Minggu, 20 September 2015

#4 Kalau Jodoh Takkan Lari ke Mana

Ada masa ketika Dean bisa memainkan Baby sebebas-bebasnya, sepuas-puasnya, tanpa harus memandang partitur, tanpa takut akan dimarahi guru karena lagi-lagi jarinya salah pencet.

Tidak ada siapa pun yang akan melihat kesalahan dalam permainannya. Toh dia sendiri tidak memedulikannya. Ketika mendengar ada nada yang tidak pas, dia akan melewatkannya begitu saja dan terus mengejar nada-nada baru yang berlarian di dalam kepalanya.

Dia bisa seperti itu sampai berjam-jam lamanya, mengabaikan apa pun yang terjadi di belakangnya. Entahkah itu suara TV atau adiknya yang berteriak-teriak karena permainannya terlalu berisik atau apalah.

Dia begitu terserap dan hanyut dalam melodi yang mengalir deras seakan tidak mau berhenti. Tapi tentu saja aliran itu sewaktu-waktu akan putus, berangsur-angsur atau mendadak.

Ketika itu terjadi, barulah Dean meninggalkan Baby dan merasakan nyeri akibat tegang di pundak, pergelangan tangan, dan jari-jarinya. Tapi itu nyeri yang selalu bisa ditanggungnya, sebab dia akan mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Apalagi ketika dia sedang bosan. Atau ketika dia pulang ke rumah dan tidak mendapati siapa pun atau semua orang sedang sibuk sendiri-sendiri, sehingga tidak ada yang bisa dia ajak main atau mengobrol.    

Kadang piano itu yang menarik keluarganya berkumpul.

Zara juga belajar musik. Instrumennya biola. Ayah akan menyuruh mereka main sama-sama, atau Dean mengiringi adiknya berlatih biola dengan piano. Kadang Ayah hanya akan meminta Dean untuk mencoba memainkan lagu-lagu Sunda kesukaannya, dan merasa geli tiap kali nada yang diketuk tidak pas. Lama-kelamaan Dean bisa menghasilkan serentet nada yang enak didengar, entahkah persis dengan lagu aslinya atau tidak. Ayah akan mendengarkannya sambil duduk anteng di sampingnya dan menikmati.

Bunda juga belajar piano sewaktu seumuran Dean, tapi tidak meneruskan. Dean suka mengetes ingatan Bunda akan lagu-lagu yang dulu pernah ia pelajari. Bunda akan memainkannya dengan tertatih-tatih, sementara di sampingnya Dean merasa yakin bahwa dia mampu memainkannya dengan lebih baik.

Deraz juga belajar piano sewaktu kecil, tapi kemudian ia lebih tertarik pada gitar. Kadang ia dan Dean memainkan bersama-sama lagu apa saja yang mereka berdua tahu. Sering kali itu lagu yang sedang diulik Deraz dengan gitar, sementara Dean menyesuaikan saja. Mereka menyebutnya nge-jam.

Tapi sering juga terjadi ketika Dean sedang asyik-asyiknya bermain bersama Baby, Bunda mendekatinya, mengingatkannya untuk mengerjakan PR atau menyiapkan ulangan. Kalau Dean tidak segera menurut, Bunda mengancamnya dengan, “Entar pianonya dijual lo. Mau?”

.

Hari itu, ketika Acil memberi tahu bahwa mereka akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Zahra, Dean langsung menanggapi, “Mau, mau!”

“Emang enggak ada acara, kamu, Yan? Biasanya ada melulu kamu tuh,” kata Salman.

“Yah, sekali-kalilah, hehehe.”

Ngebenerin nilai dimulai dari enggak mangkir tugas kelompok, tambah Dean dalam hati.

“Alhamdulillah. Dia insaf.” Acil berbisik pada Salman yang lantas mengangguk-angguk.

Selama ini apabila kelompok mereka mendapat giliran presentasi, Dean yang jarang ikut mengerjakan tugas hampir selalu mendapat peran sebagai operator atau moderator. Sebisa mungkin dia tidak dijadikan presentator karena sudah pasti tidak menguasai materi presentasi, begitu pun pencatat notula karena tulisan tangannya yang menyerupai cacing jingkrak. Tapi kadang guru menunjuk Dean untuk mempresentasikan. Teman-teman sekelompoknya pun hanya bisa pasrah menyaksikan presentasi tugas mereka malah menjadi acara lawak.

Rumah Zahra berjarak kurang lebih sepuluh menit jalan kaki dari Smanson, sehingga sering dijadikan tempat mengerjakan tugas oleh kelompok tersebut. Dibandingkan dengan kosan Salman yang sebetulnya berjarak lebih dekat dari sekolah, ruangan di rumah Zahra lebih luas. Mereka juga merasa lebih leluasa.

Di garasi mereka bertemu Kang Lutung yang sedang mengutak-atik mesin di bawah kap mobil.

“Udah pulang, Kang?” tegur Acil sebelum memasuki bagian dalam rumah Zahra.

“Iya, tadi pelajaran terakhir enggak ada,” ujar kakaknya Zahra itu. “Eh, kok ada si Dean sih? Tumben!”

“Hehehe….”

Barangkali pertama dan terakhir kalinya Dean mengunjungi rumah itu adalah ketika mereka bersepakat untuk menonton film dulu di DVD baru mengerjakan tugas. Film berjudul Taegukgi yang berlatar perang saudara antara Korea Selatan dan Korea Utara itu mengingatkan Dean akan dirinya dan Deraz. Begitu film itu selesai, mendadak timbul keinginannya memainkan Baby. Dean pun pamit pulang, meninggalkan teman-temannya yang baru mulai membicarakan tugas.

Dean lupa kapan itu terjadi.

Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Di situ terdapat sebuah ruangan yang cukup lega. Di satu sisi tampak TV dan sofa—tempat mereka menonton Taegukgi kapan itu. Di sisi lain terhampar karpet dengan meja rendah di atasnya—tempat mereka menaruh tas dan berselonjor. Ada pula lemari berisi buku dan majalah, komputer, serta—Dean terbelalak—kibor? Meski tertutup oleh plastik tebal dan buram, pada benda itu tampak bayangan baris-baris hitam-putih yang menyerupai tuts. Kaki-kakinya yang ramping bersilangan pun tidak lepas dari pengamatan Dean. Mengapa dia tidak memerhatikan ada benda itu sewaktu pertama dan terakhir kali ke rumah Zahra? Waktu itu dia tidak menyangka bakal kehilangan Baby!

Sini… sama Aa… batinnya mulai berisik.

Ketika teman-temannya mengajaknya untuk salat zuhur berjamaah, ketika Zahra membawakan cemilan dan minuman untuk mereka, ketika diskusi sudah dimulai, perhatian Dean sedikit-sedikit teralihkan pada kibor.

Dean baru bisa melupakan benda itu setelah teman-temannya berbagi tugas dan dia membantu mereka mengerjakannya.

Sepulang dari rumah Zahra, Dean berjalan bersama Acil, Rani, dan Salman menuju tempat menyetop angkot sambil mengobrol-obrol.

Dean baru tahu bahwa, teman-temannya itu rajin berkumpul bukan cuma untuk mengerjakan tugas kelompok. Sesekali mereka juga mengerjakan PR dan mempersiapkan ulangan bersama-sama. Yang bersemangat mengadakan kelompok belajar itu mula-mula adalah Salman.

“Aku kan pingin masuk ITB, Yan. Makanya dari SMA aja aku sekalian di Bandung, biar dapet ‘suasana’-nya, gitu,” Salman menjelaskan. “Apalagi kalau ada kakaknya Zahra, kan bisa sambil tanya-tanya tuh. Kang Luthfi juga katanya mau masuk ITB. Jadinya kan bisa belajar bareng.”

ITB, lagi, pikir Dean, ingat pada Rio, yang orang tuanya ingin supaya anak mereka itu kuliah di kampus tersebut. Ada apa sih dengan ITB?

Acil menyambung, “Enak, Yan, belajar bareng mah. Kalau mau ulangan, bisa sharing mana aja yang kira-kira bakal keluar. Ada yang ngingetin juga kalau ada materi yang kelewat. Terus, kalau PR, pulang-pulang udah kelar atau tinggal ngerjain sisanya aja, yang gampang-gampang. Nyampe rumah tinggal main deh, kalau enggak tidur. Apalagi di kelompok kita ada Zahra. Rajin dia mah. Apa aja dicatat.”

.

Maka itulah jawaban yang Dean berikan ketika Bunda, untuk kesekian kalinya, menawarinya ikut les tambahan pelajaran. Malam itu Dean menceritakan pada Bunda tentang teman-teman sekelasnya yang membentuk kelompok belajar. Di antara teman-temannya itu yang paling rajin dan pintar adalah Zahra. Dean tidak lupa menyebut hasil berbagai ulangan Zahra yang dia ingat, yang rata-rata tujuh ke atas. Selain itu, sewaktu MOS Zahra termasuk Gugus 1, yang merupakan kelompok dengan nilai UN tertinggi.

Bunda mendengarkan cerita Dean tentang teman-temannya dengan khawatir. Bunda tahu bahwa sejak kecil Dean suka memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri, khususnya dalam mengerjakan PR. Pernah suatu kali ia mendapati Zara menahan tangis sewaktu sedang mengerjakan PR. Ketika ditanya sebabnya, Zara menjawab, “Enggak bisa ngerjain…. Enggak jadi pinter….”

“Coba Bunda lihat.” Bunda mau membantu. Ketika melihat tulisan tangan yang khas di buku tulis yang dihadapi Zara, lalu membolak-balik sampulnya, tahulah ia bahwa bungsunya itu tidak sedang mengerjakan PR-nya sendiri, tapi PR Dean.

“Kata Dean, kalau bisa kerjain soal ini, entar tambah pinter,” ujar Zara.

“Enggak apa-apa, Sayang. Ini soal memang bukan buat Zara. Nanti kalau Zara udah kelas empat, Zara pasti bisa ngerjainnya. Kalau sekarang belum bisa, enggak apa-apa, Zara tetep anak pinter. Kerjain aja PR Zara sendiri. Ini PR Dean, biar Dean kerjain sendiri,” begitu Bunda menenangkan Zara.

Ketika bertemu Dean yang ternyata habis main, langsung saja Bunda mengomelinya.

Meski begitu, Dean tidak kapok. Sesekali dia masih menawarkan PR-nya pada Zara, sambil memotivasi adiknya itu supaya tambah pintar. Karena dasarnya memang suka belajar, Zara menganggap PR Dean sebagai tantangan. Ketika berhasil mengerjakannya, ia merasa bangga. Ketika tidak berhasil, ia sudah tahu mesti apa. Ia tidak menangis lagi, tapi mencak-mencak pada Dean. “Enggak tahu malu! Kerjain sendiri dong PR-nya!”

Tidak heran kalau Zara selalu menjadi juara kelas, sementara Dean sering terancam tidak naik kelas.

Dean juga sering berbuat sama pada Deraz. Sikap Deraz sama saja dengan Zara, malah tidak pernah pakai protes.

Maka kata Bunda, “Zahranya mau enggak sama kamu?”

“Anak Bunda ganteng gini, ada yang enggak mau?”

Bunda tidak tersenyum. Malah ia terpikir dugaan lain. “Atau jangan-jangan, Zahra itu teman spesialnya Dean?”

“Iya, atuh, Bun, anak rajin gitu mah spesial.”

“Lo, nanti malah banyak pacarannya daripada belajarnya.”

“Enggak pacaran, Bunda,” Dean menyanggah. Belum ada yang dapat menggantikan posisi Rieka di hatinya! Lagi pula, “Zahra mah alim, Bun, pendiam orangnya. Jilbaban juga. Jarang deket-deket sama cowok. Enggak akan pacaran orang kayak dia mah. Terlalu serius belajarnya.”

“Nah, apalagi kalau kayak gitu. Entar Dean jadinya malah ganggu.”

“Enggak atuh, Bun. Kan ada temen-temen lainnya juga.”

“Gini aja. Sama temen iya. Sama guru juga iya. Guru Dean ada kan yang ngadain tambahan?” Bunda sudah mencatat nama dan kontak guru-guru tersebut. Ia memperolehnya setelah berkonsultasi dengan wali kelas Dean saat pembagian rapor semester ganjil kemarin. “Atau kalau mau manggil yang privat ke rumah juga boleh. Siapa tahu setelah les sama guru malah Dean yang bisa bantu temen-temennya.”

“Kalau sama temen mah lebih semangat, Bun. Pokoknya entar Bunda lihat aja deh.”

Bunda tentu saja tidak puas, tapi saat itu ia pikir daripada memaksakan lebih baik mendukung. Toh setidaknya Dean sudah ada kemauan untuk belajar di luar sekolah.

“Tapi yang bener, ya, belajarnya. Temen-temennya jangan malah ditinggal main. Kalau nilai-nilai Dean masih belum ada peningkatan juga, Dean ikut les, ya?”

“Iya…. Gimana entar aja deh, Bun….”

“Bukan gimana entar, tapi entar gimana!”

“Iya….”

“Ya udah. Sekarang belajarnya sama Bunda dulu. Mana PR-nya? Ada ulangan enggak?”

“Besok aja deh, Bun, sama temen-temen.”

“Dean…!”

.

Hari demi hari Dean mengidamkan kibor di rumah Zahra. Kibor itu melayang-layang di dalam kepalanya, terus-menerus berkata, “Dean…. Main, yuk…” dan mendemonstrasikan sendiri kemampuannya. Ia mampu menghasilkan lebih banyak suara daripada Baby yang cuma piano, meskipun jumlah tutsnya lebih sedikit. Ia tidak hanya bisa menjadi piano, tapi juga biola, gitar, suling, perkusi, simbal, drum, harpa, harmonika, dan berbagai alat musik lainnya, dan semua itu bisa terjadi hanya dengan memencet-mencet tutsnya! Ia lebih canggih!

Ketika hari berganti menjadi minggu, Dean pun menegur Acil yang ketua kelompok. “Mana belajar bareng teh?”

Sesaat Acil merasa heran karena Dean bertanya soal “belajar”. Kalau urusan itu, anak itu kan biasanya suka menghindar!

“Lagi pada sibuk,” kata Acil. Salman sedang menyiapkan diri untuk menghadapi olimpiade Fisika, dan kadang ia berlatih bersama anak-anak VG untuk mengikuti perlombaan. Rani sedang menjalani pendidikan latihan bersama anak-anak Pamanson. Acil sendiri sedang menggiatkan gerakan hijau di sekolah bersama ekskulnya, dan di luar sekolah ia anggota aktif komunitas pengamat burung.

Dean juga biasanya kalau tidak sedang aktif nongkrong di sekitar Tenis Net, ya sibuk main ke tempat-tempat gaul di Kota Bandung. Tapi ketika dia sadar untuk memilih belajar, teman-temannya malah lebih mementingkan dunia masing-masing. Dean merasa sedikit kecewa.

“Kamu sendirian aja ke Zahra,” usul Acil. “Dia mah kayaknya enggak ikutan apa-apa, sibuk di rumah aja.”

Dean pun menuruti saran Acil. Siang itu seusai jam sekolah, dia mencari-cari Zahra. Kalau tidak ada piket atau tugas kelompok, biasanya Zahra langsung pulang, begitu kata Acil. Dean pun menyusul cewek itu yang sedang berjalan sendirian menjauhi sekolah.

Zahra tampak kaget ketika Dean tahu-tahu menegur dari belakang. Sepertinya dari tadi Dean mengikutinya. Zahra merasa agak ngeri.

“Ikut dong ke rumah kamu,” kata Dean.

Seperti biasanya, Dean sangat ramah. Tapi kali ini pun entah kenapa Zahra merasa perlu curiga dan waspada pada anak yang sering ada maunya ini! “Kenapa?” tanya Zahra.

“Kamu mau kan bantuin aku belajar?”

Zahra mengernyit.

Dean segera melanjutkan, “Daripada aku ngelihat PR kamu terus, kamunya jadi sebel lama-lama, mending kita ngerjainnya sama-sama. Kamu ajarin aku cara ngerjainnya. Akunya jadi ngerti. Kamunya tambah pinter.”

Zahra sama herannya dengan Acil ketika Dean menyebut-nyebut soal “belajar”. Tapi gagasan itu kedengarannya baik. Boleh dicoba.

“Ya udah,” kata Zahra. “Sekarang?”

“Hayuk!” Dean semringah. Dia pun menjejeri langkah Zahra dengan ringan.

.

Begitu sampai di rumah, Zahra ingin mengganti seragamnya dulu. Kamarnya di lantai bawah. Dean pun naik sendiri ke ruang tengah di lantai dua. Sama seperti ketika di lantai bawah, suasana di situ pun sepi saja. Dean menaruh ranselnya di karpet, dan berpaling pada kibor di sisi lain ruangan. Seperti ada kekuatan besar yang menariknya untuk mendekat. Dean pun terseret. Dia hampir membuka plastik penutup kibor itu ketika Zahra datang. Dean segera mendekati Zahra.

“Mau kerjain PR yang mana dulu?”

“Ada PR apa aja gitu?”

“Kamu nyatet?” Melihat tampang Dean, Zahra sadar bahwa itu pertanyaan yang tidak perlu. “Besok ada Matematika,” ucap Zahra lagi.

Hari itu tidak ada pelajaran Matematika, sehingga Dean tidak membawa buku teksnya. Zahra meminjamkan miliknya untuk dipakai bersama. Dean pun menggunakan bagian belakang buku tulis Basa Sunda untuk mengerjakan PR itu.

“Coba kerjain sendiri dulu. Entar kalau ada yang enggak ngerti baru tanya aku,” kata Zahra.

“Oke,” sahut Dean.

Mereka mengerjakannya sambil lesehan di karpet, beralaskan sebuah meja bundar pendek yang cukup besar.

Setelahnya berlangsung dengan lancar. Sedikit-sedikit Dean bertanya dan Zahra menjelaskan. Dean lalu mengulang penjelasan itu sambil meneruskan pekerjaannya, dan sedikit-sedikit Zahra membetulkannya. Untung PR-nya tidak banyak.

“Buat besok PR-nya itu aja. Kalau yang buat besok-besoknya lagi sih ada banyak,” kata Zahra.

“Entar dulu aja deh,” Dean mengerang.

Zahra membuka notesnya yang penuh berisi catatan PR, ulangan, dan sebagainya, cuma untuk memastikan bahwa betul, “Besok ada ulangan Fisika. Kalor.”

“Fisika udah ulangan lagi?” Dean merasa semester ini baru beberapa minggu saja berlalu. “Apa tadi teh? Kalorwewe?”

“Kalor aja.” Zahra merengut.

“Yang keluar apa aja?”

“Kamu nyatet enggak?” Melihat tampang Dean… lagi-lagi pertanyaan yang tidak perlu, Zahra! Zahra mengeluarkan buku tulis Fisika miliknya. “Kita hafalin aja konsep-konsepnya, belajar dari PR yang kemarin, sama kerjain soal-soal di buku pelajaran.”

Dean bengong sesaat, lalu, “Ikut aja deh.”

Zahra membacakan rangkumannya poin per poin, lalu Dean mengulanginya atau mengangguk-angguk saja dan bertanya ketika ada yang kurang dimengerti. Zahra mulai berpikir, Sebenernya Dean enggak bodo-bodo amat. Sementara itu Dean berpikir, Moga-moga masih inget sampai besok, jadi di rumah enggak usah belajar lagi, Ya Allah… aamin…!

Ketika sedang khusyuk-khusyuknya itulah tahu-tahu “Karedok Leunca” Dean berbunyi.

“Permisi sebentar, ya,” kata Dean. Dia mengangkat teleponnya sambil menjauh ke pintu di pojok ruangan yang mengarah ke tempat jemuran. Telepon itu dari Bunda. Bunda bertanya Dean sedang ada di mana. “Lagi di rumah Zahra. Belajar buat ulangan besok, Fisika,” jawab Dean dengan bangga.

“Oh, belajar sama Zahranya jadi?” sahut Bunda.

“Jadi dong.”

Tahu-tahu Bunda ingin mengobrol dengan Zahra. Dean pun menyerahkan ponselnya pada Zahra. Cewek itu tampak kaget dan ingin menolak, tapi Dean menyodorkannya terus.

“Tenang aja, Zahra, sama kamu mah Bunda enggak bakalan marah-marah.”

Zahra menerima ponsel Dean dengan ragu-ragu. Lalu ia ikut-ikutan menjauh ke dekat tempat jemuran seperti Dean tadi.

Sementara itu Dean kembali mengendap-endap ke kibor. Dia mengamati kibor itu agak lama, lalu menyelipkan jari-jarinya di bawah plastik penutup. Dengan menekankan jari-jarinya pada setiap tuts, dia menghitung jumlah tuts putih dan tuts hitam yang masing-masing totalnya 36 dan 25. Tuts-tuts itu terasa lebih ringan di jarinya ketimbang tuts-tuts pada Baby. Jumlahnya juga lebih sedikit, tapi tentu saja lebih banyak daripada yang ada pada pianika.

Dean menoleh ke belakang. Zahra masih mengobrol dengan Bunda sambil memunggunginya. Entah apa saja yang mereka bicarakan sampai rasanya begitu lama.

Pelan-pelan Dean mengangkat plastik penutup kibor ke sandaran partitur. Sepintas-sepintas, dia membaca tulisan yang menyertai tombol-tombol pada kibor itu, baik yang berbentuk bulat maupun yang persegi panjang, berukuran besar maupun kecil, serta berwarna hitam maupun putih. Setelahnya dia memandangi tombol-tombol kotak dan persegi panjang di sekitar layar di sebelah atas yang entah apa gunanya. VOICE CONTROL? ONE TOUCH SETTING? MULTI PAD CONTROL? REGISTRATION MEMORY? STYLE CONTROL? (Keterangan-keterangan tersebut memang tercetak di badan kibor dalam huruf besar!) Tapi kemudian imajinasinya mulai mengetuk-ngetuk, membayangkan apa saja kira-kira yang bisa diperbuat oleh tombol-tombol itu. Jangan-jangan tombol yang ini bisa mengendalikan robot dari jarak jauh. Jangan-jangan tombol yang itu kalau dipencet bisa meledakkan bumi.

Tentu bukan sekali ini Dean melihat kibor. Tapi rasanya sudah berabad-abad lalu sejak terakhir kali dia memerhatikan alat musik semacam itu. Waktu itu dia masih SMP dan akan melaksanakan ujian praktik pelajaran Seni Musik. Tiap anak boleh membawa alat musik sendiri-sendiri atau menggunakan yang disediakan sekolah. Karena Baby terlalu berat untuk digotong ke sekolah, Dean pun memilih alat musik yang tersedia, yaitu kibor yang penampakannya mirip. Tombol-tombol pada kibor yang waktu itu dengan kibor yang kali ini tampak berbeda, baik bentuk, ukuran, maupun warnanya.

Ketika mendengar Zahra berkata, “Iya, Tante. Sama-sama,” Dean buru-buru menurunkan plastik penutup kibor itu dan kembali ke tempatnya semula. Dia mengambil catatan Fisika Zahra dan membaca buku tulis itu di pangkuannya, tanpa memahami isinya sedikit pun—padahal sedari tadi itulah yang Zahra terangkan padanya!

.

Ketika Zahra mengembalikan ponselnya, Dean bertanya, “Ngomongin apa aja tadi sama si Bunda?”

Jawab Zahra sambil memandang Dean dengan muram. “Kasihan ibu kamu.”

Tadi lewat telepon Bunda minta tolong pada Zahra untuk membantu Dean sebisa mungkin. Kalau nilai-nilainya semester ini enggak berubah, atau malah turun dari semester kemarin, bisa-bisa dia enggak naik kelas, begitu kata Bunda pada Zahra. Kalau belajar sama Tante susahnya minta ampun. Deannya enggak bisa fokus. Mesti diingetin berkali-kali buat kerjain PR atau nyiapin ulangan. Makanya Tante bersyukur banget Dean akhirnya mau belajar sama temennya. Syukur lagi kalau Zahra mau bantu. 

Zahra diam saja ketika Dean terus bertanya-tanya. Ia malah mengajak Dean untuk langsung saja mempelajari soal-soal di PR kemarin. “Kamu masih inget cara ngerjainnya?” tanya Zahra. Melihat tampang Dean, malah Zahra yang ingat bahwa anak itu cuma menyalin PR-nya kemarin—seperti biasanya.

Zahra menguatkan diri dengan berpikir bahwa membantu teman belajar akan berguna juga bagi dirinya. Pemahamannya terhadap materi yang dibahas akan semakin bertambah. Toh tadi ia sendiri yang bilang begitu pada ibunya Dean. Bunda setuju dan bilang, “Iya, Zahra, yang mengajar dan yang diajar itu kan sebetulnya sama-sama belajar.” Bunda lalu menceritakan pengalamannya dalam mengajar mahasiswa. Zahra jadi tahu bahwa ibunya Dean ternyata dosen di Fakultas Kedokteran, di kampus negeri favorit pula!

“Minimal kamu dapat tujuh pas ulangan besok biar enggak usah remedial,” kata Zahra.

“Tujuh?” Dean terperangah. Jaraknya seperti ke angkasa!

Sampai sore mereka mengerjakan ulang soal-soal PR kemarin, atau, lebih tepatnya, Zahra menuntun Dean agar mengerjakannya sendiri untuk pertama kalinya, sedikit demi sedikit, sambil memahami konsepnya. Tiap setengah jam, rata-rata dua soal saja yang berhasil mereka selesaikan. Itu juga karena Zahra sadar waktu.

Benar yang dikatakan ibunya Dean. Anak itu susah fokus. Kadang dia seperti yang larut dalam pikirannya sendiri. Kadang dia pintar sekali mengalihkan pembicaraan. Misalnya, sewaktu Zahra membahas perbedaan antara Celcius, Fahrenheit, dan Kelvin, Dean menyambungkannya dengan perbedaan cuaca antara Bandung dan Boston—tempat dia pernah tinggal sewaktu kecil. Ibunya Dean pernah tinggal cukup lama di Boston untuk melanjutkan kuliah dan melakukan penelitian. Lalu tahu-tahu mereka membicarakan tentang cara mencegah jerawat. Ternyata, selain dosen, ibunya Dean juga dermatolog. Dean tahu sedikit-sedikit tentang ilmu ibunya itu. “Buat cowok, menjaga kesehatan kulit itu juga penting, biar tetep ganteng,” saat Dean berkata begitulah Zahra ingat untuk mengembalikan topik ke jalurnya semula.

Akhirnya, setelah mengamati gelagat Dean dan mengingat titah mamanya, Zahra berkata, “Aku mau nyapu dulu deh.”

Dean menyahut sambil berusaha menahan kelegaan yang luar biasa, “Oke.”

“Terus kamunya gimana?”

“Gimana apanya?”

“Mau lanjutin sendiri di rumah atau nerusin di sini, tapi nanti, habis magrib palingan?”

Untuk pilihan yang pertama, kemungkinannya 0%. Sejak tadi saja Dean sudah menahan kuap berkali-kali, juga rindu pada bantal dan selimutnya di rumah. Dia pasti akan langsung terjun ke kasur sesampainya nanti. Maka Dean menggeleng. Lagi pula… bukannya dia ada maksud lain?

“Enggak apa-apa emangnya kalau sampai malam?”

“Asal enggak sampai malam banget aja.”

“Oke.” Dean terdiam sebentar, lalu, “Sambil nunggu kamu, boleh enggak,” Dean menuding ke belakang, “mainin kibor kamu? Kayaknya dia butuh kehangatan.”

Zahra mengernyit dan berujar, “Terserah.”

“Makasih, Zahra!” Dean tersenyum selebar mungkin.

.                      

Ruangan yang lega itu kini benar-benar sepi. Sepertinya untuk beberapa waktu Dean akan bisa bermain tanpa sungkan-sungkan. Dean sudah tidak sabar lagi!

Serpihan debu melapisi plastik penutup kibor itu. Dean mengangkat plastik itu dari tepiannya dengan hati-hati. Hei, kenalan yuk, sama Aa…. Dia menyampirkan plastik itu pada pundak sofa. Lalu dia mengambil kursi lipat yang semula bersandar pada dinding di samping meja komputer. Setelah duduk di kursi itu, dia mencari-cari steker kibor dan menancapkannya pada lubang aliran listrik. Lalu dia mencari-cari kata ON dan menekan tombol bulat yang disertai keterangan tersebut. Tatapannya pindah ke sekumpulan tombol persegi panjang di sebelah kanan badan kibor. Dia menekan salah satu tombol yang di sisinya tertera kata PIANO. Udah? Belum? Jarinya memencet salah satu tuts.

“TEEE…NG.”

Bunyinya tidak semerdu Baby, tapi tidak apalah. Dean meneruskan percobaannya. Dia menjatuhkan kelingkingnya di atas tuts putih yang terletak di ujung kiri, lalu jari manisnya pada tuts putih di sebelahnya, lalu jari tengahnya pada tuts putih di sebelahnya lagi, dan seterusnya hingga kelima jarinya telah menyentuh kelima tuts paling kiri. Lalu dia memulai lagi dengan kelingking di atas tuts yang keenam, lalu jari manisnya pada tuts yang ketujuh, dan seterusnya, dan seterusnya. Tiap-tiap nada yang meloncat dari pijakan jarinya menyusup ke lorong telinganya dengan lembut sampai terasa menggetarkan tengkuk. Setelah semua tuts putih telah diuji, dia melanjutkan pemeriksaannya pada barisan tuts hitam. Lagi, dia mencobakan satu per satu jarinya pada satu per satu tuts yang menanti. Dean mengangguk-angguk tapi belum puas. Lalu dia mencoba dengan beberapa jari pada kedua tangannya sekaligus. Dua jari. Tiga jari. Empat. Lima… Sepuluh. Dean tersenyum sambil mengangguk-angguk lagi.

Lalu Dean mengetukkan keenam jarinya. Masing-masing jari pada satu tuts. Tiga jari tangan kiri dan tiga jari tangan kanan. Ibu jari, jari tengah, dan kelingking. Ibu montok, ayah jangkung, dan anak mereka yang masih kecil. Dean sering membayangkan mereka sebagai dua keluarga yang riuh. Kadang mereka tampak kompak. Kadang tidak akur. Kadang mereka anteng di kediaman masing-masing yaitu di sisi kanan dan sisi kiri papan tuts. Kadang berantem hingga terjadi kejar-kejaran, bahkan jumpalitan. Sesekali si sulung atau si tengah—jari manis atau telunjuk—pulang kampung dan meramaikan kehebohan antar dua keluarga. Dean pun menjadi kerepotan mengendalikan mereka. Tapi ini kerepotan yang menyenangkan—menggairahkan! Dalam kepalanya, langkah-langkah yang dihasilkan oleh jari-jemari itu—baik lambat atau cepat maupun lembut atau menghentak—menjadi percakapan, perdebatan, pertengkaran, perdamaian….

Kadang jari-jari bandel itu menurut saja pada kehendaknya, berganti menyimak isi hatinya. Bahu-membahu mereka membantu Dean mengeluarkan musik yang entah dari kapan mendenging-denging di dalam benaknya. Melodi-melodi baru bermunculan. Melodi-melodi lama, yang telah dikeluarkan pada kesempatan bermain sebelumnya, datang kembali seakan tidak ingin dilupakan. Menyusul kemudian melodi-melodi yang semalam diulik Deraz dengan gitar sementara memori Dean menyerapnya dengan nikmat. Dean tidak tahu lagu siapa itu dan tidak peduli tapi dia tetap memainkannya. Ketika ingatannya akan melodi itu terputus, dia menyambungnya dengan improvisasi seenak hati. Lalu dia mendengar lagi dentang-denting yang timbul ketika bersama Rieka di angkot. Aliran nada itu memijat-mijat otaknya dengan kelembutan yang melenakan. Tarian jemarinya makin tidak keruan.

Dean tidak menyadari bahwa selama itu ada yang mondar-mandir di belakangnya. Ada saudara-saudara Zahra yang baru pulang, masuk ke kamar mereka masing-masing, lalu keluar lagi sambil melihat Dean yang sedang asyik sendiri. Dean sempat terhenti sebentar dari permainannya ketika ruangan mendadak terang-benderang. Dia mengangguk pada Kang Lutung yang barusan menyalakan lampu, dan dibalas dengan anggukan juga. “Mangga, diterusin,” kata Kang Lutung. “Iya, Kang,” dan Dean pun menurut dengan amat patuh.

.

Dean baru benar-benar menghentikan permainannya ketika terdengar azan magrib. Dia melihat Kang Lutung berdiri di belakangnya sambil memasang sarung.

“Kamu bisaan, ih, mainnya.”

“Hehehe….”

“Eh, sebetulnya…” kata Kang Lutung tiba-tiba, tapi lalu terdiam.

Karena Kang Lutung terdiam sampai lama, Dean bertanya, “Apa, Kang?”

“Enggak jadi ketang.” Kang Lutung seakan mau melengos tapi tidak jadi.

Ucapan Dean menahannya. “Ih, apa atuh, Kang?”

“Gimana, ya….” Kang Lutung tampak ragu.

“Bilang aja atuh, Kang.”

“Bilang, ya?”

“Iya atuh!” Dean telanjur penasaran!

“Tapi saya salat dulu, ya, biar tenang ngomongnya. Kamu ikut salat enggak?”

“Iya, iya, Kang!” Dean menyahut.

Dean pun ikut salat di musala keluarga itu bersama-sama Zahra, mamanya Zahra, adiknya Zahra yang masih SMP, kakaknya Zahra yang kelas XI di Smanson, dan Kang Lutung sebagai imam. Sehabis makan malam bersama sambil beramah-tamah dengan keluarga Zahra yang rata-rata pendiam, barulah Dean dan Kang Lutung menyepi lagi.

“Ini, ada yang butuh bantuan,” kata Kang Lutung.

“Bantuan apa gitu, Kang?”

“Aduh, tapi takut kamunya jadi repot euy. Nanti enggak enak.”

“Yee, apa dulu atuh, Kang, apa yang mau dibantuin? Kalau saya emang bisa bantu mah, enggak apa-apa.”

“Bener, enggak apa-apa?”

“Bener…!”

“Tapi bukan sama saya.”

“Siapa atuh?”

“Itu, ada kakek-kakek, nyariin pemain kibor. Dianya mah main gitar. Masih belajar. Dia pingin ada yang nemenin dia belajar musik. Dianya ngegitar, yang nemeninnya pakai kibor. Biar rame, katanya. Daripada main sendirian terus, kurang semangat. Cuma belum nemu orangnya teh. Kalau manggil guru lagi kan harus bayar. Sayang kalau maksudnya cuma buat ngelancarin mah. Yah, udah mah tua, pelit lagi. Jadi gitu, Dean, enggak dibayar.”

“Oh….”

“Kamu mau enggak, kira-kira?”

“Kalau main kibor mah, hayuk we, atuh, Kang, kenapa pakai harus dibayar segala?”

“Siapa tahu aja kamu lagi butuh.”

Dean menyengir, merasa mulai melihat titik cerah. “Oh, soal itu mah…” memang iya, tapi bukan soal duit!

“Habis ini kita ketemu sama orangnya.” Kang Lutung memandang Dean dengan saksama seakan mau memastikan sesuatu. “Kamu yakin?”

“Kenapa gitu?”

“Kalau misalnya cocok, kamu mau ke sini lagi cuma buat main kibor?”

Dean ingin tertawa. Dia sudah tidak sabar. “Hayuk, Kang, hayuk.” Dia masih ingat satu lagi peribahasa yang muncul pada UN Bahasa Indonesia sewaktu SMP: Pucuk dicinta, ulam pun tiba!

.

Kang Lutung mengajak Dean ke paviliun di samping rumah. Ketika pintunya terbuka, tampaklah seorang kakek-kakek berkepala nyaris botak sedang menonton sinetron.     

“Katanya mau ngegitar?” tegur Kang Lutung.

Kakek itu menoleh pada mereka dengan tampang masih serius, sambil menegakkan tubuhnya. “Iya, ini juga lagi istirahat sebentar,” katanya, lalu kembali memandang TV.

“Kek, ini kenalin,” Kang Lutung menggiring Dean semakin dekat pada kakek itu. “Namanya Dean, temennya Zahra.”

Dean mengulurkan tangan kanannya dan tersenyum. “Dean, Kek.”

“Kakek,” sambut kakek itu sementara Dean menyalaminya.

“Dean ini pinter, Kek, main kibornya.”

“Hm.” Kakek itu tampak mulai tertarik dan menatap Dean, tapi sesekali pandangannya masih teralih pada TV.

“Kakek sama dia aja,” sambung Kang Lutung.

“Kenapa?”

“Coba deh dengerin dia main.”

“Ya udah,” kata Kakek. “Bawa atuh kibornya ke sini.”

Kang Lutung pun pergi. Kakek mengecilkan volume TV dan mengajak Dean duduk di sofa di sampingnya.

“Kamu dari kapan belajar kibor?” tegur Kakek.

“Dari tadi,” jawab Dean dengan jujur.

“Heh? Hehehe.” Kakek terkekeh.

“Kalau belajar piano udah dari umur lima-enam tahun, pas masuk SD,” sambung Dean.

“Oh, jadi biasanya main piano. Jago atuh. Sering ikut lomba-lomba gitu enggak?”

“Enggak pernah.”

Kakek terkekeh lagi.

“Les pianonya cuma beberapa tahun, terus keluar. Udahnya palingan main sendiri aja,” kata Dean.

“Bagus, bagus….” Kakek manggut-manggut, lalu bertanya lagi, “Kalau main rame-rame suka juga enggak?”

“Sesekali,” kata Dean, mengingat pengalamannya bermain bersama keluarganya.

“Punya band, gitu?”

Dean menggeleng. Dia tidak pernah punya band. Tidak pernah tertarik. Entah mengapa. Dia juga baru menyadarinya. Deraz saja yang sudah membentuk band sejak SMP pernah mengajaknya ikut, tapi dia menolak.

“Kakek juga sempet manggil guru mah, tapi sebentar aja. Pas udah tahu dasar-dasarnya, kunci A, kunci G, kunci D, dan seterusnyalah, ya udah, nyoba sendiri aja, selebihnya kan improvisasi.”

“Betul, Kek.” Dean manggut-manggut.

Kang Lutung kembali dengan memanggul kibor dan membawa penyangganya sekalian. Ia lalu memasangkannya di dekat mereka. Dean mengambil bangku terdekat dan duduk di depan kibor itu. Kang Lutung ganti duduk di sebelah Kakek.

“Main lagu apa?” tanya Dean.

Kakek ingin mengajukan lagu, tapi Kang Lutung keburu menjawab. “Yang tadi kamu mainin aja.”

Dean memikirkannya sebentar. Tadi dia sebetulnya bermain asal saja, sekadar menuruti suara-suara di dalam kepalanya. Bagaimana menyebut itu semua sebagai sebuah lagu—atau lagu-lagu? Dean sangat menikmati permainannya, tapi orang lain belum tentu. Mungkin itu sebabnya dia keluar dari les. Mungkin itu juga sebabnya Bunda dan Zara sering menyuruhnya berhenti ketika bermain, sedangkan Ayah memintanya memainkan lagu lain saja—lagu-lagu Sunda yang ia suka.

Dean sadar Kakek dan Kang Lutung terus memandanginya.

Dean mengucap basmalah dalam hati, dan mulai mengentakkan jemarinya. Tidak keluar suara. “Maaf, pemirsa, saya lupa tekan tombol ‘ON’-nya,” kata Dean sambil malu.

Mangga, mangga,” kata Kakek sementara Kang Lutung menceletuk, “Ah, kamu mah!”

Awal yang buruk. Dean merasa grogi!

Dean mengetes tuts-tuts itu, menyetel suara yang dia inginkan—PIANO, tentu saja—dan mengucap basmalah dalam hati sekali lagi. Mari kita mulai…!

Dean menekankan jemari kedua belah tangannya pada papan tuts. Tangan yang satu memainkan irama lalu tangan yang lain menyusul melantunkan melodi. Awalnya terdengar tidak beraturan. Kepala Kang Lutung mengangguk-angguk mencoba mengikuti nada yang Dean mainkan. Kakek bersandar pada sofa. Lututnya yang satu naik ke atas lutut yang lain, lalu ia tahan dengan kedua belah tangannya. Ia memandang Dean dengan raut yang sama serius seperti ketika menonton sinetron tadi.

Dean mulai bisa menikmati permainannya. Dia membayangkan malam ketika dia mau menonton balapan liar itu. Dia berjalan pada tengah malam menuju pangkalan ojek, sementara bintang bertaburan di atas kepalanya. Lalu ketika dia dijamu minuman “hangat” oleh para kakak kelasnya, akibatnya membikin puyeng sampai bergoyang-goyang. Goyangannya itu meruntuhkan bintang-bintang dari peraduan mereka sampai mereka bertebaran di tanah. Sependek itu, semua nada yang dia dentingkan terdengar pas di telinganya. Dia tidak tahu itu nyaman atau tidak di telinga orang lain, dan berusaha untuk tidak memikirkannya. Sekarang yang terpenting adalah dia sendiri bisa menikmatinya.

Nah, sekarang bagian utamanya. Dean menjejakkan jemarinya mondar-mandir pada beberapa tuts hingga menghasilkan nada yang meliuk-liuk. Lalu dia mengentakkan kaki, mengganti irama, dan menggoyang-goyangkan kepala dan badannya menurut melodi. Dia merasa lebih santai. Dia tidak melihat Kang Lutung yang tampaknya mulai bisa menikmati permainannya juga. Kang Lutung mengangkat kedua belah tangannya dan menepukkannya sesuai irama. Mendengar itu membuat Dean merasa semakin bersemangat. Kang Lutung memandang Kakek yang sedang melirik padanya. Kang Lutung mengernyit lalu kembali pada Dean.

Dean kembali pada nada dan irama yang semula. Kang Lutung menurunkan kedua tangannya dan menikmati irama yang mulai terasa akrab di telinganya. Ketika nada yang meliuk tanpa irama itu muncul lagi, ia sudah bersiap mengangkat kedua tangannya, hendak menepuk-nepukkannya lagi menurut irama yang berikutnya, tapi rupanya Dean belum sampai pada bagian itu.

Beberapa saat kemudian barulah terdengar lagi nada yang lebih meliuk-liuk dan lebih panjang, yang menggerakkan Kang Lutung untuk menambahkan tepukan tangan yang teratur. “Kek, kok diem aja?” tegur Kang Lutung sambil bertepuk tangan dan menggoyangkan kepala. Bibir Kakek malah tambah melengkung ke bawah. Kedua lengannya bersilang di depan dada. Dean mendengar perkataan Kang Lutung itu. Tapi dia berusaha untuk tidak menoleh dan fokus saja pada permainannya yang sebentar lagi akan dia akhiri.

Dean kembali mengubah nada dan irama sehingga tidak pas lagi untuk diiringi tepukan tangan. Sebentar kemudian lagu itu pun usai.

Dean mengembuskan napas keras-keras dan menurunkan kedua belah pundaknya, seakan-akan tadi dia habis memanggul beban yang sangat berat. Tapi dia juga merasa lega. Berapa lama dia bermain tadi? Tiga menit? Empat menit? Tadi dia berusaha supaya permainannya singkat saja tapi padat seperti pada lagu-lagu umumnya. Dia menoleh dan mendapati Kakek sedang mengusap mata. Kang Lutung juga tampak heran. Padahal yang Dean mainkan tadi sama sekali bukan lagu sedih, malah sebaliknya!

“Kamu main lagu apa tadi?” tanya Kakek. Mukanya segera menjadi biasa-biasa saja lagi.

“Lagu apa, ya? Lagu enggak tahu, Kek. Cuma sering denger aja di kepala.”

“Lagu kamu ngingetin Kakek sama lagu-lagu kesukaannya almarhum temen Kakek.”

Kakek bangkit lalu mengajak mereka masuk ke ruangan yang lebih dalam. Ada lemari berisi deretan album vinil. Pada meja di sampingnya terdapat gramofon yang bentuknya menyerupai kompor.

“Dulu Kakek sukanya musik rok. Kakek pinginnya jadi musisi rok. Tapi sejak temenan sama almarhum, Kakek mulai kenal jaz, bossa nova, funk. Dari Brazilia sampai Italiano. Sebagian koleksi albumnya dihibahkan ke Kakek sewaktu dia meninggal. Nah, musik kamu Dean, rada-rada mirip begitu. Kamu sukanya dengerin musik apa aja?”

Dean mengingat-ingat lalu menyebut beberapa penyanyi yang kasetnya sering diputar Ayah. “Darso. Nining Meida. Bungsu Bandung….”

“Ah, masak?” sela Kakek.

Kadang Deraz memutar CD koleksinya di kamar sambil mengulik gitar, dan Dean ikut mendengarkannya. Itukah yang dinamakan jaz? (Lalu apa lagi yang disebut Kakek tadi—selain jaz? Dean tidak mengerti!) Tapi Dean tidak tertarik mengamati koleksi Deraz benar-benar apalagi mengobrolkannya. Lain halnya ketika dengan Ayah. Selain itu, menurutnya musiknya beda dengan musik kesukaan Deraz. Musik Deraz terkesan kalem, serius, bahkan jelimet, sedangkan Dean menyukai musik yang pembawaannya santai, serta membikin hati riang dan tenteram.

Dean sebetulnya suka mendengarkan musik apa saja, mulai dari kaset Peterpan yang diputar sopir angkot sampai lagu-lagu dangdut di radio kesukaan emang-emang ojek kenalannya. Belum lagi lagu-lagu hit yang sedang digemari teman-teman mainnya. Potongan berbagai lagu yang pernah dia dengar itu kadang bermunculan dan bercampur aduk di dalam kepalanya ketika sedang bermain musik, seperti rujak, tapi isinya terdiri dari nada dan irama. Supaya macam-macam nada dan irama itu enak didengar, Dean pun meramunya di atas papan tuts.

“Saya mah dengerin lagu apa aja, Kek,” kata Dean akhirnya.

“Gitu, ya.”

“Berarti kamu emang jodoh sama Kakek,” Kang Lutung berbisik di telinga Dean. Yang dibisiki mengerutkan dahi dan memandang Kang Lutung dengan bingung.

Kakek mengambil satu per satu album dari lemari, dan memperlihatkannya pada Dean dan Kang Lutung.

“Temen Kakek itu dulunya anak orang kaya, tapi enggak bakat main musik, dan ditentang juga sama orang tuanya. Akhirnya dia masuk BUMN sama-sama Kakek. Kalau Kakek dulu mah, udah enggak bakat, miskin pula. Gitar pertama dan satu-satunya Kakek jual buat nombokin sewa tempat tinggal waktu itu. Akhirnya Kakek dapat pekerjaan, dan ketemu teman Kakek itu. Sementara dia terus numpuk album vinil, tiap gajian, Kakek mesti nimbang-nimbang, mending beli gitar atau beli susu buat papanya si Imin, mending beli senar atau nabung buat nyicil mobil,” cerita Kakek sambil memeluk album bergambar Astrud Gilberto, penyanyi bossa nova keturunan Jerman dari Brazil.

Sementara Kakek lanjut menceritakan perjuangannya menikmati musik dalam kemiskinannya dulu, Dean berbisik pada Kang Lutung. “Imin?”

“Luthfi Muhaimin,” Kang Lutung menyebut nama lengkapnya.

“Oh.”

“Dan akhirnya, baru setelah pensiun ini Kakek sempat belajar gitar lagi.” Kakek meletakkan album yang tadi ia peluk, dan mengusap bodi gitarnya yang bersandar pada kursi. Lalu katanya tiba-tiba, “Dean, kalau gitu kamu harus dengerin album-album ini juga. Kamu sering-sering aja main ke sini.”

“Siap, Kek!” ujar Dean dengan antusias sekaligus takjub.

“Terus kalau sewaktu-waktu kamu diminta nemenin Kakek belajar gitar, kamu mau kan?” tanya Kang Lutung.

“Mau atuh, Kang. Kadang saya juga nemenin saudara-saudara saya main di rumah.”

“Nah… gitu kan enak, sebetulnya,” Kakek segera menyahut. “Main sama-sama keluarga. Tapi si Imin ini, ditawarin les kibor dibayarin kok enggak mau. Adik-adiknya sama aja. Udah beli kibor mahal-mahal, akhirnya enggak ada yang pakai. Ada juga sepupunya si Imin tuh, si Zia. Maunya belajar gitar, tapi enggak becus. Baru les sebentar, udah minta keluar. Heran. Di keluarga ini kok enggak ada yang senang musik. Cuma Kakek aja.”

“Kamu betah-betahin aja deh entar kalau udah sama si Kakek,” kata Kang Lutung dengan cuek.

“Tapi adanya di sini kibor. Dean kan biasa main piano. Enggak apa-apa?” ujar Kakek.

Dean pun cengar-cengir. “Enggak apa-apa.” Lalu lanjutnya dengan agak muram, “Lagian di rumah juga udah enggak bisa main piano.”

“Kenapa?” tanya Kakek dan Kang Lutung berbarengan.

“Pianonya udah enggak ada,” di ruang keluarga, lagi dikeram di kamar Bunda….

“Duh, kasihan. Ya udah ke sini aja kalau mau main mah, puas-puasin,” kata Kakek. Ia tampak benar-benar prihatin.

“Iya, Dean. Entar kalau kakeknya mulai enggak nguatin, kamu kabur aja bawa lagi kibornya ke ruang tengah,” tambah Kang Lutung.

“Iya, iya,” Dean mengangguk-angguk dengan penuh rasa syukur. “Makasih, Kek! Makasih, Kang!”

Tiba-tiba pintu paviliun Kakek terbuka. Tampak Zahra menatap mereka dengan raut tidak suka. Seketika itu juga Dean sadar bahwa Zahra telah menjelma Bunda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain