Minggu, 06 September 2015

#3 Akhir Semester Ganjil

Sejak uang jajannya didiskon, Dean tidak bisa main jauh-jauh ataupun ke tempat-tempat gaul yang mahal seperti biasanya. Jangankan buat beli minuman di kafe mal, buat beli cakue di kantin sekolah saja dia mesti hitung-hitung dulu. Paling-paling dia nongkrong bareng sebagian anakBastard yang hiburannya cenderung merakyat, bukan dengan yang doyan pamer motor atau mobil.

Kalau saja Baby tidak dipingit Bunda, Dean bisa menambah hiburannya. Tapi kamar Bunda dan Ayah selalu terkunci ketika keduanya sedang tidak berada di rumah. Ketika pintu kamar itu tidak sedang dikunci pun, Dean merasa segan mendekati pianonya. Bunda bisa saja tiba-tiba memergokinya, dan marah-marah lagi.

Dean pun mengubek-ubek kardus berisi barang-barangnya sewaktu SMP. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Dean mengeluarkan pianikanya—yang bernama Marimar, dan mencoba menyalurkan musiknya lewat benda itu.

Deraz pernah bercerita pada Dean bahwa di luar negeri ada musisi yang bisa membawakan komposisi-komposisi jaz dengan harmonika sepuluh lubang saja. Deraz punya CD-nya. Dean mendengarkan CD itu dan merasa musiknya asyik sekali. Dia ingin bisa bermain seperti itu juga dengan Marimar.

Awalnya bermain dengan Marimar tidak sememuaskan ketika dengan Baby, tapi setelah beberapa kali Dean terbiasa. Malah timbul semangat Dean untuk bisa memainkan Marimar dengan semaksimal mungkin. Meski kadang-kadang mulutnya pegal dan kering serta napasnya megap-megap akibat kelamaan meniup.

Sebisa mungkin Dean memainkan Marimar ketika Bunda tidak ada. Dengan begitu, Bunda tidak akan mengetahui keasyikannya yang baru, dan memingit Marimar juga. Tapi entah bagaimana suatu hari Marimar pun lenyap dari kamar Dean. Barangkali itu karena Dean lupa menaruhnya di tempat yang tersembunyi. Ketika melihat Marimar tergeletak di kasur Dean, Bunda pikir alat itu juga mengandung kesenangan yang berbahaya, dan mengeramnya bersama Baby. Dean baru sadar ketika melihat benda itu terselip di antara Baby dan tumpukan dus sepatu Bunda di kamar kedua orang tuanya.

Setidaknya Baby jadi punya teman.

Tapi kalau Bunda pikir itu bisa menyadarkan Dean, itu belum cukup.

Suatu hari Dean dan teman-teman gaulnya jalan ke BIP dan mampir ke Starbucks. Supaya bisa ikut teman-temannya jajan kopi, tentu saja sebelum itu Dean mesti mengumpulkan sisa uang jajannya selama berminggu-minggu. Itu juga dia pilih minuman yang paling murah yang bukan air putih atau jus jeruk. Tapi ketika mereka sudah duduk-duduk, bukannya mengobrol suka-suka seperti biasanya, teman-temannya itu malah membahas pelajaran.

“Kalian mah jauh-jauh ke sini cuma buat ngerjain PR,” keluh Dean.

Temannya, Anne, balas mengeluh, “Atuh, Yan. Ini PR-nya lima puluh soal, dikumpul besok. Kapan lagi bisa ngerjainnya? Mas, Mas, ngerti cara ngerjain soal ini enggak?” Ia menyorongkan PR-nya pada karyawan Starbucks yang lewat.

Dean beralih pada Rio, teman sekelasnya. Mereka tidak sekelas dengan Anne, “Lah, lu, ngapain buka buku Fisika juga. Emangnya kita ada PR?”

“Bantuin Anne, cing, ikut belajar. Lu tahu kan, nilai Fisika gua taik. Kalau sampai jeblok terus di Fisika, entar gua enggak bisa masuk IPA, lagi. Mana bisa gua ke ITB? Mampuslah gua. Orang tua gua ngarep banget gua ke situ.” Saking berharapnya orang tua Rio, sampai-sampai anaknya itu disekolahkan jauh-jauh ke Bandung supaya dekat dengan kampus idaman. Aslinya Rio orang Jakarta.

“Lagian bentar lagi UAS, nyet. Lu enggak persiapan juga?” tegur Ola. Dean berpaling pada temannya yang satu itu dan melihat buku Fisika juga—buku pelajaran sekalian buku tulis.

Dean mual, tapi sebisa mungkin berusaha supaya minuman yang telah masuk ke lambungnya tidak keluar lagi. Sayanglah, belinya pakai hasil jerih payah berminggu-minggu!

Bahkan, kelakuan teman-temannya yang tidak biasanya rajin itu pun tidak serta-merta membikin Dean sadar UAS. Dia seperti biasanya saja.

Ketika UAS berlangsung dan teman-temannya benar-benar berusaha belajar, entahkah yang di kelas, di luar kelas, di Bastard, atau malah di sekolah lain, mau-tak-mau dia ikut-ikutan dan menempelkan materi pelajaran sekenanya saja ke otak. Kadang dia malah mengganggu teman-temannya dengan mencetuskan topik obrolan yang menarik atau ide main ke mana.

Ketika teman-temannya tidak berhasil diganggu dan Dean bosan sendiri, dia akan mengambil galon atau bongo yang kadang tergeletak begitu saja di markas Bastard, dan menabuhnya bertalu-talu sambil memikirkan cara untuk menyelamatkan Baby dan Marimar.  

Demikian semester ganjil pertama Dean di Smanson berakhir.

.

Akhirnya Bunda keluar juga dari ruangan X-7. Kepalanya agak menunduk. Dean yang sedang mengobrol dengan teman-temannya di luar kelas pamit dan menyusul Bunda.

Begitu Dean mendekat, mendung di wajah Bunda bertambah-tambah padahal langit sedang amat cerah.

“Bun, tahu enggak, tadi teman-teman Dean ngiranya Bunda kakaknya Dean, lo,” kata Dean.

 Bukannya terhibur, Bunda malah mengeluarkan desahan yang kedengarannya lebih seperti geraman. “Lihat nih, rapor Dean….”

Bunda membuka map yang menyimpan rapor Dean dan rapor Deraz. Harusnya Bunda mengambil rapor Dean dulu sebelum rapor Deraz supaya rasanya bagaikan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian—nilai-nilai Deraz termasuk yang tertinggi di kelasnya. “Wali kelas Dean aja sampai heran. Hasil psikotes Dean bagus tapi nilai-nilainya kok kayak gitu.”

“Enggak usah disinggung-singgung terus atuh.” Itu persoalan yang selalu disinggung Bunda tiap kali mengambil rapor Dean sejak SD. Dean sendiri tidak mengerti apakah memang seharusnya ada hubungan antara hasil psikotes dan nilai rapor. Karena itulah, menurutnya, “Enggak penting.”

“Enggak penting gimana? Itu kan buat nentuin Dean entar masuk IPA atau IPS.”

“Sama aja.”

Desahan Bunda makin keras. Setelah diam agak lama, Bunda bertanya, “Bimbelnya mau gimana? Sama guru di sekolah? Privat?” Ia lalu mengabsen nama-nama lembaga bimbingan belajar.

Dean malah berujar, “Pianonya kapan dibalikin?”

“Jangan mikirin itu dulu. Kalau gini terus bisa-bisa Dean enggak naik kelas semester depan. Duh, pusing Bunda.”

“Dean juga pusing. Kalau enggak main, Dean jadi pusing.”

“Serius, Dean!”

“Pianikanya atuh?”

“Itu gampang. Yang penting bimbel dulu.”

“Ngapain bimbel? Belajar mah kan udah di sekolah.”

“Kalau di sekolah Dean kan enggak belajar.”

“Apalagi di bimbel.”

Bagaimana bisa belajar dengan nada-nada yang ribut dalam kepala, meminta dikeluarkan melalui jari-jarinya dan deretan tuts? Ada semacam tembok tebal yang membentengi batok kepala Dean. Para penjaga tembok itu akan memberi akses bagi musik untuk keluar masuk, tapi tidak mengizinkan materi-materi pelajaran supaya bisa mengisi rongga tersebut. Mereka bahkan berkomplot untuk menjegal dan menyepak jauh-jauh setiap materi pelajaran yang berhasil menyusup. Cuma Dean yang tahu bagaimana rasanya. Bunda tidak tahu.

“Jangan ngebantah terus, Dean. Ini kan demi kebaikan Dean juga. Dean enggak mikir, ke depannya mau gimana?” Bunda berbicara dengan suara pelan namun jelas sekali menahan emosi.

Dean semakin tidak bersemangat untuk menjajari Bunda. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menggangguk atau menyapa sambil tersenyum pada orang yang dikenal. Ketika berpapasan dengan Kang Lutung dan Kang Detol, Dean terhenti.

“Gimana rapornya, Yan?” tegur Kang Lutung

Rapor Dean didekap Bunda yang ikut berhenti tidak sampai dua meter jauhnya dari mereka. Mendengar teguran itu, Bunda mengalihkan muka.

“Gitu deh, Kang. Hehehe….”

“Dean, Bunda duluan, ya,” Bunda berucap sambil bertukar senyum dengan kedua kakak kelas Dean, lalu melanjutkan langkahnya menuju gedung olahraga dekat tempat parkir—tempat berlangsungnya pertunjukan Jammin’ on Jazz After UAS. Acara itu diadakan oleh anak-anak Komunitas Band Smanson alias Kombas divisi jaz untuk menghibur para orangtua dan murid yang bersuka atau berduka setelah pembagian rapor.

Di mata Dean, tadi Bunda terlihat lebih seperti meringis. Tapi Kang Lutung dan Kang Detol pun tampak begitu.

“Itu ibu kamu, Dean? Kirain kakaknya,” kata Kang Detol. Tangan Kang Lutung menusuk pinggangnya.

.

Mereka duduk-duduk di kantin sambil minum jus. Dean tertawa-tawa mengikuti perbincangan tidak terarah kedua kakak kelasnya tentang gurita pengaktivasi cakra yang bisa menusuk pusar delapan orang sekaligus. Dean jadi ingat pada sebuah manga “seru” yang pernah dia baca meski umurnya belum mencukupi.

“Eh, Yan,” kata Kang Detol tiba-tiba. “Nama lengkap kamu Ardian Hayra Aldifian?”

“Iya, Kang. Kok tahu sih?”

“Si Detol kan suka ngintipin absensi anak-anak kelas X. Cari yang potensial, katanya,” celetuk Kang Lutung.

Kang Detol cuek saja. “Ibu kamu kan pernah jadi narasumber di acara TV Cantik Alami itu, ya?”

“Iya, Kang.”

“Si Detol kan suka nonton acara itu. Bilangnya mah cuman nemenin ibu sama adiknya. Tapi tiap diajak pergi kalau Sabtu pagi suka enggak mau,” celetuk Kang Lutung lagi.

Ari kamu bukannya suka ikutan nonton?” balas Kang Detol.

Kang Lutung terkekeh-kekeh.

“Kirain umurnya masih tiga puluh tahun, Yan. Pas kemarin lihat profilnya di koran, eh, ternyata.... Anaknya udah segede kamu aja. Kirain masih pada kecil-kecil lucu gitu…” sambung Kang Detol.

“Kan saya juga lucu, Kang.”

“Kamu mah bukan lucu, tapi ucul,” ledek Kang Detol, yang ditanggapi Dean dengan mesem-mesem saja. Ia lalu melanjutkan, “Pas lihat nama anak-anaknya tuh ada Deraz-Deraznya gitu. Saya langsung keingetan sama saudara kamu. Jangan-jangan emang yang itu, Arderaz Haykal kan, ya? Terus Ardian Hayra itu teh kamu.” Dean mengangguk-angguk sambil mesem. “Ari bapak kamu dulunya atlet, ya.”

“Atlet?” tanya Kang Lutung lagi.

“Iya. Di situ juga ada keterangannya, bapaknya dulu atlet, sekarang ngelatih. Baca atuh! Saya asa pernah lihat da namanya di koran pas ada liputan SEA Games yang di Manila tea. Daffa Aldifian, kan?”

Dean mengangguk saja.

Lanjut Kang Detol, “Ibunya doktor bidang dermatologi, baru dapet penghargaan apa gitu.”

Kedua akang itu lalu kompak memandangi Dean dengan kagum.

Dean sendiri sudah melihat artikel di harian nasional edisi Minggu itu. Hampir seminggu lalu, pagi-pagi Zara mengedarkannya ke seluruh rumah dengan girang. Profil Bunda beserta segenap prestasinya terpampang satu halaman penuh. Cuma Dean agak kesal karena namanya tidak ditulis dengan benar. Bukan “Ardian Hayra”—tapi “Ardian Hayyra”!

Dean menunduk saja sambil menyeruput jusnya sampai habis. Kedua akang itu terus membicarakan kedua orang tuanya, sementara dia menyeret majalah yang tergeletak di atas meja dan melihat-lihat isinya.

“Ini majalahnya Akang?” Basa-basi Dean ampuh mengalihkan perhatian mereka.

“Iya. Ini majalah Lempers yang terbaru, Yan,” jawab Kang Detol. “Jangan lupa: Terbit satu semester sekali tiap pembagian rapor.”

“Sekarang mah rada tipisan, ya?” sambung Kang Lutung.

“Tapi warnanya lebih mantap, bal. Model-modelnya juga. Banyak cewek kelas X-nya sih, hihihi. Eh, ada Deraz juga lo, di sini.” Kang Detol menjulurkan tangannya lalu mencari-cari halaman yang ia maksud.

Kang Lutung melongok.

Dean mendekatkan kepalanya. Dia mengamati foto Deraz yang memakan hampir separuh halaman. Deraz kadang tidak fotogenik ketika sedang tidak ingin difoto. Lumayan, pikir Dean.

“Baru kelas X tapi udah diwawancara, ya, buat majalah semesteran,” kata Kang Lutung. Divisi majalah dinding yang tayang tiap sebulan sekali juga melakukan wawancara pada anak-anak populer. Tapi mereka yang sungguh-sungguh berprestasi dipajang dalam majalah semesteran.

“Dari SD prestasinya udah banyak sih. Apalagi pas SMP. Pas masuk udah diincar sama anak-anak ekskul. Aset, bal, aset! Buat Smanson kita,” ujar Kang Detol dengan nada berlebihan. “Di samping faktor X tea.”

Dean dan Kang Lutung memandang Kang Detol dengan penasaran.

“Lempers kan anggotanya kebanyakan cewek.”

Kang Lutung terbahak-bahak.

Dean mesem lagi sambil matanya memindai tulisan yang menyertai foto itu. Perhatiannya terantuk pada keterangan bahwa Deraz tidak berpacaran walau tidak bergabung dengan rohis.

Status pacaran selalu ada dalam profil anak-anak populer yang dimuat di majalah sekolah—baik majalah dinding maupun majalah sungguhan. Status itu meliputi apakah anak itu sedang berpacaran atau tidak serta pengalaman ditembak dan/atau ditolak. Cewek-cewek beken pernah ditembak rata-rata tiga kali, sedangkan cowok-cowok beken pernah ditolak rata-rata satu kali sampai tidak pernah. Dean tahu keterangan yang lebih lengkap untuk Deraz adalah: sama sekali belum pernah menembak dan dengan begitu belum pernah ditolak. Sepertinya. Dean tidak ingat kalau-kalau Deraz pernah bertingkah lain dari biasanya, yang menunjukkan tanda-tanda bahwa anak itu sedang suka pada seseorang. Dean juga tidak tahu sekiranya Deraz pernah ditembak, oleh siapa dan berapa kali.

Dean membaca artikel tentang Deraz sekali lagi dengan saksama. Di bawah artikel, tercantum dalam huruf tebal dan tanda kurung beberapa nama anggota Lempers yang melakukan wawancara. Mata Dean berhenti pada satu nama.

Dean masih ingat suatu sore ketika dia bertemu Pak Sam di depan sekolah. Saat itu Pak Sam sedang di mobil menunggui Rieka menyelesaikan urusannya. Pak Sam bilang Rieka sedang mewawancarai Deraz untuk majalah sekolah. Tidak lama kemudian, cewek itu muncul dengan tampang suram dan menyuruh Pak Sam untuk segera mengantarnya pulang. Dia ingat juga pada Baby yang dikurung dalam kamar Bunda dan Ayah. Marimar. Mereka memanggil-manggilnya. Hatinya serasa dicengkeram. Otaknya didesak oleh nada-nada yang memerihkan.

Bagaimana rasanya menyukai seseorang yang menyatakan dirinya tidak berpacaran? Apakah sama sakitnya dengan menyukai seseorang yang selalu sedang berpacaran dengan orang lain?

Dean menutup majalah itu dan menyodorkannya pada Kang Detol, “Makasih, Kang,” lalu menengok arloji, “Ke Jamming Jazz yuk, Kang.”

“Duluan aja,Yan.” Keduanya masih ingin mengobrol di kantin.

.

Dean memasuki gedung olahraga tepat ketika Deraz sedang tampil memainkan bas. Grup Deraz yang merupakan campuran anak kelas XI dan kelas X itu membawakan lagu berirama bossa nova. Baris-baris kursi di depan panggung telah habis diduduki. Yang tidak kebagian kursi berkerumun di sekitar area tersebut dengan perhatian terarah ke panggung.

Mata Dean menerobos celah di antara orang-orang untuk mencari Rieka. Dia sempat menangkap sesosok putih, cakep, dan gagah tapi tidak lebih jangkung daripada dirinya. Itu Kang Haqi, anak kelas XI sekaligus pentolan Samson atau Siskamson—ekskulnya hansip Smanson. Kang Haqi sering kali terlihat berdua ke mana-mana dengan Rieka. Sesekali cowok itu menggandeng tangan Rieka. Sesekali Rieka membonceng Kang Haqi naik Honda CBR. Kadang Dean tidak tahu mesti iri pada Kang Haqi karena bisa memegang Rieka atau karena punya Honda CBR. Yang pasti, dari situ Dean tahu bahwa ada suatu hubungan di antara keduanya yang lebih dari sekadar teman tapi mesra.

Memang menyenangkan bisa satu sekolah lagi dengan cewek yang disuka. Tapi sama sekali bukan pemandangan yang menenteramkan melihat cewek itu berdekatan dengan cowok lain. Apalagi ketika si “cowok lain” itu menjadi teman sebangkunya pada UAS kemarin.

Rieka masih belum terlihat. Dean mulai heran sekiranya Rieka memang tidak hadir.

Padahal Deraz sedang tampil di panggung.

Setelah celingukan lebih lama sambil menyelinap ke sana kemari, Dean melihat Rieka. Rupanya cewek itu termasuk penonton yang berdiri. Seakan tahu bahwa mata Dean telah berhasil menangkapnya, Rieka maju hingga sosoknya terhalang oleh orang lain.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain