Tiap kali Mama mendapati dirinya hamil,
Risky mulai dipanggil sebagai "Kakak". Tapi selalu tak lama kemudian
Risky batal menjadi kakak. Segera setelah Mama keguguran, kepala Risky dikecup
dan dibelai, sambil berurai mata dan berkata lirih, "Mama belum bisa kasih
Iki adik ...." Bagi Risky, itu berarti setelah Mama pulih ia boleh membeli
bacaan atau mainan yang lebih banyak atau lebih mahal daripada biasanya.
Akhirnya ada juga calon adik yang
berhasil bertahan dalam kandungan Mama sampai lahirnya. Si Adek mestilah
dibikin di Jepang. Sebab, beberapa bulan setelah mereka kembali ke Indonesia,
perut Mama makin besar. Simbok dipanggil kembali. Untuk meringankan pekerjaan
Simbok yang sudah renta, didatangkan satu pembantu lagi.
Setelah Adek lahir dan mereka pindah ke
Bandung, Mama kembali mendapatkan pekerjaan full time. Kalau tidak
ada jadwal les di luar rumah atau tidak hendak keluyuran terlebih dahulu,
sepulang sekolah Risky menghampiri Simbok yang sedang mengurusi Adek.
Waktu Adek masih orok, kelihatannya
memang membosankan. Kerjanya tidur melulu, kalau tidak menangis, kencing,
berak, menyusu. Yang menarik hanya ketika tangan Adek mencengkeram kelingking
Risky dan menggoyang-goyangkannya.
Ketika Adek sudah bisa tertawa, barulah
Risky tertawan. Ia suka pura-pura bersembunyi ke bawah Adek, lalu tiba-tiba
naik mengagetkannya. Ia juga suka meniupi perut Adek sampai berbunyi seperti
kentut besar-besar. Adek selalu tergelak-gelak keras sampai histeris.
Walau awalnya sungkan, Risky mau juga
diajari Simbok cara membopong Adek. Tampaknya dekapan Risky yang berbadan
gempal itu begitu nyaman, sehingga Adek langsung tertidur. Memang selanjutnya
menyebalkan karena bajunya jadi kebasahan liur Adek. Tapi sekaligus angannya
melambung jauh. Suatu saat gue bakal jadi ayah, dan siapakah
gerangan wanita beruntung yang akan mengandung benihnya itu? Khayalannya berkelana.
Mungkin ketika saat itu tiba Nike akan libur sebentar dan ....
Si Adek termasuk cepat belajar
merangkak. Ia mengejar Risky ke sana kemari. Risky sendiri sengaja menjauhkan
diri minta dikejar. Segera saja Adek mulai belajar jalan. Risky memegangi kedua
tangan si Adek dari belakang, memandunya tertatih-tatih ke depan. Momen paling
menggembirakan yaitu ketika ia baru pulang sekolah, membuka pintu, dan
tahu-tahu saja ada yang menubruknya. O rupanya sekarang Adek sudah belajar
berlari! "Ka-ki! Ka-ki!" Adek berteriak menyambutnya. Selanjutnya
Risky sibuk melatih adiknya membedakan mana yang "kaki" dan mana yang
"Kak Iki", walau ujung-ujungnya, "Terserah lu deh!"
Tapi, begitu mendekati jam empat sore,
Risky bagai Cinderella yang takut kereta kencananya bakal berubah kembali
menjadi labu. Tidak peduli adiknya meraung-raung ditinggalkan—biar Simbok atau
pembantu satu lagi yang menangani—sedang ia sendiri memelesat ke kamar dan
mengunci diri. Beberapa lama kemudian, Mama pulang.
Simbok sudah tua sedari Risky kecil.
Ketika mengurus Adek pun, akhirnya Simbok tak sanggup lagi. Tidak lama setelah
Adek dapat berlari, Simbok roboh. Saat itu sepulang sekolah, Risky disambut
kepanikan pembantu satu lagi. Begitu Papa pulang, mereka membawa Simbok ke
rumah sakit. Sejak itu Simbok tak pulang lagi ke rumah, tapi menetap di bawah
tanah.
Risky sempat agak menjauh dari adiknya.
Kalau adiknya yang mendekati dia terlebih dahulu, Risky tidak menghindar. Tapi
bila Adek sedang asyik bersama pembantu satu lagi, Risky enggan sengaja menghampiri.
Lain rasanya dengan sewaktu Simbok masih ada, Risky nyaman saja mencampuri.
Dicari pembantu lain untuk menggantikan
Simbok. Tapi tidak ada yang bertahan lama, termasuk pembantu yang tadinya
bersama Simbok. Walau saat itu Mama masih bekerja seharian, dari kantornya itu
entah bagaimana ia seperti dapat memantau kelakuan para pembantu di rumah.
Sepulang Mama bekerja, ada saja yang diomelkannya kepada para pembantu.
Entahkah itu keadaan rumah yang kurang bersih dan rapi, tagihan telepon yang
tiba-tiba melonjak, pulang kemalaman dari pacaran, barang yang hilang, keluhan
tetangga, apalah.
Risky ikut diomeli. Ia dilarang
keluyuran sepulang sekolah agar mengawasi para pembantu di rumah. Tapi lalu
mereka kedatangan seorang pembantu yang seusia Risky, berkulit bening berparas
menarik. Mama waswas dan melontarkan perkataan yang menyinggung Risky,
"Kamu ini laki-laki tapi di rumah aja!" Ketika pembantu tersebut
minta berhenti, Mama menyambar Risky, "Kamu kegatelan, ya!? Jadi aja dia
enggak betah!" Risky cuma bisa menganga. Entah apa maunya nyonya ini.
Memang diam-diam Risky mengakui bahwa yang satu itu cantik, tapi ia juga masih
tahu diri!
Pernah ada pembantu yang cukup enak,
agak tua dibandingkan dengan yang lain-lain. Namun sayang, setelah beberapa
lama, ia minta berhenti dengan alasan mau mengurus cucunya di kampung.
Akhirnya Mama memutuskan untuk berhenti
kerja. Tinggal satu pembantu yang dipekerjakan di rumah, yang akhirnya minta
berhenti juga. Datang lagi satu pembantu, yang tak lama kemudian diberhentikan.
Kekosongan pembantu tidak lagi terisi. Mama sudah malas mencari. Ketika ada
yang menawarkan pun, Mama menolak dengan berbagai alasan. Kepada Papa, Mama
bilang, "Sekarang Iki udah gede, mestinya udah bisa bantu-bantu di
rumah!" Yang masuk ke kuping Risky tanpa penerimaan sama sekali.
Sepulang sekolah atau les, Risky
berlama-lama keluyuran hingga kebosanan. Di rumah, ia mengunci diri dalam
kamar, menyetel musik keras-keras, pura-pura tidur atau tidak ada sekalian,
mengabaikan Mama yang menggedor-gedor sambil berteriak-teriak.
Lama-lama Risky kasihan juga. Mama yang
sebelumnya gesit wira-wiri, kini sebentar-sebentar duduk sambil menghela napas;
memelas kepada Adek agar diam dulu sebentar, makan dulu. Adek tak mendengar,
terus saja berkeliaran ke sana kemari, berjempalitan, memekik-mekik. Pantas
saja anak itu sering dipakaikan baju monyet, kelakuannya memang seperti anak
monyet.
Risky mulai melewatkan waktu di luar
kamar. Ia tidak hendak bersih-bersih, karena hasil pekerjaannya tidak akan
pernah terlihat baik di mata Mama (sebagian karena memang ia ogah-ogahan
melakukannya) sedangkan ia bukan perempuan asing dari kampung yang bisa minta
berhenti atau diberhentikan begitu saja lalu menghilang untuk selama-lamanya.
Ia lebih suka mendekati Adek, dan dengan begitu Mama tahu tugas apa yang dia
kehendaki. Kalau disuruh menyuapi Adek, paling tidak ia bisa melakukannya
sambil main atau menonton TV.
Risky paling suka mainan yang berbentuk
balok-balok atau batang-batang yang bisa disusun dan dirangkai, biasanya jadi
robot. Ini kepalanya, ini torsonya, ini lengannya, ini kakinya, ini senjata
untuk meledakkan pesawat musuh. Imajinasinya melangit dan runtuh seketika
pesawat musuh yang diantisipasinya itu meluncur digerakkan Adek menubruk
robot-robotannya. Adek pun menganggap robot-robotan Risky sebagai penjelmaan
lawan yang mesti dihancurkan. Bahkan ketika Risky sedang tidak membuat
robot-robotan, ganti badannya yang kena hantam. Badannya itu seakan-akan tebing
besar jalur mobil-mobilan atau arena laga para jagoan, tergantung Risky sedang
duduk atau rebahan.
Pose favorit Risky di depan TV adalah
duduk anteng menyilangkan kedua lengan kedua kaki di karpet sembari mengamati
pujaan hati berlakon di sinetron, sementara aksi favorit Adek adalah terjun
dari sofa menimpa punggungnya. Kadang badannya itu jadi samsak sasaran tinju
atau tendang.
Sering kali si Adek tahu-tahu
menggandulinya dari belakang, memanjat punggungnya, dan sembari mencekik
lehernya dan menjambak rambutnya, akhirnya berhasil menduduki bahunya, lalu
memukuli dadanya pakai tumit menyuruh jalan. Kadang Risky menurut, berjalan
sebentar sekadar untuk kemudian menjatuhkan Adek di sofa atau kasur dan anak
itu pun akan memekik kegirangan; begitu Risky menjauh, cepat-cepat Adek
bangkit, berlari-lari mengejarnya, dan berusaha merayap naik lagi dengan
menginjaki karet celananya sampai hampir melorot. Kalau sedang malas jalan,
Risky langsung menjatuhkan si Adek ke sampingnya sembari memegangi anak itu
supaya tidak terbanting.
Bila sedang tidak bisa menahan kekesalan
pada Adek, Risky berteriak, "Ma, si Adek sialan!" yang biasanya
berbalas hardikan Mama. Lagi pula, si Adek cepat belajar kata-kata makian
sehingga akibatnya senjata makan tuan. Misalnya, saat Adek menguraikan pita
salah satu kasetnya, Risky menggertak, "Jangan pecicilan!" Adek
terdiam, lalu berlari menghampiri Mama yang sedang menyiapkan bahan masakan di
dapur. Adek menariki baju Mama sampai mendapatkan perhatian, lalu seakan-akan
memberitahukan sebuah rahasia, matanya membelalak serius dan mulutnya bersuara
sepelan-pelannya namun entah bagaimana masih terdengar sampai ke kamar Risky,
"Ma, Kakak cicilan!"
Yang paling celaka adalah saat Adek mau
berak, sedang Mama entah ada di mana mungkin sepulang belanja keasyikan merumpi
di rumah tetangga? Adek sudah terlatih untuk segera masuk ke kamar mandi dan
membuang hajatnya di jamban, tapi setelahnya masih harus teriak-teriak minta
diceboki. Kalau sudah begitu, Risky mesti bagaimana? Yang ia inginkan adalah
mengelusi pipi putih mulus Nike, alih-alih pantat si Adek pakai air dan sabun
dan lalu mengawasi tahinya sementara dibanjur sampai menghilang ke lubang
pembuangan.
Bila ia sendiri yang mau buang air
kecil, adiknya penasaran mengikuti ke kamar mandi sejak melihat bahwa punya
mereka berbeda. "Ma, kenapa yang Kakak ada bulunya?" tanya Adek suatu
ketika, dan Mama terkakak-kakak. Risky menahan dongkol dan malu mendengarnya,
walau mengakui saat Mama memperingati, "Makanya kalau pipis, ditutup
pintunya!" Memang ia malas menutup pintu kamar mandi saat begitu karena,
pikirnya, urusannya cuma sebentar. Paling-paling pintu didorongnya sehingga
hanya menampakkan sedikit celah. Tapi tahu-tahu Adek mendorong balik pintu itu,
menyelonong masuk, dan ikut berdiri sambil memelorotkan celana di sebelahnya,
dikiranya ada perlombaan mengarahkan aliran kencing ke lubang jamban.
Kata Mama, Risky berbakat mengasuh Adek.
Buktinya, Risky berhasil mengembangkan trik-trik agar Adek mau disuapi bahkan
kemudian mulai makan sendiri. Mama tidak tahu bahwa—ketika ia sedang tidak ada
di ruangan—Risky sesekali mengembat isi piring Adek supaya urusan makan cepat
selesai. Pikir Risky, pujian itu hanya trik agar ia mau menceboki Adek
sekalipun saat Mama ada di rumah. Ia akan betul-betul tersanjung kalau dipuji
berbakat menggaet cewek ketimbang mengasuh Adek, tapi apa daya manusia tak bisa
memilih sendiri bakat yang dimilikinya.
Di dalam rumah, Risky bisa saja
kelepasan bersenang-senang dengan adiknya. Malah kadang saking gemasnya pada
anak itu, Risky memeluknya erat-erat seperti hendak meremukkannya dan menciuminya
seperti hendak memakannya. Tapi, melewati pintu depan, Risky gamang kalau-kalau
terlihat bersama adiknya.
Sebagaimana ia tidak bisa mencegah orang
tuanya melihat dia akrab dengan adiknya, pada akhirnya Risky tidak bisa
menghindar saat Adek mengejar-ngejar dia ke luar rumah. Ia sudah bergegas,
hampir berlari, saat mendengar adiknya meraung-raung di belakang. Kalau cuma
itu, Risky tidak hendak peduli. Ia akan terus berjalan tanpa menoleh sampai
tiba di warung dan membeli keperluannya; nanti toh ketemu lagi di rumah, tak
usah begitu dramatis menangisi kepergiannya yang cuma beberapa menit saja.
Masalahnya, ada suara tetangga yang
menimpali tangisan Adek. Nadanya merisaukan. Risky terhenti, menoleh dan
mendapati Adek terduduk di tengah jalan berkerikil dengan luka menganga merah
pada lututnya. Ibu tetangga itu membungkuk menghibur Adek, lalu memandangi
Risky dengan tatapan mendakwa sementara anak itu terus saja menjerit-jerit,
"Kakak .... Kakaaak .... Huuu .... Huuu ...."
Sebelum Mama sempat keluar rumah, Risky
sudah menghampiri Adek dan membopongnya. Ia membawa Adek masuk kembali ke
rumah, membersihkan dan mengobati lukanya, di bawah rongrongan Mama yang
menuntut penjelasan. Ia memungkas isakan Adek dengan, "Mau jajan?"
Adek terdiam lalu menggenggam tangannya. Bergandengan mereka sepanjang jalan ke dan dari warung, dan selama itu pula Risky merundukkan pandangan. Cowok-cowok lain seumuran dia pada menggandeng cewek kece, sedangkan dia dengan bocah balita adiknya sendiri. Adakah rasa malu yang lebih besar daripada ini?
Tapi, berkali-kali lagi sejak itu, Risky merasa tidak ada orang yang benar-benar memerhatikan mereka. Ia mulai mengajak adiknya ke tempat-tempat yang lebih jauh daripada warung dekat rumah, misalnya ke tempat penyewaan buku atau film. Mereka juga punya warung tenda bakso langganan. Ia memotongi bakso Adek dan kadang, bila sudah tak sabar ingin pulang, menyuapi anak itu diselingi mulutnya sendiri supaya cepat habis. Masih ia berharap bahwa yang disuapinya ini bukan bocah balita adiknya sendiri, melainkan cewek manis sepantaran dia, yang lahir di penghujung tahun, bernama Nike ... atau siapa pun boleh sebetulnya asalkan sreg di hati.