Sejak uang jajannya
didiskon, Dean tidak bisa main jauh-jauh ataupun ke tempat-tempat gaul yang
mahal seperti biasanya. Jangankan buat beli minuman di kafe mal, buat beli
cakue di kantin sekolah saja dia mesti hitung-hitung dulu. Paling-paling dia
nongkrong bareng sebagian anakBastard yang hiburannya cenderung merakyat, bukan
dengan yang doyan pamer motor atau mobil.
Kalau saja Baby tidak
dipingit Bunda, Dean bisa menambah hiburannya. Tapi kamar Bunda dan Ayah selalu
terkunci ketika keduanya sedang tidak berada di rumah. Ketika pintu kamar itu
tidak sedang dikunci pun, Dean merasa segan mendekati pianonya. Bunda bisa saja
tiba-tiba memergokinya, dan marah-marah lagi.
Dean pun mengubek-ubek
kardus berisi barang-barangnya sewaktu SMP. Tidak ada rotan, akar pun jadi.
Dean mengeluarkan pianikanya—yang bernama Marimar, dan mencoba menyalurkan
musiknya lewat benda itu.
Deraz pernah bercerita
pada Dean bahwa di luar negeri ada musisi yang bisa membawakan
komposisi-komposisi jaz dengan harmonika sepuluh lubang saja. Deraz punya
CD-nya. Dean mendengarkan CD itu dan merasa musiknya asyik sekali. Dia ingin
bisa bermain seperti itu juga dengan Marimar.
Awalnya bermain dengan
Marimar tidak sememuaskan ketika dengan Baby, tapi setelah beberapa kali Dean
terbiasa. Malah timbul semangat Dean untuk bisa memainkan Marimar dengan semaksimal
mungkin. Meski kadang-kadang mulutnya pegal dan kering serta napasnya
megap-megap akibat kelamaan meniup.
Sebisa mungkin Dean
memainkan Marimar ketika Bunda tidak ada. Dengan begitu, Bunda tidak akan
mengetahui keasyikannya yang baru, dan memingit Marimar juga. Tapi entah
bagaimana suatu hari Marimar pun lenyap dari kamar Dean. Barangkali itu karena
Dean lupa menaruhnya di tempat yang tersembunyi. Ketika melihat Marimar
tergeletak di kasur Dean, Bunda pikir alat itu juga mengandung kesenangan yang
berbahaya, dan mengeramnya bersama Baby. Dean baru sadar ketika melihat benda
itu terselip di antara Baby dan tumpukan dus sepatu Bunda di kamar kedua orang
tuanya.
Setidaknya Baby jadi
punya teman.
Tapi kalau Bunda pikir
itu bisa menyadarkan Dean, itu belum cukup.
Suatu hari Dean dan
teman-teman gaulnya jalan ke BIP dan mampir ke Starbucks. Supaya bisa ikut
teman-temannya jajan kopi, tentu saja sebelum itu Dean mesti mengumpulkan sisa
uang jajannya selama berminggu-minggu. Itu juga dia pilih minuman yang paling
murah yang bukan air putih atau jus jeruk. Tapi ketika mereka sudah
duduk-duduk, bukannya mengobrol suka-suka seperti biasanya, teman-temannya itu
malah membahas pelajaran.
“Kalian mah jauh-jauh
ke sini cuma buat ngerjain PR,” keluh Dean.
Temannya, Anne, balas
mengeluh, “Atuh, Yan. Ini PR-nya lima
puluh soal, dikumpul besok. Kapan lagi bisa ngerjainnya? Mas, Mas, ngerti cara
ngerjain soal ini enggak?” Ia menyorongkan PR-nya pada karyawan Starbucks yang
lewat.
Dean beralih pada Rio,
teman sekelasnya. Mereka tidak sekelas dengan Anne, “Lah, lu, ngapain buka buku
Fisika juga. Emangnya kita ada PR?”
“Bantuin Anne, cing,
ikut belajar. Lu tahu kan, nilai Fisika gua taik. Kalau sampai jeblok terus di
Fisika, entar gua enggak bisa masuk IPA, lagi. Mana bisa gua ke ITB? Mampuslah
gua. Orang tua gua ngarep banget gua ke situ.” Saking berharapnya orang tua
Rio, sampai-sampai anaknya itu disekolahkan jauh-jauh ke Bandung supaya dekat
dengan kampus idaman. Aslinya Rio orang Jakarta.
“Lagian bentar lagi
UAS, nyet. Lu enggak persiapan juga?” tegur Ola. Dean berpaling pada temannya
yang satu itu dan melihat buku Fisika juga—buku pelajaran sekalian buku tulis.
Dean mual, tapi sebisa
mungkin berusaha supaya minuman yang telah masuk ke lambungnya tidak keluar
lagi. Sayanglah, belinya pakai hasil jerih payah berminggu-minggu!
Bahkan, kelakuan
teman-temannya yang tidak biasanya rajin itu pun tidak serta-merta membikin
Dean sadar UAS. Dia seperti biasanya saja.
Ketika UAS berlangsung dan
teman-temannya benar-benar berusaha belajar, entahkah yang di kelas, di luar
kelas, di Bastard, atau malah di sekolah lain, mau-tak-mau dia ikut-ikutan dan
menempelkan materi pelajaran sekenanya saja ke otak. Kadang dia malah
mengganggu teman-temannya dengan mencetuskan topik obrolan yang menarik atau
ide main ke mana.
Ketika teman-temannya
tidak berhasil diganggu dan Dean bosan sendiri, dia akan mengambil galon atau
bongo yang kadang tergeletak begitu saja di markas Bastard, dan menabuhnya
bertalu-talu sambil memikirkan cara untuk menyelamatkan Baby dan Marimar.
Demikian semester
ganjil pertama Dean di Smanson berakhir.
.
Akhirnya Bunda keluar
juga dari ruangan X-7. Kepalanya agak menunduk. Dean yang sedang mengobrol
dengan teman-temannya di luar kelas pamit dan menyusul Bunda.
Begitu Dean mendekat,
mendung di wajah Bunda bertambah-tambah padahal langit sedang amat cerah.
“Bun, tahu enggak, tadi
teman-teman Dean ngiranya Bunda kakaknya Dean, lo,” kata Dean.
Bukannya terhibur, Bunda malah mengeluarkan
desahan yang kedengarannya lebih seperti geraman. “Lihat nih, rapor Dean….”
Bunda membuka map yang
menyimpan rapor Dean dan rapor Deraz. Harusnya Bunda mengambil rapor Dean dulu
sebelum rapor Deraz supaya rasanya bagaikan berakit-rakit ke hulu berenang-renang
ke tepian—nilai-nilai Deraz termasuk yang tertinggi di kelasnya. “Wali kelas
Dean aja sampai heran. Hasil psikotes Dean bagus tapi nilai-nilainya kok kayak
gitu.”
“Enggak usah
disinggung-singgung terus atuh.” Itu
persoalan yang selalu disinggung Bunda tiap kali mengambil rapor Dean sejak SD.
Dean sendiri tidak mengerti apakah memang seharusnya ada hubungan antara hasil
psikotes dan nilai rapor. Karena itulah, menurutnya, “Enggak penting.”
“Enggak penting gimana?
Itu kan buat nentuin Dean entar masuk IPA atau IPS.”
“Sama aja.”
Desahan Bunda makin
keras. Setelah diam agak lama, Bunda bertanya, “Bimbelnya mau gimana? Sama guru
di sekolah? Privat?” Ia lalu mengabsen nama-nama lembaga bimbingan belajar.
Dean malah berujar,
“Pianonya kapan dibalikin?”
“Jangan mikirin itu
dulu. Kalau gini terus bisa-bisa Dean enggak naik kelas semester depan. Duh,
pusing Bunda.”
“Dean juga pusing.
Kalau enggak main, Dean jadi pusing.”
“Serius, Dean!”
“Pianikanya atuh?”
“Itu gampang. Yang
penting bimbel dulu.”
“Ngapain bimbel?
Belajar mah kan udah di sekolah.”
“Kalau di sekolah Dean
kan enggak belajar.”
“Apalagi di bimbel.”
Bagaimana bisa belajar
dengan nada-nada yang ribut dalam kepala, meminta dikeluarkan melalui
jari-jarinya dan deretan tuts? Ada semacam tembok tebal yang membentengi batok
kepala Dean. Para penjaga tembok itu akan memberi akses bagi musik untuk keluar
masuk, tapi tidak mengizinkan materi-materi pelajaran supaya bisa mengisi
rongga tersebut. Mereka bahkan berkomplot untuk menjegal dan menyepak jauh-jauh
setiap materi pelajaran yang berhasil menyusup. Cuma Dean yang tahu bagaimana
rasanya. Bunda tidak tahu.
“Jangan ngebantah terus, Dean. Ini kan demi
kebaikan Dean juga. Dean enggak mikir, ke depannya mau gimana?” Bunda berbicara
dengan suara pelan namun jelas sekali menahan emosi.
Dean semakin tidak
bersemangat untuk menjajari Bunda. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar dan
menggangguk atau menyapa sambil tersenyum pada orang yang dikenal. Ketika
berpapasan dengan Kang Lutung dan Kang Detol, Dean terhenti.
“Gimana rapornya, Yan?”
tegur Kang Lutung
Rapor Dean didekap
Bunda yang ikut berhenti tidak sampai dua meter jauhnya dari mereka. Mendengar
teguran itu, Bunda mengalihkan muka.
“Gitu deh, Kang.
Hehehe….”
“Dean, Bunda duluan,
ya,” Bunda berucap sambil bertukar senyum dengan kedua kakak kelas Dean, lalu
melanjutkan langkahnya menuju gedung olahraga dekat tempat parkir—tempat
berlangsungnya pertunjukan Jammin’ on
Jazz After UAS. Acara itu diadakan oleh anak-anak Komunitas Band Smanson
alias Kombas divisi jaz untuk menghibur para orangtua dan murid yang bersuka
atau berduka setelah pembagian rapor.
Di mata Dean, tadi
Bunda terlihat lebih seperti meringis. Tapi Kang Lutung dan Kang Detol pun
tampak begitu.
“Itu ibu kamu, Dean?
Kirain kakaknya,” kata Kang Detol. Tangan Kang Lutung menusuk pinggangnya.
.
Mereka duduk-duduk di
kantin sambil minum jus. Dean tertawa-tawa mengikuti perbincangan tidak terarah
kedua kakak kelasnya tentang gurita pengaktivasi cakra yang bisa menusuk pusar
delapan orang sekaligus. Dean jadi ingat pada sebuah manga “seru” yang pernah dia baca meski umurnya belum mencukupi.
“Eh, Yan,” kata Kang
Detol tiba-tiba. “Nama lengkap kamu Ardian Hayra Aldifian?”
“Iya, Kang. Kok tahu
sih?”
“Si Detol kan suka
ngintipin absensi anak-anak kelas X. Cari yang potensial, katanya,” celetuk
Kang Lutung.
Kang Detol cuek saja.
“Ibu kamu kan pernah jadi narasumber di acara TV Cantik Alami itu, ya?”
“Iya, Kang.”
“Si Detol kan suka
nonton acara itu. Bilangnya mah cuman nemenin ibu sama adiknya. Tapi tiap
diajak pergi kalau Sabtu pagi suka enggak mau,” celetuk Kang Lutung lagi.
“Ari kamu bukannya suka ikutan nonton?” balas Kang Detol.
Kang Lutung
terkekeh-kekeh.
“Kirain umurnya masih
tiga puluh tahun, Yan. Pas kemarin lihat profilnya di koran, eh, ternyata....
Anaknya udah segede kamu aja. Kirain masih pada kecil-kecil lucu gitu…” sambung
Kang Detol.
“Kan saya juga lucu,
Kang.”
“Kamu mah bukan lucu,
tapi ucul,” ledek Kang Detol, yang ditanggapi Dean dengan mesem-mesem saja. Ia
lalu melanjutkan, “Pas lihat nama anak-anaknya tuh ada Deraz-Deraznya gitu.
Saya langsung keingetan sama saudara kamu. Jangan-jangan emang yang itu,
Arderaz Haykal kan, ya? Terus Ardian Hayra itu teh kamu.” Dean mengangguk-angguk sambil mesem. “Ari bapak kamu dulunya atlet, ya.”
“Atlet?” tanya Kang
Lutung lagi.
“Iya. Di situ juga ada
keterangannya, bapaknya dulu atlet, sekarang ngelatih. Baca atuh! Saya asa pernah lihat da
namanya di koran pas ada liputan SEA Games yang di Manila tea. Daffa Aldifian, kan?”
Dean mengangguk saja.
Lanjut Kang Detol,
“Ibunya doktor bidang dermatologi, baru dapet penghargaan apa gitu.”
Kedua akang itu lalu
kompak memandangi Dean dengan kagum.
Dean sendiri sudah
melihat artikel di harian nasional edisi Minggu itu. Hampir seminggu lalu,
pagi-pagi Zara mengedarkannya ke seluruh rumah dengan girang. Profil Bunda
beserta segenap prestasinya terpampang satu halaman penuh. Cuma Dean agak kesal
karena namanya tidak ditulis dengan benar. Bukan “Ardian Hayra”—tapi “Ardian Hayyra”!
Dean menunduk saja
sambil menyeruput jusnya sampai habis. Kedua akang itu terus membicarakan kedua
orang tuanya, sementara dia menyeret majalah yang tergeletak di atas meja dan
melihat-lihat isinya.
“Ini majalahnya Akang?”
Basa-basi Dean ampuh mengalihkan perhatian mereka.
“Iya. Ini majalah
Lempers yang terbaru, Yan,” jawab Kang Detol. “Jangan lupa: Terbit satu
semester sekali tiap pembagian rapor.”
“Sekarang mah rada
tipisan, ya?” sambung Kang Lutung.
“Tapi warnanya lebih
mantap, bal. Model-modelnya juga. Banyak cewek kelas X-nya sih, hihihi. Eh, ada
Deraz juga lo, di sini.” Kang Detol menjulurkan tangannya lalu mencari-cari
halaman yang ia maksud.
Kang Lutung melongok.
Dean mendekatkan
kepalanya. Dia mengamati foto Deraz yang memakan hampir separuh halaman. Deraz
kadang tidak fotogenik ketika sedang tidak ingin difoto. Lumayan, pikir Dean.
“Baru kelas X tapi udah
diwawancara, ya, buat majalah semesteran,” kata Kang Lutung. Divisi majalah
dinding yang tayang tiap sebulan sekali juga melakukan wawancara pada anak-anak
populer. Tapi mereka yang sungguh-sungguh berprestasi dipajang dalam majalah
semesteran.
“Dari SD prestasinya
udah banyak sih. Apalagi pas SMP. Pas masuk udah diincar sama anak-anak ekskul.
Aset, bal, aset! Buat Smanson kita,” ujar Kang Detol dengan nada berlebihan.
“Di samping faktor X tea.”
Dean dan Kang Lutung
memandang Kang Detol dengan penasaran.
“Lempers kan anggotanya
kebanyakan cewek.”
Kang Lutung
terbahak-bahak.
Dean mesem lagi sambil
matanya memindai tulisan yang menyertai foto itu. Perhatiannya terantuk pada
keterangan bahwa Deraz tidak berpacaran walau tidak bergabung dengan rohis.
Status pacaran selalu
ada dalam profil anak-anak populer yang dimuat di majalah sekolah—baik majalah
dinding maupun majalah sungguhan. Status itu meliputi apakah anak itu sedang
berpacaran atau tidak serta pengalaman ditembak dan/atau ditolak. Cewek-cewek
beken pernah ditembak rata-rata tiga kali, sedangkan cowok-cowok beken pernah
ditolak rata-rata satu kali sampai tidak pernah. Dean tahu keterangan yang
lebih lengkap untuk Deraz adalah: sama sekali belum pernah menembak dan dengan
begitu belum pernah ditolak. Sepertinya. Dean tidak ingat kalau-kalau Deraz
pernah bertingkah lain dari biasanya, yang menunjukkan tanda-tanda bahwa anak
itu sedang suka pada seseorang. Dean juga tidak tahu sekiranya Deraz pernah
ditembak, oleh siapa dan berapa kali.
Dean membaca artikel
tentang Deraz sekali lagi dengan saksama. Di bawah artikel, tercantum dalam
huruf tebal dan tanda kurung beberapa nama anggota Lempers yang melakukan
wawancara. Mata Dean berhenti pada satu nama.
Dean masih ingat suatu
sore ketika dia bertemu Pak Sam di depan sekolah. Saat itu Pak Sam sedang di
mobil menunggui Rieka menyelesaikan urusannya. Pak Sam bilang Rieka sedang
mewawancarai Deraz untuk majalah sekolah. Tidak lama kemudian, cewek itu muncul
dengan tampang suram dan menyuruh Pak Sam untuk segera mengantarnya pulang. Dia
ingat juga pada Baby yang dikurung dalam kamar Bunda dan Ayah. Marimar. Mereka
memanggil-manggilnya. Hatinya serasa dicengkeram. Otaknya didesak oleh
nada-nada yang memerihkan.
Bagaimana rasanya
menyukai seseorang yang menyatakan dirinya tidak berpacaran? Apakah sama
sakitnya dengan menyukai seseorang yang selalu sedang berpacaran dengan orang
lain?
Dean menutup majalah
itu dan menyodorkannya pada Kang Detol, “Makasih, Kang,” lalu menengok arloji,
“Ke Jamming Jazz yuk, Kang.”
“Duluan aja,Yan.”
Keduanya masih ingin mengobrol di kantin.
.
Dean memasuki gedung
olahraga tepat ketika Deraz sedang tampil memainkan bas. Grup Deraz yang
merupakan campuran anak kelas XI dan kelas X itu membawakan lagu berirama bossa nova. Baris-baris kursi di depan
panggung telah habis diduduki. Yang tidak kebagian kursi berkerumun di sekitar
area tersebut dengan perhatian terarah ke panggung.
Mata Dean menerobos
celah di antara orang-orang untuk mencari Rieka. Dia sempat menangkap sesosok
putih, cakep, dan gagah tapi tidak lebih jangkung daripada dirinya. Itu Kang
Haqi, anak kelas XI sekaligus pentolan Samson atau Siskamson—ekskulnya hansip
Smanson. Kang Haqi sering kali terlihat berdua ke mana-mana dengan Rieka.
Sesekali cowok itu menggandeng tangan Rieka. Sesekali Rieka membonceng Kang
Haqi naik Honda CBR. Kadang Dean tidak tahu mesti iri pada Kang Haqi karena
bisa memegang Rieka atau karena punya Honda CBR. Yang pasti, dari situ Dean
tahu bahwa ada suatu hubungan di antara keduanya yang lebih dari sekadar teman
tapi mesra.
Memang menyenangkan
bisa satu sekolah lagi dengan cewek yang disuka. Tapi sama sekali bukan
pemandangan yang menenteramkan melihat cewek itu berdekatan dengan cowok lain.
Apalagi ketika si “cowok lain” itu menjadi teman sebangkunya pada UAS kemarin.
Rieka masih belum
terlihat. Dean mulai heran sekiranya Rieka memang tidak hadir.
Padahal Deraz sedang
tampil di panggung.
Setelah celingukan
lebih lama sambil menyelinap ke sana kemari, Dean melihat Rieka. Rupanya cewek
itu termasuk penonton yang berdiri. Seakan tahu bahwa mata Dean telah berhasil
menangkapnya, Rieka maju hingga sosoknya terhalang oleh orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar