Risky asal saja naik angkot tanpa melihat
jurusan. Tahu-tahu ia terdampar di Alun-alun.
Saat menapaki trotoar, ia gamang.
Ia mampir ke Palaguna, melihat-lihat
kaset terbaru, poster-poster film yang sedang diputar, lalu menjauh.
Ia berpapasan dengan seorang anak
gelandangan. Penampilannya sungguh tak keruan: rambut lengket, muka cemong,
pakaian compang-camping, aroma pesing menyengat.
Ia menaiki jembatan, ke tingkat teratas.
Dari luar, jembatan itu terlihat enak
ditongkrongi. Tapi di dalamnya terdapat beberapa gubuk kardus. Lantainya
bebercak-bercak hitam. Aroma tak sedap berpusar.
Risky melipat kedua lengannya di atas
palang pembatas dan memandangi arus kendaraan di bawah. Ia memikirkan ulang
bayangan-bayangan yang melintas di benaknya kemarin malam: kabur dari rumah,
keluyuran di jalan, dan, ketika uangnya habis, loncat dari jembatan sembari
memeluk RX-78-2.
Pundaknya makin berat saja.
Turun dari jembatan, ia berteduh dari
terik matahari di pelataran Masjid Agung. Ia membuka kembali komik Doraemon
jilid dua yang sebelum berangkat tadi sempat ditambahkannya ke dalam ransel,
cerita "Hari Kelahiranku".
"Tak bergairah. Belajar ...
belajar, begitu terus," ucap Nobita. "Beri tahu Ibu, aku sudah
bosan. Aku ingin dipercaya!"
"Kalau begitu, mulailah dari
dirimu sendiri," kata Ibu.
"Tak ada cara lain. Salahmu
sendiri," sahut Doraemon.
"Apakah aku bukan anak
kandungnya?" tanya Nobita. "Dipungut dari mana?! Kalau anak
kandung, tak akan dimarahi keterlaluan seperti itu. Aaa .... Ibu kandungku, di
mana kau?"
Risky membalik halaman-halaman.
"Anak kita besok jadi apa, ya?"
Nobita mendengar suara dari balik pintu
tempat kedua orang tuanya bercakap.
"Pasti besok jadi anak yang
baik. Cakep dan selalu berbakti pada orang tua."
"Ah, bahagianya kita,"
ucap Ibu Nobita.
"Kesepian kita telah berakhir,"
sambut Ayah Nobita. "Aku ingin anak kita besok jadi orang terkenal."
"Aku pun begitu dan kita pun
akan lebih bangga," ujar Ibu Nobita.
"Tuh dengar! Bebanmu banyak
sekali," kata Doraemon pada Nobita. Keduanya berada di balik pintu
ruangan tempat ayah dan ibu Nobita tengah berbincang.
"Aku ingin anak kita rajin
belajar," Ayah Nobita melanjutkan.
"Dan selalu jadi juara kelas,"
Ibu Nobita menyambung.
Risky mengangkat kepala. Di seberangnya,
seorang lelaki meraih lengan seorang perempuan. Tapi lelaki itu ditampik dengan
kasar. Pasangan itu bertikai, menarik tatapan banyak orang di seputar mereka.
Lelaki lain masuk, "Heh, heh, pasea tong di masjid!"
Pasangan itu terdiam, beringsut, memasang alas kaki, dan melanjutkan urusan
mereka seketika kaki mereka lepas dari lantai masjid. Risky menunduk lagi.
"Ayah, kenapa melihatku seperti
itu?" tanya Nobita, yang telah menghambur masuk ke ruangan. Doraemon
mendorong Nobita keluar lagi.
Nobita merenung. "Rasanya mereka
sudah tak sayang lagi padaku."
Di panel berikutnya, Nobita belajar
sampai matanya berupa tanda tambah.
"Nobita, sudah malam, Nak, nanti
kamu sakit," kata Ibu Nobita.
"Ayo Nobita, tidur. Besok kamu
harus bangun pagi," kata Ayah Nobita.[1]
Risky memandang panel itu sejenak. Lalu
ia mendapati pasangan tadi telah menjauh beberapa jengkal dari lantai masjid,
duduk di undakan. Tampaknya si perempuan menangis.
Risky memasukkan komik ke ransel,
beranjak dan mengedarkan pandang ke jalan.
Yang terdekat itu ke ITB, pikirnya.
Selanjutnya Unpad. Kalau ke Ikip, jauh ke atas dan lagi bukan kampus orang
tuanya.
Ia tidak tahu angkot jurusan ke ITB,
tapi tahu arahnya. Ia mengenakan lagi sepatunya, memasang headphone,
dan melangkahkan kaki.
.
Masuklah Risky ke Jalan Ganesa, melewati
barisan mobil berlapiskan tahi burung, menghadapi gerbang berhiaskan rimbun
kembang kertas yang lagi mekar-mekarnya, disambut spanduk: "SELAMAT DATANG
PUTRA DAN PUTRI TERBAIK INDONESIA."
Risky menunduk, meninjau pakaiannya
mulai dari sepatu kets, celana jin, kaus, yang ditutupi jaket, dan ransel di
punggungnya. Sudahkah cukup untuk menyaru sebagai mahasiswa--putra terbaik
Indonesia?
Risky menegakkan badan, memasang tampang
percaya diri.
Nanti kalau entah bagaimana ada yang
tanya, ia akan mengaku sebagai mahasiswa sini. Jurusan ... Teknik ... Fisika.
Ya, itu saja deh. Memang itu pilihannya sewaktu UMPTN kemarin, mengikuti
jurusan Papa dulu sewaktu kuliah di sini.
Risky berusaha mengendalikan gerakan
kepala dan arah matanya biar tidak terlihat terlalu celingukan bak turis. Tapi,
sebagaimana turis yang baru pertama kali jalan-jalan di ITB, tak terelakkan
juga memandangi bentuk-bentuk bangunannya, lapangannya, tangganya, kolamnya,
pohonnya, mahasiswa-mahasiswinya ....
Tidak seorang pun mengacuhkan dia, tapi
Risky tetap menjaga pandangan agar jangan sampai bertatapan dan menarik
perhatian putra-putri terbaik Indonesia. Seakan-akan kalau pandangan mereka
sampai bertemu, putra-putri terbaik Indonesia itu akan menyatroninya,
menginterogasi, "Heh, benar kamu putra terbaik Indonesia?" dan
ternyata ia putra terbodoh Indonesia.
"Risky?"
Astaga! Memang takdirnya jadi putra
terbodoh Indonesia. Mau mengaku dari jurusan apa dia tadi?
"Eh .... Risky, bukan, yah?"
Hitam, keriting, dan berkacamata, Risky
juga merasa kenal. Tapi, siapa namanya? Risky ingat orang ini sepertinya pernah
duduk di sebelah dia, dulu, karena teman sebangku sewaktu ... di SMA ....
"Erik. Masih ingat, enggak?"
"Eh, iya, iya ...." Risky
menyengir.
"Kamu juga keterima di sini, Ki?
Jurusan apa?"
"Eh ..." apa tadi?
"Teknik Fisika. Kamu?"
"Biologi. Eh, Teknik Fisika mah bareng atuh sama
si Dodi."
"Dodi?"
"Iya, yang dulu duduk depan kita,
sebelum kamu pindah."
Oh .... Erik, Dodi ... anak-anak yang
duduk di sekitar dia dulu, yang ....
"Zaki di Teknik Sipil, Cipta Teknik
Elektro. Koko di Arsitektur. Ngabring tadi kita di rektorat,
daftar ulang. Banyak lah anak dari kelas kita dulu yang lolos ke ITB. Paling
banyak seangkatan kayaknya."
... yang suka minta jawaban padanya saat
ulangan, yang melakukan suatu padanya sehingga dia malas melanjutkan sekolah,
sehingga ia dikeluarkan dari SMA negeri yang terbilang favorit itu, dan hanya
SMA swasta yang mau menerima dia tanpa mensyaratkan tinggal kelas.
"Woi, Erik!"
Rupanya keempat orang itu sedang
duduk-duduk di pinggir teras gedung seberang, sedari tadi memerhatikan Erik dan
Risky.
"Woi, ini si Risky!" Erik
balas berteriak. "Yang gambarnya alus tea, anjing!"
Gambar buatan Risky bagus, katanya. "Hayuk, Ki," ajak Erik mendekati
mereka. Tapi Risky sudah lenyap.
Goblok! Goblok! Kenapa lari!? Walau sebetulnya Risky berjalan
secepat-cepatnya, menjauhi teriakan yang memanggil-manggil namanya. Langkahnya
baru melambat setelah membelok ke Jalan Dago arah BIP.
Sialan! Sialan! Berengsek! Anjing! Dulu
gue yang paling pintar di antara mereka! Tapi tetep gue yang paling hina!
Kenapa mereka semua pada bisa lolos ke ITB?!
Risky berputar-putar sendiri di pinggir
jalan.
Coba kalau gue terus di SMA itu. Coba
kalau--dan ia teringat lagi ulah anak-anak
itu. Wajahnya memerah. Lehernya mendeguk-deguk.
Bangsat! Bangsat! Bangsat!
Ia lanjut berjalan cepat sampai rumahnya
di sekitar Buah Batu.
.
Hidup Risky sebelumnya santai-santai
saja. Pulang sekolah siang-siang, lalu makan sambil menonton TV diawasi Simbok.
Setelah itu, kadang ia tidur. Sore ia bisa menonton TV lagi, tapi biasanya
Simbok rewel mengingatkan dia pada PR atau ulangan. Kadang ada juga anak-anak
tetangga yang bertandang ikut menonton TV atau ingin melihat-lihat bacaan dan
mainannya. Malam ia bisa menonton TV lagi, tapi kalau tidak ada acara yang
menarik lagi--lagi pula salurannya cuma TVRI--ada banyak pilihan bacaan dan
mainan sambil menunggu Mama pulang. Belajar pun kadang ia lakoni dengan
sukarela, walau seringnya karena disuruh Simbok. Apalagi ketika di tengah
belajar itu Mama pulang, pujian mengalir sampai ia tidur nanti.
Di Jepang, sering kali tidak ada pilihan
selain belajar. Apalagi karena kendala bahasa, Risky mesti belajar lebih keras
daripada anak-anak di kelasnya. Jam sekolah di Jepang lama pula, sampai sore.
Ditambah lagi, beberapa hari dalam seminggu ada les bahasa Jepang. Malam ia
masih harus belajar lagi. Ia masih sempat menonton TV barang sebentar, tapi
sudah itu saja.
Di luar itu, Risky tidak nyaman di
rumah. Pernah sepulang sekolah ia mendapati Mama lagi menonjok-nonjok bantal.
Risky cuma menaruh tas lalu keluar lagi, berusaha tanpa suara. Lalu ia
keluyuran saja dan berakhir di taman yang sepi dekat rumah, duduk di ayunan
menunggu sampai hari benar-benar gelap baru pulang. Malam biasanya Papa sudah
pulang, masakan siap, dan Risky tinggal makan sebelum mengurung diri di
kamar--belajar seperlunya lalu langsung tidur.
Risky tidak menyadari bahwa pada waktu
ia duduk-duduk melamun di ayunan itu, ada yang mengenali dia. Shigeo tiap hari
pulang melewati taman itu, mendapati seraut wajah familier yang tertekuk
murung. Pada awalnya ia acuh tak acuh, namun diam-diam berusaha
mengingat-ingat. Begitu ingat, ia terkikik geli sampai susah berhenti. Lama
Risky dalam pikiran Shigeo, hingga timbul ide untuk memulai perkenalan kembali.
Shigeo memutari taman lalu bersembunyi di semak-semak belakang Risky. Ia mengambil
sebutir kerikil lalu melemparkannya ke kepala anak itu. Tepat sasaran. Shigeo
memang pitcher yang andal di tim bisbol sekolahnya. Risky
menoleh, celingukan, dan cuma mendapati beberapa lansia di kejauhan. Ia
mendongak. Mungkin tadi itu ranting jatuh.
"Adaw!"
Kena lagi. Shigeo cekikikan.
Risky waspada. Ia tidak lagi tenang
duduk-duduk saja. Namun setelah ia bangkit dan berjalan pergi, ada yang
memanggil dia dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang remaja
berseragam gakuran sedang menyengir padanya. Wajah itu
sepertinya tidak asing.
"Kamu pernah makan malam di
rumahku, kan?" tegur Shigeo.
Risky tertegun.
"Eh, sudah bisa bahasa
Jepang?" tanya Shigeo.
Risky mengangguk-angguk.
Shigeo memberikan isyarat agar Risky
duduk kembali di ayunan. Ia sendiri duduk di ayunan sebelah Risky.
"Kamu masih ingat namaku?"
Shigeo bertanya pelan-pelan, supaya Risky dapat menangkapnya baik-baik.
Terus terang Risky tidak ingat. Saat
bertamu bersama kedua orang tuanya--tidak lama setelah ia dan Mama menyusul
Papa ke Jepang--Risky lebih banyak memerhatikan interior rumah Shigeo yang
semitradisional. Ia mengabaikan percakapan yang berlangsung. Lagi pula saat itu
ia baru sedikit sekali mengenal bahasa Jepang. Yang ia tahu, sama seperti
dirinya, Shigeo juga anak tunggal namun usianya beberapa tahun lebih tua. Saat
itu Shigeo sudah SMP. Nantinya saat Shigeo masuk SMA, Risky ke SMP.
"Panggil aja aku Shigeo,"
lanjut remaja itu.
"Risky."
"Risuki," ulang Shigeo sambil
tersenyum.
Setelah pertemuan itu, senja yang
dilalui Risky di taman tak begitu temaram lagi. Shigeo kerap lewat di balik
pagar taman, memanggil dan melambaikan tangan. Risky balas menyapa dan hatinya
menjadi sedikit ceria.
Lalu Shigeo mulai mengajak Risky main ke
rumahnya. Saat bertemu Risky untuk kedua kali, ibu Shigeo heran. Ia tidak
segera mengenali Risky, dan tumben Shigeo membawa teman yang lebih kecil.
Shigeo menjelaskan tentang Risky, dan sempat ia membisikkan sesuatu pada
ibunya. Lalu wanita itu terperangah dan tiba-tiba menutupi mulutnya. Matanya
tampak geli. Seketika saja ibu Shigeo bersikap sangat ramah kepada Risky.
Keluarga itu kerap menjamu kolega asing ayah Shigeo beserta keluarga
masing-masing, namun tidak ada yang bertingkah sekonyol anak Indonesia ini saat
tak sengaja makan wasabi untuk pertama kali. Risky melonjak
dari tempat duduknya, menjejak-jejakkan kaki, dan berlari-lari sambil
menjulurkan lidah. Segera setelah peristiwa itu, Risky melupakannya tapi
keluarga Shigeo tidak.
"Kamu makan malam di sini aja.
Nanti aku antar pulang," kata Shigeo. "Boleh kan, Bu?"
"Eh, apa nanti orang tuanya enggak
khawatir?" tanya Ibu Shigeo.
"Telepon aja."
Sementara Risky menelepon ke rumah,
Shigeo membisiki ibunya. "Bu, keluarin wasabi lagi."
"Jangan ah, kasihan."
Tapi mereka punya umeboshi.
Mereka menyembunyikan seringai girang saat Risky memejamkan matanya
rapat-rapat, mulutnya mengerucut menahankan asam yang keterlaluan, dan badannya
menggeliat saking tak tahan.
Kamar Shigeo membukakan dunia baru pada
Risky, yang menjadikan tahun-tahun berikutnya selama di Jepang tertahankan.
Shigeo mengenalkan Risky pada Nintendo, manga, sampai Gundam, yang nantinya
membuat Risky kerap merengek pada orang tuanya agar punya sendiri. Apalagi di
Jepang ternyata ada banyak sekali jenis bacaan dan mainan yang belum masuk ke
Indonesia. Kalau bisa, Risky ingin memiliki semua-muanya!
Banyak gambar cewek nyaris telanjang di
koleksi manga Shigeo. Ketika hendak pulang dari kunjungan pribadinya yang
pertama kali itu, Risky dihadiahi Shigeo salah satu manga miliknya yang sudah
agak kucel. Judulnya Cutie Honey. Melihat kovernya, Risky
menyembunyikan buku tersebut di balik bajunya. Ia bertekad untuk menjaganya
baik-baik dan jangan sampai orang tuanya mengetahui keberadaan barang itu. Bila
sedang sendirian di kamar, ia membuka manga itu, berusaha membacanya, dan
semangatnya belajar bahasa Jepang pun melejit supaya bisa benar-benar memahami
artinya. Buku komik itu sampai lecek, saking seringnya dibaca dan saking
lamanya kesempatan untuk beli sendiri tiba. Tiap kali pergi ke pusat
perbelanjaan bersama orang tuanya, Risky dibolehkan untuk membeli satu barang
saja. Sering kali ia terpaksa mendahulukan Gundam rakitan atau gim daripada
manga.
Tiap kali melihat Shigeo lewat di depan
taman, Risky berharap akan diajak main lagi. Tapi sering kali pemuda itu cuma
melambaikan tangan, malah kadang seperti yang sedang sibuk dengan pikirannya
sendiri sampai-sampai tidak menoleh. Paling sering sebulan sekali Risky diajak
main lagi ke rumah Shigeo. Kesempatan yang bagi Risky jarang-jarang itu memang
sudah dianggap sering oleh ibu Shigeo. Wanita yang awalnya ramah sekali itu
mulai terlihat sungkan saat Shigeo membawa Risky ke rumah untuk kesekian kali.
Risky sudah berada di kamar Shigeo,
bersiap main Nintendo. Shigeo sendiri sedang keluar kamar. Pintu ditutup, namun
Risky masih dapat menangkap percakapan antara Shigeo dan ibunya.
"Kamu kan sudah SMA. Jangan main
terus. Harus belajar lebih keras. Kalau tidak bisa masuk universitas bagus,
nanti susah dapat pekerjaan bagus."
"Iya, sudahlah!"
Shigeo kembali ke kamar sambil
menyembunyikan kedongkolan, tapi Risky masih dapat melihatnya.
Kalau tidak bisa masuk universitas
bagus, nanti susah dapat pekerjaan bagus. Perkataan ibu Sigeo itu tidak pernah dipikirkannya
sampai sekarang ini.
Padahal, sebenarnya, sejak Risky SMA,
Mama sudah kerap menyindirnya. Tiap kali ada saudara atau tetangga yang mulai
kuliah di perguruan tinggi negeri ternama, atau melihat Pak Habibie di
televisi, Mama selalu bilang pada Risky. "Kalau bisa sih kuliah di luar
negeri. Jerman, gitu, kayak Pak Habibie. Kalau enggak bisa, di ITB juga enggak
apa-apa. Papa kamu aja bisa, masak kamu enggak?"
Mama juga suka berbual, "Dulu cowok
yang mau pacaran sama Mama banyak. Tapi yang ITB cuma Papa kamu."
Risky tidak pernah benar-benar
mendengarkannya. Ia menganggap Mama cuma lagi usil, seperti sewaktu tahu-tahu
menyorongkan fotonya semasa muda dalam kostum penari daerah. Lalu Mama
mencerocos tentang pengalamannya diundang menari ke sana kemari di depan para
pejabat. "Ini waktu Mama seumur kamu lo."
Risky juga mendengar tentang teman-teman
Mama semasa kuliah di Unpad yang telah menjadi dosen, diplomat, peneliti di
lembaga asing, pengusaha kafe di Bali, atau istri bule yang tinggal di manalah
pokoknya Eropa Barat, dan masih pada aktif bekerja. Mama sendiri tidak pernah
lolos beasiswa pertukaran pelajar atau lowongan bekerja di luar negeri. Risky
tidak pernah berkomentar atas pencapaian ataupun aspirasi yang tidak kunjung
kecapaian itu. Ia tidak pernah mengindahkan perkataan Mama, sampai sekarang
ini.
Mungkin universitas bagus memang jaminan
untuk mendapatkan pekerjaan bagus. Papa dan Mama yang sama-sama lulusan PTN
ternama itu memang punya--atau pernah punya--pekerjaan bagus, setidaknya dari
kecil Risky termasuk anak paling makmur di antara teman-temannya. Banyak teman
Risky yang di samping punya banyak saudara sehingga mesti berbagi juga ibunya
di rumah saja seperti Simbok. Sedangkan Mama, di samping bekerja di hotel megah
juga tidak punya anak selain Risky. Setelah Mama tidak bekerja dan memberinya
adik pun, Risky masih dijatah uang saku yang cukup untuk membeli barang-barang
yang dia inginkan--walau bukan yang sangat-sangat mahal dan kadang-kadang ia
perlu menabung dulu.
Suatu hari, orang tuanya tidak akan
memberi dia uang lagi; ia mesti punya penghasilan sendiri untuk membeli
barang-barang yang dia inginkan. Barang-barang itu bukan sekadar buku, kaset,
dan model kit, melainkan juga rumah, mobil, kebutuhan sehari-hari
untuk istri, anak-anak-anak mungkin.
Berapa besarkah penghasilan yang mesti
dia peroleh untuk dapat memenuhi semua itu? Penghasilan besar mesti dari
pekerjaan bagus ... universitas bagus?
Baru sekarang, Risky berpikir akan masa
depannya yang, kata Andy Liany, lebih kejam dari sekarang. Judul
lagunya "Kami Harus Diselamatkan".
Ia harus menyelamatkan diri dari kejamnya
masa depan.
Kenapa baru terpikirkan sekarang? Kenapa
tidak sedari mendengar ibu Shigeo berkata begitu ia langsung mencamkan dan
membangun ambisi? Kenapa tidak sedari dipermalukan Erik dan kawan-kawannya di
SMA ia bertekad untuk membuktikan diri? Ia tidak akan menyia-nyiakan UMPTN yang
baru saja lewat itu. Ia tidak akan melalui saat ini sambil terbengong-bengong
dalam kebegoan. Seorang diri, berteman sepi dan angin malam mencoba merenungi
tentang jalan hidup ini ....
Pada saat seperti inilah, Risky butuh
berbicara kepada kekasihnya. Gadis itu sesungguhnya sibuk luar biasa: merekam
album baru, berpose sebagai model, belum lagi berakting untuk film dan
sinetron. Tapi, ia juga tidak pernah pergi dari hati Risky.
Risky melangkahkan kaki, mengambil map
yang disimpannya di laci nakas. Map itu dibukanya, dan disimaknya wajah yang
terpajang di balik plastik. Dibelainya.
"Nike, adakah kasih suci?"
Wajah yang bercahaya terang itu
menyinari dirinya, menyejukkan bak embun pagi; wajah dambaan insan di dunia
ini.
Ha ha ha haaa haaaaaa ....
"Ya, Risky," ucap Nike,
sekonyong-konyong hadir di depannya, duduk di sebelahnya di tepi tempat tidur.
"Aku mengerti kebimbangan hatimu yang penuh tanda tanya."
"Kamu mengerti." Risky
terharu. Ia meraih tangan gadis itu dan menciumnya. Seharum bunga.
"Sekarang saatnya menentukan
sikapmu dengan satu keyakinan, dan kamu harus tabah menjalaninya."
"Iya, Nike," sahut Risky
lembut. Kedua tangannya menggenggam tangan gadis itu, dan ia memandang mata
yang bulat itu dalam-dalam. "Bintang 'kan bersinar. Bahagia 'kan
datang."
Gadis itu tersenyum.
Risky plong.
Hanya Nike di dada
Yang membuatku mampu
Selalu tabah menjalani ....
Risky menutup map dan bersamaan dengan
itu pergi juga Nike, mungkin kembali ke studio rekaman.
Risky bangkit dan mengumpulkan buku-buku
pelajarannya selama SMA, juga buku-buku latihan soal baik dari bimbingan
belajar maupun yang dibelikan Mama pada minggu-minggu terakhir menuju UMPTN. Ia
menumpuk semuanya di meja, lalu duduk dan membuka salah satunya. Ia mulai membaca,
lalu menutupnya lagi.
Mulai besok saja. Sekarang sudah malam,
sebaiknya tidur ....
.
Sabtu pagi, Risky terbangun oleh
sentakan Mama.
"Udah UMPTN, jangan
malas-malasan!" Mama melangkahi barang-barang Risky yang bergeletakan di
lantai, mencapai jendela, dan menarik gordennya. Serta-merta cahaya matahari
merajam penglihatan Risky. "Kamar kayak kandang babi!"
Babi kan lahir dari ibu babi! gerundel Risky. Dengan malas, ia
bangkit dan duduk.
Papa menghampiri ambang pintu kamar
Risky yang terbuka lebar-lebar. "Ayo, Ki, lihat-lihat kampus swasta."
Risky mengingat percakapannya semalam
dengan Nike. Hatinya tidak lagi bimbang penuh tanda tanya. Ia telah menentukan
sikap, satu keyakinan. Ia akan tabah menjalaninya. Bintang 'kan bersinar,
menerangi hidupnya. Bahagia 'kan datang.
"Aku enggak mau kuliah di
swasta," Risky menyatakan keputusannya. "Aku mau belajar buat UMPTN
tahun depan. Aku mau ke ITB."
"Alah, paling malas-malasan aja di
rumah!" sergah Mama.
"Apa enggak mau sambil
kuliah?" tanya Papa.
"Sambil kerja, kek!" sembur
Mama.
"Enggak," tegas Risky. Ia
melangkah ke meja belajarnya yang kini disirami cahaya matahari. Ia duduk dan
membuka satu buku, menampakkan konsentrasi penuh.
"Hah, buang-buang waktu aja!"
keluh Mama.
Risky mendengarkan langkah Mama menjauh.
Tidak ada yang sia-sia. Pengalaman yang
lalu menjadi akar yang menunjang tekadnya. Akar tunjang, bukan akar serabut.
Risky bangga masih mengingat pelajaran Biologi. Ini akan menjadi awal yang
baik.
Lalu disadarinya bahwa ia telah menatap
paragraf yang sama tanpa memahami sedikit pun isinya. Ini pelajaran apa sih?
Risky mengangkat separuh buku untuk melihat sampulnya. Saat menoleh itu, ia
mendapati Papa sedang berdiri di belakangnya entah sedari kapan.
"Yakin, enggak sambil kuliah?"
Papa mendelik atau memang matanya sangat besar--Risky tidak pernah yakin yang
mana.
"Y-y-ya-ya-kin ...." Risky
berusaha menekan tanda tanya di ujung ucapannya.
"Apa enggak bisa sambil
kuliah?"
"Enggak."
"Memangnya enggak bisa bagi
waktu?"
"Enggak--"
"Apa enggak mau belajar bagi waktu?"
"Enggak! Aku mau fokus! Aku butuh
konsentrasi!" Risky berdiri, setengah membentak Papa yang kini tidak lebih
tinggi dari badannya. Ia tidak bermaksud menantang, tapi entah kalau Papa
menganggapnya demikian. Hantaman Papa biasanya tidak terprediksi. Kapan pun
itu, Risky siap saja bila mesti berkelahi lagi.
[1] Doraemon 2 oleh Fujiko
F. Fujio, alih bahasa oleh Arnida Masliza, terbitan PT Elex Media Komputindo,
Jakarta, cetakan pertama Desember 1991, cetakan ketujuh November 1996