Jumat, 05 September 2014

Gerah Malam

Malam itu begitu gerah. Aku terseok-seok keluar dari kamar, melewati ruang kerja is­tri­ku yang pintunya terbuka. Sekilas kulihat ia cuma mengenakan kutang dan rok. Ram­butnya awut-awutan menutupi separuh muka, sesekali disibakkan sebelah ta­ngan­nya, sementara tangan yang satu lagi mengibaskan lipatan koran berkali-kali.

“Panas?”

“Panas.”

“Jadi kamu sudah panas. Mari kita bercinta, ha-ha.”

“Ha-ha. Kita akan bercinta dengan panas.”

“Ya, dengan api gairah yang menyala-nyala sampai ranjang kita kebakaran.”

“Diamlah. Kamu bikin aku makin kepanasan.”

Aku pun berlalu dan ikut-ikutan melepas pakaianku hingga yang tersisa cuma ko­lor, lalu rebah di sofa.

“Kubilang juga apa, berhenti nonton yang cabul-cabul. Jadinya neraka di­pin­dah kemari.”

“Harusnya aku yang ngomong gitu,” sahutnya malas.

Aku tertawa kecil, namun energi yang terbakar untuk berbuat itu saja terasa me­lipatgandakan butiran keringatku.

“Malam ini enggak ada nyamuk,” katanya lagi.

“Enggak ada?”

“Enggak ngerasa?”

“Enggak. Mungkin mereka pada kepeleset keringatku.”

“Kupikir mereka lagi berendam di… di mana saja yang ada airnya.”

“Air yang dingin, ya.”

“Dingin, seperti agar-agar transparan.”

“Brrr….” Kubayangkan menembus agar-agar transparan itu, menyeruaknya de­ngan kedua lenganku, lalu kedua kakiku berkecipak-kecipuk memecah-belahnya, na­mun agar-agar itu menyatu lagi di belakangku, memadat, bergoyang-goyang aki­bat gerakan badanku yang menjauh, dan terus kuterobos permukaan lembut itu, se­juk­nya menerpa sekujur tubuhku, membungkusku…. Kudapati diriku terkapar di lan­tai, entah kapan aku berguling dari sofa yang kini di samping atasku. Semakin ku­le­kat­kan kulit pada ubin keramik tanpa mau mengingat apalagi bertanya pada si dia su­dahkah menyapu-mengepel hari ini—eh, minggu ini?

“Sayang,” dia berbunyi lagi, “coba cek keluar. Jangan-jangan ada yang lagi ba­kar rumah kita.”

“Mmm…?” Mataku terbuka tanpa kumau. “Kalau mau ngebayangin yang eng­gak-enggak di kertas aja. Jangan mengada-ada, ah.”

“Hei. Siapa tahu, ada yang dendam sama kamu.”

Aku mendesah.

“Kadang kenyataan itu malahan enggak terjangkau imajinasi,” lanjutnya.

“Kau sajalah yang cek,” aku tak ingin ditarik dari imajinasi agar-agar be­ning­ku, dan cewek-cewek muda yang tak kalah beningnya yang menantiku di tepi kolam.

“Enggak bisa. Saking panas pantatku sampai meleleh dan melekat di kursi.”

“Hah!” Aku bangkit seketika. Tak dinyana, lumayan, gerakanku itu memberiku se­dikit angin. Kupakai celana pendekku lalu membuka pintu depan, dan terpana. “Woi, istriku,” panggilku seperti dalam film-film Cina lama. “Sini deh.”

“Pantatku….”

“Halah! Sini! Lama-lama di sana pantatmu meleleh betulan.”

Ia menggumam sebal. Tak lama kemudian ia mampir di sisiku. Selembar kain me­nutupi bagian atas tubuhnya. Ia bergeming saja. Sekilas kulihat ia pun tampak ter­pana.

Entah berapa lama kami tertegun saja di ambang pintu. Lalu, dimulai olehku, ka­mi duduk-duduk di kursi plastik di teras.

“Tadi sempat kupikir memang ada kebakaran. Kelihatannya mereka seperti ti­tik-titik api menyerang rumah kita,” istriku ambil suara.

“Sebetulnya, di sini agak sejuk.”

“Iya.” Ia merapatkan kain di depan tubuhnya.

Ketika hansip bersepeda melintasi jalanan depan rumah, tegur-teguran tak ter­hindarkan, terutama menyoal udara yang gerah. Biarpun hawa lembap tengah me­nguasai bumi, selebihnya malam tenang. Biarpun pelit sedikit-sedikit udara kasih angin untuk elus-elus kulit kami. Istriku nyaris ketiduran, maksudku, kepalanya nya­ris terantuk kaca jendela di belakangnya sementara matanya terpejam dan mulutnya se­paruh menganga. Begitu kepalanya tegak lagi sementara matanya terbuka dan mu­lutnya terkancing penuh, kukatakan, “Di balik kainmu masih ada kutangnya?”

“Masih.” Ia terdiam sebelum menyambung, “Isinya juga masih lengkap. Tapi ka­lau tebakanku benar, aku enggak mau balik ke kamar. Pengap.”

Serentak pandangan kami terarah ke semak-semak di pojok halaman. Disorot si­nar rembulan, dibikin syahdu oleh pantat kunang-kunang yang seakan membentuk tan­da panah ke arah bawah; tampak mengundang bagaikan warung remang-re­mang yang dihiasi kerlap-kerlip deretan lampu kecil bekas tujuh-belas-agustusan. Ku­harap si hansip tak lewat lagi. Biar cuma lelembut yang jadi saksi. Aku tak peduli. Is­triku mengernyit begitu aku melirik pada koordinat yang telah ditentukan. Ia meng­ge­leng. Aku mengangguk. Ia mendengus. Aku mengangguk. Ia merengut. Aku meng­angguk. Ia menghela napas.

Malam itu begitu gerah. Kami belepotan tanah. Sembilan bulan kemudian ka­mi menanam kendi di sana. Isinya ari-arimu, Nak. Indah, bukan? Rembulan dan ku­nang-kunang menjadi saksi penciptaanmu dulu, dan masih menjaga sebagian dari di­rimu kini. Yah, mungkin ulat bulu juga serta karena sehabis itu punggung Bapak ga­tal-gatal dan merah. Intinya, Nak, sesungguhnya gerah itu membawa hikmah. Ja­di, sekarang cepat tidur, ya, Nak, jangan menangis terus…. Cup cup ah.

Yang begituan kamu ceritakan sama anak.

Ah, ibumu itu memang suka begitu. Biar saja, ya, Nak, ya, umurmu kan baru se­tahun.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain