Sabtu, 20 Februari 2021

4. ADEK

Tiap kali Mama mendapati dirinya hamil, Risky mulai dipanggil sebagai "Kakak". Tapi selalu tak lama kemudian Risky batal menjadi kakak. Segera setelah Mama keguguran, kepala Risky dikecup dan dibelai, sambil berurai mata dan berkata lirih, "Mama belum bisa kasih Iki adik ...." Bagi Risky, itu berarti setelah Mama pulih ia boleh membeli bacaan atau mainan yang lebih banyak atau lebih mahal daripada biasanya.

Akhirnya ada juga calon adik yang berhasil bertahan dalam kandungan Mama sampai lahirnya. Si Adek mestilah dibikin di Jepang. Sebab, beberapa bulan setelah mereka kembali ke Indonesia, perut Mama makin besar. Simbok dipanggil kembali. Untuk meringankan pekerjaan Simbok yang sudah renta, didatangkan satu pembantu lagi.

Setelah Adek lahir dan mereka pindah ke Bandung, Mama kembali mendapatkan pekerjaan full time. Kalau tidak ada jadwal les di luar rumah atau tidak hendak keluyuran terlebih dahulu, sepulang sekolah Risky menghampiri Simbok yang sedang mengurusi Adek.

Waktu Adek masih orok, kelihatannya memang membosankan. Kerjanya tidur melulu, kalau tidak menangis, kencing, berak, menyusu. Yang menarik hanya ketika tangan Adek mencengkeram kelingking Risky dan menggoyang-goyangkannya.

Ketika Adek sudah bisa tertawa, barulah Risky tertawan. Ia suka pura-pura bersembunyi ke bawah Adek, lalu tiba-tiba naik mengagetkannya. Ia juga suka meniupi perut Adek sampai berbunyi seperti kentut besar-besar. Adek selalu tergelak-gelak keras sampai histeris.

Walau awalnya sungkan, Risky mau juga diajari Simbok cara membopong Adek. Tampaknya dekapan Risky yang berbadan gempal itu begitu nyaman, sehingga Adek langsung tertidur. Memang selanjutnya menyebalkan karena bajunya jadi kebasahan liur Adek. Tapi sekaligus angannya melambung jauh. Suatu saat gue bakal jadi ayah, dan siapakah gerangan wanita beruntung yang akan mengandung benihnya itu? Khayalannya berkelana. Mungkin ketika saat itu tiba Nike akan libur sebentar dan ....

Si Adek termasuk cepat belajar merangkak. Ia mengejar Risky ke sana kemari. Risky sendiri sengaja menjauhkan diri minta dikejar. Segera saja Adek mulai belajar jalan. Risky memegangi kedua tangan si Adek dari belakang, memandunya tertatih-tatih ke depan. Momen paling menggembirakan yaitu ketika ia baru pulang sekolah, membuka pintu, dan tahu-tahu saja ada yang menubruknya. O rupanya sekarang Adek sudah belajar berlari! "Ka-ki! Ka-ki!" Adek berteriak menyambutnya. Selanjutnya Risky sibuk melatih adiknya membedakan mana yang "kaki" dan mana yang "Kak Iki", walau ujung-ujungnya, "Terserah lu deh!"

Tapi, begitu mendekati jam empat sore, Risky bagai Cinderella yang takut kereta kencananya bakal berubah kembali menjadi labu. Tidak peduli adiknya meraung-raung ditinggalkan—biar Simbok atau pembantu satu lagi yang menangani—sedang ia sendiri memelesat ke kamar dan mengunci diri. Beberapa lama kemudian, Mama pulang.

Simbok sudah tua sedari Risky kecil. Ketika mengurus Adek pun, akhirnya Simbok tak sanggup lagi. Tidak lama setelah Adek dapat berlari, Simbok roboh. Saat itu sepulang sekolah, Risky disambut kepanikan pembantu satu lagi. Begitu Papa pulang, mereka membawa Simbok ke rumah sakit. Sejak itu Simbok tak pulang lagi ke rumah, tapi menetap di bawah tanah.

Risky sempat agak menjauh dari adiknya. Kalau adiknya yang mendekati dia terlebih dahulu, Risky tidak menghindar. Tapi bila Adek sedang asyik bersama pembantu satu lagi, Risky enggan sengaja menghampiri. Lain rasanya dengan sewaktu Simbok masih ada, Risky nyaman saja mencampuri.

Dicari pembantu lain untuk menggantikan Simbok. Tapi tidak ada yang bertahan lama, termasuk pembantu yang tadinya bersama Simbok. Walau saat itu Mama masih bekerja seharian, dari kantornya itu entah bagaimana ia seperti dapat memantau kelakuan para pembantu di rumah. Sepulang Mama bekerja, ada saja yang diomelkannya kepada para pembantu. Entahkah itu keadaan rumah yang kurang bersih dan rapi, tagihan telepon yang tiba-tiba melonjak, pulang kemalaman dari pacaran, barang yang hilang, keluhan tetangga, apalah.

Risky ikut diomeli. Ia dilarang keluyuran sepulang sekolah agar mengawasi para pembantu di rumah. Tapi lalu mereka kedatangan seorang pembantu yang seusia Risky, berkulit bening berparas menarik. Mama waswas dan melontarkan perkataan yang menyinggung Risky, "Kamu ini laki-laki tapi di rumah aja!" Ketika pembantu tersebut minta berhenti, Mama menyambar Risky, "Kamu kegatelan, ya!? Jadi aja dia enggak betah!" Risky cuma bisa menganga. Entah apa maunya nyonya ini. Memang diam-diam Risky mengakui bahwa yang satu itu cantik, tapi ia juga masih tahu diri!

Pernah ada pembantu yang cukup enak, agak tua dibandingkan dengan yang lain-lain. Namun sayang, setelah beberapa lama, ia minta berhenti dengan alasan mau mengurus cucunya di kampung.

Akhirnya Mama memutuskan untuk berhenti kerja. Tinggal satu pembantu yang dipekerjakan di rumah, yang akhirnya minta berhenti juga. Datang lagi satu pembantu, yang tak lama kemudian diberhentikan. Kekosongan pembantu tidak lagi terisi. Mama sudah malas mencari. Ketika ada yang menawarkan pun, Mama menolak dengan berbagai alasan. Kepada Papa, Mama bilang, "Sekarang Iki udah gede, mestinya udah bisa bantu-bantu di rumah!" Yang masuk ke kuping Risky tanpa penerimaan sama sekali.

Sepulang sekolah atau les, Risky berlama-lama keluyuran hingga kebosanan. Di rumah, ia mengunci diri dalam kamar, menyetel musik keras-keras, pura-pura tidur atau tidak ada sekalian, mengabaikan Mama yang menggedor-gedor sambil berteriak-teriak.

Lama-lama Risky kasihan juga. Mama yang sebelumnya gesit wira-wiri, kini sebentar-sebentar duduk sambil menghela napas; memelas kepada Adek agar diam dulu sebentar, makan dulu. Adek tak mendengar, terus saja berkeliaran ke sana kemari, berjempalitan, memekik-mekik. Pantas saja anak itu sering dipakaikan baju monyet, kelakuannya memang seperti anak monyet.

Risky mulai melewatkan waktu di luar kamar. Ia tidak hendak bersih-bersih, karena hasil pekerjaannya tidak akan pernah terlihat baik di mata Mama (sebagian karena memang ia ogah-ogahan melakukannya) sedangkan ia bukan perempuan asing dari kampung yang bisa minta berhenti atau diberhentikan begitu saja lalu menghilang untuk selama-lamanya. Ia lebih suka mendekati Adek, dan dengan begitu Mama tahu tugas apa yang dia kehendaki. Kalau disuruh menyuapi Adek, paling tidak ia bisa melakukannya sambil main atau menonton TV.

Risky paling suka mainan yang berbentuk balok-balok atau batang-batang yang bisa disusun dan dirangkai, biasanya jadi robot. Ini kepalanya, ini torsonya, ini lengannya, ini kakinya, ini senjata untuk meledakkan pesawat musuh. Imajinasinya melangit dan runtuh seketika pesawat musuh yang diantisipasinya itu meluncur digerakkan Adek menubruk robot-robotannya. Adek pun menganggap robot-robotan Risky sebagai penjelmaan lawan yang mesti dihancurkan. Bahkan ketika Risky sedang tidak membuat robot-robotan, ganti badannya yang kena hantam. Badannya itu seakan-akan tebing besar jalur mobil-mobilan atau arena laga para jagoan, tergantung Risky sedang duduk atau rebahan.

Pose favorit Risky di depan TV adalah duduk anteng menyilangkan kedua lengan kedua kaki di karpet sembari mengamati pujaan hati berlakon di sinetron, sementara aksi favorit Adek adalah terjun dari sofa menimpa punggungnya. Kadang badannya itu jadi samsak sasaran tinju atau tendang.

Sering kali si Adek tahu-tahu menggandulinya dari belakang, memanjat punggungnya, dan sembari mencekik lehernya dan menjambak rambutnya, akhirnya berhasil menduduki bahunya, lalu memukuli dadanya pakai tumit menyuruh jalan. Kadang Risky menurut, berjalan sebentar sekadar untuk kemudian menjatuhkan Adek di sofa atau kasur dan anak itu pun akan memekik kegirangan; begitu Risky menjauh, cepat-cepat Adek bangkit, berlari-lari mengejarnya, dan berusaha merayap naik lagi dengan menginjaki karet celananya sampai hampir melorot. Kalau sedang malas jalan, Risky langsung menjatuhkan si Adek ke sampingnya sembari memegangi anak itu supaya tidak terbanting.

Bila sedang tidak bisa menahan kekesalan pada Adek, Risky berteriak, "Ma, si Adek sialan!" yang biasanya berbalas hardikan Mama. Lagi pula, si Adek cepat belajar kata-kata makian sehingga akibatnya senjata makan tuan. Misalnya, saat Adek menguraikan pita salah satu kasetnya, Risky menggertak, "Jangan pecicilan!" Adek terdiam, lalu berlari menghampiri Mama yang sedang menyiapkan bahan masakan di dapur. Adek menariki baju Mama sampai mendapatkan perhatian, lalu seakan-akan memberitahukan sebuah rahasia, matanya membelalak serius dan mulutnya bersuara sepelan-pelannya namun entah bagaimana masih terdengar sampai ke kamar Risky, "Ma, Kakak cicilan!"

Yang paling celaka adalah saat Adek mau berak, sedang Mama entah ada di mana mungkin sepulang belanja keasyikan merumpi di rumah tetangga? Adek sudah terlatih untuk segera masuk ke kamar mandi dan membuang hajatnya di jamban, tapi setelahnya masih harus teriak-teriak minta diceboki. Kalau sudah begitu, Risky mesti bagaimana? Yang ia inginkan adalah mengelusi pipi putih mulus Nike, alih-alih pantat si Adek pakai air dan sabun dan lalu mengawasi tahinya sementara dibanjur sampai menghilang ke lubang pembuangan.

Bila ia sendiri yang mau buang air kecil, adiknya penasaran mengikuti ke kamar mandi sejak melihat bahwa punya mereka berbeda. "Ma, kenapa yang Kakak ada bulunya?" tanya Adek suatu ketika, dan Mama terkakak-kakak. Risky menahan dongkol dan malu mendengarnya, walau mengakui saat Mama memperingati, "Makanya kalau pipis, ditutup pintunya!" Memang ia malas menutup pintu kamar mandi saat begitu karena, pikirnya, urusannya cuma sebentar. Paling-paling pintu didorongnya sehingga hanya menampakkan sedikit celah. Tapi tahu-tahu Adek mendorong balik pintu itu, menyelonong masuk, dan ikut berdiri sambil memelorotkan celana di sebelahnya, dikiranya ada perlombaan mengarahkan aliran kencing ke lubang jamban.

Kata Mama, Risky berbakat mengasuh Adek. Buktinya, Risky berhasil mengembangkan trik-trik agar Adek mau disuapi bahkan kemudian mulai makan sendiri. Mama tidak tahu bahwa—ketika ia sedang tidak ada di ruangan—Risky sesekali mengembat isi piring Adek supaya urusan makan cepat selesai. Pikir Risky, pujian itu hanya trik agar ia mau menceboki Adek sekalipun saat Mama ada di rumah. Ia akan betul-betul tersanjung kalau dipuji berbakat menggaet cewek ketimbang mengasuh Adek, tapi apa daya manusia tak bisa memilih sendiri bakat yang dimilikinya.

Di dalam rumah, Risky bisa saja kelepasan bersenang-senang dengan adiknya. Malah kadang saking gemasnya pada anak itu, Risky memeluknya erat-erat seperti hendak meremukkannya dan menciuminya seperti hendak memakannya. Tapi, melewati pintu depan, Risky gamang kalau-kalau terlihat bersama adiknya.

Sebagaimana ia tidak bisa mencegah orang tuanya melihat dia akrab dengan adiknya, pada akhirnya Risky tidak bisa menghindar saat Adek mengejar-ngejar dia ke luar rumah. Ia sudah bergegas, hampir berlari, saat mendengar adiknya meraung-raung di belakang. Kalau cuma itu, Risky tidak hendak peduli. Ia akan terus berjalan tanpa menoleh sampai tiba di warung dan membeli keperluannya; nanti toh ketemu lagi di rumah, tak usah begitu dramatis menangisi kepergiannya yang cuma beberapa menit saja.

Masalahnya, ada suara tetangga yang menimpali tangisan Adek. Nadanya merisaukan. Risky terhenti, menoleh dan mendapati Adek terduduk di tengah jalan berkerikil dengan luka menganga merah pada lututnya. Ibu tetangga itu membungkuk menghibur Adek, lalu memandangi Risky dengan tatapan mendakwa sementara anak itu terus saja menjerit-jerit, "Kakak .... Kakaaak .... Huuu .... Huuu ...."

Sebelum Mama sempat keluar rumah, Risky sudah menghampiri Adek dan membopongnya. Ia membawa Adek masuk kembali ke rumah, membersihkan dan mengobati lukanya, di bawah rongrongan Mama yang menuntut penjelasan. Ia memungkas isakan Adek dengan, "Mau jajan?"

Adek terdiam lalu menggenggam tangannya. Bergandengan mereka sepanjang jalan ke dan dari warung, dan selama itu pula Risky merundukkan pandangan. Cowok-cowok lain seumuran dia pada menggandeng cewek kece, sedangkan dia dengan bocah balita adiknya sendiri. Adakah rasa malu yang lebih besar daripada ini?

Tapi, berkali-kali lagi sejak itu, Risky merasa tidak ada orang yang benar-benar memerhatikan mereka. Ia mulai mengajak adiknya ke tempat-tempat yang lebih jauh daripada warung dekat rumah, misalnya ke tempat penyewaan buku atau film. Mereka juga punya warung tenda bakso langganan. Ia memotongi bakso Adek dan kadang, bila sudah tak sabar ingin pulang, menyuapi anak itu diselingi mulutnya sendiri supaya cepat habis. Masih ia berharap bahwa yang disuapinya ini bukan bocah balita adiknya sendiri, melainkan cewek manis sepantaran dia, yang lahir di penghujung tahun, bernama Nike ... atau siapa pun boleh sebetulnya asalkan sreg di hati.

Senin, 08 Februari 2021

"Saat Harapan Tiba", tapi baru sepertiga lagu

Pantai suram membentang

Cah'ya tak tampak berkedip

Kelam terasa menyentuh surya hidupku


Sepi aku menanti

Ombak yang akan berlabuh

Tenang berayun, beriak menghibur hatiku


Inikah sisa hidupku

Diriku hanya menanti

Kubiarkan semua mendera jiwaku ....


Kulihat bintang muncul bersinar

Namun mengapa kerlipnya menyiksa diriku ....


Sabtu, 06 Februari 2021

3. KENANGAN SMA

Sepulang dari Jepang, mereka kembali tinggal di Tangerang. Risky masuk kelas tiga SMP. Tidak lama setelah itu, Papa mendapat penempatan baru. Risky melanjutkan ke SMA di Bandung.

SMA pertama Risky, seperti yang sudah disebutkan, adalah SMA negeri yang terbilang favorit. Pada awalnya, Risky mengikuti pelajaran dengan baik. Tuntutan belajar keras selama di Jepang masih membekas. Malah ia menjadi sasaran sontekan bagi anak-anak di sekitarnya, Erik dan kawan-kawan.

Mereka menaruh perhatian pada Risky bukan hanya pada waktu mengerjakan ulangan dan PR. Pada pelajaran-pelajaran yang membosankan, kalau sedang tidak ada bacaan menarik untuk diintip, Risky suka mencoret-coret bagian belakang bukunya. Objek yang bisa digambar Risky pada waktu itu cuma dua, yang sekaligus menjadi memorabilianya dari pengalaman tinggal di Jepang: berbagai model robot dari anime kegemarannya serta aneka pose dari koleksi majalah porno Shigeo. Yang menarik perhatian anak-anak di sekitarnya tentu saja yang belakangan itu.

Shigeo menyimpan koleksinya di bawah kasur. Begitu kasurnya diangkat, tampak majalah porno berjejer-jejer. Majalah biasanya ditaruh di bagian belakang toko. Orang bisa membuka plastiknya dan melihat-lihat isinya tanpa mesti membeli. Kerap kali Risky tergoda untuk menjangkau yang sudah dibuka, tapi terlalu malu untuk mendekat. Shigeo sendiri tidak suka membeli, tapi menyelundupkan majalan itu di balik bajunya. Kerap kali Risky diminta bantu mengawasi supaya tidak ada yang memergoki aksinya itu. Setiap majalah yang berhasil dibawa pulang dianggap Shigeo sebagai tropi.

Shigeo pernah menghadiahi Risky salah satu tropinya itu. Risky menyimpan majalah itu di tempat yang dia anggap paling aman di kamarnya. Tapi, entah bagaimana, suatu kali Papa mengetahuinya. Dengan gulungan majalah itu, Risky ditampar. Ia tidak pernah melihat majalah itu lagi.

Di Indonesia, yang begitu lebih susah didapat. Yang mudah paling-paling membaca novel erotis, tapi mesti membayangkan sendiri. Kalau novel itu miliknya, Risky melipat halaman yang berisikan adegan itu supaya langsung ketemu bila sewaktu-waktu memerlukan bahan fantasi. Tapi, karena sudah pernah melihat yang jelas (walau tidak secara langsung), sesungguhnya Risky tidak puas. Ia coba memanggil ingatan-ingatan nan mengesankan itu--pose-pose favoritnya--merekamnya dalam kertas.

Gambar Risky memang kasar karena ia tidak menguasai anatomi. Tapi kelihatannya masih lebih bagus daripada sketsa-sketsa yang tersebar di dinding bilik-bilik ruang ganti kolam renang Centrum. Erik dkk sendiri kemampuan menggambarnya tidak sampai setaraf Risky.

Erik meminta Risky memberikan gambarnya. Risky menurut saja. Ia tidak mengira bahwa suatu hari karya seninya akan terpampang di papan mading.

Sudah begitu, nama dan kelasnya tertera di sudut kertas.

Terang Risky langsung mengetahui siapa pelakunya. Diiringi pandangan jijik cewek-cewek, termasuk cewek yang sedang jadi incarannya waktu itu, Risky meninggalkan papan mading, menuju kelasnya, dan menonjok Erik. Dodi dan lain-lain berusaha melerai keduanya, namun jelas kepada yang mana mereka berpihak. Keduanya dipanggil ke ruang BK.

Di ruang BK, Risky diminta tinggal lebih lama daripada Erik. Guru BK yang menangani dia tampak terkesan oleh gambarnya.

"Sebetulnya kamu ada bakat," kata guru pria itu. "Coba saja dipakaikan baju," sembari mengulurkan gambar itu kembali pada pembuatnya.

Risky memandangi gambar itu, mencoba membayangkan sebuah baju. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi segan. Guru pria itu memerhatikan dan mendorongnya, menunggu, hingga Risky bersuara, "Saya enggak cita-cita jadi modiste, Pak."

Guru itu termangu, dan bertanya, "Lalu apa cita-cita kamu?"

Ganti Risky yang terkelu.

Cita-citaku ... apa?

Pertanyaan itu bergulung-gulung di benak Risky, dan tidak kunjung terjawab. Sementara itu, ia mulai segan bersekolah. Tiap hari bertemu anak-anak yang telah berulah padanya itu, kegondokannya bertambah. Mereka bertingkah padanya seperti yang tidak bersalah.

Ia mulai mogok bersekolah. Pagi-pagi dari rumah ia mengenakan seragam, tapi perginya ke tempat umum. Keluar dari WC, putih abunya berganti jadi pakaian biasa. Ia keluyuran di jalan, keluar masuk pusat perbelanjaan, lihat-lihat mainan, makan di restoran, baca buku di perpustakaan, dan kadang melamun saja di atas jembatan, memerhatikan orang lalu lalang, menghitungi Suzuki yang seliweran, menyaksikan tawuran dari kejauhan, apa pun sampai waktunya pulang sekolah. Kadang ia lanjut kelayapan, kadang juga langsung pulang. Sebelum pulang ia mengganti lagi pakaiannya dengan seragam sekolah.

Sekalinya Risky kembali ke sekolah, itu karena diseret orang tuanya yang telah mendapatkan pemberitahuan. Pihak sekolah memberikan Risky pilihan: boleh tetap bersekolah di situ tapi tinggal kelas, atau naik kelas tapi di sekolah lain. Orang tua Risky berusaha memasukkan dia ke sekolah negeri lain, tapi semuanya mengajukan syarat yang sama. "Sekolah lain" yang dimaksud rupanya hanya sekolah swasta, dan bukan sembarang sekolah swasta melainkan yang diketahui umum sebagai tempat buangan anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri.

Risky kembali pergi ke sekolah. Tapi pelajaran sekolah benar-benar sudah tidak menarik baginya. Guru-gurunya tampak cuek, apalagi murid-muridnya. Risky bisa melewatkan seharian di sekolah, setiap pelajaran, sambil menunduk, entahkah untuk baca komik atau novel, main Game Boy, atau tidur, tanpa ada yang menegur. Kalaupun ada guru yang rewel, Risky masih bisa menggambar karena dari jauh toh terlihat seperti yang sedang mencatat pelajaran.

Untuk mengejar kualitas sekolah negeri, Risky didaftarkan dan diwanti-wanti agar mengikuti bimbingan belajar dan kursus bahasa Inggris sepulang sekolah. Untuk kursus bahasa Inggris, Risky cukup berminat menghadiri. Tapi untuk bimbingan belajar, ia datang semaunya saja.

PR dikerjakan asal-asalan. Bahan ulangan dibaca sepintas lalu baru semalam sebelum waktunya. Menjadi misteri bagaimana ia bisa naik tingkat demi tingkat. Tahu-tahu saja sudah waktunya kelulusan. Hanya sedikit murid dari sekolah itu yang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi. Bahkan untuk UMPTN pun, ia menerapkan sistem kebut semalam.

Mengenang masa SMA hingga UMPTN yang silam, Risky tahu tidak akan mungkin ia lolos UMPTN yang berikut tanpa mengubah cara belajarnya. Ketika melihat soal-soal, berusaha mengerjakan salah satunya, roda-roda di otaknya terasa seret. Mungkin berkarat, perlu diminyaki, atau apalah, sebab ketika dipaksakan bergerak padahal baru sebentar saja kepalanya sudah pening.

Ketika melihat-lihat buku pelajaran kelas 1, Risky tahu, ia akan membutuhkan satu tahun ke depan--satu tahun PENUH, tanpa disambi kuliah di kampus swasta atau kerja atau apalah mau orang tuanya--untuk mengejar ketertinggalan tiga tahun.

Ia akan belajar sendiri dengan buku-buku yang sudah ada padanya. Ia tidak harus mengandalkan bimbingan belajar, guru privat, atau apapun yang berbayar. Tidak, dengan Mama yang terus saja berkoar tentang tiga tahun uang SPP dan biaya bimbel yang tersia-siakan, tentang dirinya sendiri yang tidak lagi punya penghasilan, tentang harga-harga yang terus naik, dan tentang sejuta hal lain yang akan mengiringi Risky belajar selama satu tahun ke depan ....

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain