Rabu, 23 Januari 2019

Memikirkan Salah Satu Kasus Kanibalisme untuk Bertahan Hidup

Subuh ini saya membaca artikel Wikipedia berjudul "R v Dudley and Stephens". Artikel ini menceritakan tentang kasus kanibalisme yang dilakukan oleh para awak kapal Inggris Mignonette pada 1883 terhadap seorang rekan mereka. Kapal itu tenggelam, dan sementara terapung-apung dalam sekoci di lautan yang jauh dari daratan, dalam keadaan sulit mendapatkan baik makanan maupun minuman, timbul perundingan untuk mengorbankan salah seorang di antara mereka untuk menghidupi yang lain.

Awak kapal itu terdiri dari empat orang: Dudley, Stephens, Brooks, dan Parker. Brooks menolak untuk melakukan pengundian mengenai siapa yang akan dibunuh sementara Parker kemungkinan sedang dalam keadaan koma atau sekarat setelah meminum air laut. Parker merupakan yang termuda di antara mereka, baru berusia tujuh belas tahun, yatim piatu, dan belum berpengalaman dalam melaut. Selain itu, ia juga belum punya istri dan anak. Keadaan Parker yang demikian menguatkan mereka untuk membunuh dia.

Ketiga awak tersebut kemudian diselamatkan oleh kapal lain. Namun mereka kemudian harus menjalani persidangan atas kasus kanibalisme itu.

Ini bukan kasus bertahan-hidup-dengan-kanibalisme pertama yang saya baca. Kisah lain yang saya ingat adalah kecelakaan pesawat terbang di Andes. Sungguh berat jika mesti memikirkan kisah semacam ini apalagi membayangkan jika diri sendiri yang berada dalam keadaan demikian. Saya bisa memahami keputusasaan yang mestilah mereka rasakan beserta dilema yang dihadapi. 

Keadaan Parker yang kemungkinan sedang koma atau sekarat sehingga cepat-lambat akan mati juga seolah-olah menguatkan mereka untuk mengatasi rasa lapar yang tak tertanggungkan lagi. Dalam artikel itu disebutkan bahwa Dudley berdoa dulu sebelum memutus urat leher Parker, yang mengingatkan pada petugas kurban pada kambing atau sapi saat Idul Adha. Orang-orang yang selamat dalam kecelakaan pesawat di Andes itu juga merupakan orang-orang religius yang sebenarnya merasa enggan memakan bangkai saudara sendiri ... yang tidak bisa serta-merta disetarakan dengan bergunjing, sepertinya. Wallahualam sekiranya di neraka orang-orang yang semasa hidupnya senang bergunjing benar-benar dipaksa untuk memakan bangkai manusia.

Memang dua kasus itu tidak bisa serta merta dibandingkan. Dalam kasus yang pertama, mereka sengaja membunuh, sedangkan dalam kasus yang kedua, mereka memakan korban yang sudah menjadi bangkai. Untuk kasus pertama, entahlah bagaimana sekiranya mereka dapat bersabar menunggu sampai Parker meninggal betulan. Setidaknya di samping memakan sesama manusia, mereka tidak terbebani oleh konsekuensi dari membunuh. 

Untuk mengenang Richard Parker.
Saya merasa tidak dapat memberikan penilaian atas perbuatan mereka. Jika saya yang--amit-amit, naudzubillahimindzalik--berada dalam keadaan itu, saya mungkin akan seperti Brooks pada awalnya, yang menolak untuk merundingkan pengorbanan salah seorang dari mereka itu. Kemudiannya entah apakah setelah kedua rekan saya membunuh korban, saya malah ikut-ikutan melahapnya bak serigala lapar seperti yang katanya Brooks lakukan. Atau, sementara mereka makan kemungkinan saya akan duduk saja di ujung sekoci meratapi nasib dan menunggu keajaiban terjadi, atau menjadi korban berikutnya karena saya sudah terlalu lemah untuk apa pun. 

Saya merasa kisah ini memberikan pelajaran yang mendalam akan keputusasaan yang sebenarnya. Untuk hal kecil saja yang boleh jadi hanya ada dalam benak, belum tentu saya dapat bersabar apalagi jika dijebloskan dalam keadaan serupa itu.

Ide menulis diambil dari 365 Days of Writing Prompts (oleh The Editors WordPress.com, hak cipta © 2013 oleh The Daily Post) tanggal 23 Januari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain