Jumlah anak muda yang bunuh diri di negara Barat meningkat tiap tahun. Sejauh ini belum ditemukan terapi yang jitu untuk mencegah mereka mengakhiri riwayatnya sendiri.
ORANG yang murung lazim dikiaskan sebagai orang yang kehilangan musik di hatinya. Tapi, sampai berkesudahan dengan bunuh diri rupanya merupakan kejadian lumrah di Barat.
Rivan yang dari Indonesia itu (lihat Berdebam! Rivan Hilang) hanya sekadar menambah jumlah model anak muda yang tertumbuk pikiran ini. Di Negeri Belanda, tiap tahun sekitar 6.800 pelajar berusia 14-21 tahun berusaha bunuh diri. Yang berusia 5-15 tahun ada sekitar 100 orang. Ini diungkapkan oleh Nyonya C. W. M. Kienhorst dari Universitas Utrecht dalam disertasinya, "Tingkah Laku Bunuh Diri pada Orang Muda, Penelitian mengenai Besar dan Tanda-tandanya".
Kemakmuran materi rupanya bukan jaminan hidup menjadi nyaman. Tiga tahun silam, Masyarakat Eropa mengeluarkan angka statistik bunuh diri, bersamaan dengan korban yang tewas di jalan raya. Dari tiap 100 ribu penduduk, di Yunani 4 orang bunuh diri, Spanyol 6, Irlandia 7, Italia dan Inggris masing-masing 8, Portugal 9, Belanda 10, Jerman 18, Luksemburg 20, Perancis 22, dan Denmark 32 orang.
Di Negeri Belanda, dewasa ini, ada organisasi dalam skala nasional untuk mencegah usaha bunuh diri. Tugasnya adalah memberi penyuluhan di kalangan pelajar mengenai cara mengatasi stres, depresi, dan tingkah laku yang menjurus ke arah usaha bunuh diri.
Empat tahun berselang, Prof. Dr. R. Diekstra, dari Universitas Leiden, Belanda, diberi tugas oleh WHO (badan kesehatan dunia) meneliti kasus ini di 62 negara. Ternyata, di 42 negara, bunuh diri cenderung meningkat sampai 400%. Di negara sisanya, menurun 90%.
Di Denmark dan Jepang, misalnya, satu dari tiga pria berusia 25-34 tahun bunuh diri. Sedangkan wanitanya, satu dari empat. Yang terbesar adalah di Eropa Tengah dan Barat Laut, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, sementara di Amerika Latin menurun.Yang tertinggi adalah di Hungaria dan Jerman, yakni rata-rata dua nyawa terbang sia-sia tiap jam. Diekstra meramalkan, dalam tahun-tahun mendatang lonjakan bunuh diri akan mencapai 25-30% jika tidak ada langkah penanggulangan.
Di Negeri Belanda, tiap tahun 1.700 orang mati karena bunuh diri. Jumlah itu jauh di atas angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Padahal, mereka yang bergelimpangan di jalan raya sering melampaui jumlah yang tewas di medan perang. Ironis, memang. "Ketika 300 mati karena AIDS, 10.000 orang mati karena bunuh diri. Untuk mencegah AIDS, disediakan dana, tapi tidak untuk mencegah bunuh diri," gerutu A. Kerkhof, teman Diekstra.
Khusus untuk Eropa, penelitian dilakukan di 16 negara. Di Belanda sendiri, 20 tahun silam, menurut undang-undang hukum pidana, bunuh diri dianggap sebagai tindakan kriminal. Kini malah sudah ditabukan. Namun, jumlah yang "berani mati tapi takut hidup" itu toh tetap melonjak.
Caranya pun beragam: menggantung diri, menikam diri, menenggelamkan diri (14%), minum obat dalam dosis tinggi (13%), menabrak kereta api (13%), ataupun meloncat dari gedung jangkung atau flat. Menurut biro pusat statistik Belanda, tahun 1975 terdapat 1.343 korban bunuh diri. Lima tahun kemudian 1.557, dan tahun 1988 menjadi 1.671. Enam dari 10 korban pernah berusaha ke arah itu, dan 8 dari 10 pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Penelitian yang dilakukan di Universitas Utrecht terhadap 2.918 pemuda dan orang tua, pada kelompok usia15-27 tahun, hasilnya: 11,3% ingin menyudahi hidup, 14% merasa tidak bahagia, 14% mengaku dilanda stres, dan 7% depresi. Pengidap serenceng suntuk itu itu lagi-lagi mayoritas pria.
Dari situ terungkap, gelap matanya anak muda lantaran merasa kurang mendapat tempat di masyarakat. Mereka kurang kepercayaan dalam hidupnya, tak puas dengan gaji, status, dan pemilikan. Tiga puluh persen responden muda ini tak punya gambaran pikiran toleransi. Dalam oleng itu, mereka yang agresif dapat melakukan etanasi, aborsi, dan pilihan bentuk kumpul kebo.
Sejauh ini, alasan mencabut nyawa sendiri ini tetap remang. Tapi Diekstra mencoba menyimpulkan dalam tujuh faktor, antara lain makin membengkaknya tunakarya, banyaknya wanita bekerja di luar rumah, menurunnya jumlah anak berusia di bawah 15 tahun, makin besarnya perceraian, makin meningkatnya pecandu alkohol, dan kiat merosotnya anggota gereja.
Namun, Albert Mulder, peneliti dari universitas yang sama, meragukan Diekstra. "Kita tidak bisa mengatakan orang bunuh diri karena kehilangan pekerjaan, patah cinta, kecanduan obat atau alkohol. Tiap kejadian mempunyai latar belakang khas," katanya. Bagi kebanyakan orang Belanda, topik ini agak tabu untuk diperbincangkan.
Jawaban yang samar juga ditunjukkan Erik Jan de Wilde, 28 tahun, dalam disertasinya di Universitas Utrecht, beberapa waktu lalu. "Usaha bunuh diri lahir dari keputusasaan, kesedihan yang dalam, kesulitan, dan perasaan sengsara. Mereka merasa sendirian dalam menghadapi suatu persoalan, dan memutuskan mati," katanya. Ini tidak seromantis cerita film atawa novel.
Ia membandingkan 43 anak muda yang berusaha bunuh diri dengan 66 anak muda yang depresif dan 43 anak muda normal, berusia 14 sampai 21 tahun. Mereka yang tergolong normal menilai tindakan kawan sebayanya yang bunuh diri itu "tidaklah dibuat-buat". Ada semacam penilaian positif pada tindakan teman yang bunuh diri: dicap berani. Tema itu sering disajikan dalam film atau novel yang mereka anggap romantis.
Menurut De Wilde, hampir tak kentara beda mereka yang ingin bunuh diri dengan yang depresif. "Kedua kelompok ini kurang mempunyai harga diri dan terlalu besar kecurigaannya kepada orang lain," ujarnya. Tapi tidak berarti anak muda yang depresif akan berusaha bunuh diri.
Sementara itu, Prof. Dr. Theo Compernolle dari Vrij Universiteit di Amsterdam telah mengembangkan terapi preventif pada semangat bunuh diri. Menurut dia, ada dua jenis depresi, yaitu reaksi terhadap faktor lingkungan serta kesalahan biologis yang mengakibatkan orang dilanda depresi secara teratur dua kali setahun. Dari kedua model depresi ini, lahir depresi bipolar, suatu pergantian depresi akut dan periode kegembiraan beroleh sinar matahari. Compernolle lalu mengembangkan terapi cahaya untuk membabat depresi pasiennya.
Untuk membuktikan seseorang bunuh diri akibat depresi, dapat diikuti kajian Anat Biegon dan kawan-kawannya di Institut Weizmann di Israel dan Universitas New York. Mereka menemukan protein tertentu di dam otak korban. Protein itu dikenal sebagai reseptor opioid alias candu, yang mungkin dapat menjelaskan hubungannya dengan biokimiawi depresi.
Temuan ini disajikan dalam pertemuan tahunan ke-20 Masyarakat Ilmuwan Saraf di St. Louis, Missouri, AS, pada tahun 1991. Mereka meneliti bagian tipis otak dari 14 korban bunuh diri, dan membandingkannya dengan 14 otak korban yang meninggal karena penyebab serupa, seperti trauma dan asfiksiasi, tapi tidak bunuh diri.
Pada otak mereka yang bunuh diri, ditemukan reseptor opioid dua sampai sembilan kali lebih besar. Pada awalnya, ini menimbulkan tanda tanya sebab reseptor jenis itu biasanya menghasilkan lawan depresi, yaitu rasa senang berlebihan dan hilangnya rasa sakit. Biegon menduga, tanpa candu alamiah yang disebut endorphins, seseorang bisa menjadi sangat sensitif pada rasa sakit dan berubah menjadi depresi.
Belum diketahui apa manfaat menyigi otak si mati tadi. Cuma satu hal boleh dicatat: pria memilih cara mati yang lebih kasar, misalnya dengan menabrak kereta api, sementara wanita cukup halus, yakni dengan menelan pil. Tapi di Swedia, misalnya, sejak tahun 80-an berkembang pula semacam emansipasi: kaum wanita pun menggunakan cara serupa.
Boleh jadi mereka sudah membaca buku Final Exit karangan Derek Humphrey dari Amerika Serikat, yang terbit tahun 1991 dan mendapat sambutan oke punya di AS. Penganjur death with dignity atawa mati secara bergengsi itu, dalam bukunya, merinci petunjuk untuk melakukan bunuh diri, berikut alat yang bisa mempermudah orang menghabisi riwayatnya sendiri.
Berdebam! Rivan Hilang!
RIVAN Agustansyah Soulisa, mahasiswa administrasi perusahaan bidang teknik di Hogeschool Eindhoven. Ia akan menyandang gelar insinyur Juni ini. Lahir 31 Agustus 1969, Rivan datang di Belanda tahun 1988 bersama tujuh orang lagi, melalui Overseas Training Office Bappenas. Rivan diterima di Technische Universiteit Eindhoven.
"Dia setia kawan. Bakat musik dan bahasanya juga bagus. Perfeksionis dan idealis. Pikirannya jauh, saya tak bisa mengikutinya," cerita Rudy Hidayat, yang datang setahun setelah Rivan.
"Selesai ujian, obrolan bukan bisa atau tidak, tapi apakah nilai kami 10 atau 9,5," cerita Rudy kepada Asbari N. Krisna dari TEMPO. Cuma satu Rivan mengulang tujuh kali, yaitu mata kuliah model bouw--penerapan berbagai mata kuliah dalam satu model. Ia putus asa. Tanpa memberi tahu sekolahnya maupun pihak Bappenas, ia pindah ke Hogeschool, jurusan serupa.
Tahun lalu mereka mudik. Rivan ke kampungnya di Ambon, Rudy ke Ujungpandang. Balik ke Belanda, Rivan ngebut belajar. Ia mau cepat pulang. Suatu kali Rivan menggugat kematian sahabatnya, Rafael--meraih insinyur lalu meninggal akibat kanker. "Punya ijazah, besok lalu mati, apa artinya?" tanya Rivan.
Untuk skripsi, mahasiswa harus mencari sendiri perusahaan tempat menyelesaikan tugas akhir. Rivan memperolehnya. Tapi pembimbingnya menolak proposalnya karena dinilai gampang. Setelah mencarinya lagi, didapatkanlah Gas Unie, Eindhoven. Ia diminta membuatkan sistem pengendalian biaya.
Awalnya mulus. Tapi ketika tak boleh mewawancarai karyawan, Rivan stres. Juga ketika materinya ditolak. Kepada Rudy, akhir Mei lampau, ia mengeluh sering pusing. Bimbang. Terus atau tidak? "Kalau berhenti, mau ke mana?" tanya Rudy. "Saya ingin hidup baru, ingin dilahirkan kembali," jawabnya. Sehabis mandi, Rivan memetik gitar. "Jangan kaget kalau tiba-tiba saya hilang," katanya.
Hampir seminggu kehilangan Rivan, Rudy baru mendapat kabar Sabtu 5 Juni 1993 dari seorang kawan Belanda. Ia nonton TV yang menayangkan korban kecelakaan kereta api. Itu Rivan. Menurut masinis kereta Schiphol-Amsterdam itu, kejadiannya menjelang fajar, 1 Juni silam. "Orang itu berdiri. Di kepalanya ada headphone. Kereta melaju, eh, dia meloncat ke tengah. Berdebam!" tuturnya kepada polisi. EZ
Sumber: Tempo, 26 Juni 1993