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain