Rabu, 20 Januari 2021

2. KENAPA HARUS ITB

Risky asal saja naik angkot tanpa melihat jurusan. Tahu-tahu ia terdampar di Alun-alun.

Saat menapaki trotoar, ia gamang.

Ia mampir ke Palaguna, melihat-lihat kaset terbaru, poster-poster film yang sedang diputar, lalu menjauh.

Ia berpapasan dengan seorang anak gelandangan. Penampilannya sungguh tak keruan: rambut lengket, muka cemong, pakaian compang-camping, aroma pesing menyengat.

Ia menaiki jembatan, ke tingkat teratas.

Dari luar, jembatan itu terlihat enak ditongkrongi. Tapi di dalamnya terdapat beberapa gubuk kardus. Lantainya bebercak-bercak hitam. Aroma tak sedap berpusar.

Risky melipat kedua lengannya di atas palang pembatas dan memandangi arus kendaraan di bawah. Ia memikirkan ulang bayangan-bayangan yang melintas di benaknya kemarin malam: kabur dari rumah, keluyuran di jalan, dan, ketika uangnya habis, loncat dari jembatan sembari memeluk RX-78-2.

Pundaknya makin berat saja.

Turun dari jembatan, ia berteduh dari terik matahari di pelataran Masjid Agung. Ia membuka kembali komik Doraemon jilid dua yang sebelum berangkat tadi sempat ditambahkannya ke dalam ransel, cerita "Hari Kelahiranku".

"Tak bergairah. Belajar ... belajar, begitu terus," ucap Nobita. "Beri tahu Ibu, aku sudah bosan. Aku ingin dipercaya!"

"Kalau begitu, mulailah dari dirimu sendiri," kata Ibu.

"Tak ada cara lain. Salahmu sendiri," sahut Doraemon.

"Apakah aku bukan anak kandungnya?" tanya Nobita. "Dipungut dari mana?! Kalau anak kandung, tak akan dimarahi keterlaluan seperti itu. Aaa .... Ibu kandungku, di mana kau?"

Risky membalik halaman-halaman.

"Anak kita besok jadi apa, ya?"

Nobita mendengar suara dari balik pintu tempat kedua orang tuanya bercakap.

"Pasti besok jadi anak yang baik. Cakep dan selalu berbakti pada orang tua."

"Ah, bahagianya kita," ucap Ibu Nobita.

"Kesepian kita telah berakhir," sambut Ayah Nobita. "Aku ingin anak kita besok jadi orang terkenal."

"Aku pun begitu dan kita pun akan lebih bangga," ujar Ibu Nobita.

"Tuh dengar! Bebanmu banyak sekali," kata Doraemon pada Nobita. Keduanya berada di balik pintu ruangan tempat ayah dan ibu Nobita tengah berbincang.

"Aku ingin anak kita rajin belajar," Ayah Nobita melanjutkan.

"Dan selalu jadi juara kelas," Ibu Nobita menyambung.

Risky mengangkat kepala. Di seberangnya, seorang lelaki meraih lengan seorang perempuan. Tapi lelaki itu ditampik dengan kasar. Pasangan itu bertikai, menarik tatapan banyak orang di seputar mereka. Lelaki lain masuk, "Heh, heh, pasea tong di masjid!" Pasangan itu terdiam, beringsut, memasang alas kaki, dan melanjutkan urusan mereka seketika kaki mereka lepas dari lantai masjid. Risky menunduk lagi.

"Ayah, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Nobita, yang telah menghambur masuk ke ruangan. Doraemon mendorong Nobita keluar lagi.

Nobita merenung. "Rasanya mereka sudah tak sayang lagi padaku."

Di panel berikutnya, Nobita belajar sampai matanya berupa tanda tambah.

"Nobita, sudah malam, Nak, nanti kamu sakit," kata Ibu Nobita.

"Ayo Nobita, tidur. Besok kamu harus bangun pagi," kata Ayah Nobita.[1]

Risky memandang panel itu sejenak. Lalu ia mendapati pasangan tadi telah menjauh beberapa jengkal dari lantai masjid, duduk di undakan. Tampaknya si perempuan menangis.

Risky memasukkan komik ke ransel, beranjak dan mengedarkan pandang ke jalan.

Yang terdekat itu ke ITB, pikirnya. Selanjutnya Unpad. Kalau ke Ikip, jauh ke atas dan lagi bukan kampus orang tuanya.

Ia tidak tahu angkot jurusan ke ITB, tapi tahu arahnya. Ia mengenakan lagi sepatunya, memasang headphone, dan melangkahkan kaki.

.

Masuklah Risky ke Jalan Ganesa, melewati barisan mobil berlapiskan tahi burung, menghadapi gerbang berhiaskan rimbun kembang kertas yang lagi mekar-mekarnya, disambut spanduk: "SELAMAT DATANG PUTRA DAN PUTRI TERBAIK INDONESIA."

Risky menunduk, meninjau pakaiannya mulai dari sepatu kets, celana jin, kaus, yang ditutupi jaket, dan ransel di punggungnya. Sudahkah cukup untuk menyaru sebagai mahasiswa--putra terbaik Indonesia?

Risky menegakkan badan, memasang tampang percaya diri.

Nanti kalau entah bagaimana ada yang tanya, ia akan mengaku sebagai mahasiswa sini. Jurusan ... Teknik ... Fisika. Ya, itu saja deh. Memang itu pilihannya sewaktu UMPTN kemarin, mengikuti jurusan Papa dulu sewaktu kuliah di sini.

Risky berusaha mengendalikan gerakan kepala dan arah matanya biar tidak terlihat terlalu celingukan bak turis. Tapi, sebagaimana turis yang baru pertama kali jalan-jalan di ITB, tak terelakkan juga memandangi bentuk-bentuk bangunannya, lapangannya, tangganya, kolamnya, pohonnya, mahasiswa-mahasiswinya ....

Tidak seorang pun mengacuhkan dia, tapi Risky tetap menjaga pandangan agar jangan sampai bertatapan dan menarik perhatian putra-putri terbaik Indonesia. Seakan-akan kalau pandangan mereka sampai bertemu, putra-putri terbaik Indonesia itu akan menyatroninya, menginterogasi, "Heh, benar kamu putra terbaik Indonesia?" dan ternyata ia putra terbodoh Indonesia.

"Risky?"

Astaga! Memang takdirnya jadi putra terbodoh Indonesia. Mau mengaku dari jurusan apa dia tadi?

"Eh .... Risky, bukan, yah?"

Hitam, keriting, dan berkacamata, Risky juga merasa kenal. Tapi, siapa namanya? Risky ingat orang ini sepertinya pernah duduk di sebelah dia, dulu, karena teman sebangku sewaktu ... di SMA ....

"Erik. Masih ingat, enggak?"

"Eh, iya, iya ...." Risky menyengir.

"Kamu juga keterima di sini, Ki? Jurusan apa?"

"Eh ..." apa tadi? "Teknik Fisika. Kamu?"

"Biologi. Eh, Teknik Fisika mah bareng atuh sama si Dodi."

"Dodi?"

"Iya, yang dulu duduk depan kita, sebelum kamu pindah."

Oh .... Erik, Dodi ... anak-anak yang duduk di sekitar dia dulu, yang ....

"Zaki di Teknik Sipil, Cipta Teknik Elektro. Koko di Arsitektur. Ngabring tadi kita di rektorat, daftar ulang. Banyak lah anak dari kelas kita dulu yang lolos ke ITB. Paling banyak seangkatan kayaknya."

... yang suka minta jawaban padanya saat ulangan, yang melakukan suatu padanya sehingga dia malas melanjutkan sekolah, sehingga ia dikeluarkan dari SMA negeri yang terbilang favorit itu, dan hanya SMA swasta yang mau menerima dia tanpa mensyaratkan tinggal kelas.

"Woi, Erik!"

Rupanya keempat orang itu sedang duduk-duduk di pinggir teras gedung seberang, sedari tadi memerhatikan Erik dan Risky.

"Woi, ini si Risky!" Erik balas berteriak. "Yang gambarnya alus tea, anjing!" Gambar buatan Risky bagus, katanya. "Hayuk, Ki," ajak Erik mendekati mereka. Tapi Risky sudah lenyap.

Goblok! Goblok! Kenapa lari!? Walau sebetulnya Risky berjalan secepat-cepatnya, menjauhi teriakan yang memanggil-manggil namanya. Langkahnya baru melambat setelah membelok ke Jalan Dago arah BIP.

Sialan! Sialan! Berengsek! Anjing! Dulu gue yang paling pintar di antara mereka! Tapi tetep gue yang paling hina! Kenapa mereka semua pada bisa lolos ke ITB?!

Risky berputar-putar sendiri di pinggir jalan.

Coba kalau gue terus di SMA itu. Coba kalau--dan ia teringat lagi ulah anak-anak itu. Wajahnya memerah. Lehernya mendeguk-deguk.

Bangsat! Bangsat! Bangsat!

Ia lanjut berjalan cepat sampai rumahnya di sekitar Buah Batu.

.

Hidup Risky sebelumnya santai-santai saja. Pulang sekolah siang-siang, lalu makan sambil menonton TV diawasi Simbok. Setelah itu, kadang ia tidur. Sore ia bisa menonton TV lagi, tapi biasanya Simbok rewel mengingatkan dia pada PR atau ulangan. Kadang ada juga anak-anak tetangga yang bertandang ikut menonton TV atau ingin melihat-lihat bacaan dan mainannya. Malam ia bisa menonton TV lagi, tapi kalau tidak ada acara yang menarik lagi--lagi pula salurannya cuma TVRI--ada banyak pilihan bacaan dan mainan sambil menunggu Mama pulang. Belajar pun kadang ia lakoni dengan sukarela, walau seringnya karena disuruh Simbok. Apalagi ketika di tengah belajar itu Mama pulang, pujian mengalir sampai ia tidur nanti.

Di Jepang, sering kali tidak ada pilihan selain belajar. Apalagi karena kendala bahasa, Risky mesti belajar lebih keras daripada anak-anak di kelasnya. Jam sekolah di Jepang lama pula, sampai sore. Ditambah lagi, beberapa hari dalam seminggu ada les bahasa Jepang. Malam ia masih harus belajar lagi. Ia masih sempat menonton TV barang sebentar, tapi sudah itu saja.

Di luar itu, Risky tidak nyaman di rumah. Pernah sepulang sekolah ia mendapati Mama lagi menonjok-nonjok bantal. Risky cuma menaruh tas lalu keluar lagi, berusaha tanpa suara. Lalu ia keluyuran saja dan berakhir di taman yang sepi dekat rumah, duduk di ayunan menunggu sampai hari benar-benar gelap baru pulang. Malam biasanya Papa sudah pulang, masakan siap, dan Risky tinggal makan sebelum mengurung diri di kamar--belajar seperlunya lalu langsung tidur.

Risky tidak menyadari bahwa pada waktu ia duduk-duduk melamun di ayunan itu, ada yang mengenali dia. Shigeo tiap hari pulang melewati taman itu, mendapati seraut wajah familier yang tertekuk murung. Pada awalnya ia acuh tak acuh, namun diam-diam berusaha mengingat-ingat. Begitu ingat, ia terkikik geli sampai susah berhenti. Lama Risky dalam pikiran Shigeo, hingga timbul ide untuk memulai perkenalan kembali. Shigeo memutari taman lalu bersembunyi di semak-semak belakang Risky. Ia mengambil sebutir kerikil lalu melemparkannya ke kepala anak itu. Tepat sasaran. Shigeo memang pitcher yang andal di tim bisbol sekolahnya. Risky menoleh, celingukan, dan cuma mendapati beberapa lansia di kejauhan. Ia mendongak. Mungkin tadi itu ranting jatuh.

"Adaw!"

Kena lagi. Shigeo cekikikan.

Risky waspada. Ia tidak lagi tenang duduk-duduk saja. Namun setelah ia bangkit dan berjalan pergi, ada yang memanggil dia dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang remaja berseragam gakuran sedang menyengir padanya. Wajah itu sepertinya tidak asing.

"Kamu pernah makan malam di rumahku, kan?" tegur Shigeo.

Risky tertegun.

"Eh, sudah bisa bahasa Jepang?" tanya Shigeo.

Risky mengangguk-angguk.

Shigeo memberikan isyarat agar Risky duduk kembali di ayunan. Ia sendiri duduk di ayunan sebelah Risky.

"Kamu masih ingat namaku?" Shigeo bertanya pelan-pelan, supaya Risky dapat menangkapnya baik-baik.

Terus terang Risky tidak ingat. Saat bertamu bersama kedua orang tuanya--tidak lama setelah ia dan Mama menyusul Papa ke Jepang--Risky lebih banyak memerhatikan interior rumah Shigeo yang semitradisional. Ia mengabaikan percakapan yang berlangsung. Lagi pula saat itu ia baru sedikit sekali mengenal bahasa Jepang. Yang ia tahu, sama seperti dirinya, Shigeo juga anak tunggal namun usianya beberapa tahun lebih tua. Saat itu Shigeo sudah SMP. Nantinya saat Shigeo masuk SMA, Risky ke SMP.

"Panggil aja aku Shigeo," lanjut remaja itu.

"Risky."

"Risuki," ulang Shigeo sambil tersenyum.

Setelah pertemuan itu, senja yang dilalui Risky di taman tak begitu temaram lagi. Shigeo kerap lewat di balik pagar taman, memanggil dan melambaikan tangan. Risky balas menyapa dan hatinya menjadi sedikit ceria.

Lalu Shigeo mulai mengajak Risky main ke rumahnya. Saat bertemu Risky untuk kedua kali, ibu Shigeo heran. Ia tidak segera mengenali Risky, dan tumben Shigeo membawa teman yang lebih kecil. Shigeo menjelaskan tentang Risky, dan sempat ia membisikkan sesuatu pada ibunya. Lalu wanita itu terperangah dan tiba-tiba menutupi mulutnya. Matanya tampak geli. Seketika saja ibu Shigeo bersikap sangat ramah kepada Risky. Keluarga itu kerap menjamu kolega asing ayah Shigeo beserta keluarga masing-masing, namun tidak ada yang bertingkah sekonyol anak Indonesia ini saat tak sengaja makan wasabi untuk pertama kali. Risky melonjak dari tempat duduknya, menjejak-jejakkan kaki, dan berlari-lari sambil menjulurkan lidah. Segera setelah peristiwa itu, Risky melupakannya tapi keluarga Shigeo tidak.

"Kamu makan malam di sini aja. Nanti aku antar pulang," kata Shigeo. "Boleh kan, Bu?"

"Eh, apa nanti orang tuanya enggak khawatir?" tanya Ibu Shigeo.

"Telepon aja."

Sementara Risky menelepon ke rumah, Shigeo membisiki ibunya. "Bu, keluarin wasabi lagi."

"Jangan ah, kasihan."

Tapi mereka punya umeboshi. Mereka menyembunyikan seringai girang saat Risky memejamkan matanya rapat-rapat, mulutnya mengerucut menahankan asam yang keterlaluan, dan badannya menggeliat saking tak tahan.

Kamar Shigeo membukakan dunia baru pada Risky, yang menjadikan tahun-tahun berikutnya selama di Jepang tertahankan. Shigeo mengenalkan Risky pada Nintendo, manga, sampai Gundam, yang nantinya membuat Risky kerap merengek pada orang tuanya agar punya sendiri. Apalagi di Jepang ternyata ada banyak sekali jenis bacaan dan mainan yang belum masuk ke Indonesia. Kalau bisa, Risky ingin memiliki semua-muanya!

Banyak gambar cewek nyaris telanjang di koleksi manga Shigeo. Ketika hendak pulang dari kunjungan pribadinya yang pertama kali itu, Risky dihadiahi Shigeo salah satu manga miliknya yang sudah agak kucel. Judulnya Cutie Honey. Melihat kovernya, Risky menyembunyikan buku tersebut di balik bajunya. Ia bertekad untuk menjaganya baik-baik dan jangan sampai orang tuanya mengetahui keberadaan barang itu. Bila sedang sendirian di kamar, ia membuka manga itu, berusaha membacanya, dan semangatnya belajar bahasa Jepang pun melejit supaya bisa benar-benar memahami artinya. Buku komik itu sampai lecek, saking seringnya dibaca dan saking lamanya kesempatan untuk beli sendiri tiba. Tiap kali pergi ke pusat perbelanjaan bersama orang tuanya, Risky dibolehkan untuk membeli satu barang saja. Sering kali ia terpaksa mendahulukan Gundam rakitan atau gim daripada manga.

Tiap kali melihat Shigeo lewat di depan taman, Risky berharap akan diajak main lagi. Tapi sering kali pemuda itu cuma melambaikan tangan, malah kadang seperti yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tidak menoleh. Paling sering sebulan sekali Risky diajak main lagi ke rumah Shigeo. Kesempatan yang bagi Risky jarang-jarang itu memang sudah dianggap sering oleh ibu Shigeo. Wanita yang awalnya ramah sekali itu mulai terlihat sungkan saat Shigeo membawa Risky ke rumah untuk kesekian kali.

Risky sudah berada di kamar Shigeo, bersiap main Nintendo. Shigeo sendiri sedang keluar kamar. Pintu ditutup, namun Risky masih dapat menangkap percakapan antara Shigeo dan ibunya.

"Kamu kan sudah SMA. Jangan main terus. Harus belajar lebih keras. Kalau tidak bisa masuk universitas bagus, nanti susah dapat pekerjaan bagus."

"Iya, sudahlah!"

Shigeo kembali ke kamar sambil menyembunyikan kedongkolan, tapi Risky masih dapat melihatnya.

Kalau tidak bisa masuk universitas bagus, nanti susah dapat pekerjaan bagus. Perkataan ibu Sigeo itu tidak pernah dipikirkannya sampai sekarang ini.

Padahal, sebenarnya, sejak Risky SMA, Mama sudah kerap menyindirnya. Tiap kali ada saudara atau tetangga yang mulai kuliah di perguruan tinggi negeri ternama, atau melihat Pak Habibie di televisi, Mama selalu bilang pada Risky. "Kalau bisa sih kuliah di luar negeri. Jerman, gitu, kayak Pak Habibie. Kalau enggak bisa, di ITB juga enggak apa-apa. Papa kamu aja bisa, masak kamu enggak?"

Mama juga suka berbual, "Dulu cowok yang mau pacaran sama Mama banyak. Tapi yang ITB cuma Papa kamu."

Risky tidak pernah benar-benar mendengarkannya. Ia menganggap Mama cuma lagi usil, seperti sewaktu tahu-tahu menyorongkan fotonya semasa muda dalam kostum penari daerah. Lalu Mama mencerocos tentang pengalamannya diundang menari ke sana kemari di depan para pejabat. "Ini waktu Mama seumur kamu lo."

Risky juga mendengar tentang teman-teman Mama semasa kuliah di Unpad yang telah menjadi dosen, diplomat, peneliti di lembaga asing, pengusaha kafe di Bali, atau istri bule yang tinggal di manalah pokoknya Eropa Barat, dan masih pada aktif bekerja. Mama sendiri tidak pernah lolos beasiswa pertukaran pelajar atau lowongan bekerja di luar negeri. Risky tidak pernah berkomentar atas pencapaian ataupun aspirasi yang tidak kunjung kecapaian itu. Ia tidak pernah mengindahkan perkataan Mama, sampai sekarang ini.

Mungkin universitas bagus memang jaminan untuk mendapatkan pekerjaan bagus. Papa dan Mama yang sama-sama lulusan PTN ternama itu memang punya--atau pernah punya--pekerjaan bagus, setidaknya dari kecil Risky termasuk anak paling makmur di antara teman-temannya. Banyak teman Risky yang di samping punya banyak saudara sehingga mesti berbagi juga ibunya di rumah saja seperti Simbok. Sedangkan Mama, di samping bekerja di hotel megah juga tidak punya anak selain Risky. Setelah Mama tidak bekerja dan memberinya adik pun, Risky masih dijatah uang saku yang cukup untuk membeli barang-barang yang dia inginkan--walau bukan yang sangat-sangat mahal dan kadang-kadang ia perlu menabung dulu.

Suatu hari, orang tuanya tidak akan memberi dia uang lagi; ia mesti punya penghasilan sendiri untuk membeli barang-barang yang dia inginkan. Barang-barang itu bukan sekadar buku, kaset, dan model kit, melainkan juga rumah, mobil, kebutuhan sehari-hari untuk istri, anak-anak-anak mungkin.

Berapa besarkah penghasilan yang mesti dia peroleh untuk dapat memenuhi semua itu? Penghasilan besar mesti dari pekerjaan bagus ... universitas bagus?

Baru sekarang, Risky berpikir akan masa depannya yang, kata Andy Liany, lebih kejam dari sekarang. Judul lagunya "Kami Harus Diselamatkan".

Ia harus menyelamatkan diri dari kejamnya masa depan.

Kenapa baru terpikirkan sekarang? Kenapa tidak sedari mendengar ibu Shigeo berkata begitu ia langsung mencamkan dan membangun ambisi? Kenapa tidak sedari dipermalukan Erik dan kawan-kawannya di SMA ia bertekad untuk membuktikan diri? Ia tidak akan menyia-nyiakan UMPTN yang baru saja lewat itu. Ia tidak akan melalui saat ini sambil terbengong-bengong dalam kebegoan. Seorang diri, berteman sepi dan angin malam mencoba merenungi tentang jalan hidup ini ....

Pada saat seperti inilah, Risky butuh berbicara kepada kekasihnya. Gadis itu sesungguhnya sibuk luar biasa: merekam album baru, berpose sebagai model, belum lagi berakting untuk film dan sinetron. Tapi, ia juga tidak pernah pergi dari hati Risky.

Risky melangkahkan kaki, mengambil map yang disimpannya di laci nakas. Map itu dibukanya, dan disimaknya wajah yang terpajang di balik plastik. Dibelainya.

"Nike, adakah kasih suci?"

Wajah yang bercahaya terang itu menyinari dirinya, menyejukkan bak embun pagi; wajah dambaan insan di dunia ini.

Ha ha ha haaa haaaaaa ....

"Ya, Risky," ucap Nike, sekonyong-konyong hadir di depannya, duduk di sebelahnya di tepi tempat tidur. "Aku mengerti kebimbangan hatimu yang penuh tanda tanya."

"Kamu mengerti." Risky terharu. Ia meraih tangan gadis itu dan menciumnya. Seharum bunga.

"Sekarang saatnya menentukan sikapmu dengan satu keyakinan, dan kamu harus tabah menjalaninya."

"Iya, Nike," sahut Risky lembut. Kedua tangannya menggenggam tangan gadis itu, dan ia memandang mata yang bulat itu dalam-dalam. "Bintang 'kan bersinar. Bahagia 'kan datang."

Gadis itu tersenyum.

Risky plong.

Hanya Nike di dada

Yang membuatku mampu

Selalu tabah menjalani ....

Risky menutup map dan bersamaan dengan itu pergi juga Nike, mungkin kembali ke studio rekaman.

Risky bangkit dan mengumpulkan buku-buku pelajarannya selama SMA, juga buku-buku latihan soal baik dari bimbingan belajar maupun yang dibelikan Mama pada minggu-minggu terakhir menuju UMPTN. Ia menumpuk semuanya di meja, lalu duduk dan membuka salah satunya. Ia mulai membaca, lalu menutupnya lagi.

Mulai besok saja. Sekarang sudah malam, sebaiknya tidur ....

.

Sabtu pagi, Risky terbangun oleh sentakan Mama.

"Udah UMPTN, jangan malas-malasan!" Mama melangkahi barang-barang Risky yang bergeletakan di lantai, mencapai jendela, dan menarik gordennya. Serta-merta cahaya matahari merajam penglihatan Risky. "Kamar kayak kandang babi!"

Babi kan lahir dari ibu babi! gerundel Risky. Dengan malas, ia bangkit dan duduk.

Papa menghampiri ambang pintu kamar Risky yang terbuka lebar-lebar. "Ayo, Ki, lihat-lihat kampus swasta."

Risky mengingat percakapannya semalam dengan Nike. Hatinya tidak lagi bimbang penuh tanda tanya. Ia telah menentukan sikap, satu keyakinan. Ia akan tabah menjalaninya. Bintang 'kan bersinar, menerangi hidupnya. Bahagia 'kan datang.

"Aku enggak mau kuliah di swasta," Risky menyatakan keputusannya. "Aku mau belajar buat UMPTN tahun depan. Aku mau ke ITB."

"Alah, paling malas-malasan aja di rumah!" sergah Mama.

"Apa enggak mau sambil kuliah?" tanya Papa.

"Sambil kerja, kek!" sembur Mama.

"Enggak," tegas Risky. Ia melangkah ke meja belajarnya yang kini disirami cahaya matahari. Ia duduk dan membuka satu buku, menampakkan konsentrasi penuh.

"Hah, buang-buang waktu aja!" keluh Mama.

Risky mendengarkan langkah Mama menjauh.

Tidak ada yang sia-sia. Pengalaman yang lalu menjadi akar yang menunjang tekadnya. Akar tunjang, bukan akar serabut. Risky bangga masih mengingat pelajaran Biologi. Ini akan menjadi awal yang baik.

Lalu disadarinya bahwa ia telah menatap paragraf yang sama tanpa memahami sedikit pun isinya. Ini pelajaran apa sih? Risky mengangkat separuh buku untuk melihat sampulnya. Saat menoleh itu, ia mendapati Papa sedang berdiri di belakangnya entah sedari kapan.

"Yakin, enggak sambil kuliah?" Papa mendelik atau memang matanya sangat besar--Risky tidak pernah yakin yang mana.

"Y-y-ya-ya-kin ...." Risky berusaha menekan tanda tanya di ujung ucapannya.

"Apa enggak bisa sambil kuliah?"

"Enggak."

"Memangnya enggak bisa bagi waktu?"

"Enggak--"

"Apa enggak mau belajar bagi waktu?"

"Enggak! Aku mau fokus! Aku butuh konsentrasi!" Risky berdiri, setengah membentak Papa yang kini tidak lebih tinggi dari badannya. Ia tidak bermaksud menantang, tapi entah kalau Papa menganggapnya demikian. Hantaman Papa biasanya tidak terprediksi. Kapan pun itu, Risky siap saja bila mesti berkelahi lagi.

Tapi Papa cuma, "Hm," lalu meninggalkan kamarnya.


[1] Doraemon 2 oleh Fujiko F. Fujio, alih bahasa oleh Arnida Masliza, terbitan PT Elex Media Komputindo, Jakarta, cetakan pertama Desember 1991, cetakan ketujuh November 1996

Rabu, 13 Januari 2021

Beribadah dengan Hati Nurani

Gambar dari Tokopedia.
Penulis : Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Aqil Musa As-Syarif

Penerjemah : Dadan Kamal

Penerbit : Media Qalbu, Bandung

ISBN : 979-3892-27-7

Cetakan 1, Juni 2006 

Ada tiga bab dalam buku ini.

Bab 1. Hati dan Cara Ia Beribadah

Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala ucapan dan tingkah laku, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridai Allah. Yang dimaksud dengan ibadah hati adalah tingkah laku batin yang berpengaruh terhadap ucapan dan tingkah laku lahir (halaman 16-17).

Hati dapat rusak karena terlalu terpaut pada urusan dunia, dosa, terlalu banyak bergaul dengan orang lain, banyak makan, dan banyak tidur (halaman 53). Cara menghidupkan hati yaitu dengan mengingat Allah, mengingat kematian, ziarah kubur, serta berkunjung kepada orang-orang yang saleh (halaman 50).

Berpikir, merenung, berkontemplasi tentang Allah, cara menghindari larangan-Nya, serta hari akhir juga merupakan bentuk ibadah hati (halaman 44).

Bab 2. Ibadah Hati yang Asasi

Bentuk ibadah hati yang dikemukakan dalam buku ini yaitu ikhlas, tobat, tawakal, takut kepada Allah, dan berharap kepada Allah.

Pembahasan tentang ikhlas cukup membuat stres, karena rasanya mustahil. Bahkan kalaupun kita sudah berusaha mengerjakan amal saleh, masih sangat mungkin dicemari oleh niat-niat lain yang duniawi. Maka dikatakan bahwa kalau bisa ikhlas sebentar saja sudah syukur.

Memang ada pemakluman bahwa ikhlas sangat sulit, dan sebenarnya niat-niat terselubung itu bukannya memusnahkan pahala sama sekali melainkan menguranginya saja.

Wajar kalau kita beramal karena niat yang tidak ikhlas lillahi taala. Tapi, seiring dengan bertambahnya ilmu dan kesadaran, kita mesti meluruskannya. Mungkin di sini perlunya introspeksi niat secara berkala, untuk meluruskannya sebagaimana dilafalkan dalam doa iftitah.

Gambar dari RisalahMuslim.

Selain itu, ketidakikhlasan bukannya alasan untuk tidak beramal.

Agaknya ikhlas semakin sulit bila tidak benar-benar mengenal atau memahami Allah, yaitu kepada siapa amalan dipersembahkan.

Lagi pula, dalam kesempitan hati dan kebodohan akal sebagian manusia, tampaknya lebih mudah bila niat diterjemahkan ke dalam manfaat-manfaat praktis. Akal manusia mungkin terjebak dalam tataran duniawi, sehingga tidak sampai pada Tuhan. Untuk bisa mencapai taraf ikhlas, sepertinya manusia mesti meninggikan akalnya dan meluaskan hatinya.

Hal yang dapat membangkitkan keikhlasan dalam beramal yaitu doa, ilmu, semangat jihad, bersahabat dengan orang-orang ikhlas, serta membaca sejarah orang-orang saleh (halaman 86).

Bab 3. Beberapa Akhlak Fundamental

Bila ibadah hati merupakan fondasi, maka akhlak adalah bangunan yang memperkokohnya (halaman 179). Akhlak yang fundamental yaitu jujur, sabar, dan tawadhu.

Mengenai kejujuran, saya pikir sangat relevan dengan fenomena kekinian khususnya menyangkut media sosial. Melimpah konten kabar burung dan lucu-lucuan, tapi berikut ini patut diperhatikan.

Suatu malam aku bermimpi dua lelaki datang kepadaku … mereka berkata: ‘Adapun yang kamu lihat robek sudut mulutnya adalah seorang pendusta, ia mengatakan perkataan dusta sehingga perkataan dustanya itu menyebar luas, maka ia harus menanggung semua dosanya. Ia diperlakukan begitu sampai hari kiamat.” (HR Bukhari) (halaman 183)

Celakalah orang yang berkata dusta dengan tujuan agar ditertawakan orang banyak. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi) (halaman 184)

Kesimpulan

Ibadah hati dan akhlak fundamental sebagaimana yang dituntunkan dalam buku ini sangatlah penting karena merupakan landasan dari perbuatan, bahkan menentukan bagaimana suatu perbuatan diterima Allah. Di samping penjelasan dan contoh, buku ini juga menyertakan petunjuk praktis.

Kebetulan, bersamaan dengan buku ini, saya membaca Mindfulness for Dummies[1]. Timbul pertanyaan apakah ibadah hati itu serupa dengan being mode, sedangkan ibadah lahir itu doing mode; dan apakah teknik-teknik mindfulness dalam buku itu bisa diterapkan untuk memperbaiki ibadah hati. Menurut buku itu dalam bab 7, “Using Mindfulness for Yourself and Others”, singkatnya,

Doing mode is energetic and all about carrying out actions and changing things. Being mode is a soothing state of mind where you acknowledge things as they are.

Menurut saya, buku ini layak untuk dibaca berkali-kali meski ada riwayat-riwayatnya yang tidak mudah dicerna.



[1] Edisi ketiga. Penulis Shamash Alidina. Penerbit John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 2020.

Rabu, 06 Januari 2021

1. MAMA

Mama adalah orang yang paling Risky sayangi. Pagi-pagi saat Mama mau berangkat kerja, Risky kecil menangis. Ia meronta-ronta sambil dibopong Simbok di teras rumah, sementara Mama dadah-dadah padanya dan menjauh. Setelah Mama pergi, Simbok mencubiti Risky sampai anak itu diam. "Cah lanang ojo gembeng!" tukas Simbok gemas. Anak laki-laki jangan cengeng.

Ketika malam, Risky menanti kepulangan Mama. Berkali-kali ia menghampiri jendela, menyibak sedikit gorden, dan mengintip ke jalan. Padahal ketika Mama pulang pasti ada suaranya. Simbok terus mengingatkan Risky agar segera tidur, besok sekolah. Kadang Risky menurut karena keburu mengantuk. Lalu tahu-tahu saja kecupan Mama membangunkannya. Mama sudah pulang! Setelah bersih-bersih, Mama akan menemaninya di tempat tidur dan memeluknya sampai Risky terlelap.

Berkali-kali Risky berpesan, "Ma, pulangnya jangan malam-malam."

Mama berjanji, "Mama usahakan, ya, Nak."

Lalu Mama pulang larut seperti biasanya. Risky cemberut, menahan tangis berjam-jam sejak waktu yang semestinya Mama sudah di rumah. Tapi ciuman Mama selalu menghilangkan kekesalannya. Apalagi setelah Mama memeluknya.

Mama Risky wanita karier yang sibuk. Malah kadang profesinya tidak mengenal hari libur. Risky pernah diajak melihat-lihat hotel megah tempat Mama bekerja. Mama pun selalu tampil trendi dari ubun-ubun sampai jempol kaki. Risky akrab dengan aroma hairspray dan parfumnya yang samar-samar tapi membekas, ketak-ketok sepatunya, serta tungkai kaki yang mulus, padat, dan kencang menjulur dari balik rok mini. Mama adalah yang tercantik di dunia!

Tapi itu dulu.

Mama yang sekarang berdaster kusut, berbau minyak tanah, dan berambut lepek awut-awutan, yang sebelum tidur tidak lagi mencium dan memeluknya, tapi membentak-bentak karena ia belum juga cuci piring, yang sekarang sedang memukulinya dengan gulungan koran sambil berteriak-teriak betapa ia anak yang mengecewakan, di depan adik laki-lakinya semata wayang yang baru beberapa bulan lalu merayakan usia tiga tahun.

Berbulan-bulan sudah Risky mengalami neraka ini, sejak Mama memecat setiap pembantu lalu berhenti kerja untuk mengurus sendiri rumah dan segala isinya.

"Daripada enggak becus di rumah, kerja di luar lagi aja sana!"

"Seumur Mama tuh udah susah cari kerja! Kamu malah nyia-nyiain masa muda!"

"Persetan."

"Dibilangin selalu ngelawan. Durhaka!"

"Memang aku bukan anak Mama, aku anak Simbok!"

"Bisa-bisanya kamu bilang gitu?! Heh, kamu tahu kenapa dinamai Risky?!"

"Karena malas nyari nama."

"Karena Mama hampir mati waktu ngelahirin kamu, tahu, enggak?!"

"Siapa yang minta dilahirin. Salah sendiri!"

"Kamu tuh enggak tahu bersyukur, ya! Kurang ajar kamu!"

"Siapa dulu dong ibunya!"

Berbulan-bulan sudah semacam itulah percakapan mereka sehari-hari, tontonan Adek yang kadang jadi menangis kadang cuma melongo.

.

Sewaktu Risky masih SD, Papa tahu-tahu saja pergi ke Jepang. Beberapa lama, tinggal Risky, Simbok, dan Mama di rumah. Hingga Mama memutuskan, "Kita ikut Papa ke Jepang, ya." Mama berhenti kerja, memulangkan Simbok ke kampungnya, lalu terbang bersama Risky ke tempat Papa melanjutkan studi. Tentunya Risky juga melanjutkan sekolah di sana. Tapi Mama tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Mama menjadi ibu rumah tangga, melakukan pekerjaan-pekerjaan Simbok. Setelah beberapa waktu, Risky mengetahui bahwa Mama tidak suka jadi Simbok.

Risky berharap sepulang sekolah ia akan disambut dengan sukacita, lalu peluk dan cium, seperti ia pada Mama sepulang kerja dulu. Tapi, yang tampak malah wajah masam dan lesu. Ciumannya pun cuma cium punggung tangan Mama yang berbau amis, lalu Mama menyuruhnya makan masakan yang lebih amis lagi.

Mama berdalih masakan Jepang berbeda dari masakan Indonesia. Bahan-bahan yang biasa mereka konsumsi tidak banyak tersedia; kalaupun ada, harganya sangat mahal. Mereka harus menyesuaikan lidah dengan cita rasa baru.

Tapi, setelah bertahun-tahun tinggal di negara itu, dari berbagai pengalaman makan di luar rumah, Risky mengenal masakan Jepang yang enak itu bagaimana dan mulai terbiasa dengan cita rasanya; ia mengetahui bahwa Mama memang tidak berbakat lagi tidak menyukai masak-memasak.

Tapi, berkat cubitan Simbok sepanjang masa kecilnya, Risky terbiasa makan teratur dalam porsi besar. Simbok mungkin bukan koki terbaik sedunia, dan kini standar Risky anjlok. Betapapun ganjilnya masakan Mama--entah terlalu matang atau masih mentah, kebanyakan bumbu atau hambar sama sekali--Risky dan juga Papa tidak memprotes. Asal masih bisa dikunyah dan ditelan. Kalau Mama memancing pendapat mereka, Risky biasanya menggumam tidak jelas setelah terlebih dahulu mengisi mulutnya banyak-banyak sampai pipinya gembung, sedangkan Papa menjawab, "Mengenyangkan," dengan ekspresi netral. Kali lainnya Mama bertanya lagi, setelah berusaha berimprovisasi, tanggapan dari Risky dan Papa pun begitu lagi dengan sedikit variasi.

Apartemen yang mereka tinggali sangat sempit dan barangnya sedikit, sehingga beres-beres dan bersih-bersih tidak makan waktu lama. Hiburan Mama paling-paling TV dan bacaan. Tapi, walaupun pelajaran bahasa Jepangnya maju terus, Mama tetap kesulitan mengikuti. Ketika bertemu tetangga yang orang Jepang, pada awalnya Mama girang. Ini kesempatan mempraktikkan bahasa baru, berkenalan, menjalin pertemanan sebagai strategi bertahan di negeri orang. Tapi, setelah "Ohaiyo gozaimasu" atau "Konnichiwa" atau "Konbanwa"--tergantung waktu bertemunya--serta "Ii tenki nee" kalau cuacanya memang sedang bagus, yang disampaikan secara ramah-ramahnya tapi dijawab dengan serikuh-rikuhnya, yang disapa malah segera mengacir masuk lagi ke rumahnya. Hanya kalau kedatangan penjual keliling, penyebar agama, atau petugas NHK, Mama tidak berminat mempraktikkan bahasa Jepang sama sekali.

Rute ke tempat belanja sehari-hari wajib dihafal. Tapi kadang-kadang Mama tergoda untuk menyimpang, menjelajahi daerah sekitar. Lagi pula, suntuk di rumah saja mengerjakan itu melulu. Berbekal kamus dan buku percakapan bahasa Jepang, Mama pun bertualang. Sorenya, Risky yang baru pulang sekolah tidak bisa masuk apato karena kunci pintunya dibawa Mama. Risky mengetuk-ngetuk pintu, memencet bel, memanggil-manggil, "Ma, bukain, Ma," dan merenungkan kesalahan apa yang diperbuatnya sampai Mama tidak mau membukakan. Risky duduk menunggu di depan pintu sampai Papa pulang. Lalu keduanya panik mencari Mama, yang di tempat lain sedang panik juga karena payahnya membaca petunjuk jalan dan orang-orang yang dicegatnya pun pada tidak memahami ucapannya. Akhirnya ada pejalan yang mengantarkan Mama ke kantor polisi. Untung Mama selalu membawa alamat di dompet. Seorang polisi mengantar Mama pulang.

Setelah kejadian itu nyaris terulang, dan dompetnya kecopetan--tapi untunglah kali ini sudah hafal alamat rumah--Mama kapok jalan-jalan sendiri. Tiap ada hari libur, Mama berusaha menyeret Risky dan Papa keluar rumah. "Mumpung masih di sini!" Mama geregetan karena keduanya tampak enggan setelah pada hari-hari biasa sibuk menimba ilmu seharian di tempat belajar masing-masing. Risky dan Papa hanya ingin bersantai-santai di rumah pada akhir pekan. Barulah ketika liburnya panjang, atau ada hanami, momiji, dan matsuri, mereka rela didorong-dorong keluar. Keduanya sama-sama tidak nyaman dengan keramaian. Ingin menyepi, tapi menjauh sebentar saja bisa-bisa Mama hilang lagi.

Padahal dulu pergi jalan-jalan bersama Mama selalu menyenangkan. Tiap ada hari libur, Mama suka mengajak Risky putar-putar Blok M, beli mainan di Hoya, lihat-lihat bacaan di toko buku, makan di restoran. Tidak pakai kesasar segala karena Mama menguasai rute transportasi umum di Jakarta, kadang-kadang mereka naik taksi, dan bila Papa turut serta mereka menggunakan mobil pribadi.

Di Jepang, Risky tidak bisa minta apa-apa lagi pada Mama. Alasannya mulai dari, "Kita di sini cuma sementara. Jangan kebanyakan barang ah!", atau, "Barang di sini tuh mahal-mahal!", sampai, "Mama tuh di sini udah enggak kerja! Enggak ada duit! Minta sama Papa!" Dan Risky pun terbungkam. Ia tidak berani mendekati Papa. Sewaktu mereka sekeluarga berbelanja--yang tidak sesering bersama Mama dulu di Jakarta--dan itu juga kalau Papa menanyakan, "Iki mau beli apa?" barulah Risky memberanikan diri menunjuk barang yang diinginkannya.

Bahkan sekadar dukungan moral pun, Risky tidak lagi bisa mengharapkannya pada Mama. Pernah ia bilang, "Ma, enggak mau sekolah. Anaknya jahat-jahat." Sebelumnya, di Indonesia, Risky didekati teman-temannya karena punya banyak bacaan dan mainan. Hampir tiap minggu, atau paling lama tiap bulan, ada saja barang baru yang dipamerkan. (Walau karena itu juga kadang-kadang Risky berkelahi dan kehilangan "teman".) Di Jepang, ganti Risky yang tidak punya apa-apa, hanya bisa mengamati dan menguping apa yang sedang ramai dibicarakan anak-anak di sekitarnya. Tidak ada yang mengacuhkannya. Bila ia terlalu dekat, mereka serempak terdiam, menjauh, atau bubar sama sekali.

Apalagi kemudian Papa menyuruh Risky bawa bekal makan siang sendiri, buatan Mama yang ala kadarnya dan sama sekali tidak menggugah selera dibandingkan dengan menu yang disajikan di sekolah. Dan lalu ada yang diam-diam mengambil kotak bekalnya dan menyembunyikannya. Pada waktu lainnya, anak-anak jail itu memasukkan serangga ke kotak bekalnya.

Setelah beberapa lama, Risky mulai memahami dirinya sebagai seorang gaijin. Mereka menyangka dirinya berasal dari Cina, Korea, atau Vietnam, karena matanya yang sipit dan kulitnya yang kuning tapi bahasa Jepangnya buruk. Mereka mengatai dia "bodoh", "lamban", dan "malas". Bagaimana tidak bodoh, lamban, dan malas? Mereka sudah berbahasa Jepang dari kecilnya, sedang ia mesti belajar semuanya dari nol dalam waktu singkat untuk menyusul mereka. Padahal sewaktu di Indonesia, Risky termasuk anak yang cepat menangkap pelajaran dan selalu mendapat nilai bagus.

Risky ingin mengeluhkan semua itu kepada Mama, berharap akan dipeluk, dihibur dan disemangati, dikuatkan. Tapi baru keluar sedikit saja, kata Mama, "Laki-laki kok sensitif. Kamu aja yang enggak bisa bergaul!"

Risky tidak lagi bicara kepada Mama, kecuali bila ditegur terlebih dahulu. Itu pun dia jawab seperlunya saja. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai anak kesayangan Mama, tapi sekadar hiburan pelepas lelah sepulang kerja.

Setelah kembali ke Indonesia, bukan berarti hubungan mereka kembali seperti sedia kala. Mama segera disibukkan oleh berbagai hal lain: hamil Adek, pindahan ke Bandung, mencari pembantu untuk mendampingi Simbok yang dipekerjakan lagi meski sudah terlalu tua, dan ia sendiri pun kembali bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore. Risky sudah tidak lagi menunggui Mama pulang kerja, jangankan menyambutnya dengan sukacita. Ia bukan lagi anak manis yang gemar menyetor nilai-nilai bagus. Ia tidak lagi akan tinggal diam ketika dicela atau dipukul. Tubuhnya sudah lebih besar daripada kedua orang tuanya.

Mama--dan Papa--baru benar-benar memerhatikan Risky setelah ada panggilan dari sekolah. Interaksi mereka kerap kali berupa pertengkaran. Kata-kata Mama semakin menyakitkan, dan kerap kali diiringi tamparan. Walau berani melawan kata-kata Mama dengan tak kalah tajam, Risky tidak sampai hati membalas dengan tangan. Betapapun Mama menantangnya, dan betapa ingin sebetulnya Risky menonjok bahkan mencekik wanita itu, ia masih sanggup menahan diri dan alih-alih meninggalkan pertarungan dan mengamuk sendiri di kamar.

.

Kali ini, masalahnya adalah sikap cuek Risky saat mendapati namanya tidak ada dalam daftar peserta yang lulus UMPTN. Seandainya Risky menampakkan kekecewaan, apalagi kalau dari bulan-bulan sebelumnya menunjukkan upaya belajar yang keras, Mama tentu agak lunak. Tapi, memang sudah bertahun-tahun ini Risky melalaikan pelajarannya. Bulan-bulan menjelang UMPTN, bukannya berkutat dengan buku-buku latihan soal, ia malah asyik main dengan adiknya, menonton TV, baca komik, melamun sambil merokok di kamarnya, apalah, kalau tidak keluyuran entah ke mana di luar sana--pastinya bukan ke tempat bimbingan belajar!

Mama sudah tidak tahu lagi bagaimana mesti mengatur Risky. Begitu Papa pulang sore itu, Mama menyambutnya dengan luapan kekesalan.

Malamnya, Papa mengajak mereka makan bersama-sama satu meja, sekalian membicarakan tentang rencana Risky. Ketika Papa menanyakannya, Risky hanya mengedikkan bahu tanpa acuh sambil menghindari tatapan kedua orang tuanya. Mama kembali meledak. Risky membalas dengan menggebrakkan meja. Sendok dan garpu terpelanting, kuah sup bercipratan, dan Adek yang kaget pun menangis. Maksud baik-baik Papa malah seperti mengipasi bara pembakaran sate. Ia memanggil-manggil Risky, namun anak itu keburu membanting pintu kamarnya.

.

Berhari-hari Risky mengunci diri dalam kamar. Mama dan Papa menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak-teriak, Adek merengek-rengek ingin main ingin digambari. Tapi Risky bergeming, pura-pura sudah mati. Ia melarikan diri dalam bacaan, gambar, gim, dan musik, menutup diri dari kemungkinan akan masa depan. Ia keluar kamar hanya pada tengah malam sampai dini hari, ketika dipikirnya semua sedang pada terlelap. Ia mengambil makanan dan minuman, ke kamar mandi.

Sampai suatu malam, kegaduhan itu terjadi lagi. "Kamu enggak pernah ikut mendidik dia!" teriak Mama. Papa balas berteriak, namun telinga Risky sudah tertutup oleh gemuruh napas dan gejolak dalam dadanya sendiri.

Bila bertambah panas, Papa memukul Mama. Semakin panas lagi, Mama melawan dengan melemparkan barang-barang ke arah Papa. Panasnya rumah pun bagai neraka. Risky kecil akan melarikan diri ke kamar Simbok yang pintunya tak pernah dikunci. Ia merangkak ke samping Simbok, lalu meringkuk membelakanginya. Simbok yang terbangun pun mengusap-usap punggung Risky sampai anak itu tenang dan tertidur. Sementara itu, tetangga depan mengintip dari balik gorden jendela rumahnya seakan-akan ada suatu pemandangan yang akan tertangkap; tetangga kanan-kiri menempelkan telinga ke tembok. Semua mengumpulkan bahan gosip esok hari.

Mama dan Papa hampir-hampir sudah tidak pernah berantem lagi sejak sewaktu mereka tinggal di Jepang. Awalnya memang masih ada letupan-letupan, yang pada satu titik tak terelakkan lagi menjadi ledakan. Tapi, tetangga di Jepang tidak ada yang hendak menggosipkan rumah tangga warga asing. Alih-alih, mereka menelepon polisi. Sejak itu, bila melihat Papa menggelar futon di ruang tengah, tahulah Risky sedang ada masalah di antara kedua orang tuanya.

Sekarang, tangisan Adek menandingi percekcokan. Namun masih ada teriakan orang tuanya, masih ada piring dipecahkan. Setiap orang seperti dalam perlombaan saja siapa paling kencang bersuara. Risky ingin berpartisipasi dengan menendangi pintu sekeras-kerasnya seakan-akan dapat menaklukkan semuanya dan memungkasi pertandingan.

Alih-alih, ia meraih ransel dan memasukkan barang-barang: dompet, Walkman, beberapa kaset favorit, beberapa buku komik, robot Gundam rakitan pertamanya.

Simbok sudah tiada. Tiada lagi tempat pelarian. Ia lari dari rumah saja sekalian.

Tangisan Adek melengking semakin nyaring. Risky resah. Masakkah tidak ada yang mendiamkannya? Selain itu, yang terdengar hanya timpalan gertak sesekali. Dan ia akan meninggalkan adiknya sendirian di tengah-tengah kedua orang itu?

Pelan-pelan ia memutar kunci, lalu menarik gagang pintu hingga membuka sedikit. Ia mengintip. Adek berada di seberang kamarnya. Piring melayang di atas kepala anak itu. Mirip adegan perang yang pernah ditontonnya di TV. Seorang serdadu merayap di antara desingan peluru dan ledakan granat. Serdadu-serdadu lain berloncatan di sekitarnya, lalu ambruk tak bergerak lagi. Namun serdadu itu tak gentar. Ia maju terus. Peluh, debu, darah mengilatkan kulit dan mengusamkan baju. Yang melintas dalam benaknya hanya bergerak, bergerak, bergerak!, sampai titik darah penghabisan.

Risky menutup pintu. Adiknya terdiam begitu didudukkan di tempat tidur, tinggal terisak. Risky mengempaskan diri di sebelah anak itu, mengembuskan napas. Setelah tenang, ia menatap adiknya yang masih tersengguk-sengguk sedikit. Risky beringsut ke kepala tempat tidur, menepuk-nepuk permukaan di sampingnya. Adiknya merangkak mendekat.

Risky mengambil sembarang komik di nakas. Ia memperlihatkan gambar di halaman pertama pada adiknya: Doraemon sedang berakrobat di atas bola.

Risky membuka salah satu cerita. Dalam volume pelan, ia membacakan kata-kata dalam balon suara: diparau-paraukan bila itu Doraemon, manja kalau Nobita, genit seperti Shizuka, sengau dan cempreng ala Suneo, dan pura-pura Batak untuk Jaian. Adek mulai terkekeh-kekeh kecil. Ketimbang melihat gambar, matanya lebih banyak memerhatikan ekspresi wajah Risky. Mereka larut dalam cerita, sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang terjadi di luar sana.

Lama-lama kepala Adek tertunduk, matanya mengatup. Tapi begitu Risky berhenti bersuara, cepat-cepat anak itu menegakkan kepala. Matanya membuka lebar-lebar, tangannya menyibak halaman selanjutnya agar dibacakan.

Adek benar-benar tidak kuat lagi.

Risky lanjut membaca komik tanpa bersuara. Ia tiba pada cerita berjudul "Hari Kelahiranku".

Nobita mengeluh malas dan bosan belajar. Ketika hendak bermain, ia dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya. Nobita ragu apakah ia benar-benar anak kandung mereka.

Doraemon mengajak Nobita menaiki mesin waktu ke hari ia dilahirkan.

Di rumahnya pada masa itu, Nobita bertemu ayahnya yang tentu saja tidak mengenali dia. Ia dan Doraemon mengikuti ayahnya ke rumah sakit. Di sana, Ibu Nobita baru saja pulih dari melahirkan. Ayah dan Ibu Nobita berbincang, tentang nama anak mereka, masa depannya, harapan-harapan mereka padanya. Betapa banyak yang mereka bebankan pada Nobita sehingga ia termenung.

Nobita dan Doraemon kembali ke masa kini. Nobita belajar hingga larut malam, sampai kedua orang tuanya khawatir.

Pintu membuka. Mama telah berganti pakaian, berdandan sekadarnya, merapikan rambut, dan wangi. Mama menepuk kaki Adek. "Dek, bangun, Dek."

Risky menepis tangan Mama. "Jangan bawa-bawa Adek."

Mama tak acuh. "Dek ...!"

Adek terbangun linglung.

"Kasihan, lagi tidur." Risky menarik badan adiknya yang hampir masuk ke pelukan Mama. "Pergi aja sendiri!"

"Enggak ada yang ngurus Adek!"

"Biasanya juga enggak becus!"

"Kamu jangan cuma ngata-ngatain Mama, ya! Kamu sendiri enggak pernah bantu-bantu Mama!"

Adek menangis lagi.

Papa muncul di pintu. Ia menghampiri dan menyentuh lengan Mama. "Mau ke mana?"

Risky mengambil kesempatan untuk merebut adiknya.

Mama mendecak dan menampik tangan Papa.

"Kita bicarakan lagi," kata Papa.

"Alah! Akhirnya sama saja!"

"Jangan terbawa emosi!"

"Kamu enggak pernah mau dengar!"

Sebelum kecipratan lagi, Risky menghalau keduanya sampai ke luar kamar. "Berantem jangan di sini!" Lalu cepat-cepat ia mengunci pintu.

"Risky! Risky!" Gedoran.

Risky mondar-mandir dalam kamarnya, sampai memerhatikan adiknya tersengguk-sengguk. Ia duduk di samping anak itu. "Tidur, tidur," katanya pelan. Adiknya menggulung diri. Risky pun rebah, bersedekap sembari memandangi langit-langit yang cecak pun tak mau tampak. Perdebatan terdengar sayup-sayup namun sudah tak sesengit sebelumnya.

Berangsur-angsur keduanya terlelap.

.

Pada hari libur mereka sekeluarga bertamasya ke Ciater. Risky cuma bercelana pendek menerjunkan diri ke kolam air hangat. Di pinggir kolam adiknya takut-takut mencelupkan sebelah kaki. Risky menenggelamkan diri hingga tinggal separuh kepalanya yang timbul di permukaan, berpura-pura menjadi buaya. Pelan-pelan ia mendekati adiknya, lalu menerkam dan membawa masuk anak itu ke air. Adiknya menjerit dan meronta tapi lalu celingukan dalam dekapan Risky. Cuma sebagian bawah badannya yang masuk ke air.

"Lepas, ya, lepas, ya," goda Risky.

"Jangan! Jangan!" adiknya berontak sembari merangkuli pundak Risky erat-erat.

Risky hendak berpura-pura melepaskan kedua lengannya, tatkala menyadari bahwa ia tidak sedang berada di Ciater tapi kamarnya sendiri--kasurnya.

"ADEEEK ...!"

Kontan ia meloncat ke lantai, menjejak-jejakkan kaki sembari melepaskan kausnya yang basah dan mencampakkannya ke pintu.

"MA! MAMA!"

Pintu dibuka. Sunyi senyap. Terang benderang oleh sinar yang menyorot dari sebelah luar jendela. Gorden-gorden sudah pada ditarik ke tepi.

Kembali ke kamar, adiknya terduduk kebingungan. Risky menyentak lengan anak itu. Tertatih-tatih adiknya diseret ke kamar mandi. Semua pakaian dilucuti dan Risky mengempaskan bergayung-gayung air dingin ke badan anak itu. Adiknya mengkeret, terbatuk-batuk dan megap-megap. Diiringi gerutuan, Risky menggosok-gosokkan sabun ke sekujur tubuh adiknya yang cuma bisa merengek. Lalu ia banjur lagi adiknya tanpa ampun. Tepat ketika Risky membungkus adiknya dalam handuk, Mama membuka pintu depan. Tangan Mama mengangkat beberapa kantung plastik penuh belanjaan. Melihat ibunya, Risky mendorong adiknya ke luar kamar mandi. Lalu ia menutup pintu dan membersihkan badannya sendiri.

"Kenapa, Ki?" tegur Mama.

"Si Adek ngompol!" teriak Risky di sela guyuran air. Lalu, dibukanya pintu, "MA! HANDUK!"

Setelah berpakaian dan melemparkan segala kain yang kebasahan dan bau pesing ke keranjang di samping pintu kamar mandi, "MA, KASURNYA GIMANA?!"

"Dijemur aja sekalian!"

Mereka lalu menggotong kasur itu ke tempat jemuran di loteng. Setelah menggosok-gosok bagian yang diompoli dengan air dan deterjen serta menyiraminya berkali-kali, Risky masih gusar. Ia enggan menghabiskan sisa hari dalam ruangan yang masih beraroma pesing samar-samar, apalagi kalau pintunya ditutup--biarpun ia sendiri pernah kencing dalam botol ketika kemarin-kemarin tengah mengurung diri sementara keluarganya masih beraktivitas di luar kamarnya. Kalau pintunya dibuka, tentu Mama dan si Adek akan lebih mengganggunya.

Beranjak siang, Risky menggendong ransel yang hendak dibawanya kabur semalam.

"Ke mana, Ki?"

Risky menjawabnya dengan membanting pintu.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain