Bel pulang sekolah
berbunyi dan Dean tidak sabar untuk keluar dari kelas. Ajakan Anne, Ola, dan
Rio untuk main boling berlanjut karaokean di Dago Plaza dia tolak dengan halus.
Teguran dari anak-anak Bastard dia tanggapi sepintas lalu. Dia mengejar Zahra,
ikut ke rumah cewek itu untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Tapi,
selesai tidak selesai, begitu azan asar terdengar, dia akan mengingatkan Zahra
untuk menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Lalu dia sendiri cabut ke
paviliun Kakek.
Kadang Dean mendapati
Kakek sedang tidur mendongak di sofa dengan mulut menganga, jadi dia mesti
membangunkannya lebih dulu. Kakek bangun menggeragap dan menyilakan Dean untuk
pilih sendiri album yang mau didengarkan, atau mainkan saja kibornya seperti
punya sendiri. Dean cuma tidak enak kalau tidak minta izin dulu, padahal dia
semakin sering saja mendatangi Kakek untuk keperluannya itu.
Kakek pun melanjutkan
tidurnya, atau cuci muka, atau bikin sirup (tapi Dean disuruh bikin sendiri).
Sementara itu Dean memilih-milih album yang kira-kira menarik. Kadang Kakek
yang merekomendasikan album tertentu padanya. Entahkah karena itu memang lagu
favorit Kakek atau karena menurutnya sewarna dengan permainan Dean tempo hari.
Dean dan Kakek duduk
santai di sofa sementara gramofon memutarkan album pilihan mereka. Dean
ikut-ikutan memejamkan mata seperti Kakek. Kakek mungkin saja tertidur lagi,
tapi Dean tidak. Dean memasang telinga setegak-tegaknya dan mendengarkan musik
dengan sekhusyuk-khusyuknya. Dia berkonsentrasi pada setiap dentingan piano,
petikan gitar, gesekan biola, dentuman bas, gebukan drum, bahkan geretan jarum
gramofon pada permukaan vinil saat pergantian lagu, membeda-bedakannya dan
menyatukannya kembali untuk menikmati harmoninya. Lama-lama Dean hafal juga
nama-nama komponis, sebut saja Piero Umiliani, Rino de Filippi, Ennio
Morricone, Giuliano Sorgini, Antonio Carlos Jobim, João Gilberto, dan masih
banyak lagi.
Ketika ada lagu yang
terdengar begitu nikmat di telinganya, dia akan bergumam pada Kakek, “Surga,
Kek, surga….” Lagu yang sangat dia nikmati itu serasa menenggelamkannya ke
dunia lain. Atau, dialah yang lebur dengan lagu itu. Hidup dalam lagu atau
menjadi satu dengan lagu—jauh dari kerumitan pelajaran di sekolah dan
persoalan-persoalan lain yang kadang mampir dalam hidupnya, membuat Dean merasa
religius sebab ingat pada satu ayat dalam kitab sucinya yang sering kali
diulang makanya dia tahu: Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?
Ketika satu putaran
telah habis, dan ada lagu di dalamnya yang membikin ketagihan, Dean akan minta
izin untuk memutarnya lagi, lagi, dan lagi. Kakek tertawa saja. “Silakan!
Silakan!” Kadang Dean dibiarkan asyik sendiri sementara Kakek meninggalkannya
untuk mandi, menonton TV di ruangan lain, atau ke mana.
Ketika sudah sangat
akrab dengan nada-nada dalam lagu kesukaannya, Dean coba memainkannya dengan
kibor. Atau kadang Kakeklah yang ingin mengetes Dean untuk memainkan lagu-lagu
kesukaannya. Ketika Kakek lewat, Dean akan menarik perhatiannya, “Kek,
dengerin, Kek,” dan mendemonstrasikan kemampuannya menirukan nada-nada yang
telah sama-sama mereka dengar itu. Kadang Dean berimprovisasi sehingga
kedengarannya lebih segar atau makin kacau.
Kadang Dean lupa kalau
kibor itu bukan piano. Kibor bisa mengeluarkan bermacam suara dan menghasilkan
irama sendiri. Kakek yang mengingatkannya, “Jangan suara piano terus atuh. Diulik kibornya.” Dean pun menurut
dan mencoba-coba berbagai tombol yang ada.
Ketika Dean terlalu
khusyuk bermain, Kakek akan terkekeh-kekeh meledeknya. “Kamu mah main musik teh kayak lagi nulis diari aja.” Apalagi
ketika Dean memainkan nada-nada melankolis. Sampai suatu kali Kakek menepuk
bahunya, dan menegur, “Cewek?”
Melihat senyum Dean,
Kakek terbahak-bahak. Tebakan Kakek memang tidak sepenuhnya salah. Biasanya
Dean menyimpannya saja sendiri bersama Baby. Kadang Dean menceritakan itu pada
teman-temannya, dan dengan segera melupakan bahwa dia telah menceritakan itu
pada teman-temannya. Pura-pura tidak tahu bahwa mereka sudah telanjur tahu.
.
Misalnya saja, pada jam
istirahat hari itu, ketika Dean ikut Anne dan Ola ke kantin. Baru saja mereka
duduk sehabis memesan soto, tahu-tahu serombongan cowok mengambil tempat di
dekat mereka. Deraz duduk di sebelah Dean. Di sampingnya Bram. Di seberang
mereka duduk Ipong, Yoga, dan Adip. Mereka sama-sama kelas X-1 dan punya band yang tergabung dengan Kombas. Deraz
dan Bram pegang gitar atau bas, Yoga main saksofon dan kadang flute sementara Adip menggebuk drum.
Mereka semua gagah kecuali Ipong yang sepertinya tidak mengalami pertumbuhan
lagi sejak kelas enam SD. Tinggi badan Ipong memang pas-pasan, tapi ketika
bernyanyi suaranya menggelegar dan ialah vokalis di band itu. Belakangan ini band
mereka sering tampil dalam gig
kecil-kecilan yang diadakan Kombas, termasuk pada jam istirahat hari itu di
pelataran kantin.
Anne yang satu sekolah
dengan Ipong sewaktu SMP meledek. “Lu mau bikin Gogle V apa boyband, Pong? Berlima melulu ke
mana-mana.”
“Suka-suka lu dah,”
kata Ipong sambil menenggak teh botol yang ia bawa. “Eh, entar kita mau tampil.
Lu-lu pada nonton yah. Apalagi lu, Ne. Lu kan groupies gua dari jaman SMP.”
“Ih, males banget.”
Anne mengedikkan bahu sambil menerima mangkuk soto pesanannya yang baru sampai.
Bersamaan dengan itu,
mangkuk-mangkuk soto lainnya diedarkan di meja. Rupanya cowok-cowok itu juga
memesan soto, kecuali Deraz.
“Enggak pesen apa-apa,
Yaz?” tegur Dean. Deraz menggeleng. “Lu sekali-kali harus coba makanan ginian,
Yaz,” kata Dean lagi. Deraz diam saja sambil memandangi Dean yang mulai
menyantap sotonya.
Dalam beberapa menit,
Adip, Bram, dan Yoga sudah menandaskan soto di mangkuk mereka. Padahal Anne dan
Ola saja belum selesai meramu kecap, cuka, dan sambal dalam takaran yang pas.
Tapi cowok-cowok itu tetap di bangku mereka karena Ipong ternyata belum
menghabiskan bihunnya. Selain itu, tampaknya ia mau mengatakan sesuatu yang
penting.
“Jadi enggak kita teh mau ngeramein ultah tea?”
“Ultah siapa?” tanya
Ola.
“Tuh, anak X-5,” jawab
Adip.
“Kita mah ikut aja sih,” kata Yoga dengan kalem. Bram
mengangguk-angguk.
“Kapan?” tanya Deraz.
“Kan gua udah bilang.
Tanggal sepuluh Mei,” sahut Ipong.
“Masih lama,” gumam
Anne.
“Siapa?” tanya Ola
lagi.
“Rieka,” ujar Ipong.
“Hari apa?” suara
Deraz.
“Rabu. Malam jam
tujuhanlah.”
“Saya enggak bisa,” kata
Deraz. “Ada latihan di gelanggang.”
“Alah…. Itu latihan
rutin kan? Bisalah bolos sekali aja mah….” Ipong berdecak.
“Emang ultahnya mau
dirayain gede gitu?” susul Ola.
“Rencananya sih.
Sekalian mau opening kafe nyokapnya.”
Akhirnya habis juga
bihun di mangkuk Ipong. Cowok-cowok itu pun bangkit dan menuju pelataran
kantin. Band pertama sudah memainkan
lagu.
“Gue mah ngeliat Ipong
sama mereka teh kayak bos mafia
bawa-bawa bodyguard da,” celetuk Ola.
Anne mengikik lalu
menyenggol Ola sambil melirik Dean sehati-hati mungkin. Sedari tadi anak itu
anteng saja memisah-misahkan bihun dari taoge dan potongan daun seledri di
mangkuknya.
“Aduh, lupa, tadi belum
pesen minuman,” kata Anne tiba-tiba.
“Dean, tolong beliin
juslah…” pinta Ola.
“Beli sendiri atuh,” kata Dean.
“Lu mah tega ih. Anne
lagi sakit perut, lagi dapet. Tangan gue masih sakit habis latihan softball kemarin.”
Dean mengernyit, tapi
akhirnya bangkit juga.
“Jus melon-pisang sama
jus stroberi, ya, Ganteng,” kata Anne.
“As you wish, Madam….”
Ketika sampai di kios
jus, Dean menyadari bahwa ada Rieka dan Kang Haqi di dekat situ. Percakapan
keduanya masuk begitu saja ke telinganya.
“Bisa enggak sih kamu
berhenti ngeliatin orang itu?” suara Kang Haqi.
“Apa?” Rieka
kedengarannya terganggu.
“Itu, si hujan.”
“Hujan?”
“Iya, namanya ngingetin
sama hujan. Hujan deras.”
Ketika Dean menoleh,
Rieka sudah pergi. Kang Haqi mengejarnya. Dean memalingkan mukanya dengan
gelisah, lalu membawa kedua gelas jus yang sudah jadi ke mejanya tadi. Ola
menerima jus melon-pisang pesanannya sementara jus stroberi disodorkan balik
pada Dean.
“Buat lo, Say. Tanda
cinta dari kami berdua.”
Dean meringis. “Terima
kasih.”
“Kenapa lagi gebetan lu
sama si Haqi? Another drama?” tegur
Ola.
Dean terdiam, lalu
katanya, “Sialan lu berdua.”
Ola tertawa.
“Apa katanya?” desak
Anne.
“Sialan kita.”
Anne mengikik lagi.
Di pelataran kantin band pertama sudah selesai dan
digantikan oleh Ipong dan kawan-kawan. Musik kembali meramaikan kantin, tapi
Dean tidak mendengarnya. Dia sedang mendengarkan lagu lain di dalam kepalanya,
dan tidak sabar untuk menyampaikan itu pada kibor di paviliun Kakek.
.
Kadang Dean sadar bahwa
dia cuma menumpang main kibor dan mendengarkan album kepunyaan orang lain. Jadi
sesekali dia datang cuma untuk mengobrol dengan Kakek. Ketika Kakek bicara,
lamanya bisa sampai berjam-jam. Lama-lama Dean merasa bahwa ketimbang belajar
musik, Kakek sebetulnya lebih ingin supaya ada anak muda di dekatnya, yang bisa
diajak mengobrol panjang lebar sewaktu-waktu. Dean mengerti karena dia sendiri
ketika berkunjung ke rumah Oma setelahnya bakal susah pulang. Oma akan
menahan-nahannya supaya tinggal lebih lama.
Meski tempat tinggal
mereka bersebelahan, tampaknya Kakek kurang dekat dengan cucu-cucunya.
Paling-paling dengan Kang Lutung. Tapi cucu Kakek yang paling besar itu semakin
jarang mampir ke paviliun. Mungkin ia sedang sibuk mempersiapkan UN atau ada
aktivitas lain. Adik-adik Kang Lutung, Zahra misalnya, malah hampir tidak
pernah kelihatan di paviliun.
Selain Kang Lutung dan
ketiga adiknya, Kakek punya dua cucu lagi. Tempat tinggal mereka agak jauh tapi
masih di Kota Bandung. Salah satu dari kedua cucunya itu, Zia, juga bersekolah
di Smanson, anak kelas XI. Dean kenal Zia sejak sama-sama kena razia rambut.
Mereka saling menyapa tiap kali bertemu, dan kadang Dean meminjamkan sisirnya
pada Zia supaya cewek itu segera merapikan rambutnya sebelum kena razia lagi.
Selain Kang Lutung, Zia
cucu Kakek yang cukup sering mampir entahkah ke rumah samping atau ke
paviliun—keduanya sudah seperti rumahnya sendiri saja. Tapi entah kenapa,
sering kali ketika Dean mengunjungi Kakek, Zia tidak ada. Begitu juga
sebaliknya, ketika Zia mampir ke paviliun, Dean entah ke mana. Pernah keduanya
bertemu di paviliun Kakek dan sama-sama mendengarkan album. Ketika ada lagu
yang asyik, mereka bangkit dari sofa dan berjoget sama-sama. Zia suka sekali
mengarang gerakan dan Dean mengikutinya dengan geli.
Zia dan Kakek saling
meledek karena sama-sama belajar gitar tapi tidak becus.
“Sepeninggalan Nenek,
Kakek kawin lagi sama peranakan Brazil-Jerman, namanya Astrud Gilberto,” kata
Zia.
“Wih, keren,” sambut
Dean.
“Iya. Tapi gadis itu
cuma ada di sampul album yang dibeli teman Kakek tiga puluhan tahun lalu, dan
sekarang udah dikasihin ke Kakek. Sekarang, Astrud Gilberto juga udah nenek-nenek.
Tuh, si Mas Imin,” Zia menyebut kakak sepupunya, “pernah disuruh Kakek
ngumpulin foto-foto Astrud Gilberto dari internet, buat dicetak, se-mu-a-nya,
terus ditempel di balik pintu kamar Kakek. Kalau enggak percaya, lihat aja
sendiri.”
“Bohong, bohong,”
timpal Kakek yang baru kembali dari membuat segelas sirup dingin.
Tambah Zia, “Kakek tuh
beli DVD pelajaran gitar, tapi enggak tamat-tamat nontonnya. Habisnya, Kakek
tuh nontonnya dikit-dikit, sambil dipraktikkin. Kalau ada bagian yang enggak
dimengerti aja, diputar lagi aja terus berulang-ulang sampai bisa. Kayaknya
enggak sampai seperempat DVD tuh yang udah ditonton sama Kakek.”
“Ah, kamu. Justru itu
artinya Kakek tuh sabar belajarnya. Enggak kayak kamu. Belum juga nguasain satu
lagu, udah pengin coba lagu yang lain. Anak muda jaman sekarang!”
“Liat aja entar,” Zia
menaikkan dagunya dengan belagu.
“Udah, kamu mah, jadi
penulis diari aja. Daripada belajar gitar, kamu lebih rajin nulis diari, kan?”
“Huu, enggak mau!”
Dean menyaksikannya
sambil mesem-mesem sekaligus ingat pada tujuan dirinya “dititipkan” Kang Lutung
kemari.
.
Suatu sore Dean sedang
memainkan melodi dari lagu yang dia suka. Tahu-tahu Kakek menghampiri,
memerhatikannya dari belakang. Dean menoleh pada Kakek tanpa menghentikan
permainannya. “’Ritmica Distensiva[1]’,
Kek,” Dean menyebutkan judul lagu itu.
“Kamu kayaknya seneng
banget sama lagu itu.”
Dean mengangguk. Andai
saja Kakek tahu apa yang terjadi di dalam kepalanya tiap kali mendengarkan lagu
itu. Dean melihat ada boneka marionette
berjalan-jalan dan mengajak siapa pun yang ia temui menari-nari. Dia ingin
sekali mengiringi si boneka menghibur siapa pun itu dengan permainannya, dengan
nada-nada yang ceria tapi kalem seperti arti lagu itu sendiri: “Irama yang
Menenteramkan”. Kalau bisa, dia ingin menghadirkan bayangan itu juga di dalam
kepala pendengarnya.
Kadang Dean heran
sekaligus kagum. Kok bisa ya seorang musisi menghadirkan suatu bayangan di
dalam kepala pendengarnya lewat lagu? Seakan lagu itu sedang menceritakan
sesuatu padanya. Apalagi ketika musik yang dia dengarkan tanpa lirik, tanpa
kata-kata yang menyiratkan sesuatu. Setiap instrumen seakan memiliki ceritanya
sendiri-sendiri, dan cerita yang satu berhubungan dengan cerita dari
instrumen-instrumen lainnya dalam lagu itu. Bahkan mereka seperti mendukung
cerita satu sama lain dengan cerita masing-masing. Kalaupun ada vokal, itu
berupa senandung saja, seakan bagian dari instrumen, dan kedengarannya seperti
mau membuai.
Lalu tercetus di benak
Dean. “Kakek, cobain deh mainin gitarnya. Terus kita main bareng.” Dean
menyetel kibor itu supaya yang keluar suara gitar. Setelah mengingat-ingat
sebentar, dia menirukan permainan gitar dalam lagu tadi sambil memandang Kakek.
Kakek tampak merenung.
“Atau basnya.” Dean
menyetel suara bas, lalu membunyikan kibor itu sesuai irama yang dia ingat.
Kepalanya bergerak-gerak mengikuti.
“Boleh juga,” kata
Kakek. Ia mengambil gitarnya, menyeret bangku, dan duduk di sebelah Dean.
“Gimana tadi?”
Sementara Kakek
mengulik, Dean mendengarkannya betul-betul dan mengira-ngira apakah nada yang
keluar sudah pas. Sesekali dia mengeceknya dengan membunyikannya lagi pada
kibor, lalu mengajak Kakek memainkannya sama-sama.
Berkali-kali mereka
memutar album yang memuat lagu itu sambil mencermati nada-nadanya. Lalu mereka
mencoba memainkannya lagi, lagi, dan lagi. Lama-lama Kakek tidak sering salah
petik lagi. Gerakannya tidak setangkas Deraz, tapi permainannya santai dan Dean
menikmatinya.
Sering kali Dean
memandangi Kakek ketika sedang melatih petikan gitarnya dan lagi-lagi ingat
pada peribahasa. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Sudah tua tapi semangat
belajarnya masih berapi-api. Kelihatannya saja Kakek malas kemarin-kemarin.
Padahal sebetulnya ia cuma perlu diajak latihan bareng sering-sering. Kalau begitu,
Dean juga tidak mau kalah!
Setiap sore pun
bersambung dengan sore-sore berikutnya, malah sering kali sampai malam. Mereka
larut dalam keasyikan membahasakan musik dengan cara mereka sendiri, dan
belajar memadukannya menjadi harmoni.
Maka tiap kali Bunda
menelepon Dean dan menanyakan keberadaannya, tentu saja dia akan menjawab: “Di
rumah Zahra,”—di paviliun kakeknya,
“Lagi belajar dong!”—belajar main musik!
.
Kadang, saking
semangatnya, sepulang sekolah Dean langsung saja ke paviliun Kakek, dan bukannya
mampir ke rumah Zahra dulu, untuk minta bimbingan mengerjakan PR atau
mempelajari materi ulangan barang satu-dua jam. Entah Dean sengaja atau memang
lupa, ketika sudah sampai di paviliun Kakek, apalagi ketika sudah menyentuh
kibor atau mendengarkan piringan hitam, dia malas ke mana-mana lagi. Rasanya
ingin di situ saja terus sepanjang sisa hari. Kalau tidak ingat bahwa ada
keluarga menanti di rumah (khususnya Bunda, yang sering kali menanti untuk
bertanya padanya, Udah kerjain PR? Besok
ada ulangan? Nilai ulangannya ada yang udah dibagiin lagi?...dan
seterusnya), Dean mungkin akan menetap di sana, kalau Kakek mengizinkan.
Denting kibor dan
petikan gitar, ditingkahi suara Dean dan Kakek, terdengar sampai ke luar
paviliun. Maka ketika sedang menyapu halaman dan mendengar itu, lama-kelamaan
Zahra tahu kebiasaan Dean. Apalagi ketika belakangan hari Dean tidak
menghampirinya lebih dulu, seperti biasanya, malah langsung ke tempat Kakek,
seakan sudah tidak penting lagi belajar dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar