Selasa, 06 Oktober 2015

#5 Kehidupan Siswa Teladan

Bel pulang sekolah berbunyi dan Dean tidak sabar untuk keluar dari kelas. Ajakan Anne, Ola, dan Rio untuk main boling berlanjut karaokean di Dago Plaza dia tolak dengan halus. Teguran dari anak-anak Bastard dia tanggapi sepintas lalu. Dia mengejar Zahra, ikut ke rumah cewek itu untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Tapi, selesai tidak selesai, begitu azan asar terdengar, dia akan mengingatkan Zahra untuk menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Lalu dia sendiri cabut ke paviliun Kakek.

Kadang Dean mendapati Kakek sedang tidur mendongak di sofa dengan mulut menganga, jadi dia mesti membangunkannya lebih dulu. Kakek bangun menggeragap dan menyilakan Dean untuk pilih sendiri album yang mau didengarkan, atau mainkan saja kibornya seperti punya sendiri. Dean cuma tidak enak kalau tidak minta izin dulu, padahal dia semakin sering saja mendatangi Kakek untuk keperluannya itu.

Kakek pun melanjutkan tidurnya, atau cuci muka, atau bikin sirup (tapi Dean disuruh bikin sendiri). Sementara itu Dean memilih-milih album yang kira-kira menarik. Kadang Kakek yang merekomendasikan album tertentu padanya. Entahkah karena itu memang lagu favorit Kakek atau karena menurutnya sewarna dengan permainan Dean tempo hari.

Dean dan Kakek duduk santai di sofa sementara gramofon memutarkan album pilihan mereka. Dean ikut-ikutan memejamkan mata seperti Kakek. Kakek mungkin saja tertidur lagi, tapi Dean tidak. Dean memasang telinga setegak-tegaknya dan mendengarkan musik dengan sekhusyuk-khusyuknya. Dia berkonsentrasi pada setiap dentingan piano, petikan gitar, gesekan biola, dentuman bas, gebukan drum, bahkan geretan jarum gramofon pada permukaan vinil saat pergantian lagu, membeda-bedakannya dan menyatukannya kembali untuk menikmati harmoninya. Lama-lama Dean hafal juga nama-nama komponis, sebut saja Piero Umiliani, Rino de Filippi, Ennio Morricone, Giuliano Sorgini, Antonio Carlos Jobim, João Gilberto, dan masih banyak lagi.

Ketika ada lagu yang terdengar begitu nikmat di telinganya, dia akan bergumam pada Kakek, “Surga, Kek, surga….” Lagu yang sangat dia nikmati itu serasa menenggelamkannya ke dunia lain. Atau, dialah yang lebur dengan lagu itu. Hidup dalam lagu atau menjadi satu dengan lagu—jauh dari kerumitan pelajaran di sekolah dan persoalan-persoalan lain yang kadang mampir dalam hidupnya, membuat Dean merasa religius sebab ingat pada satu ayat dalam kitab sucinya yang sering kali diulang makanya dia tahu: Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?

Ketika satu putaran telah habis, dan ada lagu di dalamnya yang membikin ketagihan, Dean akan minta izin untuk memutarnya lagi, lagi, dan lagi. Kakek tertawa saja. “Silakan! Silakan!” Kadang Dean dibiarkan asyik sendiri sementara Kakek meninggalkannya untuk mandi, menonton TV di ruangan lain, atau ke mana.

Ketika sudah sangat akrab dengan nada-nada dalam lagu kesukaannya, Dean coba memainkannya dengan kibor. Atau kadang Kakeklah yang ingin mengetes Dean untuk memainkan lagu-lagu kesukaannya. Ketika Kakek lewat, Dean akan menarik perhatiannya, “Kek, dengerin, Kek,” dan mendemonstrasikan kemampuannya menirukan nada-nada yang telah sama-sama mereka dengar itu. Kadang Dean berimprovisasi sehingga kedengarannya lebih segar atau makin kacau.

Kadang Dean lupa kalau kibor itu bukan piano. Kibor bisa mengeluarkan bermacam suara dan menghasilkan irama sendiri. Kakek yang mengingatkannya, “Jangan suara piano terus atuh. Diulik kibornya.” Dean pun menurut dan mencoba-coba berbagai tombol yang ada.

Ketika Dean terlalu khusyuk bermain, Kakek akan terkekeh-kekeh meledeknya. “Kamu mah main musik teh kayak lagi nulis diari aja.” Apalagi ketika Dean memainkan nada-nada melankolis. Sampai suatu kali Kakek menepuk bahunya, dan menegur, “Cewek?”

Melihat senyum Dean, Kakek terbahak-bahak. Tebakan Kakek memang tidak sepenuhnya salah. Biasanya Dean menyimpannya saja sendiri bersama Baby. Kadang Dean menceritakan itu pada teman-temannya, dan dengan segera melupakan bahwa dia telah menceritakan itu pada teman-temannya. Pura-pura tidak tahu bahwa mereka sudah telanjur tahu.

.

Misalnya saja, pada jam istirahat hari itu, ketika Dean ikut Anne dan Ola ke kantin. Baru saja mereka duduk sehabis memesan soto, tahu-tahu serombongan cowok mengambil tempat di dekat mereka. Deraz duduk di sebelah Dean. Di sampingnya Bram. Di seberang mereka duduk Ipong, Yoga, dan Adip. Mereka sama-sama kelas X-1 dan punya band yang tergabung dengan Kombas. Deraz dan Bram pegang gitar atau bas, Yoga main saksofon dan kadang flute sementara Adip menggebuk drum. Mereka semua gagah kecuali Ipong yang sepertinya tidak mengalami pertumbuhan lagi sejak kelas enam SD. Tinggi badan Ipong memang pas-pasan, tapi ketika bernyanyi suaranya menggelegar dan ialah vokalis di band itu. Belakangan ini band mereka sering tampil dalam gig kecil-kecilan yang diadakan Kombas, termasuk pada jam istirahat hari itu di pelataran kantin.

Anne yang satu sekolah dengan Ipong sewaktu SMP meledek. “Lu mau bikin Gogle V apa boyband, Pong? Berlima melulu ke mana-mana.”

“Suka-suka lu dah,” kata Ipong sambil menenggak teh botol yang ia bawa. “Eh, entar kita mau tampil. Lu-lu pada nonton yah. Apalagi lu, Ne. Lu kan groupies gua dari jaman SMP.”

“Ih, males banget.” Anne mengedikkan bahu sambil menerima mangkuk soto pesanannya yang baru sampai.

Bersamaan dengan itu, mangkuk-mangkuk soto lainnya diedarkan di meja. Rupanya cowok-cowok itu juga memesan soto, kecuali Deraz.

“Enggak pesen apa-apa, Yaz?” tegur Dean. Deraz menggeleng. “Lu sekali-kali harus coba makanan ginian, Yaz,” kata Dean lagi. Deraz diam saja sambil memandangi Dean yang mulai menyantap sotonya.

Dalam beberapa menit, Adip, Bram, dan Yoga sudah menandaskan soto di mangkuk mereka. Padahal Anne dan Ola saja belum selesai meramu kecap, cuka, dan sambal dalam takaran yang pas. Tapi cowok-cowok itu tetap di bangku mereka karena Ipong ternyata belum menghabiskan bihunnya. Selain itu, tampaknya ia mau mengatakan sesuatu yang penting.

“Jadi enggak kita teh mau ngeramein ultah tea?”

“Ultah siapa?” tanya Ola.

“Tuh, anak X-5,” jawab Adip.

“Kita mah  ikut aja sih,” kata Yoga dengan kalem. Bram mengangguk-angguk.

“Kapan?” tanya Deraz.

“Kan gua udah bilang. Tanggal sepuluh Mei,” sahut Ipong.

“Masih lama,” gumam Anne.

“Siapa?” tanya Ola lagi.

“Rieka,” ujar Ipong.

“Hari apa?” suara Deraz.

“Rabu. Malam jam tujuhanlah.”

“Saya enggak bisa,” kata Deraz. “Ada latihan di gelanggang.”

“Alah…. Itu latihan rutin kan? Bisalah bolos sekali aja mah….” Ipong berdecak.

“Emang ultahnya mau dirayain gede gitu?” susul Ola.

“Rencananya sih. Sekalian mau opening kafe nyokapnya.”

Akhirnya habis juga bihun di mangkuk Ipong. Cowok-cowok itu pun bangkit dan menuju pelataran kantin. Band pertama sudah memainkan lagu.

“Gue mah ngeliat Ipong sama mereka teh kayak bos mafia bawa-bawa bodyguard da,” celetuk Ola.

Anne mengikik lalu menyenggol Ola sambil melirik Dean sehati-hati mungkin. Sedari tadi anak itu anteng saja memisah-misahkan bihun dari taoge dan potongan daun seledri di mangkuknya.

“Aduh, lupa, tadi belum pesen minuman,” kata Anne tiba-tiba.

“Dean, tolong beliin juslah…” pinta Ola.

“Beli sendiri atuh,” kata Dean.

“Lu mah tega ih. Anne lagi sakit perut, lagi dapet. Tangan gue masih sakit habis latihan softball kemarin.”

Dean mengernyit, tapi akhirnya bangkit juga.

“Jus melon-pisang sama jus stroberi, ya, Ganteng,” kata Anne.

As you wish, Madam….”

Ketika sampai di kios jus, Dean menyadari bahwa ada Rieka dan Kang Haqi di dekat situ. Percakapan keduanya masuk begitu saja ke telinganya.

“Bisa enggak sih kamu berhenti ngeliatin orang itu?” suara Kang Haqi.

“Apa?” Rieka kedengarannya terganggu.

“Itu, si hujan.”

“Hujan?”

“Iya, namanya ngingetin sama hujan. Hujan deras.”

Ketika Dean menoleh, Rieka sudah pergi. Kang Haqi mengejarnya. Dean memalingkan mukanya dengan gelisah, lalu membawa kedua gelas jus yang sudah jadi ke mejanya tadi. Ola menerima jus melon-pisang pesanannya sementara jus stroberi disodorkan balik pada Dean.

“Buat lo, Say. Tanda cinta dari kami berdua.”

Dean meringis. “Terima kasih.”

“Kenapa lagi gebetan lu sama si Haqi? Another drama?” tegur Ola.

Dean terdiam, lalu katanya, “Sialan lu berdua.”

Ola tertawa.

“Apa katanya?” desak Anne.

“Sialan kita.”

Anne mengikik lagi.

Di pelataran kantin band pertama sudah selesai dan digantikan oleh Ipong dan kawan-kawan. Musik kembali meramaikan kantin, tapi Dean tidak mendengarnya. Dia sedang mendengarkan lagu lain di dalam kepalanya, dan tidak sabar untuk menyampaikan itu pada kibor di paviliun Kakek.

.

Kadang Dean sadar bahwa dia cuma menumpang main kibor dan mendengarkan album kepunyaan orang lain. Jadi sesekali dia datang cuma untuk mengobrol dengan Kakek. Ketika Kakek bicara, lamanya bisa sampai berjam-jam. Lama-lama Dean merasa bahwa ketimbang belajar musik, Kakek sebetulnya lebih ingin supaya ada anak muda di dekatnya, yang bisa diajak mengobrol panjang lebar sewaktu-waktu. Dean mengerti karena dia sendiri ketika berkunjung ke rumah Oma setelahnya bakal susah pulang. Oma akan menahan-nahannya supaya tinggal lebih lama.

Meski tempat tinggal mereka bersebelahan, tampaknya Kakek kurang dekat dengan cucu-cucunya. Paling-paling dengan Kang Lutung. Tapi cucu Kakek yang paling besar itu semakin jarang mampir ke paviliun. Mungkin ia sedang sibuk mempersiapkan UN atau ada aktivitas lain. Adik-adik Kang Lutung, Zahra misalnya, malah hampir tidak pernah kelihatan di paviliun.

Selain Kang Lutung dan ketiga adiknya, Kakek punya dua cucu lagi. Tempat tinggal mereka agak jauh tapi masih di Kota Bandung. Salah satu dari kedua cucunya itu, Zia, juga bersekolah di Smanson, anak kelas XI. Dean kenal Zia sejak sama-sama kena razia rambut. Mereka saling menyapa tiap kali bertemu, dan kadang Dean meminjamkan sisirnya pada Zia supaya cewek itu segera merapikan rambutnya sebelum kena razia lagi.

Selain Kang Lutung, Zia cucu Kakek yang cukup sering mampir entahkah ke rumah samping atau ke paviliun—keduanya sudah seperti rumahnya sendiri saja. Tapi entah kenapa, sering kali ketika Dean mengunjungi Kakek, Zia tidak ada. Begitu juga sebaliknya, ketika Zia mampir ke paviliun, Dean entah ke mana. Pernah keduanya bertemu di paviliun Kakek dan sama-sama mendengarkan album. Ketika ada lagu yang asyik, mereka bangkit dari sofa dan berjoget sama-sama. Zia suka sekali mengarang gerakan dan Dean mengikutinya dengan geli.

Zia dan Kakek saling meledek karena sama-sama belajar gitar tapi tidak becus.

“Sepeninggalan Nenek, Kakek kawin lagi sama peranakan Brazil-Jerman, namanya Astrud Gilberto,” kata Zia.

“Wih, keren,” sambut Dean.

“Iya. Tapi gadis itu cuma ada di sampul album yang dibeli teman Kakek tiga puluhan tahun lalu, dan sekarang udah dikasihin ke Kakek. Sekarang, Astrud Gilberto juga udah nenek-nenek. Tuh, si Mas Imin,” Zia menyebut kakak sepupunya, “pernah disuruh Kakek ngumpulin foto-foto Astrud Gilberto dari internet, buat dicetak, se-mu-a-nya, terus ditempel di balik pintu kamar Kakek. Kalau enggak percaya, lihat aja sendiri.”

“Bohong, bohong,” timpal Kakek yang baru kembali dari membuat segelas sirup dingin.

Tambah Zia, “Kakek tuh beli DVD pelajaran gitar, tapi enggak tamat-tamat nontonnya. Habisnya, Kakek tuh nontonnya dikit-dikit, sambil dipraktikkin. Kalau ada bagian yang enggak dimengerti aja, diputar lagi aja terus berulang-ulang sampai bisa. Kayaknya enggak sampai seperempat DVD tuh yang udah ditonton sama Kakek.”

“Ah, kamu. Justru itu artinya Kakek tuh sabar belajarnya. Enggak kayak kamu. Belum juga nguasain satu lagu, udah pengin coba lagu yang lain. Anak muda jaman sekarang!”

“Liat aja entar,” Zia menaikkan dagunya dengan belagu.

“Udah, kamu mah, jadi penulis diari aja. Daripada belajar gitar, kamu lebih rajin nulis diari, kan?”

“Huu, enggak mau!”

Dean menyaksikannya sambil mesem-mesem sekaligus ingat pada tujuan dirinya “dititipkan” Kang Lutung kemari.

.

Suatu sore Dean sedang memainkan melodi dari lagu yang dia suka. Tahu-tahu Kakek menghampiri, memerhatikannya dari belakang. Dean menoleh pada Kakek tanpa menghentikan permainannya. “’Ritmica Distensiva[1]’, Kek,” Dean menyebutkan judul lagu itu.

“Kamu kayaknya seneng banget sama lagu itu.”

Dean mengangguk. Andai saja Kakek tahu apa yang terjadi di dalam kepalanya tiap kali mendengarkan lagu itu. Dean melihat ada boneka marionette berjalan-jalan dan mengajak siapa pun yang ia temui menari-nari. Dia ingin sekali mengiringi si boneka menghibur siapa pun itu dengan permainannya, dengan nada-nada yang ceria tapi kalem seperti arti lagu itu sendiri: “Irama yang Menenteramkan”. Kalau bisa, dia ingin menghadirkan bayangan itu juga di dalam kepala pendengarnya.

Kadang Dean heran sekaligus kagum. Kok bisa ya seorang musisi menghadirkan suatu bayangan di dalam kepala pendengarnya lewat lagu? Seakan lagu itu sedang menceritakan sesuatu padanya. Apalagi ketika musik yang dia dengarkan tanpa lirik, tanpa kata-kata yang menyiratkan sesuatu. Setiap instrumen seakan memiliki ceritanya sendiri-sendiri, dan cerita yang satu berhubungan dengan cerita dari instrumen-instrumen lainnya dalam lagu itu. Bahkan mereka seperti mendukung cerita satu sama lain dengan cerita masing-masing. Kalaupun ada vokal, itu berupa senandung saja, seakan bagian dari instrumen, dan kedengarannya seperti mau membuai.

Lalu tercetus di benak Dean. “Kakek, cobain deh mainin gitarnya. Terus kita main bareng.” Dean menyetel kibor itu supaya yang keluar suara gitar. Setelah mengingat-ingat sebentar, dia menirukan permainan gitar dalam lagu tadi sambil memandang Kakek. Kakek tampak merenung.

“Atau basnya.” Dean menyetel suara bas, lalu membunyikan kibor itu sesuai irama yang dia ingat. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti.

“Boleh juga,” kata Kakek. Ia mengambil gitarnya, menyeret bangku, dan duduk di sebelah Dean. “Gimana tadi?”

Sementara Kakek mengulik, Dean mendengarkannya betul-betul dan mengira-ngira apakah nada yang keluar sudah pas. Sesekali dia mengeceknya dengan membunyikannya lagi pada kibor, lalu mengajak Kakek memainkannya sama-sama.

Berkali-kali mereka memutar album yang memuat lagu itu sambil mencermati nada-nadanya. Lalu mereka mencoba memainkannya lagi, lagi, dan lagi. Lama-lama Kakek tidak sering salah petik lagi. Gerakannya tidak setangkas Deraz, tapi permainannya santai dan Dean menikmatinya.

Sering kali Dean memandangi Kakek ketika sedang melatih petikan gitarnya dan lagi-lagi ingat pada peribahasa. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Sudah tua tapi semangat belajarnya masih berapi-api. Kelihatannya saja Kakek malas kemarin-kemarin. Padahal sebetulnya ia cuma perlu diajak latihan bareng sering-sering. Kalau begitu, Dean juga tidak mau kalah!

Setiap sore pun bersambung dengan sore-sore berikutnya, malah sering kali sampai malam. Mereka larut dalam keasyikan membahasakan musik dengan cara mereka sendiri, dan belajar memadukannya menjadi harmoni.

Maka tiap kali Bunda menelepon Dean dan menanyakan keberadaannya, tentu saja dia akan menjawab: “Di rumah Zahra,”—di paviliun kakeknya, “Lagi belajar dong!”—belajar main musik!

.

Kadang, saking semangatnya, sepulang sekolah Dean langsung saja ke paviliun Kakek, dan bukannya mampir ke rumah Zahra dulu, untuk minta bimbingan mengerjakan PR atau mempelajari materi ulangan barang satu-dua jam. Entah Dean sengaja atau memang lupa, ketika sudah sampai di paviliun Kakek, apalagi ketika sudah menyentuh kibor atau mendengarkan piringan hitam, dia malas ke mana-mana lagi. Rasanya ingin di situ saja terus sepanjang sisa hari. Kalau tidak ingat bahwa ada keluarga menanti di rumah (khususnya Bunda, yang sering kali menanti untuk bertanya padanya, Udah kerjain PR? Besok ada ulangan? Nilai ulangannya ada yang udah dibagiin lagi?...dan seterusnya), Dean mungkin akan menetap di sana, kalau Kakek mengizinkan.

Denting kibor dan petikan gitar, ditingkahi suara Dean dan Kakek, terdengar sampai ke luar paviliun. Maka ketika sedang menyapu halaman dan mendengar itu, lama-kelamaan Zahra tahu kebiasaan Dean. Apalagi ketika belakangan hari Dean tidak menghampirinya lebih dulu, seperti biasanya, malah langsung ke tempat Kakek, seakan sudah tidak penting lagi belajar dengannya.

Zahra jadi bingung. Sebenernya anak itu niat belajar apa enggak sih? Bukannya waktu itu ibunya Dean sampai menitipkan anaknya itu pada Zahra? Zahra mencoba menepis pikiran buruk yang hinggap di kepalanya. Toh sebetulnya ia tidak suka Dean, jadi kenapa kalau Dean juga tidak suka padanya? Dean mau belajar atau main musik, masabodo!


[1] Rino de Filippi, dari album Vacanze (1974)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain