Jumat, 15 Mei 2015

Seputaran Subuh

Sudah lewat tengah malam saat ia pulang. Ia memutuskan mobilnya ditaruh di car­port saja, tidak usah dimasukkan ke dalam garasi. Sekali ia memencet bel di ba­lik pa­gar, naik ke teras, bersandar pada dinding, nyaris tertidur sambil mendongak, se­belum ter­kesiap menyadari bahwa tidak seorangpun membukakan pintu. Ia kem­ba­li ke dekat pa­gar, memencet bel berkali-kali, dan mempertimbangkan untuk tidur di jok mobil ke­ti­ka pintu depan akhirnya dibuka pembantunya. Ia memaksakan se­nyum saat melewati wa­nita yang sudah hampir sesepuh ibunya itu, tapi di­u­cap­kan­nya juga, “Makasih, Bik.” Ke­kesalannya dengan segera teralihkan pada kaki-kakinya, yang tidak mampu mem­ba­wa­nya lebih cepat ke kamar walau akhirnya sampai juga. Ser­ta-merta ia ambruk ke ka­sur.

Mungkin gara-gara Côtes du Rhône di jamuan tadi… ya… pasti… apa­la­gi? …sebagian, tapi… ia memang mengantuk… tadi cuma seicip-dua icip lah… ma­sak? …bukannya ada Bombay juga tadi? …terus…. Kepalanya dibenamkan semakin da­lam ke bantal. Tapi napasnya lalu sesak. Maka ia mengalihkan mukanya. Pikirkan se­bu­ah akor, pikirnya, sambil tersengal karena mendadak kata itu terasa begitu lu­cu. Akor. A-kor. Aa-koor. Kor. Kor. Kor kor kor kooorrrpetok petok tok tok…. Malah di­ra­up­nya guling, di­peluknya erat, dibelainya puncaknya seakan benda itu berambut, dan dikecupnya pu­la seakan di situ ada mulut, pipi, dahi, lalu dipejamkannya mata dan dirasakannya da­mai sejenak hingga dalam kepalanya muncul hutan belantara.

Seekor kelinci melintas, melompat-lompat serupa tarian, sambil menebarkan bu­nga ke segala penjuru, tanpa menyadari seekor serigala mengintip dari balik po­hon…. Ta­pi kelinci itu tidak tahu! Setiap pijakan kakinya yang empuk pada lantai bu­mi yang di­selimuti serasah menimbulkan dentang-denting yang syahdu sekalian je­naka, dan ia, yang membayangkan makhluk lucu itu di dalam kepalanya, tidak sa­bar menjelmakan be­bunyian alamiah nan imajiner yang didengarnya ke dalam ben­tuk yang dipahaminya. Na­mun ia hanya menggerak-gerakkan jemarinya pada kasur, se­akan merupakan lang­kah-langkah si kelinci yang lugu, yang tidak awas akan ba­ha­ya yang mengintainya dari be­lakang…. Ia membayangkan akan mem­per­de­ngar­kan­nya pada seseorang. Ia akan me­min­ta gadis itu mendengarkannya sambil me­me­jam­kan mata, dan menceritakan gam­bar­an yang hadir di dalam benaknya, yang ter­nya­ta persis sama! Gadis itu juga melihat ke­linci yang melompat-lompat dengan ri­ang­nya di dalam hutan yang lebat tanpa me­nya­dari adanya serigala yang mengincar di balik pohon di belakangnya. Lalu serigala itu memintas jalan menuju rumah yang di­tuju kelinci itu. Ia memakan nenek si kelinci yang sedang sakit yang tadinya hen­dak dijenguk, dan menggantikan betina tua itu di ka­sur dengan menyamar….

Lambat laun bayangan itu menghitam, digantikan wujud seorang lelaki yang me­nen­dang perahu supaya terbang lalu terbalik menjadi gunung tapi benda itu bergeming saja sementara ia malah meng­aduh-aduh kesakitan sambil memegangi kakinya… lalu ada seorang ibu-ibu yang mengutuk anak­nya yang durhaka menjadi batu—akik—agar bisa dipotong-po­tong, diasah, dan di­ju­al demi kesejahteraan hari tua… lalu muncul masing-masing se­butir bawang merah dan bawang putih dengan mata dan mulut yang menjerit-je­rit histeris sebelum di­cin­cang secara brutal oleh pisau besar yang datang entah dari ma­na… lalu dari terminal ke­datangan yang menyerupai bangunan keong emas di Ta­man Mini Indonesia Indah ia ke­luar sambil memanggul tas, dan di seberang jalan ada gadis yang seakan sudah me­nung­gu-nunggu kehadirannya, menyambutnya de­ngan menyanyikan lagu lawas ber­ju­dul “Kau Datang” yang dibawakan salah seorang ju­ri Akademi Fantasi Indosiar[1] be­ser­ta kawan-kawannya tempo dulu… kau da­tang… demi kebahagiaanku… yang kucari… hoo… dan mereka pun bergandengan ta­ngan menjauhi tempat itu….

Ia membuka mata seraya tersadar bahwa ia sedang tersenyum dan ada azan yang kesepian di luar sana. Azan yang sendirian saja melesat-tembus-usiki malam, tan­pa kawan bersahut-sahutan sebagaimana pada lima waktu lainnya seakan se­dang ber­lom­ba mengeroyok langit dan segala yang dinaunginya. Azan yang mem­bang­kitkan nye­ri di sekujur kepala, merayapkan gerah ke sekujur tubuh sehingga ia mem­bukai pa­kai­annya selain celana dalam, dan ia tidak ingat apakah memang ia yang mematikan lam­pu kamar sebelum serangkaian ilham acak tadi, dan apa­kah sewaktu memasuki ka­mar semalam ia memang sempat menyalakan lampu. Kem­bali ia ambruk di kasur da­lam harap akan terpejam lagi. Tapi tidak.

Hingga azan yang ramai menyerbu malam separuh purnama, sekalian me­nye­lip­kan ke dalam benaknya perkataan ibunya belum lama itu: “Laki-laki itu salatnya di mas­jid.”

 

Ia menyiram tubuhnya di pancuran sekaligus menggosok giginya dengan tergesa-ge­sa, me­ngenakan baju koko yang pertama dilihatnya di lemari sambil me­nyem­pat­kan se­be­lah tangan mencomot tabung apapun di meja dan menyemprotkannya ke ke­tiak, leher, da­da, dan memasukkan kaki ke celana jin yang semalam, me­nyam­pir­kan sajadah ke ba­hu, dan keluar dari rumah.

Sembari berjalan disadarinya kalau mandi air dingin pada pagi buta mem­bu­at uda­ra terasa semakin menggigit, dan baju yang dikenakannya ternyata berlengan pen­dek. Ia hendak melilitkan sajadahnya yang tipis itu di lehernya serupa syal, tapi ba­tal be­gitu seorang lelaki tua yang juga hendak menuju masjid melewatinya. Ia mem­per­ce­pat lajunya seperti lelaki itu.

Sesampainya di masjid, jemaah sudah rukuk. Buru-buru ia menggelar sa­ja­dah dan mengikuti, dan setelah tahiyatul akhir lupa mengganti Al-Fatihah yang ter­le­wat. Se­te­lah bersalaman dengan baik yang dikenalnya maupun tidak, ia meng­a­mati orang-orang yang berzikir atau menunaikan salat entah apa. Maka ia me­man­fa­at­kan setiap de­nyut yang kembali mencubiti kepalanya sebagai pengganti biji tasbih. Sa­at pengurus mas­jid mengumumkan khatib subuh hari itu, ia menyadari bahwa me­mang sudah ter­lam­bat untuk angkat kaki. Maka sembari menyangga kepalanya yang terasa semakin be­rat dengan kedua tangan agar tidak jatuh, petuah demi pe­tu­ah untuk memuliakan ibu yang telah sepuh mendekam di dalam benaknya. Merah tem­baga yang mewarnai ba­junya pun ambyar di matanya.

 

Di luar gelap telah memudar saat jemaah mengenakan alas kaki masing-masing. Me­re­ka berjalan berdua-dua atau bertiga-tiga menjauhi masjid, namun ada pula yang sen­di­ri, termasuk dirinya. Hangat yang merangkulnya di masjid tadi telah lalu ber­sama orang-orang berpeci dan bersarung, digantikan oleh dorongan untuk me­ra­ba-raba kan­tung celana jin hingga ditemukannya sebungkus A Mild dan pemantik.

Dengan khidmat diisapnya dan diembusnya panas yang meliak-liuk me­mu­tih­kan uda­ra bersama petuah sang khatib melayang-layang ke langit biru muda, yang di­ta­tap­nya sem­ba­ri membatin, Ibu, karena dirimu mulia, aku ingin jadi orang pertama yang me­li­hat­mu tiada….

Karena itu aku pulang.

 

Sepulangnya di rumah, ibunya tengah menyeduh teh di pantri.

“Lho, udah bangun?” suara ibunya yang lebih dari sekadar teguran saat me­li­hat­nya masuk.

“Udah,” sahutnya seraya mendekat dan mengecup pipi wanita itu. “Selamat pa­gi, Ibu,” sambil tangannya menggamit cuping cangkir dan menelan isinya ber­te­guk-teguk, me­resapi sensasi rempah yang memadamkan gelora mual yang tadi ham­pir mencapai mu­lutnya. “Teh buatan Ibu emang paling enak.”

Tersungging di bibir ibunya lebih dari sekadar senyuman.[]

 

 

 

buat om-om di Jalan Kliningan yang habis dari subuh di masjid

credit to: Claude Bolling & Jean-Pierre Rampal – “Baroque and Blue”



[1] Ajang pencarian bakat yang populer pada 2000-an di saluran televisi berlogo ikan terbang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain