Jazz sudah lama dikenal di Indonesia. Namun, perkembangannya lamban, karena keterbatasan sarana dan fasilitas, termasuk juga maesenas. Demikian ditulis Deded ER Moerad, wartawan MATRA, dalam bukunya Jazz: 100 Tahun New Orleans-Jakarta yang bakal diluncurkan oleh Majalah MATRA bekerja sama dengan PT Matra Multi Media awal Februari 1995. Berikut nukilan buku tersebut.
SUATU HARI PADA AWAL TAHUN 1980-AN, SEBUAH PERTUNJUKAN MUSIK JAZZ disuguhkan di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta. Malam itu Ireng Maulana dan kawan-kawan tampil. Setelah memainkan beberapa instrumentalia yang disambut dingin oleh penonton, tibalah giliran menampilkan Ermy Kullit.
Saat sang penyanyi muncul di atas pentas, penonton pun berteriak mencemooh: "wadam, wadam turun ...." Ejekan itu kemudian disambut tawa riuh penonton lainnya. "Dangdut, dangdut saja," teriak yang lain menimpali.
Teriakan itu tentu amat menyakitkan, terutama bagi Ermy Kullit, Ireng Maulana, dan rekan-rekannya. Penonton yang datang ke Ancol, khusus untuk menkmati jazz, tentu ikut pula merasakan kepedihan yang dialami para artis jazz di panggung itu.
Untung tidak terjadi huru-hara. Misalnya, pelemparan batu, botol, dan benda-benda keras lainnya ke atas panggung. Ermy dan Ireng cepat membaca situasi hingga langsung mengalunkan irama "Bosanova". Musik Latin Jazz itu agak akrab dengan telinga penonton. Ditambah syair lagu dalam bahasa Indonesia.
Ternyata kiat Ireng dan Ermy cukup ampuh. Setelah tiga lagu, keadaan pun berbalik. Penonton mulai menunjukkan simpatinya. Tepuk tangan meriah diberikan khusus buat Ermy Kullit yang memang memiliki suara yang enak untuk didengarkan.
Para "jazz lover" pasti trenyuh jika menyaksikan pianis kondang seperti Bubi Chen atau Hendra Wijaya bermain hanya sebagai penggembira dalam suatu pesta perkawinan. Atau, seorang Abda Soesman bersama kelompoknya memainkan musik populer di klub-klub malam dan panggung-panggung pertunjukan. Bahkan, seorang Maryono, saxophonis piawai itu, pernah bergabung dengan sandirawa lawak Srimulat.
Untuk memenuhi keinginan produser dan pasar, Ireng Maulana terpaksa membuat rekaman dalam irama "Bosanova" bersama Ermy Kullit dan beberapa penyanyi lain--tanpa berani memasang label jazz. Merekam irama yang populer dan komersial memang mendatangkan uang. Produser sendiri mengaku lebih mudah memasarkan musik yang berirama sedikit populer, ketimbang membuat rekaman murni jazz.
Lalu, adakah musik jazz Indonesia? Jawabannya ada. Buktinya, siapa yang menyangkal kehadiran Nick Mamahit, Mus Mualim, Tjok Sinsoe, dan Jack Lesmana. Belum lagi sederetan musisi muda seperti Indra Lesmana, Idang Rasjidi, Gilang Ramadhan, Cendy Randus Luntungan yang masih setia berkiprah sampai hari ini.
Adakah penonton atau penikmat jazz? Tentu saja banyak. Namun, apakah mereka memang apresiatif terhadap jazz, itulah persoalannya. Kalau melihat suatu pentas musik jazz, jumlah penontonnya memang datang berduyun-duyun. Bahkan kerap kali ada yang tidak kebagian karcis. Apalagi bila yang tampil musisi ternama seperti Bob James dan Lee Ritenour. Meski ada pula satu-dua orang yang datang masih hanya sebatas ingin tahu.
Pesta jazz sering diselenggarakan, memang. Banyak musisi dan penyanyi jazz kaliber dunia rutin naik ke panggung-panggung pertunjukan di Indonesia. Acara apresiasi jazz sering diadakan di kampus-kampus. Misalnya, Kampus Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, dan Universitas Gadjah Mada. Napas jazz, rasanya ada di mana-mana.
Memang, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, secara bergantian musisi jazz senior dan junior ikut serta dalam festival kelas dunia di North Sea Jazz Festival di Belanda. Memang, bahwa Ireng Maulana sudah empat kali menyelenggarakan festival internasional, dengan judul: Jakarta Jazz Festival--yang kemudian lebih dikenal Jak-Jazz.
Namun, fakta itu belum menunjukkan kehidupan jazz di Indonesia sudah cerah dan menggembirakan. Masih banyak musisi jazz yang memainkan musik populer atau bergabung dengan kelompok pengisi rekaman musik pop. Nick Mamahit yang bermain piano tunggal di sebuah hotel berbintang di Jakarta, mau tak mau harus melantunkan lagu-lagu populer. Meski ia toh memberikan sedikit napas jazz. Ada pula musisi jazz yang terjun ke dalam bisnis entertainment seperti Sadikin Zuhra. Sedangkan Chandra Darusman, saat buku ini disusun, sedang sibuk mengurus ke lembaga hak cipta penulis lagu ketimbang memainkan pianonya. Margie Segers, sang juara jazz vokal pada 1970-an, bagaikan lenyap ditelan bumi. Inilah tragedi musik jazz Indonesia.
TAK DIRAGUKAN LAGI BAHWA JACK LESMANA adalah seorang musisi jazz yang idealis. Dia pernah mengumpulkan sejumlah anak muda hanya untuk bermain jazz. "Jazz saja," tuturnya suatu ketika.
Dua kata itu pula yang kemudian menjadi judul sebuah pertunjukan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tahun 1970-an. Jack yang sempat mendirikan sekolah musik, mendapat dukungan dari bekas murid-muridnya. Antara lain, Abadi Soesman, Benny Likumahua, Chandra Darusman, dan anaknya sendiri Indra Lesmana.
Jack Lesmana pernah merasa tidak dihargai sebagai musisi jazz di negerinya sendiri. Berbagai upaya yang dilakukan sia-sia. Seperti "patah arang", ia lalu menjual rumahnya dan keluarganya ke Australia, menyusul Indra yang sedang mendalami musik di sebuah konservatori di sana.
Selama lima tahun mereka menetap di Negeri Kangguru, Jack belajar sambil bekerja. Untuk mengasapi dapur rumah tangga, ia keluar masuk bar dan restoran. Di sana, Jack sempat pula menggalang pergaulan dengan para musisi jazz setempat, sambil asah terampil.
Bak pepatah Melayu, sejauh-jauh bangau terbang, balik ke kubangan jua. Ia pun kembali ke Indonesia, setelah Indra tamat belajar musik. Karena tak punya rumah, ia tinggal beberapa bulan di Hotel Sahid Jaya. Sementara, untuk membayar sewa kamar hotel, ia melakukan semacam barter dengan memainkan musik jazz di bar hotel tersebut.
Kini Jack Lesmana telah tiada. Sementara di Indonesia, jazz sudah berkembang dan semakin marak. Klub-klub jazz bermunculan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sejak tahun 1985, sejumlah musisi jazz Indonesia silih berganti berangkat mengikuti festival internasional di Belanda. Setiap minggu, musisi jazz dari mancanegara tampil di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Jack tak sempat merasakan bahwa kini orang sudah bisa bergembira-ria menikmati permainan jazz. Pertanyaannya adalah apakah jazz seperti itukah yang dicita-citakan oleh Jack Lesmana?
Namun, apa pun yang terjadi hari ini, para seniman, pejuang, para idealis, dan pencinta jazz mengakui banyak jejak yang ditinggalkan Jack dalam perkembangan jazz di Indonesia. Bahkan, lebih dari itu, kita semua sepakat bahwa Jack Lesmana adalah salah satu tonggak yang mendukung perjalanan musik jazz modern di Indonesia.
Berbagai peristiwa musik jazz bersifat apresiatif pernah diselenggarakan Jack. Baik di panggung pertunjukan, layar televisi, rekaman, dan acara musik. Jack juga membuka sebuah sekolah pendidikan musik jazz.
Menyebut nama Jack dan Bill bukan untuk mengecilkan musisi jazz lain. Namun, karena mereka cukup fenomena sebagai orang terdepan jazz di Indonesia. |
Unik dan penuh tantangan melihat seorang otodidak seperti Jack menyelenggarakan pendidikan musik. Bahkan Jack pernah dengan bangga mengatakan: teori yang diajarkan adalah metode yang diciptakannya sendiri.
Jack bertangan dingin, memang. Dari dia lahir banyak musisi jazz berbakat dan punya masa depan cerah. Misalnya, Benny Likumahua, Abadi Soesman, Chandra Darusman, Jeffry Tahalele, tak malu-malu menyebut diri mereka sebagai murid Jack.
Tokoh jazz lainnya adalah Amir "Bill" Saragih. Setelah kepergian Jack, putra Batak yang semula ingin menjadi seorang ahli hukum kini merupakan satu dari sekian musisi jazz paling depan di Indonesia. Seperti halnya Jack, Bill saat ini identik dengan jazz. Dia begitu terampil memainkan sejumlah alat musik. Antara lain, flute, saxophone, trompet, vibra phone, dan piano.
Bill juga seorang entertainer profesional, seorang penghibur yang handal. Penampilannya memikat, guyonan dan joke yang dilontarkan selalu segar. Bill bisa memukau penonton di tempat duduk hingga pertunjukannya usai.
Seorang musisi juga dituntut menguasai teknologi. Ia harus terus menimba ilmu. "Bila tidak, suatu saat kita akan kepentok. Dan kita tidak tahu lagi apa yang akan kita perbuat," ujar Bill Saragih dalam sebuah percakapan.
Kesadaran akan pentingnya intelektualitas dalam diri seorang seniman sudah merasyuk dalam diri Amir Saragih sejak muda belia. Karena itu, jangan heran bila Bill pergi "membuang" diri, pergi melanglangbuana. Dia mengunjungi berbagai negeri yang memiliki tradisi jazz. Juga ke beberapa negara tetangga dan akhirnya ke Australia.
Di negeri orang, Bill menimba ilmu. Tak hanya musik, tapi juga kebudayaan setempat. Dia berguru pada siapa saja sepanjang pengembaraannya itu. Selama itu pula ia keluar masuk tempat-tempat hiburan dan main jazz.
Dia "ngamen" di panggung-panggung klub malam, bar, dan restoran. Di Bangkok, Manila, Hongkong, Saigon, sampai ke Jerman. Bill juga berkenalan dengan musisi-musisi jazz dunia. Dia sempat bermain bersama Lionel Hampton, vibrafonis jazz ternama AS, ketika singgah di Bangkok.
Padahal, ketika berangkat meninggalkan kampung halamannya di Simelungun ke Jakarta, cita-citanya adalah menjadi seorang sarjana hukum. Bill malah sempat masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Rupanya panggilan dunia seni lebih besar, sehingga bangku kuliah ditinggalkannya.
Para "jazz lover" pasti trenyuh jika menyaksikan musisi jazz kondang bermain hanya sebagai penggembira dalam suatu pesta perkawinan. |
Akhirnya, Bill berlabuh di Australia. Tinggal di sana bersama istrinya, seorang wanita asal Inggris, dan anak-anaknya. Dia secara tetap main jazz di berbagai klub malam ternama di situ. "Orang bule sempat tak percaya kalau awak ini yang kulitnya berwarna memiliki kemampuan main musik," tutur Bill suatu ketika.
Namun, sebagai orang Batak yang "tebal muka", Bill terus menunjukkan dirinya. Hingga orang mulai melirik dan mengakui keberadaannya. "Kiat lain, jangan pula gampang tersinggung, lalu berhenti main musik, hanya gara-gara disepelekan orang," katanya terbahak.
Dengan modal keterampilan itu sebuah klub jazz di sana bersedia menerimanya. Meski harus bekerja tujuh hari seminggu, Bill tak menyia-nyiakan lowongan kerja itu. "Soalnya awak kan butuh makan," katanya. Di situ Bill bekerja selama tujuh tahun. Namanya mulai dikenal. Sehingga akhirnya ia termasuk dalam kategori musisi jazz yang diperhitungkan di Australia.
Akhir 1980-an, Bill pun pulang kampung. Mulailah ia menapak dari awal. Keluar masuk bar dan restoran. Main dari satu kota ke kota lain. Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dijajaki ketika itu. Turun naik panggung bagai tak kenal lelah. "Menghibur sambil memberikan apresiasi musik jazz adalah amal," katanya dengan raut muka bangga.
Menurut Bill, banyak sudah anak muda suka memainkan musik jazz. "Ini harus dipertahankan dan dipupuk terus," ujarnya. Di Jakarta, Bill mendirikan sebuah kelompok. Dengan modal itulah, ia bermain di pub, restoran, dan hotel-hotel di berbagai kota. Selain itu ia juga mengisi acara khusus jazz di televisi dan radio-radio swasta. Niatnya kini adalah mendirikan sebuah sekolah musik.
Ilustrasi di atas adalah sebuah potret perjalanan jazz di Indonesia. Sebuah gambaran pahit getirnya perjuangan para musisi jazz yang idealis, baik secara individual maupun secara berkelompok. Menyebut nama Jack dan Bill bukan bermaksud mengecilkan musisi jazz lainnya yang tak kalah gigih berjuang.
Pilihan kedua tokoh ini tak lain karena mereka cukup fenomenal. Jack memainkan jazz sejak muda usia, jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Dia berangkat dari Jember, sebuah kota kecil di Jawa Timur, lalu menjadi orang terdepan dan terus berkecimpung di jazz hingga akhir hayatnya.
Perbuatan dan kesadaran ini juga berlaku pada Bill Saragih. Padahal, kita semua tahu, di satu sisi musisi jazz dituntut mengembangkan dirinya, sementara di sisi lain ia dituntut pada soal ekonomi untuk menghidupi keluarga.
Karena itu, bukan sesuatu yang mengherankan jika seorang musisi jazz, sering tampil bermain musik pop di panggung atau dalam rekaman. Ini memang untuk memenuhi selera pasar, dan berbarengan dengan itu untuk menghidupi diri si-musisi sendiri.
Barangkali lantaran bercabang dan beragam kegiatan individu para musisi jazz itulah, jazz sulit berkembang. Jazz seolah-olah sulit digali secara intens, tuntas, dan mendalam. Tak ada waktu untuk mencari ilmu dan jurus-jurus baru. Atau, setidaknya, menggali potensi diri sendiri. Itu jugalah yang membuat kita kehilangan kesempatan untuk menangkap suatu yang paling esensial yang oleh para jazz lover disebut sebagai "roh" jazz.
M
Sumber: Matra Nomor 102, Januari 1995