Minggu, 26 April 2015

Mimpi Semalam

Jarang-jarang Didin mampir ke mimpiku. Dalam mimpi itu, aku beserta beberapa cowok naik mobil ke lokasi SD-ku, menjemputnya. Kami semua  berwujud mahasiswa—kalau bukan sedikit lebih dewasa—tapi mengenakan seragam batik SD-ku—semacam kaligrafi kotak-kotak putih berlatar merah yang disisipi nama yayasan. Potongan rambut Didin yang ikal agak panjang itu tidak seperti biasanya yang kuingat, mungkin karena ada jambul yang menutupi dahinya yang lapang.  Ia terlihat seperti hipster jadinya, padahal jauh dari itu. Ia tipe cowok yang ke kampus mengenakan celana abu-abu seragam SMA atau celana kain ngatung semacamnya sementara bagian atasnya bisa apa saja, mukanya cerah dan bersih sekali, dan berjenggot tipis. Supaya bayangan kalian persis dengan ingatanku—sebab aku tidak ingin kalian mengaburkannya dengan sosok lain yang tidak kukenal sama sekali—bayangkanlah Nicolas Saputra yang kedua belah pipinya ditarik ke samping; cara bicara maupun tertawanya seperti Squidward. Namun dalam mimpi itu aku menyadari kalau suara Didin seperti suara Squidward yang sudah kakek-kakek, yang entah kenapa seketika membuatku merasa ingin jadi nenek-nenek. Lalu entah kenapa pula ia yang mula-mula duduk di sampingku, di jok pengemudi, pindah ke jok tengah sekalian dengan setirnya. Maka semua cowok duduk di jok tengah dan belakang. Aku menoleh ke belakang dan memelas. Lalu salah seorang cowok pindah ke jok pengemudi, tapi aku lupa mukanya. Didin mengemudi dari jok tengah dan hampir menyerempet kendaraan lain (karena ini mimpi jadi kita tidak perlu mempersoalkannya).

Lalu aku terbangun dengan kesadaran bahwa bukan cuma Didin yang hilang, tapi juga waktu subuh. Aku menyeret tubuh ke lantai bawah, mengudap bolu yang kubuat sendiri dengan penuh citarasa (setiap potongannya menampilkan kadar pandan dan moka yang berbeda-beda), kembali ke kamar, dan—seperti yang kebanyakan generasi milenal lakukan begitu bangun—mengaktifkan internet pada ponsel, lalu termangu di balik meja. Mengenang-ngenang dirinya dalam mimpi tadi sekalian pada masa kuliah. Kami sering menghadiri kelas yang sama, mengikuti organisasi yang sama, dan sebagainya, tapi romansa yang sesungguhnya mulai terjadi saat kami praktikum di hutan mangrove pada tahun keempat. Di tempat itu bersama-sama kami melangkah ringan di lumpur tepi laut—aku berkat kebiasaanku jalan kaki sementara ia berkat pengalamannya di pedalaman Papua dan entah mana lagi. Sehabis menyeret adik kelas kami (yang bobotnya memang agak berlebih) keluar dari jeratan lumpur dengan semacam papan, kami kembali ke rumah penduduk tempat para mahasiswa menaruh tas. Tapi tasku ditaruh di rumah penduduk yang lain, yang letaknya agak jauh. Aku meminta dirinya yang sudah mandi dan berganti pakaian untuk menemaniku ke sana karena aku tidak hafal jalannya. Maka, dalam naungan hujan yang merintik lembut sore-sore, kami berjalan berdua ke rumah tersebut sambil mengobrol sedikit-sedikit. Tidak hanya mengambil tas, di rumah itu aku juga mempraktikkan isi pantun yang pastinya kita semua sudah tahu: Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Maka, sementara ia menungguiku sambil mengobrol dengan empunya rumah, aku diarahkan menuju dapur. Semua pintu di ruangan yang cukup luas itu dikunci. Aku berjongkok di dekat keran, di permukaan tanah persegi panjang yang dibikin lebih turun daripada sekitarnya, menggosok tubuhku dengan air dan sabun sambil memandangi perabotan dan mengawasi kalau-kalau ada celah untuk mengintip. Sehabis aku mandi, kami duduk-duduk di teras rumah itu sambil memandangi gerimis dan mencandai anaknya empunya rumah yang masih kecil, dan sesekali melambai pada teman-teman kami yang baru pulang dari lapangan dengan berjalan kaki atau menumpang mobil bak. Tahu apa yang kubayangkan seketika itu juga? Tinggal di pedesaan bersamanya, beranak-cucu, dan tiap petang duduk-duduk di teras mendadahi para tetangga yang baru pulang melaut…. Khayalan apa yang lebih indah daripada itu?

Dan berbulan-bulan setelahnya, sewaktu kami tinggal di pelosok selama berminggu-minggu untuk praktikum… saat hendak mengunjungi lokasi praktikum dengan bis, kami sama-sama duduk sendirian, ia di bangku tepat di depanku, dan dalam obrolan kami yang lirih dan sepotong-sepotong itu, ia menanyakan rencana masa depanku, yang kujawab dengan ragu-ragu, dan tanggapannya: Kalau kamu enggak yakin sama diri kamu sendiri, gimana aku bisa yakin sama kamu?, sementara speaker kendaraan itu memperdengarkan “Biru” dari Dian PP featuring Syaharani… lalu pada penghujung masa praktikum kami mengadakan outbond untuk anak-anak setempat, dan pada akhir acara ia mengomandoi mereka untuk menyerbuku dan mencoreng mukaku dengan sekantong arang yang dibawanya…. Perhatian apa yang lebih indah daripada itu?

Ia aktif dalam kelompok pemerhati burung, suka mengadakan penelitian tentang burung, mengikuti acara-acara pengamatan burung, dan skripsinya pun tentang burung-burung penebar salju busuk di wilayah kampus kami. Ada film komedi romantis berjudul Decoy Bride, yang kusuka karena heroinnya biarpun cantik bersahaja tapi pecundang sementara tokoh prianya tidak ganteng amat dan agak goblok. Tokoh prianya itu menulis novel berjudul The Ornithologist’ Wife. Setiap menonton film itu aku merasa takdir lamat-lamat menghampiriku bahwa suatu saat aku akan menjadi istri sang ilmuwan burung.

Sekarang, aku tidak tahu bagaimana keadaannya, pun kapan ia lulus, apa ia benar-benar akan menjadi ilmuwan burung, apa ia masih saleh, apa ia semakin sering mengenakan celana jin sejak pertama dan terakhir kali aku melihatnya begitu, apa ia sudah menemukan perempuan yang layak bersanding dengan dirinya, dan seterusnya, dan tidak juga ada keinginan untuk berusaha mencarinya dan menghubunginya sekadar untuk menanyakan sesuatu yang belum tentu ia rasakan padaku.

Tapi, setidaknya, ia sudah terbiasa dengan muka dan tingkahku akibat pertemuan hampir tiap hari selama bertahun-tahun. Tidak seperti cowok-cowok yang baru kukenal dari internet itu. Yang satu, setelah kebersamaan kami selama dua jam dalam ruangan remang-remang, bukannya mengajakku bersantap atau sekadar mencari tempat duduk mengobrol panjang-lebar tentang masa depan, begitu keluar dari bioskop ia nyaris tidak menengokku lagi. Ia hanya mengantarku sampai tempat menyetop angkot dan begitu tiba di rumah aku susah mengingat mukanya dan tidak pernah ada pertemuan yang kedua. Yang satu lagi, setelah aku memberinya tautan ke cerpen Ramona Ausubel tentang cyclops yang sedang mencari cinta lewat situs kencan daring, juga tidak pernah menghubungiku lagi. Mungkin ia pikir aku ini sejenis cyclops betina yang menyamar sebagai perempuan pemalu (meskipun ia bilang ekspresiku di foto itu seperti orang yang sedang mengejan). Keduanya sama-sama bekerja di bidang IT, berpostur agak gemuk, tidak berkumis, dan, setelah kuceritakan tentang kehidupanku secara sepintas-sepintas, sama-sama menasihatiku agar aku yakin dan fokus saja mengerjakan bidang yang benar-benar kusenangi. Yang satu bilang ia tidak senang menilai orang dan tidak tahu juga caranya menilai diri sendiri; yang lainnya bilang ia hanya senang bermain game. Tahu apa mereka soal kesenangan? Tahukah mereka bahwa kesenangan lama-lama bisa berubah jadi kehampaan?

Setelah mengecek ponselku sekali lagi dan mendapati masih tidak ada pesan yang masuk, aku bertemu kucingku dalam perjalanan ke lantai bawah dan mengajaknya menemaniku mengecek tanaman di halaman. Begitu sampai di halaman dan melihat Meng Kecil, ia teralihkan dan mengejar-ngejar kucing betina yang masih cilik itu. Ia pejantan yang mulai doyan buang air sembarangan. Sambil melirik mereka sesekali, aku menyirami tanaman-tanamanku mulai dari yang letaknya paling kanan: jeruk yang kecambahnya baru kupindahkan ke wadah baru; bawang daun yang terus tumbuh biarpun sudah pernah dipotong sebelumnya; seledri, kangkung, bayam, dan cabai yang sebagiannya tumbuh baik-baik saja; sawi yang semainya sudah muncul; ketumbar yang tidak kunjung tampak pucuknya; kailan yang semakin besar; bawang merah yang entahkah bakal tumbuh lagi; kacang merah yang sepertinya membusuk dalam tanah; dan… seledri lagi….

Semai-semai seledri yang letaknya di ujung lain halaman itu kutempatkan dalam keranjang-keranjang kecil yang sebelumnya merupakan wadah ikan. Bijinya mula-mula kutumbuhkan dengan menggunakan media kapas yang dibasahi. Sebagian besar di antaranya lalu berkecambah dan kupindahkan ke media tanah yang dicampur dengan sekam dan pupuk. Dari empat keranjang yang masing-masingnya diisi dengan dua kecambah, tinggal tiga semai yang masih berdiri. Lainnya tampak terkulai atau mulai terkubur oleh tanah. Aku memandangi mereka seakan tidak ada lagi yang bisa kuperbuat. Aku pernah mencoba menegakkan sebagian yang tampaknya masih punya harapan hidup, beberapa hari lalu. Tapi sepertinya dalam beberapa hari ini aku kembali berbuat kesalahan yang sama. Belakangan ini aku kurang perhatian pada tanamanku.

Karena tidak punya alat penyemprot khusus, aku menggunakan botol air mineral yang tutupnya dilubangi. Biarpun begitu, cara kerjanya tidak sama sehingga cara mengeluarkan airnya pun tetap harus hati-hati. Air dari botol tersebut dapat melewati lubang-lubang pada tutup dengan mudahnya, dalam bulir-bulir berukuran lumayan besar untuk semai yang masih mungil. Maka seharusnya aku menuangkannya dengan berhati-hati, sambil berjongkok dan bergeser sedikit-sedikit, dan memiringkan botol itu dengan kemiringan tertentu sehingga airnya keluar perlahan-lahan, dengan lembutnya membasahi permukaan daun atau tanah, bukannya malah menumbangkan.

Belajar menumbuhkan biji membuatku merasa bahwa tanaman itu juga dapat merasa. Kalau kita perhatian pada mereka, menyirami mereka dengan penuh kasih, menambah pupuk apabila perlu, menyingkirkan hewan atau tumbuhan yang menganggu, bahkan mengajak bercakap dengan kalimat-kalimat yang baik dan mengelusi daun-daun mereka, mereka pun akan tumbuh bagus. Sebaliknya, kalau kita memperlakukan mereka secara asal-asalan, menyirami mereka dengan brutal, tidak pernah memberi pupuk, membiarkan adanya hewan dan tumbuhan pengganggu, dan memaki-maki mereka, mereka pun akan segan tumbuh.  

Aku kembali ke kamarku, mengecek ponsel, mengambil pulpen dan kertas, lalu menulis pernyataan akan betapa menyesalnya diriku karena telah menyia-nyiakan kehidupan, meskipun aku tahu semai-semai loyo itu tidak akan pernah dapat membacanya; dan betapa riangnya lidahku seandainya mereka dapat tumbuh sampai besar tapi ternyata tidak. Sejujurnya aku sempat merasa heran: kalau aku sayang pada tanamanku hingga merawatnya dengan setelaten mungkin, kenapa pada akhirnya aku malah memakan mereka dan bukannya membiarkan mereka mati secara alamiah saja? Tapi bukankah tujuanku menanam mereka memang untuk kebutuhan perutku? Dengan berat, aku bergelung di kasur. Aku hampir saja terlelap lagi sekiranya tidak mendengar ribut-ribut di lantai bawah, yang sebenarnya lazim terjadi tiap pagi, tapi—satu lagi keheranan dalam hidup—aku tidak pernah benar-benar terbiasa dengan itu hingga dapat menerimanya: adikku lelet padahal hendak menghadiri acara penting sehingga mamaku yang panikan mau tidak mau mengantarnya, adikku yang satu lagi tidak kunjung melepas gawainya sementara papaku mulai meradang menyuruhnya membersihkan halaman.

Setelah keributan itu memudar, dan masih tidak ada pesan baru di ponselku, aku kembali ke lantai bawah dan memilih kopi: kopi dengan mint, kopi putih padahal cokelat, kopi krim yang banyak ampasnya, atau kopi saja dengan gula? Aku menyeduh yang terakhir, kembali ke kamarku, dan setelah beberapa teguk, mengecek ponsel, menonaktifkan internet yang sudah beberapa hari ini nyaris tidak ada gunanya, menyalakan speaker, menyambung kabelnya dengan ponsel, membuka playslist, dan menyetel Piero Umiliani, dan sekali lagi terheran-heran kenapa suasana hatiku mesti bergantung pada secangkir cairan hitam dan dua track gubahan komponis Italia; kenapa suasana hatiku mesti bergantung pada produk-produk olahan manusia? Itukah maksudnya bahwa kita sebagai manusia membutuhkan manusia lainnya sekalipun secara tidak langsung? Bahkan mungkin kehadiran tetangga yang tidak pernah bersapaan dengan kita sama sekali pun juga penting, sebab kalau mendadak mereka lenyap sehingga cuma kita satu-satunya manusia yang tinggal di perumahan itu—bahkan di muka bumi—kita bakal merinding akibat keheningan yang terlalu intens, disusul rasa tersayat yang amat sangat dan berkali-kali lipat daripada biasanya di dalam diri.

Dalam rasa syukur atas indra pengecapan, pencernaan, dan pendengaran yang masih berfungsi dengan baik, aku teringat bahwa semalam Mama bilang pada Papa kalau pilus itu enak dimakan bareng mi… semangkuk mi instan yang baru saja matang dan mengepul hangat…. Saat itu aku mendengarkannya dengan keinginan mengatakan hal yang sama pada seseorang, kapan-kapan, dalam situasi yang persis. Setelahnya, aku memimpikan Didin dalam tidurku….[]

 

To: My late celery seeds, I’m so sorry I could cry :((

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain