Kamis, 14 Mei 2015

Q

Madie mendukungku untuk mengadopsi Jasmine. Jadi keputusanku sudah bulat. Ada suatu hal yang mengganjalku semasih memikirkannya, yaitu ingatan tentang kejadian sesudah pemakaman ayahku dua puluhan tahun yang lalu.

Sore itu, saudara laki-lakiku mengajakku dan adik perempuan kami bicara bertiga saja di sudut yang sepi di rumah duka. Mataku masih berat, tapi aku berlagak siap mendengarkan apapun yang ingin dikatakannya.

Saudara laki-lakiku bilang, sesaat sebelum jenazah Ayah diberangkatkan ke pemakaman, ada dua perempuan datang. Perempuan yang lebih tua mengenalkan diri sebagai mantan istri Ayah. Perempuan yang lebih muda tidak berkata apa-apa, selain menangis sambil memandangi jenazah Ayah, dan dari mulutnya keluar suara meratap yang kedengarannya seperti, “Ay… ah….”

Adik perempuan kami malah marah mendengar itu. Bilangnya, bisa-bisanya saudara laki-laki kami itu mengungkapkan hal yang seperti itu saat masih masa berkabung. Ia mulai menangis lagi.

Tapi saudara laki-lakiku bergeming saja. Menurutnya, cepat atau lambat kami semua akan (atau mesti) mengetahuinya. Meski rasanya seperti ada yang menyumbat tenggorokanku, kupikir memang sebaiknya begitu, dan mengikhlaskannya supaya Ayah lapang di kuburnya.

Aku dan saudara laki-lakiku memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah perempuan itu, sekadar memenuhi rasa penasaran kami. Perempuan itu tidak memberi tahu alamatnya pada kesempatan bertemu yang lalu. Jadi kami melacaknya dari saudara-saudara Ayah. Mereka sepertinya maklum bahwa hal yang selama ini ditutupi itu akhirnya tersingkap juga.

Perempuan itu tinggal di kota yang sama dengan kami. Rumahnya menyempil di pelosok perkampungan padat. Rumah Enin—ibunya Ayah—juga berada di kawasan yang persis seperti itu. Ayah pernah bercerita, sewaktu ia dan adiknya masih kecil, Enin membawa anak-anaknya itu ke gelanggang dan mencari orang yang bisa membina mereka menjadi atlet. Enin berharap anak-anaknya kelak mendapat santunan pemerintah. Enin tidak akan sanggup membiayai sendiri hidup mereka.

Sewaktu memasuki ruang tamunya yang mungil, namun cukup apik dan terawat, aku semakin merasa memahami hubungan di antara Ayah dan perempuan itu—selain karena dulunya mereka seprofesi. Apalagi ketika melihat fotonya terpajang di lemari yang menyekat ruangan itu dengan ruangan di baliknya. Dalam foto yang sudah mulai buram itu Ayah merangkul seorang gadis kecil dengan latar semacam danau—ada perahu-perahu bebek di sisinya. Gadis kecil itu berseri dan sama sekali bukan adik perempuan kami. Kapan foto itu diambil? Diam-diam aku menyenggol saudara laki-lakiku dan memberikan isyarat. Ia mulai memandangi foto itu. Hanya satu itu foto yang memuat ayah kami yang terlihat di ruangan itu.

Seorang perempuan muda lalu datang dari dalam, membawakan minuman. Ia tidak mengarahkan matanya pada kami, atau tidak mau. Ibunya yang sedari awal duduk di hadapan kami menyentuhnya dan memberi tahunya agar ikut menemani “saudara-saudara”nya di ruang tamu. Tapi ia berlalu saja dan tidak muncul lagi. Lalu aku menyadari kalau ia gadis kecil dalam foto itu.

Perempuan yang menua itu tidak secantik ibu kami, meski rautnya lembut dan meneduhkan. Mungkin aku beranggapan begitu karena kelewat meninggikan Ibu. Atau karena Ibu yang selama ini meninggikan dirinya sendiri? Perempuan itu bilang, ia dan Ayah bercerai beberapa tahun setelah menikah, sewaktu gadis mereka masih balita. Ia tidak menjelaskan penyebab perceraiannya, dan entah kenapa kami juga merasa segan mengoreknya. (Baru lama setelahnya, sewaktu sedang berhubungan lagi dengan mantan pacarku sewaktu SMA yang sudah bercerai, aku bisa memahami kalau dua orang bisa bercerai karena apa saja.) Beberapa tahun setelah perceraian itu, Ayah bertemu dengan Ibu, lalu keduanya menikah. Ibu meminta Ayah untuk tidak pernah mengungkit masa lalunya. Ibu tidak pernah mau menganggap keluarga kecil Ayah yang sebelumnya. Sampai di situ aku mencoba menangkap kalau-kalau ada emosi tertentu pada raut perempuan itu.

Ibu mungkin tidak senang kalau Ayah mempertemukan kami dengan keluarga kecilnya yang dulu. Tapi samar-samar aku merasa sepertinya gadis itu bukannya asing sama sekali. Aku mungkin pernah bertemu dengannya di rumah Enin, sekali-dua. Aku lupa yang dilakukannya. Sepertinya ia menempel terus pada Enin. Ia sangat pemalu. Tidak mau diajak berkumpul bersama. Aku kira ia anak tetangga atau keponakan Ayah. Mungkin ia sempat memanggil “Ayah” pada Ayah. Aku membiarkannya karena pada waktu itu kupikir ayahku sangat baik sehingga wajar kalau semua anak ingin memanggilnya begitu. Mungkin adik perempuanku yang agak tidak senang ada anak lain yang mengakui ayahnya. Tapi pada waktu itu kami sama-sama masih kecil. Dengan cepat persoalan itu terlupakan.

Pulang dari rumah perempuan itu, rumah yang kutinggali sampai aku lulus dari SMA jadi terasa sangat lapang, dan aku terus memenungkannya sampai beberapa lama.

Kalau kuingat-ingat cekcok di antara kedua orangtuaku yang kadang-kadang terjadi, dan semakin intens saja menjelang aku pergi jauh untuk kuliah, persoalannya barangkali memang bukan sekadar soal nilai-nilai raporku yang jelek, atau apa-apa yang dilakukan kedua saudaraku yang lain. Tapi lebih daripada itu, apapun itu.

Di sela-sela kesibukan dalam pekerjaannya yang sering kali membuatnya tidak pulang sampai lama, Ayah selalu menyempatkan diri untuk menelepon kami, anak-anaknya, satu per satu, dan barangkali anaknya yang satu itu juga… meskipun perempuan itu katanya tidak bisa berbicara dengan lancar karena pendengarannya yang terbatas sejak lahir. Tapi lidahnya jadi sangat peka. Sewaktu masih di rumah itu tadi, ibunya bilang, hampir semua makanan di rumah itu dibuat sendiri olehnya, atau mungkin aku seharusnya menyebutnya, “Kakak”.

Aku mencoba membayangkan sekiranya aku dan kedua saudaraku mengetahui hal ini dari awal. Apakah kami akan akur dengan “kakak” kami itu? Meski berbeda ibu, tapi toh kami sedarah. Apakah kami akan bermain bersama sewaktu kecil, saling menanyakan kabar sewaktu besar?

Aku dan saudara laki-lakiku itu sama sekali tidak menyinggung pertemuan kami dengan keluarga lama Ayah pada Ibu. Ada perasaan enggan, atau lebih tepatnya, sungkan. Ibu lebih banyak menyendiri selama masa berkabung.

Lalu aku kembali ke kota tempat kampusku berada dan semakin jarang pulang.

Sesekali, ketika mengontak saudara laki-lakiku, aku bertanya apakah ia masih mengunjungi perempuan itu dan “kakak” kami. Tapi rupanya ia sudah tidak acuh, di samping kesibukannya kuliah, jalan-jalan, dan entah apa lagi. Memang di antara kami bertiga, ia yang paling tidak dekat dengan Ayah dan Ibu. Sulit mengharapkan perhatiannya pada urusan keluarga dan semacamnya. Soal itu pun semakin jarang tercetus di antara kami. Apalagi dengan adik perempuanku, yang sepertinya lebih suka tidak menganggapnya, seperti ibu kami.

Baru beberapa belas tahun setelahnya, ketika aku kembali tinggal bersama Ibu, aku menanyakan soal itu padanya. Ia tidak langsung menjawab, diam sebentar sebelum menyatakan pikirannya dengan balik bertanya, buat apa membicarakan soal itu sekarang? Ayah sudah lama tiada. Ibu dan perempuan itu sama sekali tidak pernah berurusan.

Tapi keberadaan “kakak”ku masih mengiang dalam kepalaku.

Aku mencoba mencarinya lagi, bertanya sekalian bersilaturahmi pada saudara-saudara Ayah yang tersisa. Mereka semua masih mengenalnya, bahkan ada yang masih menjalin hubungan dengannya. Mereka justru heran dengan kedatanganku sebab aku satu-satunya dari keluarga “kedua” ayahku yang masih ingat untuk mengunjungi mereka setelah begitu lamanya. Aku beralasan kalau kini saudara laki-lakiku tinggal di luar negeri, adik perempuanku sibuk mengurus keluarganya, sedangkan ibuku sudah tidak kuat bepergian jauh (meski kenyataannya ia memang seorang ratu yang lebih senang berdiam dalam istananya).

Lalu, pastinya, aku berangkat ke rumah “kakak”ku itu. Taraf hidupnya tidak banyak meningkat sejak terakhir kali kami bertemu. Mobil yang kubawa jelas tidak bisa diparkir tepat di dekat rumahnya. Aku mesti bertanya beberapa kali pada orang di jalan sebelum akhirnya sampai di tujuanku.

Ia sudah berkeluarga. Aku sempat bertemu dengan suaminya. Lelaki itu berjalan menggunakan tongkat dan bekerja di sebuah panti di daerah itu. Sesaat kupikir mereka pasangan yang saling melengkapi. Mereka punya dua anak yang sama-sama sudah lulus dari sekolah menengah. Yang satu menjadi atlet, yang lainnya bekerja di pabrik.

Aku merasa ia agak menjaga diri. Aku mesti banyak-banyak berbasa-basi. Misalnya saja, dengan menyinggung kemampuannya memasak, menebak-nebak kalau sederet toples berisi kudapan di meja itu bikinannya semua, dan mencicipinya dengan nikmat.

Aku hanya ingin membuatnya senang dengan kehadiranku, keberadaanku, sebagai anak lainnya yang barangkali telah banyak menyita perhatian ayahnya, lebih banyak daripada yang diberikan untuknya.

Bagaimanapun juga, rasa masakannya memang selezat rasa masakan Enin, dan seperti Enin, ia menyambung hidup keluarganya dengan memasak untuk orang lain.

Aku mengamati juga penampilannya, mencari-cari jejak Ayah pada dirinya.

Aku seperti sedang berusaha untuk membuktikan bahwa ikatan darah itu memang nyata. Mungkin saudara laki-lakiku terlalu cuek, sementara adik perempuanku terlalu sensitif untuk hal seperti itu. Tapi aku harus.

Aku mengunjungi perempuan itu sampai beberapa kali lagi. Sedikit demi sedikit aku mengerti bahasa yang digunakannya. Mengingat bahasa yang sama digunakannya juga untuk suaminya, aku merasa komunikasi di antara mereka pastinya sangat mendalam, lebih mendalam daripada yang bisa diperbuat kebanyakan orang yang segala indranya terbuka tapi sering kali tidak menyadari nikmatnya. Sedikit demi sedikit juga, ingatan kami terbuka. Bahkan sewaktu baru mengetahui kenyataan bahwa Ayah sudah pernah berkeluarga sebelum dengan Ibu, aku, dan kedua saudaraku, aku tidak merasa dikhianati. Tidak sama sekali. Meskipun Ayah tidak menyatakannya demi menjaga perasaan Ibu, tapi aku dan kakakku itu tahu sama tahu bahwa kami pernah dipertemukan bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali, kapanpun ada kesempatan, dalam setiap acara-acara keluarga besar Ayah (yang tidak pernah disertai oleh Ibu). Biarpun kami tidak saling mendekat karena malu-malu, atau karena jarak apapun yang ditanamkan ibu kami masing-masing dalam pikiran kami sedari kecil.

Lalu ibuku meninggal. Aku kembali pergi dari kota itu.

Pertama kali aku bertemu dengan Jasmine saat aku sedang menemani seorang anak yang sudah seperti kerabatku sendiri menjenguk kakeknya di panti jompo di luar negara bagian. Bibinya Jasmine bekerja di sana, dan sepulang sekolah anak itu sering datang, memainkan piano di ruang bersama dan disenangi para orang tua.

Begitu juga yang ingin kulakukan pada Jasmine: mencari-cari jejakku padanya, mulai dari matanya, dagunya, sampai ikal rambutnya. Orang-orang bilang kami berdua sangat mirip. Dan meski mereka menambahkan kalau ia bisu, tapi pendengarannya bagus sekali—ia toh pintar main piano—jadi kurasa ia cuma sedang tidak ingin bicara… setidaknya ia bisa memanggilku, “Ay… ah….” Aku berjanji akan mengenalkan lebih banyak kata dalam bahasa orangtuaku kepadanya nanti.

Lagipula keterhubungan yang kurasakan padanya lebih daripada itu. Juga lebih daripada dokumen dari institusi yang menyatakan anak itu berasal dari spermaku, yang dipilih seorang perempuan yang tidak akan pernah bisa kuajak bercengkerama sampai kapanpun—kecuali mungkin nanti, saat kami sudah berada di alam yang sama.

Madie sangat senang mengetahui soal Jasmine—meskipun aku bisa melihat ia berusaha menyembunyikannya—sebab sarannya supaya aku menyumbangkan spermaku akhirnya membuahkan hasil. Sejujurnya, aku heran kenapa bukan ia sendiri yang membiarkan rahimnya untuk menampung dan membesarkan benihku. Tapi ia selalu bersikeras tidak ingin punya anak—jangankan pernikahan. Jadi aku diam saja. Ia sudah seperti kakakku dan banyak membantuku sejak masa awal kedewasaanku di negeri yang asing bagiku dan juga jauh dari keluarga. Aku menghormatinya apapun pandangan dan pendapatnya.

Aku tidak pernah tertarik melacak anak biologisku dari sesuatu semacam bank sperma itu. Tapi sepertinya pertemuanku dengan Jasmine memang sudah takdir. Tidak ada yang kusesali. Dan ibunya memberinya nama itu, Jasmine. Aku merasa perempuan itu memang diam-diam sangat mengenalku.

Dan, biarpun pada suatu waktu Esmé tidak mau mengakui dirinya mengandung bayi siapa, serta ingin melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian saja, dalam kegelisahanku aku tahu. Saat itu aku sedang melanjutkan studi di negaranya dan ia ikut tinggal di kamar sewaanku yang sempit dan panas, supaya sewaktu-waktu kami bisa menyatu, menggeliat dan basah seperti cacing tanah dirajam matahari. Awalnya aku sama sekali tidak mau tahu. Apalagi karena reputasi Esmé di kalangan teman-temanku. Bisa saja itu hasil perbuatan salah satu dari mereka. Tapi lama kelamaan, sambil berulang-ulang mengenang setiap ucapan dan gelagat Esmé padaku selama kebersamaan kami yang singkat itu, setiap kali aku mengunjunginya dan mendapati Étienne yang terus bertumbuh, dalam keharuanku aku tahu. Aku tahu. Aku hanya berharap saat aku meninggal nanti, mereka akan datang, dan Esmé akan menyampaikannya pada Étienne.[]

 

 

 

credit to “Me and My Arrow” – Harry Nilsson

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain