Senin, 25 Mei 2015

Ketika Ayah Pergi

Suaranya terdengar parau. Serak yang beda daripada biasa. Seperti tersendat.

Hai Zia. Ini Dean. Gue lagi di Bandung. Gue pingin main. Si Kang Ali lagi di rumah juga enggak? Alamat lo dong.

Saat itu Sabtu. Sedari siang aku dan Ali menunggu kedatangannya. Sampai kami mengobrolkan makan apa malam nanti. Ali memutuskan untuk keluar belanja bahan. Ia pergi setelah salat asar.

Sekitar setengah sejam setelah itu, bel berbunyi. Aku membuka pintu. Aku mendapati langit agak kelam, dan sosoknya yang menjulang. Mestinya ia sudah tumbuh sekian senti lagi sejak terakhir kali kami bertemu secara langsung, sudah bertahun-tahun lalu.

“Hai”, senyumnya dengan kepala agak menunduk. Aku balas tersenyum dengan kepala mendongak. Ia menyodorkan sebuah kotak yang sebelumnya ia sembunyikan di balik punggung. “Kado nikahan, sekalian kado lahiran, entar.”

“Ah. Makasih,” ujarku. Kuterima kado itu. Besar juga. Mukaku tertutup separuh ketika aku mengangkatnya sampai ke atas perut.

“Masuk?”

“Ya.”

Walaupun ia mengenakan jumper gombrang tapi ia tetap kelihatan makin kurus saja. Apalagi kalau melihat kaki jenjangnya yang dibalut jeans kusam. Rambutnya yang kecokelatan cepak saja seperti terakhir kali aku melihatnya lewat Skype, entah sudah berapa bulan lalu. Sejumput bagian belakangnya berdiri, mungkin karena gesekan dengan sesuatu. Kulitnya yang putih tampak kurang matahari.

“Duduk lah.”

“Ya.”

Ia duduk di sofa panjang yang menempel dengan dinding.

“Mau minum apa?”

“Duh, enggak usah repot-repot.”

Tapi aku sudah telanjur menuju dapur, sekalian menaruh kado darinya di meja makan. Masih terdengar suaranya, rumah kecil doang sih, “Beneran lo udah hampir kayak ibu-ibu, Zia.”

“Ah bisa aja.”

Selagi membuat teh aku menyadari penampilanku. Daster selutut menutupi perutku yang bengkak. Rambut diikat asal saja. Memang sehari-sehari aku begini saja sih.

Entah ia sedang menerawang apa ketika aku sampai kembali di ruang tamu. Pelan-pelan ia menoleh ke cangkir teh yang aku letakkan di dekatnya.

“Makasih, Zia.”

“Kembali….”

“Ng…. Itu….”

“Ya?”

Aku baru menyadari matanya yang terpaku pada perutku.

“Udah gede,” katanya.

“Ya,” aku tersenyum.

“Berapa bulan… eh, lima, enam, ada ya?”

“Ya. Minggu ini udah masuk minggu kedua enam.”

Ia mengerutkan kening. Entah sudah berapa kali aku membuat percakapan dengannya jadi rumit, walau sedikit. Ah biar deh.

Ia masih menatap perutku.

Mungkin hanya perasaanku saja. Matanya yang semula dingin itu kini agak berbinar. Apalagi ketika senyumnya sedikit demi sedikit terbit. Ia mengangkat tangannya, menurunkannya lagi, memandangku. “Boleh?”

“Apa? Eh? Oh. Ya. Enggak apa-apa.”

Aku maju sedikit. Ia juga. Mula-mula hanya ujung jemarinya yang menyentuh perutku. Lalu telapak tangannya secara sempurna memberikan usapan lembut. Tangannya yang meregang itu tampak begitu besar, lebih besar dari tangan Ali kukira.

“Dia nyundul…” ucapnya. Begitu terpesona. “Cewek? Cowok?” tanyanya lagi.

“Belum tahu. Sengaja enggak pingin tahu juga sih.”

“Oh. Untung gue belinya yang uniseks.”

“Hm?”

“Berarti belum nyiapin nama juga?”

“Ya… Ada sih kepikiran beberapa. Tapi aku pake nama yang entar kepikiran pas ngelahirin aja.”

Tangannya masih di perutku, mengusapnya ke arah berlainan.

“Halo… Ini Om…” ucapnya pelan dan lembut. Senyumnya semakin melebar. Begitu juga dengan senyumku. “Idih, gue udah jadi om-om aja, haha….” Akhirnya ia lepaskan juga tangannya. “Si Kang Ali…” lanjutnya… oh mungkin karena ia teringat Ali… “Pada ke mana? Meni sepi rumahnya.”

“Iya, lagi pada ke rumah saudara. Kalau Ali mah lagi keluar sebentar," kataku sembari menyadari, sebenarnya dia pergi sudah agak lama juga sih.

“Dia masih marah sama gue?”

“Oh. Enggak…” tukasku. “Kita udah baik-baik aja kok, Yan.”

“Beneran?”

“Iya,” sahutku dengan nada meyakinkan. Untuk lebih menenteramkannya, lebih lanjut lagi kuceritakan, “Emang sih waktu itu dia sempet mulangin aku ke rumah papa aku.”

Aku diam saja waktu itu. Masih kaget dengan kemarahannya, mungkin. Begitu aku turun di depan rumah, dia menyuruhku untuk berpikir. Baiklah. Aku berpikir. Memikirkan pernikahan dengannya. Memikirkan janin yang sudah telanjur di rahimku. Memikirkan sikap keluarganya yang sampai kapanpun sepertinya tidak bakal cocok denganku. Dan itu malah menyulut kemarahanku padanya. Beberapa jam kemudian ia sudah kembali lagi. Aku bilang dengan dongkol aku belum selesai berpikir… Tapi malamnya kami sudah berpelukan.

“Oh. Syukur deh.” Ia masih agak bengong.

“Lagian kan kamu udah jelasin baik-baik waktu itu. Masak dia enggak percaya?”

“Ya… Bisi aja. Gue enggak enak banget waktu itu, Zia, ya ampun. Gue pingin aja nge-clear-in masalahnya langsung. Maafin gue, Zia.”

“Enggak kali, Yan. Justru aku duluan yang ngerepotin kamu.”

“Oh, enggak.”

Aku tersengal sedikit karena geli. Kataku, “Waktu itu aku bilang sama dia, Dean tuh cuman pingin supaya kita punya bayi, supaya kita lebih nempel….”

“Haha,” ia tertawa pelan namun dengan lesu.

“Emang aneh, ya, kalau cewek sama cowok yang bukan suami istri ngomongin yang gituan?” kataku.

“Enggak juga sih. Gua mah bebas-bebas aja.”

“Iya. Dia tuh emang kolot banget.”

“Enggak apa-apa kali. Yang penting kan udah jadi,” senyumnya. Matanya ke arah perutku lagi.

“Ya mungkin emang baiknya jadi rahasia antara lo sama suami aja,” imbuhnya.

“Tapi kamu konsultan pernikahan yang baik, Dean, mestinya kamu buka jasa konsultansi aja.”

“Ah. Cuman masalah gitu doang mah. Asal lo rajin nonton juga lama-lama tahu sendiri.”

Aku menjawabnya dengan gumaman dan senyuman saja. Kalau aku menanggapinya lebih dari itu, sama saja dengan mengulang sebab dari kejadian yang lalu.

“Jangan bilang kamu jauh-jauh dari Boston ke sini cuman buat nge-clear-in masalah itu aja,” kataku.

Ia merebahkan punggungnya ke sofa sandaran sofa. Kepalanya merunduk.

“Ya… Gue emang pingin nge-clear-in itu sih. Waktu itu gue pikir kalau gue bisa pulang gue harus ketemu langsung sama Kang Ali sama lo… Ya… Silaturahmi juga sih.”

Aku diam saja. Menantinya terus berkata-kata. Tatapannya jatuh ke meja, atau ke mana, entahlah.

“Yah. Gue enggak nyangka aja ternyata momennya bisa secepat ini…

“Ayah gue meninggal, Zia.”

Aku membeku.

Punggungnya condong sedikit. Ia mengembuskan napas keras-keras. “Sori,” katanya.

“Enggak apa-apa.”

Ia terus membisu.

“Kapan?” tanyaku.

“Mm… Empat hari… mungkin… pas gue nyampe udah dimakamin.”

Kedua sikunya naik ke lutut, menopang kepala, sebagian wajahnya terhalang dari pandanganku.

“Waktu itu Rika dateng ke rumah. Yah… Sekalian ajalah gue ngelepas dia… Selesein semuanya.”

Aku mengembuskan napas pelan, berusaha agar tidak sampai terdengar olehnya. Seperti ada yang meruap hingga ke hidungku, namun aku tahu, itu akan tertahan sampai situ saja… oh… aku iri sama kamu, Dean…. Aku geser kotak tisu ke dekatnya. Kalau saja ia cewek, pasti sudah aku peluk. 

Ia mengangkat kepala. Matanya agak sembap. “Sori,” katanya. Jelas-jelas ia menghindari pandanganku.

“Enggak apa-apa, Dean. Keluarin aja.”

Apapun, entah kematian ayahnya ataukah masalah dengan ceweknya itu.

Ia tersengal pelan, seakan itu gagasan yang sampai kapan pun tidak bakal ia wujudkan. Ia minum beberapa teguk dari cangkir.

“Ayah gue, usianya enam puluh aja belum ada.”

Kutepuk-tepuk lututnya. Aku mulai bertanya-tanya bagaimana sekiranya papaku yang meninggal. Waktu Mama yang meninggal, aku tidak sedih sama sekali. Apakah aku akan bereaksi seperti Dean?

Setelah mereguk sampai tinggal sekitar satu senti dari dasar cangkir, ia berdiri. “Kayaknya mending gue jalan-jalan dulu aja ya, Zia. Nanti kalau pas kira-kira si Kang Ali udah balik, gue ke sini lagi.”

Padahal tunggu saja di sini kenapa sih. Aku menengok jam dinding. Ali masih belum juga kembali.

“Ya. Entar aku kasih tahu kalau dia udah balik,” kataku seraya bangkit. Ia mendahuluiku ke teras. Ia memarkir motornya  di pinggir jalan. Masih motor yang sama dengan yang ia pakai sewaktu SMA, kukira. Ninja biru dongker. Dulu ia pernah memberitahuku nama motornya itu, tapi aku tidak begitu ingat. Apa-apa-ri begitu.

Baru saja langkahnya hendak beranjak dari carport, Ali menjelang dengan motor. Terlihat beberapa plastik gembung menjuntai dari cantolan. Ia memberhentikan motornya tepat di depan Dean. Sontak Dean mengangkat kedua tangan, seolah Ali bakal menghajarnya saja. Memang Ali tidak tersenyum, tapi juga tidak seperti yang bakal marah.

“Udah mau pulang?” tegur Ali. “Makan dulu.”

“Iya. Mau dimasakin tuh,” imbuhku.

Mereka berjabat tangan. Kulihat sekilas senyum di bibir Ali.

“Masuk lagi atuh.”

“Iya, Kang.” Dean mengekor.

“Zia, tamunya udah dikasih minum?” tanya Ali sembari memasuki rumah. Ia seolah tidak lihat saja cangkir setengah isi di meja ruang tamu.

“Udah,” aku jawab saja.

Dean duduk di tempat semula.

“Mau tambah teh?” tanyaku.

“Boleh deh.”

Setelah menambah teh di cangkir Dean, aku menyusul Ali ke dapur. “Aku aja yang masak,” kataku, “kamu temenin Dean.”

“Yakin?”

“Yakin…!”

Tapi ia sama sekali tidak meletakkan pisaunya. Ia tetap sibuk memotong ini-itu, memasukkan ini-itu. Aku mengawasinya dengan bertopang lengan di meja. Beginilah kalau suami merasa lebih pintar masak. Tapi memang kenyataannya begitu sih. Sesekali aku melirik ke arah ruang tamu yang dibatasi sekat kayu.

Ali masak dengan gesit dan cekatan. Hanya nasi goreng dan sayur. Nasi yang digunakan pun hanya memanfaatkan sisa di magic jar. Padahal ia belanja cukup banyak. Lagi ada diskon di supermarket yang ia kunjungi tadi, katanya. Tapi rupanya kelebihan bahan itu memang sengaja ia sisakan untuk aku belajar masak. Hu-uh!

Aku lalu memanggil Dean yang ternyata sedang merokok di teras.

Bertiga kami duduk di ruang makan. Aku di samping Ali, sementara Ali di hadapan Dean.

“Aduh, kangen gue sama masakan Indonesia,” Dean tampak terharu ketika Ali menyodorkan bagiannya.

“Nasi goreng aja,” kata Ali datar.

“Sama capcai,” imbuhku. Menu yang sebetulnya Dean bisa temukan di, mana itu, semacam pecinan. Apa begitu yang Dean pernah cerita waktu kami masih doyan mengobrol di Skype.

“Masakan buatan orang Indonesia,” kata Dean lagi. Ia menyantap masakan Ali dengan lahap. Oh. Aku tahu Ali terkesan. Tidak usah sok jaim, Ali.

Lain kali ke sini lagi, Dean. Entar dimasakin sayur asem sama Ali. Enak loh,” kataku. “Apalagi sambelnya.”

Ali melirikku. Demi apa aku memuji masakannya, mungkin begitu yang ia pikirkan.

Pada sisa pertemuan itu, sama sekali tidak terungkit masalah yang pernah bikin Ali senewen kapan itu. Memang Dean tidak menyinggungnya. Mereka membicarakan hal lain malahan. Keterampilan Dean dalam mengobrol bangkit lagi, seolah kesenduannya yang sebelumnya itu tidak pernah ada. Ia bisa membuat Ali cukup banyak bicara. Tertawa sedikit. Lama-lama bisa kurasakan Ali mulai ramah dan semakin ramah.

Dean pulang ketika langit sudah gelap bergemintang.

Setelah itu Ali di kamar. Membaca. Begitu aku menyusulnya ke tempat tidur, ia meletakkan bukunya. Lalu menyambutku, perutku.

“Ayahnya Dean baru meninggal,” kataku.

“Oh ya?” Ia berhenti menciumi perutku.

Aku tidak bisa menerka apa yang mungkin dirasakan Ali. Ia tidak pernah tahu ayahnya sudah meninggal atau belum.

Ia lanjut menanggapi pernyataanku tadi dengan beberapa pertanyaan yang aku tidak tahu jawabannya, (lagipula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan ayahnya Dean), namun pikiranku lari ke mana-mana.

Pemandangan laki-laki dewasa yang menangisi kepergian ayahnya itu masih melekat di benakku. Aku mungkin tidak akan melakukan hal yang sama pada papaku. Tapi anak ini, anak dalam perutku ini, apakah ia bakal menangis kalau papanya pergi? Aku terus memandangi Ali sampai mataku perlahan mengatup.[]


(versi awal 2013 revisi 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain