Jumat, 06 November 2015

#7 UTS Genap (Sebelum)

Dean bukannya tidak ingat pada Baby dan Marimar. Kadang, ketika pintu kamar kedua orangtuanya terbuka, dia melihat ke dalam, ke arah kedua alat musiknya itu. Muncul rasa bersalah dalam dirinya, terutama pada Baby, karena telah menduakan piano itu dengan alat lain yang serupa tapi tak sama: kibor. Kibor yang penampilannya lebih sophisticated, bisa menghasilkan lebih banyak bebunyian sampai-sampai Dean keranjingan bereksperimen. Kibor yang menjadi partner Dean ketika dia ingin menciptakan lagu untuk Rieka, padahal sebelumnya Babylah yang selalu menjadi tempat curhatnya soal cewek itu. Dean bahkan sudah tidak pernah bingung lagi soal pedal. Padahal sewaktu awal-awal bermain kibor, Dean kadang mengentak-entakkan kakinya untuk memainkan bunyi, lalu sadar bahwa alat itu tidak ada pedalnya—lain dengan piano.

Rasa bersalah itu menjadi-jadi ketika timbul keinginan yang sangat kuat dalam diri Dean untuk memberi nama pada kibor di paviliun Kakek. Dengan memberi nama berarti telah terjalin rasa keterikatan antara dirinya dan kibor itu, semakin mengukuhkan pengkhianatannya pada Baby….

Dean juga bukannya tidak ingat untuk memperbaiki nilai-nilainya. Bukan cuma demi Baby dan Marimar, tapi juga ketenteraman jiwa Bunda. Memang belakangan ini Bunda jadi jarang menegur Dean soal pelajarannya di sekolah. Pekerjaan Bunda sedang banyak-banyaknya, dan ia sangat sibuk. Tapi, suatu saat, ketika sudah tidak sibuk, Bunda pasti akan bertanya-tanya lagi pada Dean. Maka, ketika ulangan, mau tidak mau Dean mempraktikkan keterampilan yang tidak begitu sering dia gunakan—meski tampaknya dia cukup berbakat karena tidak pernah ketahuan. Keterampilan itu dalam dunia biologi disebut: Mata Rajawali dan Sarang Semut.

Sebetulnya mata Dean lebih mirip mata tarsius ketimbang mata rajawali. Teman-temannya sering meledek bahwa matanya itu terlalu besar untuk wajahnya yang tirus, hidungnya yang mungil, dan bibirnya yang tipis. Meski begitu, ketika ulangan, tampaknya mata itu sanggup menjangkau pandangan yang lebih luas ketimbang mata biasa. Setelah itu, barulah “mata rajawali”-nya bekerja, yaitu dengan memindai dan membidik jawaban yang dicari-cari.

Adapun sarang semut terdiri dari ruang-ruang tersembunyi yang saling berhubungan, membentuk jaringan yang rumit. Barangkali cuma semut-semut itu yang tahu caranya masuk ke ruang yang satu dan keluar lewat ruang yang lain tanpa kesasar ke sarang musuh. Ruang-ruang itu diibaratkan sebagai anak-anak yang sedang mengerjakan ulangan, sedangkan semut-semutnya berupa jawaban yang bergerak dari satu “ruang” ke “ruang” lainnya. Lagi pula bukankah semut itu teladan dalam bergotong-royong?

Dean mulai mengembangkan keterampilannya itu ketika SMP, belajar dari teman-teman sekelasnya. Apalagi untuk membangun “sarang semut” dibutuhkan kekompakan banyak anak—mana mungkin Dean ketinggalan? Cara-cara lama, yang pernah dia gunakan sewaktu SD pun terlupakan.

Sewaktu Dean SD, sempat ada tren mengunyah permen karet ketika sedang belajar di kelas. Katanya, kalau kita mengemut permen karet yang sama ketika mengerjakan ulangan, kita akan lebih gampang mengingat pelajaran. Kepercayaan lainnya yaitu kalau kita membuat bangau dari kertas hasil ulangan dan mengumpulkannya sampai seribu biji, maka permintaan kita akan terkabul. Apalagi kalau yang diminta adalah hasil ulangan yang lebih bagus lagi. Tapi tidak ada satu pun dari cara-cara itu yang berhasil. Mereka malah dimarahi guru. Guru yang satu bilang tidak boleh makan di kelas kecuali pada jam istirahat dan pulang sekolah. Guru yang lain bilang meminta itu hanya kepada Allah, sedangkan kepada yang lain-lainnya—apalagi burung-burungan kertas—itu dosa besar.

Bagaimanapun juga, di samping Mata Rajawali dan Sarang Semut, sebetulnya ada teknik-teknik lainnya. Misalnya saja: Otak Gajah, artinya menyalin sari-sari pelajaran di kertas kecil, menyelipkannya di tempat yang strategis, dan membukanya ketika dibutuhkan pada waktu ulangan; Tato Pohon, artinya juga menyalin sari-sari pelajaran tapi di meja dan risiko ketahuannya lebih kecil; dan masih banyak lagi.

Tapi, Dean sadar akan keterbatasannya dalam jurus-jurus lainnya itu. Pertama, mencatat PR saja dia malas, apalagi sengaja membaca buku pelajaran demi menulis ulang sari-sarinya di tempat lain. Mending baca Bobo daripada buka buku pelajaran, begitu pikir Dean, yang sering kali dia buktikan dengan mendatangi kios koran dan majalah terdekat pada Kamis sepulang sekolah. Kedua, pernah, ketika sedang menghadapi ulangan Matematika yang sangat sulit, dia menemukan coret-coretan di mejanya. Coret-coretan itu ternyata berupa rumus yang sesuai dengan materi ulangannya. Tapi, setelah dicoba, ternyata dia tidak tahu cara menggunakannya.

Kalau saja Dean mau menggunakan keterampilannya itu lebih dini dan lebih sering—dan kalau perlu, mempelajari cara-cara yang lain juga—maka hasil ulangannya yang kemarin-kemarin itu tidak akan sebegitu memprihatinkan. Tapi, tampaknya, keterampilannya itu memang baru keluar ketika keadaan sudah mendesak. Pada ujian kenaikan kelas atau ujian kelulusan, misalnya, khususnya pada waktu dia sadar untuk setop berleha-leha dan mulai membuat perubahan.

.

Menjelang UTS, kelas Dean melakukan rapat. Tapi rapat ini rapat khusus. Tidak semua anak mengikutnya. Ada yang tidak mau ikut sejak awal, seperti Zahra. Ada juga yang setelah tahu apa yang dibicarakan lantas mengundurkan diri. Bahkan, Salman sempat misuh. Meski ia sudah menjauh, disusul Acil, suaranya masih terdengar, “Kalau gitu sih mending aku pakai joki sekalian pas SPMB. Enggak keren dong masuk ITB enggak pakai usaha sendiri….” Tapi anak-anak di kelas tidak acuh dan terus saja melanjutkan rapat.

Dalam rapat itu, mereka membahas siapa saja yang akan menjadi kaisar semut, semut penjaga, dan selebihnya adalah semut pekerja. Kaisar semut adalah anak-anak yang dianggap menguasai pelajaran tertentu. Mereka bertugas menyediakan jawaban untuk soal pelajaran yang diujiankan. Semut penjaga adalah anak-anak yang duduk di sekitar kaisar semut. Mereka bertugas menerima jawaban dari kaisar semut dan menyalurkannya ke semut pekerja. Semut pekerja adalah anak-anak lain yang bergabung dengan jaringan tersebut dan membutuhkan jawaban. Mereka bertugas mengoper jawaban ke satu sama lain. Peta persebarannya cuma mereka yang tahu. Yang jelas, sebisa mungkin itu tidak melibatkan anak-anak di luar jaringan mereka.

Selain itu, yang lebih penting lagi adalah penguasaan diri. Sebab di mana pun lipatan atau gumpalan kertas berisi jawaban itu berada, anak yang sedang memegangnya harus menjaganya supaya tidak ketahuan. Ia harus bersikap sewajar mungkin seakan dirinya bukan satu dari sekian semut dalam jaringan.

Sebetulnya, banyak di antara anak-anak yang tidak mau ikut rapat itu yang potensial sekali sebagai kaisar. Tapi kepelitan mereka dalam memberi jawaban lebih-lebih lagi. Demi menjaga hubungan baik, tidak usahlah menyinggung mereka lama-lama.

“Tapi ada yang bilang tempat duduknya bakal dicampur lagi pas UTS besok,” kata Icang, salah satu peserta rapat.

Itu berarti selama UTS mereka bakal sebangku dengan anak kelas lain, yang biasanya kakak kelas. Karena kapasitas kelas yang terbatas, maka itu juga berarti kelas mereka akan dipecah. Anak dari nomor urut satu sampai dua puluh sekian akan ditempatkan di satu kelas, dan anak dari nomor urut selebihnya di kelas sebelahnya. Itu akan semakin menyulitkan persebaran jawaban. Tapi biasanya kakak kelas juga menerapkan sistem jaringan yang serupa. Untuk itu diperlukan kerja sama yang kompak antar kelas. Itulah yang mau Icang bicarakan.

“Entar sore anak-anak pada mau ngumpul. Kita bisa atur strategi sama mereka.”

Diputuskan bahwa kelas X-7 akan mengirim perwakilan ke pertemuan itu. Ada Icang selaku pengagas dan penghubung kelas, ada Rio yang penanggung jawab jaringan, dan Dean.

Dean ikut saja karena yang menginisasi pertemuan itu rata-rata anak Bastard. Dia sudah lama tidak bersilaturahmi ke tongkrongan mereka, akibat kesibukannya nge-jam sama Kakek, dan akhir-akhir ini, mengarang lagu untuk Rieka. Kesibukan yang entah kapan akan berakhir karena Dean tidak tahu Rieka sebenarnya suka lagu yang bagaimana. Memang Dean belum sempat mencari tahu. Melihat sosok Rieka dari jauh saja sudah bikin dia lupa segalanya.

.

Pertemuan itu diadakan di kelas paling terpencil di bangunan paling terpencil di komplek sekolah. Bahkan dulu ada rumor bahwa itu adalah kelas yang terkutuk. Banyak anak yang jatuh sakit setelah beberapa lama mendiami kelas itu. Tapi sejak rumput liar di lokasi itu rutin dibersihkan dan disemprot dengan asap pengusir nyamuk demam berdarah, rumor itu reda dengan sendirinya.

Ketika Dean dan anak-anak perwakilan kelasnya sampai, pintu kelas itu dijaga dua anak kelas XI bermuka Bastard. Keduanya membukakan pintu untuk mereka dan tampaklah bahwa ruangan itu sudah ramai. Saking ramainya, sampai-sampai ada yang berdiri dan ada yang duduk di meja atau lantai karena tidak kebagian kursi. Semuanya anak kelas XI dan X. Sebagian muka sudah diakrabi Dean di pelataran Tenis Net sebagai muka-muka Bastard. Sebagian lagi mungkin sekadar perwakilan dari kelas masing-masing. Banyak juga di antaranya yang cewek. Dean dan teman-teman sekelasnya pun mencari ruang yang agak leluasa untuk mereka tempati.

Ada yang mengetok-ngetok papan tulis dengan keras. Anak-anak yang tadinya asyik mengobrol dengan satu sama lain mengarahkan perhatian mereka pada sumber suara. Seorang kakak kelas cewek menulis nama-nama kelas berpasang-pasangan di papan tulis, sementara Kang Abuy—yang tadi mengetok-ngetok—membuka pertemuan.

“Kita udah dapet informasi dari Tata Usaha. Pembagian kelas buat UTS besok kira-kira gini,” katanya sambil mengarahkan tangan ke papan tulis. “Boleh dicek kalau besok absennya udah ditempel. Sementara kita pegang dulu yang ini. Selebihnya, tinggal konsolidasi antar anak-anak kelas aja.”

Sementara Kang Abuy menjawab pertanyaan yang mulai bermunculan dari para peserta pertemuan, perhatian Dean teralih pada Kang Haqi. Dean menangkap obrolan orang itu dengan temannya.

“Kamu udah lama enggak ke Tenis Net.”

“Iya nih. Si Rika enggak suka kalau saya nangkring-nangkring di situ. Enggak tahu kenapa.”

“Jangan bilang-bilang atuh.”

“Tetep aja keliatan mah. Sopirnya kan suka parkir deket-deket situ.”

Pertemuan itu lalu kembali berjalan sendiri-sendiri. Kang Abuy bergabung lagi dengan kelompoknya, tampak membicarakan sesuatu dengan tampang serius. Icang dan Rio pun mencari anak-anak kelas XI IPA 7 yang akan menjadi partner kelas mereka pada UTS. Sambil mengikuti keduanya, Dean mengamati tampang-tampang lainnya di kelas itu, baik yang dia kenal maupun tidak. Sesekali masuk ke telinganya sepotong-sepotong ucapan mereka.

“Aku mah asa lebih bangga kalau dapet nilai bagus dari nyontek daripada belajar. Nyontek mah asa lebih menantang.”

Da hidup mah awalnya juga dari nyontek ke orang tua kita. Cara makan. Cara ngomong. Cara boker….”

“Kemarin si pak anu, yang ngajar Ekonomi, bilang di kelas saya, nyontek teh salah satu bentuk usaha, jadi boleh-boleh aja kalau enggak ketahuan mah.”

“Enggak afdal kalau ulangan enggak pakai nyontek….”

“Nyontek itu seni!”

Mereka bertemu anak-anak kelas XI IPA 7 dan mengobrol-obrol sampai Kang Abuy maju lagi ke muka kelas. Dia menutup pertemuan itu dengan, “Demi orang tua dan nama baik sekolah!” Anak-anak menyambutnya dengan sorakan riuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain