Sabtu, 20 Juni 2015

Kemurakami-murakamian

Sudah lebih dari seminggu sejak aku mengundurkan diri dari pekerjaanku. Pekerjaan pertamaku dan satu-satunya yang datang padaku tanpa aku mesti repot mengurus lamaran dan tetek-bengek administratif lainnya. Pekerjaan itu datang padaku lewat kenalanku semasa SMA, bagai suatu jalan terbuka setelah bertahun-tahun aku hidup dalam status pengangguran. Kata yang sebenarnya kubenci. Sebab, setelah hampir dua minggu bekerja, aku menyadari bahwa selama ini aku menyiapkan dirku bukan untuk menjadi pegawai dari sesiapa, melainkan untuk bertahan dalam kesendirian, kesepian, dan keantimapanan yang merupakan konsekuensi dari menjadi seorang pengarang. Begitu yang kukatakan pada atasanku—sekarang sudah mantan. Mereka juga tidak mau memaksaku. Maka aku kembali pada kehidupan sebelumnya dengan semangat baru, dan belum menyelesaikan karya apa pun hingga lebih dari seminggu setelahnya.

Awalnya seperti euforia. Rasanya aku ingin membaca dan menulis sepanjang waktu, lupa akan kejenuhan yang sempat mengganduliku. Kejenuhan itu seakan sirna disiram masa percobaan bekerja untuk orang lain, yang walau singkat tapi seakan untuk selamanya. Orang biasanya menunggu sampai belasan tahun hingga cukup mapan baru meninggalkan pekerjaan kantorannya dan menekuni minat sejatinya. Aku, bisakah aku menunggu selama itu?

Aku lalu menulis hampir setiap hari. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama. Aku menulis catatan harian, terjemahan, surat untuk Kartini sebagai tanggapan atas surat-suratnya untuk Nyonya Abendanon yang menggelitik pikiranku dengan berbagai rasa…. Belum ada yang layak untuk dikirimkan.

Hari demi hari yang kulalui tanpa hasil yang layak menimbulkan frustrasiku lagi, meski samar, dan aku tahu aku mesti meredamnya agar tidak membesar. Frustrasi yang disebabkan oleh pikiran-pikiran untuk tidak melupakan kehidupan, bahwa akan ada saatnya aku mesti mencari nafkah sendiri, membutuhkan suami dan anak, dst, dsb, dan bahwa semua itu tidak akan dapat dipenuhi dengan menulis draf tidak layak dari hari demi hari. Pikiran-pikiran yang terlalu jeri untuk dituliskan.

*

Sejak beberapa hari ini aku kembali ingin bangun pukul tiga dini hari dan bersepeda setelah subuh. Hari ini akhirnya niat itu terwujud. Sehabis sahur dan menonton Preman Pensiun 2, menjelang pukul setengah enam, aku mengeluarkan sepeda. Kali terakhir aku bersepeda pada waktu yang sama, langit sudah mulai terang. Kali ini langit masih gelap. Satpam yang menjaga kompleks saat malam sudah pergi. Pintu posnya tertutup. Di jalanan depan rumahku hanya ada aku dan seorang wanita berjilbab panjang melintas. Kukayuh sepedaku melaluinya sambil menengok ke kanan, ke arah jalan di samping rumahku.

Semalam sekitar pukul tujuh lebih, setelah orang-orang berangkat tarawih, terjadi peristiwa pemecahan kaca mobil. Saat itu aku sedang mengobrol dengan Mama di ruang makan dan mendengar ada benda jatuh. Awalnya kupikir itu daum palem yang ditanam Papa di sepanjang tepian pagar rumah kami. Palem mungkin bagus untuk estetika, tapi daunnya yang besar-besar itu kadang berjatuhan dan menghalangi pengguna jalan. Sesekali aku yang keluar untuk menepikan daun yang jatuh itu bahkan mencacahnya supaya mudah untuk dibuang. Nah, saat aku keluar malam itu untuk mengecek, bukan daun yang kutemukan melainkan pecahan kaca di samping mobil yang diparkir di seberang pagar rumahku itu. Aku memberi tahu Mama. Mama menjadi panik dan bingung caranya memberi tahu tetangga—lewat telepon atau mendatangi langsung?—yang mestilah si empunya mobil itu. Jalanan saat itu memang sepi. Saat aku melihat satpam sudah duduk-duduk di depan posnya, Mama menyuruhku memanggilnya. Satpam bilang itu mobil milik tamu di rumah sebelah rumah di seberang rumah kami, yang akhir-akhir ini memang biasa memarkirnya di situ. Padahal saat itu belum pukul delapan malam—waktunya satpam mulai bertugas. Setelah ada tetangga lain yang keluar, kami masuk ke dalam rumah. Mama bilang serahkan saja pada satpam. Aku menurut saja karena tidak tahu harus berbuat apa, masih tidak tahu juga harus menulis apa.

Sementara itu adikku yang sedang tinggal di Jepang mengabarkan bahwa ia sedang stres. Ia diberi tugas yang harus selesai dalam semalam oleh sensei-nya yang perfeksionis, padahal keahliannya dalam pekerjaan itu tidak memadai. Selain itu, ia belum mengerjakan PR Bahasa Jepang. Secara tidak langsung aku merasakan tekanannya. Aku teringat akan situasi di tempat kerja dulu saat atasanku mengejar tenggat waktu, dan aku gagal membersamai mereka. Atau diam-diam aku menolak kalau harus begadang bersama mereka, kembali menjadi makhluk nokturnal. Agaknya perjuangan keras yang kulakukan semasa menganggur cuma supaya aku bisa punya siklus hidup yang normal—bangun pagi tidur malam—dan stres kalau itu sampai terganggu. Meski aku tidak rela menemani adikku begadang dari jauh (ya, aku bisa saja sambil mengerjakan sesuatu, berusaha menulis draf yang layak, mungkin), tapi aku mencoba menyemangatinya dengan mengatakan bahwa kerja kerasnya membuatku ingin bekerja keras juga. Tapi nanti, setelah aku berhasil bangun pukul tiga dini hari. Jadi sebaiknya aku tidur dulu supaya gampang bangun.

Pecahan kaca itu masih berserakan di jalan, tapi mobilnya sudah tidak ada. Aku juga tidak tahu benda apa yang diambil si pencoleng dari mobil itu.

Ketika aku melewati puskesmas, tampak si wanita gila duduk di teras salah satu rumah di seberangnya. Ia sedang membenahi pakaiannya yang amat terbuka, memperlihatkan sebagian dada dan pahanya, bukan karena ingin terlihat seksi mestinya, melainkan karena pakaiannya cuma begitu adanya, seakan tidak punya yang lainnya. Padahal aku saja yang berbaju dua lapis, bercelana panjang, dan berkaus kaki merasa dingin.

Warung tempat aku membeli ikan untuk kucing-kucing di rumah pun sepi, padahal biasanya tampak si pemilik dan asistennya menurunkan belanjaan dari mobil.

Jalanan terus saja tampak lebih gelap daripada biasanya. Bukan saja karena langitnya, tapi juga karena ada lampu yang mati. Bukan hanya lampu di kompleks sekitar rumahku, tapi juga di jalan raya.

Tadi sewaktu masih berada di rumah, hendak mengambil alas kaki untuk keluar, aku teringat akan seorang anak, yang kedua orang tuanya dulunya berencana untuk tidak memiliki anak. Tapi saat mereka—berkat kuasa Tuhan—memilikinya, anak itu sangat diistimewakan. Anak itu tahu dan merasakan, tapi ia memanfaatkan cerita itu untuk memancing simpati seseorang yang disukainya. Seseorang yang merindukan kehadiran anak tapi tidak memilikinya…. Cerita itu masih saja membayang dalam kepalaku kadang-kadang, sebetulnya sudah sedari lama. Kini, kedua orang tua anak itu terbawa olehku sampai ke Jalan Martanegara. Aku membayangkan saat mereka muda, sebaya denganku, dan kehadiran janin yang tidak direncanakan itu memperkeruh hubungan mereka, membangkitkan kesalahpahaman, mengungkit adanya orang ketiga, hingga mereka memutuskan untuk menerimanya, dan mencintainya. Toh nanti terbukti anak itu sangat mirip dengan ayahnya.

Dari Jalan Martanegara, aku berbelok ke Jalan Pelajar Pejuang. Jalan besar yang biasanya ramai, tapi sekarang sangat lengang. Meski begitu, udaranya tetap tidak enak untuk dihirup akibat asap dari kendaraan-kendaraan yang melintas cepat sesekali. Aku sempat menengok ke belakang saat menyusuri jalan itu. Tidak ada kendaraan satu pun. Tapi aku tetap merasa ragu kalau hendak menyeberang.

Lalu aku berbelok ke Jalan Buah Batu. Biasanya dari situ aku akan berbelok ke Jalan Solontongan. Sebab, semakin ke timur jalan di sisi kiri menyempit karena ada tali pembatas. Akibatnya, aku mesti semakin ke tepi karena kendaraan besar di belakang mendesak untuk mendahului, sementara semakin ke tepi aspalnya tidak mulus. Tapi karena pagi itu lebih sepi daripada biasanya, aku terus menyusuri jalan itu hingga berbelok ke Jalan Kliningan.

Saat menyusuri Jalan Kliningan, aku sambil mengamati kalau-kalau ada jalan lainnya yang menarik untuk ditembus. Maka saat melihat Jalan Kliningan I terbuka, tidak diportal, aku memasukinya. Ini kali pertama aku memasuki jalan tersebut. Pemandangan baru menyambutku. Dalam keteduhan pagi semuanya tampak syahdu. Sebuah rumah berpagar kayu dengan rumput hias yang tinggi tersimpan dalam ingatanku. Terdapat jalan tembus ke jalan lainnya, tapi semuanya diportal. Tapi jalan lainnya itu tidak lebih menarik bagiku ketimbang mengelilingi taman relatif luas dan amat rindang untuk ukuran perumahan yang ada di tengah kompleks. Pepohonan menaungi rumput hijau yang tampaknya terawat. Di sampingnya ada area persegi panjang yang dilapisi paving block dan tertutup oleh seresah—mungkin untuk berolah raga. Aku ingin menjadi salah satu penghuni yang rumahnya mengelilingi taman ini. Rumah bertingkat dua. Ruang kerjaku di lantai atas, dengan jendela menghadap taman. Betapa nikmatnya. Kulihat ada satu rumah yang tampak terbengkalai. Mungkin rumah itu akan dijual. Andai aku bisa membelinya dan merenovasinya. Tapi aku tahu itu cuma mimpi. Tiap kali bersepeda mengitari perumahan bagus, aku merasa seperti penjaja keliling. Walau tidak menjajakan apa pun, mataku melebar dan mulutku menganga menyaksikan keindahan yang entahkah mungkin dapat kucapai. Aku tidak beruang. Apabila aku tidak bisa menghasilkan uang dari tulisanku, hidup tanpa uang adalah alternatif yang kuambil dengan segenap kesadaran. Kutinggalkan kawasan itu dengan perasaan seakan baru mendapati sebuah oase.

Lepas dari Jalan Kliningan, aku kembali menyusuri Jalan Martanegara namun kali ini berbelok ke Jalan Maskumambang. Ini putaran terakhir. Tujuanku sekarang menuju rumah.

Di Jalan Hasan Saputra, timbul lagi bayangan. Aku menontonnya dalam benakku seperti adegan dalam sebuah sinetron atau telenovela. Sinetron atau telenovela yang kusuka. Kedua tokohku akan berpisah. Entah apa yang mereka bicarakan. Pada akhirnya, anak itu mengulurkan tangannya. Mungkin hendak berjabat tangan untuk berpamitan. Sosok di hadapannya menyambut dengan mengulurkan tangannya juga. Anak itu menggapai tangan yang besar, lembut, dan wangi itu dan mencium punggungnya seperti kepada orang tuanya sendiri. Lalu, ia yang dicium punggung tangannya itu balas mengecup dahi anak itu. Dahi yang terbentang lapang seakan memang disediakan untuk dikecup, sebab rambut yang biasa menutupinya dijepit ke atas.

“Uk!” seruku.

Kucing di seberang di ujung Jalan Hasan Saputra itu mendelikkan matanya yang separuh kuning separuh biru. Ia berlari-lari ke arahku. “Kucing kok mainnya jauh-jauh,” kataku sambil mengelus kepalanya. Ia menandak-nandak sambil memejamkan mata. Apa yang kukatakan pada Uk-uk kemudian terlalu banyak untuk dituliskan, dan ia pun menjawab dengan bebunyian khasnya yang sulit kuterjemahkan ke dalam huruf. Yang jelas, tidak pernah sebelumnya aku memelihara kucing yang berbunyi sesering itu. Dengan sebelah tangan aku menggendongnya, sementara tangan yang satu lagi memegang setang. Tidak sampai lama ia meronta-ronta. Aku menurunkannya dan membiarkannya berjalan sendiri. Sesekali aku berseru “Uk!” atau “Sst! Sst!” untuk mengarahkannya ke jalan yang benar menuju rumah. Ia mudah sekali teralihkan, apalagi saat melihat dua anjing besar yang tali kekangnya sedang dikaitkan masing-masing pada pagar rumah seseorang dan tiang portal sementara penjaga mereka memijit-mijit ponsel. Adakalanya aku yang teralihkan oleh bayangan yang tahu-tahu menyusup lagi ke dalam kepalaku. Bayanganku akan sesosok laki-laki dewasa yang dapat mewakili kelembutan seorang ibu sekaligus kejantanan…. Mendadak aku ingat bahwa aku sedang berpuasa.

Bagaimanapun juga, kemunculan bayangan itu dan Uk-uk meriangkan hatiku sampai-sampai mengalun dalam kepalaku “A Picture of Love” dari Nico Fidenco. Musiknya yang lucu dan lembut kusenangi sejak pendengaran pertama. Di latarnya ada suara wanita mendesah lirih yang apabila dituliskan dengan huruf kira-kira: “Ha, ha ha ha ha, hahahaha, ha ha ha ha ha ha,” walau tentu saja ia bukannya sedang tertawa. Aku bahkan menikmati pandangan orang-orang yang melihatku menggiring Uk-uk. Kucing berambut oranye di kepala dan ekor sedang selebihnya berwarna putih, sehingga ia tampak seperti bule dengan poni belah pinggir.

Di rumah, setelah mencuci piring, mandi, merapikan tempat tidur, dan memberi makan kucingku, aku siap untuk menulis dan membaca seharian.

Suasana nyaris hening. Sedikit sekali penjaja keliling yang lewat, tidak seperti biasanya. Selebihnya hanya cicit burung, deru pesawat, dan gemericik air. Lalu sebentar cakap tetangga soal peristiwa semalam. Aku sempat membawa Uk-uk ke beranda supaya ia bermain-main di atap. Tampak langit begitu bersih. Birunya menimbulkan keinginan untuk mencebur ke dalamnya, kalau bisa, kalau tidak sedang puasa.

Lalu aku mendapat kabar dari adikku bahwa ia masih belum dapat menyelesaikan tugasnya. Aku merasa sedih. Apalagi ketika ia menanyakan apa istilah untuk seseorang yang memiliki ketergantungan pada orang lainnya. Saat itu aku sudah menulis beberapa halaman, dan lagi-lagi ragu akan kelayakannya sebab ada terlalu banyak lanturan dan terlalu sedikit fantasi. Bahkan desahan lirih wanita dalam “A Picture of Love” dari Nico Fidenco tidak begitu menghiburku lagi, dan aku gagal terus mengubah formatnya dari video Youtube yang konstan menampilkan gambar wanita telanjang menjadi mp3.

*

Sebut saja namanya Senin Gila, terjemahan harfiah dari akunnya di Yahoo Messenger. Sekarang kami sudah pindah ke Whatsapp. Selain itu, sesekali kami menelepon satu sama lain. Kupikir kalau bukan karena menulis, kami tidak akan terhubung. Di luar menulis, dunia kami tidak bersinggungan. Awalnya ia mengomentari karanganku di internet. Lalu aku membalas kunjungannya dan jatuh cinta pada pembacaan pertama… pada gaya menulisnya, pada dunia suram yang ditampilkannya yang selama ini hanya dapat kuterka-terka dari jauh namun segan apabila mesti mengalaminya sendiri. Kami belajar pada satu sama lain sejak itu. Saat temannya mengabarkan bahwa ia koma akibat meningitis, aku berdoa supaya ia masih diberi kesempatan untuk setidak-tidaknya menyelesaikan ceritanya.

Tapi bukan cita-citanya menjadi seorang penulis. Ia hanya membutuhkan sarana untuk melampiaskan kecamuk pikirannya. Supaya ia rajin menulis, aku pernah mengusulkan padanya untuk saling bertukar cerpen secara berkala. Itu bentuk dukunganku padanya. Dengan menulis bersama-sama. Tapi saat itu aku masih dalam kejenuhan dan keputusasaan. Aku tidak tahan meneruskannya. Barangkali keplinplananku semakin menyurutkan semangatnya. Tapi ia tahu diam-diam aku selalu menyimpan mimpiku.

Sekarang ia sedang dalam masa pemulihan dari penyakitnya. Ia berutang tulisan padaku, tapi tidak ingin aku sering menanyakannya atau ia akan muak. Tapi malam itu bagaimanapun juga aku ingin meneleponnya.

“Hui,” katanya, “kenapa?”

“Di Norwegian Wood sama Sputnik Sweetheart-nya Haruki Murakami, adegan penutupnya persis. Si tokoh cewek nelepon si tokoh cowok terus ngomong apa lah. Pingin ikutan aja,” menutup hari dengan adegan yang persis.

“Hm….”

“Masih muak?”[]

 

hari pertama shaum Ramadhan 1436 H


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain