Dean bukannya tidak
ingat pada Baby dan Marimar. Kadang, ketika pintu kamar kedua orangtuanya
terbuka, dia melihat ke dalam, ke arah kedua alat musiknya itu. Muncul rasa
bersalah dalam dirinya, terutama pada Baby, karena telah menduakan piano itu
dengan alat lain yang serupa tapi tak sama: kibor. Kibor yang penampilannya
lebih sophisticated, bisa
menghasilkan lebih banyak bebunyian sampai-sampai Dean keranjingan
bereksperimen. Kibor yang menjadi partner Dean ketika dia ingin menciptakan
lagu untuk Rieka, padahal sebelumnya Babylah yang selalu menjadi tempat
curhatnya soal cewek itu. Dean bahkan sudah tidak pernah bingung lagi soal
pedal. Padahal sewaktu awal-awal bermain kibor, Dean kadang mengentak-entakkan
kakinya untuk memainkan bunyi, lalu sadar bahwa alat itu tidak ada
pedalnya—lain dengan piano.
Rasa bersalah itu
menjadi-jadi ketika timbul keinginan yang sangat kuat dalam diri Dean untuk
memberi nama pada kibor di paviliun Kakek. Dengan memberi nama berarti telah
terjalin rasa keterikatan antara dirinya dan kibor itu, semakin mengukuhkan
pengkhianatannya pada Baby….
Dean juga bukannya
tidak ingat untuk memperbaiki nilai-nilainya. Bukan cuma demi Baby dan Marimar,
tapi juga ketenteraman jiwa Bunda. Memang belakangan ini Bunda jadi jarang
menegur Dean soal pelajarannya di sekolah. Pekerjaan Bunda sedang
banyak-banyaknya, dan ia sangat sibuk. Tapi, suatu saat, ketika sudah tidak
sibuk, Bunda pasti akan bertanya-tanya lagi pada Dean. Maka, ketika ulangan,
mau tidak mau Dean mempraktikkan keterampilan yang tidak begitu sering dia
gunakan—meski tampaknya dia cukup berbakat karena tidak pernah ketahuan.
Keterampilan itu dalam dunia biologi disebut: Mata Rajawali dan Sarang
Semut.
Sebetulnya mata Dean
lebih mirip mata tarsius ketimbang mata rajawali. Teman-temannya sering meledek
bahwa matanya itu terlalu besar untuk wajahnya yang tirus, hidungnya yang
mungil, dan bibirnya yang tipis. Meski begitu, ketika ulangan, tampaknya mata
itu sanggup menjangkau pandangan yang lebih luas ketimbang mata biasa. Setelah
itu, barulah “mata rajawali”-nya bekerja, yaitu dengan memindai dan membidik
jawaban yang dicari-cari.
Adapun sarang semut
terdiri dari ruang-ruang tersembunyi yang saling berhubungan, membentuk
jaringan yang rumit. Barangkali cuma semut-semut itu yang tahu caranya masuk ke
ruang yang satu dan keluar lewat ruang yang lain tanpa kesasar ke sarang musuh.
Ruang-ruang itu diibaratkan sebagai anak-anak yang sedang mengerjakan ulangan,
sedangkan semut-semutnya berupa jawaban yang bergerak dari satu “ruang” ke
“ruang” lainnya. Lagi pula bukankah semut itu teladan dalam bergotong-royong?
Dean mulai
mengembangkan keterampilannya itu ketika SMP, belajar dari teman-teman
sekelasnya. Apalagi untuk membangun “sarang semut” dibutuhkan kekompakan banyak
anak—mana mungkin Dean ketinggalan? Cara-cara lama, yang pernah dia gunakan
sewaktu SD pun terlupakan.
Sewaktu Dean SD, sempat
ada tren mengunyah permen karet ketika sedang belajar di kelas. Katanya, kalau
kita mengemut permen karet yang sama ketika mengerjakan ulangan, kita akan
lebih gampang mengingat pelajaran. Kepercayaan lainnya yaitu kalau kita membuat
bangau dari kertas hasil ulangan dan mengumpulkannya sampai seribu biji, maka
permintaan kita akan terkabul. Apalagi kalau yang diminta adalah hasil ulangan
yang lebih bagus lagi. Tapi tidak ada satu pun dari cara-cara itu yang
berhasil. Mereka malah dimarahi guru. Guru yang satu bilang tidak boleh makan
di kelas kecuali pada jam istirahat dan pulang sekolah. Guru yang lain bilang
meminta itu hanya kepada Allah, sedangkan kepada yang lain-lainnya—apalagi
burung-burungan kertas—itu dosa besar.
Bagaimanapun juga, di
samping Mata Rajawali dan Sarang Semut, sebetulnya ada
teknik-teknik lainnya. Misalnya saja: Otak
Gajah, artinya menyalin sari-sari pelajaran di kertas kecil, menyelipkannya
di tempat yang strategis, dan membukanya ketika dibutuhkan pada waktu ulangan; Tato Pohon, artinya juga menyalin
sari-sari pelajaran tapi di meja dan risiko ketahuannya lebih kecil; dan masih
banyak lagi.
Tapi, Dean sadar akan
keterbatasannya dalam jurus-jurus lainnya itu. Pertama, mencatat PR saja dia
malas, apalagi sengaja membaca buku pelajaran demi menulis ulang sari-sarinya
di tempat lain. Mending baca Bobo
daripada buka buku pelajaran, begitu pikir Dean, yang sering kali dia buktikan
dengan mendatangi kios koran dan majalah terdekat pada Kamis sepulang sekolah.
Kedua, pernah, ketika sedang menghadapi ulangan Matematika yang sangat sulit,
dia menemukan coret-coretan di mejanya. Coret-coretan itu ternyata berupa rumus
yang sesuai dengan materi ulangannya. Tapi, setelah dicoba, ternyata dia tidak
tahu cara menggunakannya.
Kalau saja Dean mau
menggunakan keterampilannya itu lebih dini dan lebih sering—dan kalau perlu,
mempelajari cara-cara yang lain juga—maka hasil ulangannya yang kemarin-kemarin
itu tidak akan sebegitu memprihatinkan. Tapi, tampaknya, keterampilannya itu
memang baru keluar ketika keadaan sudah mendesak. Pada ujian kenaikan kelas
atau ujian kelulusan, misalnya, khususnya pada waktu dia sadar untuk setop
berleha-leha dan mulai membuat perubahan.
.
Menjelang UTS, kelas
Dean melakukan rapat. Tapi rapat ini rapat khusus. Tidak semua anak
mengikutnya. Ada yang tidak mau ikut sejak awal, seperti Zahra. Ada juga yang
setelah tahu apa yang dibicarakan lantas mengundurkan diri. Bahkan, Salman
sempat misuh. Meski ia sudah menjauh, disusul Acil, suaranya masih terdengar,
“Kalau gitu sih mending aku pakai joki sekalian pas SPMB. Enggak keren dong
masuk ITB enggak pakai usaha sendiri….” Tapi anak-anak di kelas tidak acuh dan
terus saja melanjutkan rapat.
Dalam rapat itu, mereka
membahas siapa saja yang akan menjadi kaisar semut, semut penjaga, dan
selebihnya adalah semut pekerja. Kaisar semut adalah anak-anak yang dianggap
menguasai pelajaran tertentu. Mereka bertugas menyediakan jawaban untuk soal
pelajaran yang diujiankan. Semut penjaga adalah anak-anak yang duduk di sekitar
kaisar semut. Mereka bertugas menerima jawaban dari kaisar semut dan
menyalurkannya ke semut pekerja. Semut pekerja adalah anak-anak lain yang
bergabung dengan jaringan tersebut dan membutuhkan jawaban. Mereka bertugas mengoper
jawaban ke satu sama lain. Peta persebarannya cuma mereka yang tahu. Yang
jelas, sebisa mungkin itu tidak melibatkan anak-anak di luar jaringan mereka.
Selain itu, yang lebih
penting lagi adalah penguasaan diri. Sebab di mana pun lipatan atau gumpalan
kertas berisi jawaban itu berada, anak yang sedang memegangnya harus menjaganya
supaya tidak ketahuan. Ia harus bersikap sewajar mungkin seakan dirinya bukan
satu dari sekian semut dalam jaringan.
Sebetulnya, banyak di
antara anak-anak yang tidak mau ikut rapat itu yang potensial sekali sebagai
kaisar. Tapi kepelitan mereka dalam memberi jawaban lebih-lebih lagi. Demi
menjaga hubungan baik, tidak usahlah menyinggung mereka lama-lama.
“Tapi ada yang bilang
tempat duduknya bakal dicampur lagi pas UTS besok,” kata Icang, salah satu
peserta rapat.
Itu berarti selama UTS
mereka bakal sebangku dengan anak kelas lain, yang biasanya kakak kelas. Karena
kapasitas kelas yang terbatas, maka itu juga berarti kelas mereka akan dipecah.
Anak dari nomor urut satu sampai dua puluh sekian akan ditempatkan di satu
kelas, dan anak dari nomor urut selebihnya di kelas sebelahnya. Itu akan
semakin menyulitkan persebaran jawaban. Tapi biasanya kakak kelas juga
menerapkan sistem jaringan yang serupa. Untuk itu diperlukan kerja sama yang
kompak antar kelas. Itulah yang mau Icang bicarakan.
“Entar sore anak-anak
pada mau ngumpul. Kita bisa atur strategi sama mereka.”
Diputuskan bahwa kelas
X-7 akan mengirim perwakilan ke pertemuan itu. Ada Icang selaku pengagas dan
penghubung kelas, ada Rio yang penanggung jawab jaringan, dan Dean.
Dean ikut saja karena
yang menginisasi pertemuan itu rata-rata anak Bastard. Dia sudah lama tidak
bersilaturahmi ke tongkrongan mereka, akibat kesibukannya nge-jam sama Kakek, dan akhir-akhir ini,
mengarang lagu untuk Rieka. Kesibukan yang entah kapan akan berakhir karena
Dean tidak tahu Rieka sebenarnya suka lagu yang bagaimana. Memang Dean belum
sempat mencari tahu. Melihat sosok Rieka dari jauh saja sudah bikin dia lupa
segalanya.
.
Pertemuan itu diadakan
di kelas paling terpencil di bangunan paling terpencil di komplek sekolah.
Bahkan dulu ada rumor bahwa itu adalah kelas yang terkutuk. Banyak anak yang
jatuh sakit setelah beberapa lama mendiami kelas itu. Tapi sejak rumput liar di
lokasi itu rutin dibersihkan dan disemprot dengan asap pengusir nyamuk demam
berdarah, rumor itu reda dengan sendirinya.
Ketika Dean dan
anak-anak perwakilan kelasnya sampai, pintu kelas itu dijaga dua anak kelas XI
bermuka Bastard. Keduanya membukakan pintu untuk mereka dan tampaklah bahwa
ruangan itu sudah ramai. Saking ramainya, sampai-sampai ada yang berdiri dan
ada yang duduk di meja atau lantai karena tidak kebagian kursi. Semuanya anak
kelas XI dan X. Sebagian muka sudah diakrabi Dean di pelataran Tenis Net
sebagai muka-muka Bastard. Sebagian lagi mungkin sekadar perwakilan dari kelas
masing-masing. Banyak juga di antaranya yang cewek. Dean dan teman-teman
sekelasnya pun mencari ruang yang agak leluasa untuk mereka tempati.
Ada yang
mengetok-ngetok papan tulis dengan keras. Anak-anak yang tadinya asyik
mengobrol dengan satu sama lain mengarahkan perhatian mereka pada sumber suara.
Seorang kakak kelas cewek menulis nama-nama kelas berpasang-pasangan di papan
tulis, sementara Kang Abuy—yang tadi mengetok-ngetok—membuka pertemuan.
“Kita udah dapet informasi dari Tata Usaha.
Pembagian kelas buat UTS besok kira-kira gini,” katanya sambil mengarahkan
tangan ke papan tulis. “Boleh dicek kalau besok absennya udah ditempel.
Sementara kita pegang dulu yang ini. Selebihnya, tinggal konsolidasi antar
anak-anak kelas aja.”
Sementara Kang Abuy
menjawab pertanyaan yang mulai bermunculan dari para peserta pertemuan,
perhatian Dean teralih pada Kang Haqi. Dean menangkap obrolan orang itu dengan
temannya.
“Kamu udah lama enggak
ke Tenis Net.”
“Iya nih. Si Rika
enggak suka kalau saya nangkring-nangkring di situ. Enggak tahu kenapa.”
“Jangan bilang-bilang atuh.”
“Tetep aja keliatan
mah. Sopirnya kan suka parkir deket-deket situ.”
Pertemuan itu lalu
kembali berjalan sendiri-sendiri. Kang Abuy bergabung lagi dengan kelompoknya,
tampak membicarakan sesuatu dengan tampang serius. Icang dan Rio pun mencari
anak-anak kelas XI IPA 7 yang akan menjadi partner kelas mereka pada UTS.
Sambil mengikuti keduanya, Dean mengamati tampang-tampang lainnya di kelas itu,
baik yang dia kenal maupun tidak. Sesekali masuk ke telinganya
sepotong-sepotong ucapan mereka.
“Aku mah asa lebih bangga kalau dapet nilai bagus
dari nyontek daripada belajar. Nyontek mah asa
lebih menantang.”
“Da hidup mah awalnya juga dari nyontek ke orang tua kita. Cara
makan. Cara ngomong. Cara boker….”
“Kemarin si pak anu,
yang ngajar Ekonomi, bilang di kelas saya, nyontek teh salah satu bentuk usaha, jadi boleh-boleh aja kalau enggak
ketahuan mah.”
“Enggak afdal kalau
ulangan enggak pakai nyontek….”
“Nyontek itu seni!”
Mereka bertemu
anak-anak kelas XI IPA 7 dan mengobrol-obrol sampai Kang Abuy maju lagi ke muka
kelas. Dia menutup pertemuan itu dengan, “Demi orang tua dan nama baik
sekolah!” Anak-anak menyambutnya dengan sorakan riuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar