Sabtu, 06 Maret 2021

5. CHERRY, YANG SEBENARNYA SHELLY

Pada ulang tahunnya yang ketiga, si Adek dihadiahi sepeda roda tiga. Adek hampir-hampir tidak mau berjalan lagi, lebih suka mengayuh sepedanya itu. Paling tidak, suasana dalam rumah agak anteng karena dengan sepedanya itu Adek tidak mungkin berakrobat seperti biasanya.

Mulanya, Adek hanya dapat berkeliling dalam rumah dari ruangan ke ruangan. Ia boleh mencoba sepedanya di jalanan sekitar rumah hanya pada waktu tertentu saja, misalnya ketika Mama sedang rihat dari pekerjaannya atau akhir pekan saat Papa tidak ke kantor. Risky sendiri ogah bila disuruh menemani adiknya bersepeda, kecuali kalau ia sendiri memang ada urusan di luar rumah. Atau tepatnya, ia mau jajan ke warung lalu, seperti biasanya, Adek memaksa ikut tapi kali ini sambil bersepeda.

Sering kali tidak ada yang bisa (atau mau) menemani Adek bersepeda di luar rumah, sementara anak itu lagi pengin-penginnya. Adek mulai menuntut agar dibolehkan bersepeda di luar rumah sendirian, tapi Mama waswas. Mama membujuk Risky yang baru memulai program satu tahun persiapan intensif UMPTN, "Kakak, apa enggak capek belajar terus? Sekali-sekali jajan lah di luar, menghirup udara segar. Biar enggak stres." Oh, Mama begitu perhatian. "Sekalian nemenin Adek nyepeda."

"Mama ganggu aja sih!" hardik Risky, yang sudah berkali-kali membaca satu paragraf yang sama di buku Kimia, tapi belum mengerti juga.

Adek pun marah pada Mama. Ia mau keluar sendiri bersama sepedanya, tapi pintu depan terkunci. Adek bolak-balik dari pintu depan ke Mama, memohon-mohon minta dibukakan. Tapi Mama pura-pura tidak tahu kuncinya di mana. Adek kembali lagi ke pintu depan, menarik-narik gagangnya seakan-akan bakal terbuka entah bagaimana. Lalu ia menendangi pintu, berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki.

Luluh lantak sudah konsentrasi yang sedari tadi berusaha dibangun Risky. Ia menelungkupkan kepala di meja, ingin berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki juga.

Adek berlari lagi pada Mama, yang baru bisa rebahan di tempat tidur sambil membukai majalah setelah seharian bersih-bersih dan masak. Adek menyentak-nyentakkan kain rok Mama. "Bukain! BUKAIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN ...!" Mama berusaha memberikan penjelasan kepada Adek. Kenapa Adek tidak boleh pergi sendirian, kenapa Mama tidak bisa menemaninya karena mau beristirahat terlebih dahulu. Mama mengajak Adek tidur saja. Tapi Adek tidak mau. "Boleh sepedaan, asal ada yang nemenin," Mama letih mengulangi, lalu timbul isengnya, "Coba minta temenin sama Kakak."

Serta-merta Adek berlari ke kamar Risky. Giliran kain celana Risky yang disentak-sentaknya, sampai badan kakaknya itu terguncang-guncang. Mau tidak mau Risky mengangkat kepala. "Ayo .... AYOOO!!!" Adek lalu membanting diri ke lantai dan berputar-putar seperti gasing.

"Kiii .... Enggak kasihan sama Adek?" suara Mama.

Ingin Risky menendangi gasing itu sampai terlontar ke luar kamar, lalu mengunci pintu. Nanti juga anak itu capek sendiri dan berhenti.

"KAKAAAAAK ...!"

Beberapa lama kemudian, Risky menunggu Adek meluncur ke jalan dengan sepedanya itu sampai agak jauh baru keluar dari rumah. Ia berjalan dengan menjaga jarak cukup jauh dari Adek, pokoknya asal bocah itu masih kelihatan. Namun strateginya sia-sia. Sore itu di jalan berkumpul beberapa wanita sedang memberi makan bocah-bocah. Adek melewati mereka, ditegur. "Mamanya mana?" Adek menunjuk ke belakang. Serta-merta Risky memalingkan muka, menghentikan langkah, dan memandangi jalinan kabel listrik yang menembus tajuk pohon, seakan-akan ada burung dari spesies langka sedang bertengger.

Perhatiannya sempat teralihkan oleh gerung motor yang diiringi tawa genit. Sekilas memelesat dua orang berseragam putih abu yang menunggangi Honda Gelatik. Risky memandang kecut. Bersukaria menikmati senja bersama kekasih tidak pernah jadi miliknya. Ia juga pemuda yang punya gelora asmara, tapi kenapa yang lain bisa jadi pacar gadis cantik sedang ia cuma baby sitter?

Sampai di ujung jalan, Adek balik lagi menuju persimpangan lalu berbelok ke salah satu jalan. Risky melihat dari sudut matanya. Ketika merasa Adek sudah cukup jauh, barulah ia berbalik dan mengikuti.

Adek anak yang supel. Ketika berpapasan dengan seseorang—entah dikenal atau tidak—ia melambaikan tangan sambil berucap, "Dadah!" Orang yang didadahi biasanya menanggapi dengan senyum, sapa, atau balas dadah. Tapi ada satu orang yang sama sekali asing dengan Adek; ketika didadahi, raut mukanya datar saja bahkan menoleh pun tidak. Adek kesal dan meneriaki orang itu. "Dadah! Dadaaah! IH ... DADAAAAAAAH ...!"

Risky menyembunyikan diri di balik tiang listrik.

Tapi, sejenak kemudian, "KAKAAAAK .... ITU ADA IYONG! IYONG! IYOOONG!"

Orang asing dengan raut muka datar itu melewati Risky sambil melihat padanya. Risky berpura-pura tidak memerhatikan, memandang ke arah lain. Sementara kucing yang diteriaki sejenak tampak kaget, tapi lalu melanjutkan perjalanannya seakan-akan tidak ada apa-apa.

Perhatian Adek segera teralih. Di ujung jalan, baru saja muncul dari belokan, muncul satu sosok yang dia kenal. Mama pernah membawa Adek ke rumah orang itu. Adek dikasih permen. Senang sekali.

"TECEYIIII .... Dadaaaah!" Adek melambaikan tangan, padahal yang dipanggil lagi mau menyongsongnya.

Risky yang tadinya mau bergeser melepaskan diri dari perlindungan pun mengurungkan langkah. Dari balik tiang listrik, sebelah matanya menangkap makhluk manis yang menyambut Adek. Wajah yang tersenyum itu putih bercahaya bak sorot lampu mobil di malam tanpa bintang. Tubuhnya yang ramping itu kini berbalut seragam putih abu. Terakhir kali Risky melihatnya, baru beberapa bulan lalu sebelum ia sendiri lulus SMA, gadis itu masih berseragam putih biru. Sesore ini dia baru pulang. SMA mana? Habis berbuat apa? Sudah punya pacar belum, ya?

Lepas mensenyumi Adek, gadis itu lanjut berjalan. Arahnya menuju Risky yang kontan gelagapan. Entah kenapa Risky tidak hendak kelihatan oleh gadis itu. Ia membalikkan badan dan terhuyung menjauh dari tiang listrik, memasuki jalan lain di persimpangan itu hingga menemukan persembunyian baru. Dari balik semak-semak taman, ia bisa mengawasi gadis itu lewat sampai lenyap terhalang oleh rumah.

Baru beberapa kali Risky melihat gadis itu. Sekalinya melihat, entah kenapa Risky sampai terngiang berhari-hari. Entah kenapa juga seketika ia merasa harus bersembunyi, seakan-akan dirinya seekor pungguk bermuka buruk yang tersilaukan oleh cahaya bulan berparaskan dewi. Pertama kali Risky melihatnya yaitu saat gadis itu melintas di depan rumah. Entah gadis itu melihatnya juga atau tidak karena tidak tampak menoleh, Risky segera berjongkok di balik tubuh si Adek yang kala itu baru belajar berdiri.

Risky tidak pernah tahu nama gadis itu, hanya rumahnya pastilah dekat-dekat sini. Sore itu, ia mendengar gadis itu dipanggil ... Te ... ce ... yi? Adiknya memang masih agak cadel. Teceyi .... Teceyi .... Risky termenung-menung sampai pada pikiran bahwa "Te" itu mungkin "Teh" dari "Teteh", panggilan untuk perempuan yang lebih tua. Jadi namanya adalah "Ceyi". Tapi itu bukan nama yang umum. Ceyi .... Ceri .... Cherry? Mungkinkah? Cherry itu kalau di Jepang namanya "Sakura", mungkin orang tua gadis itu penggemar Fariz RM dan lagunya yang berjudul tersebut merupakan kenang-kenangan pertemuan mereka. Kalau benar seperti itu, gadis itu memang pantas menyandang nama tersebut.

Sampai di rumah, Risky mengusap-usap kepala adiknya penuh kasih sayang. Ia tidak berkeberatan mengawal adiknya bersepeda lagi selama di jalan ada tiang listrik atau semak untuk bersembunyi.

.

Sebenarnya Risky cukup percaya diri mendekati cewek yang dia suka. Dengan catatan: cewek itu juga menunjukkan ketertarikan padanya. Tapi, selama ini, mulai dari SMP kali pertama ia suka pada cewek sampai SMA saat ia punya lebih banyak incaran, Risky selalu kecele.

Yang pertama, cewek itu satu-satunya cewek Jepang—selama Risky bersekolah di Jepang—yang pernah menunjukkan simpati padanya, melalui perbuatan remeh-temeh seperti tersenyum tipis serta meminjaminya alat tulis. Hingga suatu kali Shigeo iseng menanyainya soal cewek. Sepertinya pipinya memerah dan sikapnya berubah canggung, sehingga Shigeo mendesaknya terus. Ia pun membocorkannya. Tidak heran Shigeo mendorong Risky mengambil tindakan. Risky kerap melihat Shigeo bercengkerama di jalan atau taman dengan cewek yang berganti-ganti. Shigeo saat itu bergabung dengan klub sastra di SMA. Setelah memberi Risky suntikan rasa percaya diri, Shigeo membantunya menulis surat cinta yang terindah (atau, setidaknya begitulah kata Shigeo). Risky menyerahkan surat cinta itu kepada si cewek. Esok paginya, ia mendapati surat itu melekat erat di mejanya ditambahi tulisan-tulisan lain yang sampai memenuhi seluruh permukaan mejanya. Salah satu tulisan itu mengatai dia tak tahu diri dan menyuruhnya pulang agar mencari pacar di negerinya sendiri saja. Hari itu Risky pulang telat dari sekolah karena mesti membersihkan mejanya sampai benar-benar polos seperti sedia kala. Waktu dan tenaganya sebagian besar habis untuk mengerik sisa kertas yang entah direkatkan dengan lem apa, sampai kukunya sakit seperti mau copot. Yang menghibur Risky adalah tinggal beberapa bulan lagi ia akan meninggalkan negara itu, yang ia harap untuk selama-lamanya. Ia tidak akan pernah kembali, begitu camkannya berulang-ulang dalam hati.

Di SMA, Risky masih mengartikan sikap simpatik beberapa cewek sebagai peluang. Memang ia tidak segegabah sebelumnya. Ia tidak langsung menyatakan perasaan, tapi mendekat perlahan-lahan. Ada masa ketika ia menghabiskan banyak koin di telepon umum. Awalnya beberapa koin untuk satu cewek. Kemudian jumlah koin berkurang. Antara Risky kehabisan bahan pembicaraan atau cewek itu yang telah menyadari manuvernya, tidak tertarik, lalu cepat-cepat menyudahi. Dipikir-pikir, rugi juga satu koin untuk pembicaraan sesingkat itu. Apalagi setelah Risky mendengar bahwa satu koin bisa digunakan untuk menghubungi lebih dari satu nomor, selama pulsanya masih ada. Risky pun mencoba peruntungannya dengan beberapa cewek lain. Kalau ia bisa menghabiskan satu koin sendiri untuk satu cewek, barulah cewek itu layak dikejar. Namun, Risky selalu kembali ke titik itu, ketika satu koin masih menyisakan pulsa dan tidak ada cewek lain yang bisa atau hendak ia hubungi. Ia pun telat mengetahui cara mengakali telepon umum biar koinnya bisa diambil lagi. Sebab, belum sempat ia memraktikkan, tampaknya reputasinya telah tersebar di antara cewek-cewek sehingga mereka pada menjaga jarak—sama sekali tidak memberikan celah untuk didekati.

Dengan Cherry, yang sebenarnya bernama Shelly, Risky tidak begitu percaya diri. Cewek-cewek yang parasnya setaraf Shelly di SMA-nya dulu biasanya sudah pada punya pacar. Boro-boro kasih nomor telepon, lirikan saja tidak!

Atau, boleh jadi sekian pengalaman ditolak dan dijauhi di masa silam akhirnya mengempiskan rasa percaya diri yang telah digelembungkan Shigeo dan sebagai gantinya menumbuhkan rasa malu Risky.

Kecantikan Shelly hanya layak diperbandingkan dengan cewek-cewek dalam kliping Risky. Kliping itu berupa map yang berisi guntingan atau robekan dari koran, majalah, dan tabloid—baik yang dibeli Papa atau Mama lalu tidak disentuh lagi, maupun yang sengaja dibelinya sendiri. Mulai dari Cut Keke sampai Cindy Crawford, Tamara Bleszinsky hingga Naomi Campbell. Ada Julia Robert dalam gaun merah panjang yang ujungnya berumbai-rumbai, mengangkang sambil berdiri sehingga menyerupai pohon yang akarnya tinggi-tinggi itu. Ada gadis Rodenstock dengan mata besar berbinar, serta gadis ber-BH biru menerawang di balik blus putih dalam iklan Matahari. Cuma Yurike Prastika yang ia hindari masuk ke dalam koleksinya, karena wajah itu mengingatkan pada Mama, hiii! Koleksinya memang tidak seseronok dalam majalah porno Shigeo, namun memadai untuk menemani malam-malam gelisah.

Ada map lain yang Risky peruntukkan khusus bagi satu perempuan. Ia sudah terpincut sejak pertama kali melihat gadis itu dalam gaun panjang merah yang sopan, di televisi. Saat itu tidak lama setelah ia kembali ke Indonesia. Seberkas cahaya terang, menyinari hidupku, nyanyi gadis itu, yang seketika menyinari hidup Risky juga. Ia merasa optimistis bahwa kehidupan kedua yang menjelang dia di Indonesia akan lebih baik, daripada kehidupan-kehidupan dia yang sebelumnya, baik sewaktu di Jepang maupun sebelum ke Jepang. Sejak itu, tiap menyalakan televisi atau radio, ia menanti-nantikan gadis itu bernyanyi untuk dia. Ia mengoleksi setiap kasetnya, walaupun lebih sering mendengarkan kaset penyanyi atau grup lain. Tiap kali melewati lapak koran, majalah, dan tabloid, ia meninjau kalau-kalau ada terbitan baru yang memberitakan gadis itu.

Suatu kali, ia mendapat bonus poster gadis itu. Ia menempelnya di balik pintu yang berhadapan dengan tempat tidur supaya bisa ia pandangi sampai terlelap. Tapi, di tempat tidur, kegiatan Risky tidak hanya menunggu lelap. Supaya tidurnya nyenyak, kadang Risky perlu melakukan suatu urusan. Namun tatapan teduh gadis itu, kulitnya yang putih bersinar dalam kegelapan, bahkan hidungnya yang mancung dan dagunya yang belah, semua-muanya memancarkan kemurnian, yang serta-merta membuat Risky sungkan. Poster itu ia lepas lagi dan ia simpan dalam map; setiap tahapnya ia lakukan secara berhati-hati agar tidak ada semilimeter pun yang berlekuk atau kusut. Setelah itu, barulah ia dapat melancarkan pelepasannya dengan leluasa.

Kadang tidak tertahankan untuk meraba wajah itu dengan ujung jemarinya. Namun pikirannya tak pernah sampai jauh, keburu ia merasa nista.

Ia sadar diri. Dengan Shelly saja, ia sudah merasa bak pungguk merindukan bulan. Dengan Nike, bulannya ada di galaksi lain!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain