(Lagu untuk mengiringi pembacaan ini:)
Suatu ketika pada 2003 di sebuah SMP di Kodya Bandung …
Suatu ketika pada 2003 di sebuah SMP di Kodya Bandung …
Ketika kembali duduk di
bangkunya, Fazaha memerhatikan di kolong ada buku lumayan besar dengan sampul
berwarna. Fazaha menarik keluar buku dalam plastik bersegel itu.
sumber gambar |
How to Draw and Create Manga
Fazaha tercengang.
Ia membuka segel. Rupanya ada
dua buku: volume satu dan volume dua. Ketika membalik sampul buku volume
pertama, Fazaha menemukan secarik kertas bertulisan:
JAHE-CHAN
BAIKAN YUK
^_^
Fazaha gondok. Ia menoleh ke
seberang kelas 1A. Alfian melambaikan tangannya dengan girang. Fazaha mendesah.
Ia kembali pada buku itu. Namun guru keburu datang. Cepat-cepat ia menutup dan
mendorong buku itu ke kolong.
Alfian seakan-akan sudah tahu
Fazaha akan menghampirinya sepulang sekolah.
“Ini apa?” Fazaha masih belum
mau tersenyum. Ia menyorongkan plastik berisi dua volume buku itu.
“Buku.
“Iya, tahu, ini buku!” sahut
Fazaha. “Maksudnya apa?”
“Buat kamu.”
“Beneran?”
Alfian mengangguk-angguk.
Fazaha mengeluarkan buku
volume pertama. Ia membuka sampul belakangnya lalu memperlihatkan halaman
terakhir. Sebuah tanda tangan dengan pulpen memenuhi hampir seluruh halaman
itu. Di bawahnya ada nama: Risky.
“Ini punya orang?”
“Oh!” Alfian terkejut,
seakan-akan baru mengetahui adanya tanda tangan itu. “Iya, memang asalnya itu
punya Kak Iki. Tapi katanya boleh buat kamu.”
“Heh?”
“Sekarang kita baikan, kan,
Jahe-chan?”
“Entar dulu! Kenapa aku
dikasihnya buku bekas?”
“Tapi kan masih bagus? Itu
Kak Iki belinya masih baru lo!”
Benar kata Alfian. Kondisi
buku itu memang seperti yang belum pernah disentuh, walaupun tidak terbungkus ketat seperti di toko.
Namun Fazaha tidak secepat
itu percaya. “Bener, dikasih buat aku?”
“Beneran! Kata Kak Iki
boleh!”
“Jangan-jangan kamu ngambil
enggak bilang-bilang!”
“Eeeh, enak aja!”
Fazaha bimbang. Ia baru
sekilas melihat-lihat isi buku itu. Kelihatannya isinya keren dan sesuai dengan
yang ia perlukan. Ia ingin membaca buku itu betul-betul dengan leluasa. Tetapi,
bisakah Alfian dipercaya? Mengingat ulah cowok itu sebelumnya ….
Ketika itu, Fazaha keluar
dari ruang mading sekolah sambil menahan tangis. Ia lalu terduduk di balik
bangunan sekolah yang sepi. Di tempat itu kadang-kadang ia melewati jam
istirahat berdua dengan Alfian sambil makan jajanan. Ketika Fazaha sedang
mengusap air mata, Alfian muncul.
“Jahe-chan! Kamu kenapa? Kamu
habis dijahatin orang?!”
Sambil menahan isak, Fazaha
bercerita, “Komik aku dibilang jelek.” Lalu tangisnya keluar lagi.
“Siapa?!”
“Ya, enggak tahu!" Gulungan-gulungan kertas itu masuk ke kotak saran mading tanpa diberi nama. "Terus, yang ngomen bukan cuma dia aja ….” Fazaha menangkupkan
kepalanya ke pangkuan. “Aku enggak bisa bikin komik ….”
“Jahe-chan, kamu jangan patah
semangat. Komik kamu baru pertama kali dimuat di mading, kan?”
Tangis Fazaha bertambah
kencang. Walaupun komiknya baru sekali itu tampil di mading sekolah, gambarnya
telah berkali-kali terbit di Bobo
serta memenangkan lomba. Tetapi, rupanya, menggambar komik sama sekali berbeda
dari gambar anak-anak yang biasa dibuatnya. Ketika menggambar komiknya yang
akhirnya dicela orang itu, tidak terhitung berapa kali Fazaha menghapus dan
menggambar ulang. Selain itu, ia harus mencari cerita yang menarik. Karena
tenggat waktu, memang kemarin ia asal saja mencomot dari cerpen di majalah
remaja milik kakaknya.
Pokoknya bikin komik itu
rumit sekali!
“Jahe-chan, jangan menyerah.
Nanti kalau bikin komik lagi, lihatin ke aku dulu aja.”
Fazaha tahu Alfian suka
membaca komik. Mungkin Alfian memang bisa membantu Fazaha untuk membuat komik
yang lebih baik.
Beberapa minggu kemudian, Fazaha selesai membuat komik baru. Kali ini jumlah halamannya lebih banyak. Ia menyerahkan komik itu kepada Alfian.
“Aku bawa pulang, ya.”
Fazaha mengangguk.
Besoknya Fazaha menanyakan
komiknya kepada Alfian. Alfian bilang ia belum selesai memperbaiki komik
Fazaha.
“Apanya yang perlu
dibenerin?”
“Ada deh! Pokoknya nanti
komik kamu jadi lebih menarik.”
Fazaha mengerutkan kening.
Hari demi hari Fazaha lalui
tanpa absen menanyakan komiknya kepada Alfian. Alasan lainnya, “Entar tunggu kakak
aku pulang. Aku mau lihatin komik kamu ke Kak Iki. Kak Iki baru pulang Sabtu.”
Fazaha menunggu.
Ketika hari yang dinantikan
tiba, Fazaha menangis lagi melihat komiknya. Alfian ternyata telah
mengacak-acak komiknya! Setiap muncul karakter perempuan dalam komik itu,
Alfian menghapus bagian dada dan paha ke bawah, kemudian menggambarnya ulang.
Dadanya menjadi lebih besar. Rok atau celana ditinggikan sehingga pahanya
menjadi terbuka.
Komik itu sampai ringsek
karena digulung Fazaha kemudian dipakai untuk menggebuki Alfian sekuat-kuatnya.
Fazaha tidak mau berbicara
kepada Alfian lagi.
Sampai Alfian memasukkan
kedua volume buku itu ke kolong bangkunya.
Fazaha sangat menginginkan
buku itu. Kalau ia beli sendiri, sepertinya harganya cukup mahal.
“Ya udah, aku pinjam dulu,
ya.”
“Kan memang buat kamu.”
“Ih, aku enggak percaya sama
kamu!”
“Eh!? Tapi kita udah baikan,
kan? JAHE-CHAAAN!”
Fazaha berlari
secepat-cepatnya dari Alfian.
Begitu sampai di rumah, di
kamarnya, Fazaha langsung mengeluarkan buku dari plastik. Kedua buku itu
masing-masing tebalnya hanya delapan puluhan halaman dan terdiri dari empat
bab.
Dua bab awal dalam volume pertama
mengajarkan cara menggambar kepala dan wajah serta tubuh dan gerakan. Rupanya
untuk membuat bagian-bagian tubuh itu diperlukan sketsa lebih dahulu. Kalau
begitu, Fazaha membayangkan, nantinya tetap saja akan banyak menghapus juga.
Tetapi, cara ini mestilah akan membuat gambarnya menjadi lebih rapi.
Buku itu mendetail sekali
dengan menunjukkan cara menggambar kepala dan wajah dari berbagai sudut: depan,
samping, ¾ depan, ¾ belakang, ¾ atas, ¾ depan atas, ¾ depan bawah, termasuk
tentang pergerakan mulut dan perbedaan bentuk mata dari sudut yang berlainan
itu. Belum lagi cara menggambar tiap-tiap objek wajah: mata, hidung, bibir dan
mulut, rambut, sampai ke perubahannya agar menghasilkan beragam ekspresi.
Terungkap pula rahasia
menggambar tubuh yang ternyata dengan lebih dahulu membuat kerangka seperti
layangan kemudian bentuk-bentuk seperti tabung, kubus, bola, dan sebagainya.
Sebelum mencoba membuat komik, Fazaha lebih terpaku kepada kepala dan wajah
saja sebab itulah yang paling menarik. Ia terkesan dengan mata ala komik-komik
serial cantik Jepang yang besar berbinar-binar, juga senang bermain-main dengan
gaya rambut. Tetapi, ketika membuat komik, ternyata ia kesulitan meneruskan dari
bagian kepala itu ke bawah. Sudah rapi-rapi di bagian atas, eh, tubuhnya tidak
sesuai.
Apalagi ketika ia ingin
menggambar gerakan tangan. Kalau di gambar anak-anak yang biasa dibuatnya,
dengan mudah ia menggambar lekukan-lekukan jari yang kadang jumlahnya hanya
empat pada satu tangan. Tetapi, dalam komik gaya Jepang ini, tangan mesti
digambar dengan mendetail. Ia ingin membuat jari-jari yang lentik seperti yang
betulan, tetapi betapa susahnya! Ternyata, menggambar telapak tangan, juga
kaki, memerlukan sketsa lebih dahulu juga.
Ada perbedaan dalam
menggambar tiap-tiap bagian tubuh cowok dan cewek, yang disesuaikan lagi dengan
usia karakternya. Buku itu juga menujukkan cara menggambar karakter chibi serta pakaian yang ternyata
bergantung kepada jenis kain, pergerakan badan, bahkan pengaruh angin!
Kemudian ada yang dinamakan inking atau meninta dan tracing atau menjiplak. Dalam membuat
komik kemarin, Fazaha hanya mengandalkan kertas, pensil, penghapus, dan
penggaris. Rupanya bagi komikus profesional, ada peralatan lain yang harus
dimiliki. Mulai dari kertas, pena, sampai tinta, ada banyak macam dengan
kegunaan masing-masing. Tidak hanya itu, ada juga peralatan besar seperti meja tracing, mesin fotokopi, bahkan
komputer!
Menyusun cerita pun ternyata
tidak sembarangan. Ada tema, gaya cerita, dan plot yang mesti ditentukan.
Menyusun panel ada triknya tersendiri. Ada berbagai cara membuat latar belakang
serta bentuk balon kata dengan efek yang berbeda-beda pula. Membuat komik
sebaiknya direncanakan dulu di kertas lain!
Fazaha menutup volume pertama
dengan kewalahan.
Setelah diam sejenak, ia
menguatkan diri untuk membuka volume kedua.
sumber gambar |
Sepintas, isi bab kesatu volume
kedua sepertinya tidak begitu berbeda dengan yang ada di volume pertama. Baru
Fazaha menyadari bahwa gaya dalam komik Jepang itu berbeda-beda. Ada yang
simpel, ada yang realistis dengan lebih banyak detail, dan lain-lainnya.
Padahal sebelum ini ia memandang komik Jepang dalam satu gaya saja, ya … gaya
Jepang.
Kemudian ada latar belakang!
Sebelumnya Fazaha hanya berfokus pada manusia. Rupanya apa yang ada di belakang
tokoh juga harus diperhatikan! Buku itu memberi petunjuk menggambar objek-objek
alam seperti batu, pohon, rumput dan tanah, sampai bangunan dengan menggunakan
perspektif. Kebetulan Fazaha sudah mendapatkan sedikit materi menggambar
perspektif dalam pelajaran Seni.
Ada cara yang lebih gampang
untuk membuat latar belakang daripada dengan menggambar perspektif, yaitu
dengan menjiplak foto atau gambar di majalah. Tetapi, cara itu memakan banyak
modal. Malah, kalau mau lebih canggih lagi, komputer dan scanner diperlukan. Menghasilkan gambar menggunakan komputer sama
sekali tidak terbayang oleh Fazaha sebelumnya.
Penggunaan komputer dibahas
lebih lanjut di bab ketiga. Buku itu bilang, penggunaan komputer tidaklah
harus. Malah, keahlian menggambar lebih terasah jika semuanya dikerjakan dengan
tangan. Tetapi, penggunaan komputer dapat menyingkat waktu dan menyediakan
efek-efek yang berbeda. Kalau menggunakan komputer dan scanner, Fazaha mesti mempelajari software-software, misalnya Adobe Photoshop.
Fazaha membuka bab terakhir
dalam buku itu, lalu tersadar. Tidak saja harus menguasai aneka cara menggambar
baik dengan tangan maupun komputer, ia juga mesti pintar mengkhayal untuk
membuat kisah yang mengasyikkan. Ketika menggambar, tentu saja Fazaha sambil
mengkhayal yang kemudian ia tuangkan di kertas dengan pensil, spidol, atau
krayon dan sebagainya. Tetapi khayalannya tidak bergerak ke mana-mana, tidak
menjadi cerita!
Buku ini juga menjelaskan
cara-cara untuk membuat kisah yang menghibur. Cerita harus unik, masuk akal,
rapi, jelas, tidak membingungkan, menampilkan tokoh-tokoh yang persis dengan
orang-orang di kehidupan nyata, mengandung banyak kejutan, hingga membikin
pembaca penasaran dan geregetan.
Sebelum diwujudkan menjadi
komik, cerita sebaiknya dituliskan lebih dahulu untuk menjelaskan isi tiap-tiap
panel. Peletakkan panel-panel tersebut dalam satu halaman mestilah memudahkan
orang untuk membacanya. Mangaka harus pintar memainkan sudut pandang dalam
tiap-tiap panel karena suasana yang ditampilkan juga akan berbeda-beda.
Fazaha menutup buku dengan
puyeng.
Tuh, kan, bikin komik itu memang rumit! Tetapi, setidaknya buku ini telah memecah kerumitan itu menjadi penjelasan-penjelasan yang terperinci. Orang yang tidak berbakat sekalipun bisa saja membuat komik asalkan mau mengikuti petunjuk buku ini dengan sungguh-sungguh dan bertekad keras.
Tiap halaman dari kedua
volume buku ini membutuhkan latihan tersendiri. Entah berapa lama waktu yang mesti dihabiskan sampai Fazaha dapat menguasai setiap keterampilan yang diperlukan untuk
membuat komik yang baik. Fazaha tidak bisa sekadar meminjam buku ini. Ia harus
memilikinya.
Kalau beli sendiri, harganya berapa,
ya?
Mama mau membelikan tidak,
ya?
Kalau pakai uang saku
sendiri, Fazaha khawatir tidak bisa jajan untuk beberapa lama.
Tetapi, bukankah Alfian
bilang buku ini memang untuk dia?
Fazaha merasa masih belum
bisa memercayai anak itu. Ia tidak mau diberikan barang curian.
Terlintas gagasan di
benaknya.
Ah, tidak, tidak, itu pasti
memalukan!
Tetapi ….
Keesokan harinya di kelas, Fazaha
menghampiri Alfian.
“Aku mau ketemu sama kakak
kamu.”
“Eh, kenapa?”
“Pengin mastiin bukunya
memang buat aku.”
Alfian manyun seraya semakin
menyipitkan matanya. “Kamu masih enggak percaya sama aku.”
“Gimana?” kejar Fazaha.
Alfian mengembuskan napas. “Ya
udah ….”
“Ya udah apa!?”
“Ya entar aku bilang sama
kakak aku.”
“Bener, ya!?”
“… iya ….”
“Aku enggak mau percaya sama
kamu sampai kamu bener-bener ngebuktiin …” Fazaha mengguncang-guncang kerah
seragam Alfian.
... bersambung ke NaNoWrimo 2019, kalau Allah menghendaki.