Sabtu, 20 Maret 2021

6. SALADIN

Pada UMPTN sebelumnya, Risky memilih jalur IPC. Sebenarnya, karena ia tidak tahu mau kuliah di jurusan apa, ia mengikuti jurusan kuliah orang tuanya dahulu: Papa di Teknik Fisika ITB, dan Mama di Hubungan Internasional Unpad.

Tapi, walaupun sudah mendaftar ke jalur IPC, persiapan Risky untuk tes bidang ilmu sosial hanyalah berupa satu buku kumpulan soal UMPTN jalur IPS, satu buku RPUL, satu buku pintar Iwan Gayo, serta koran dan majalah berita yang sesekali dibawa pulang papanya.

Sekarang, ketika memikirkannya, Risky menyadari tidak benar-benar tertarik mengikuti jurusan kuliah Mama. Lagi pula, sewaktu SMA, ia sendiri mengambil jurusan IPA. Ia masih lebih tertarik mengutak-atik rumus ketimbang menghafal. Ia akan fokus pada bidang IPA saja.

Risky pun mengumpulkan semua buku Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi semasa SMA, membacanya mulai dari kelas satu, berusaha memahaminya, sulit mengerti, tidak mengerti, frustrasi, berhenti, dan beralih pada hal-hal lain sampai semangatnya pulih. Lalu ia coba membaca lagi, membaca dari awal sampai akhir setiap buku tanpa peduli ada yang masuk atau tidak, seperti membaca novel. Setiap tamat satu buku, ia mengingat-ingat yang baru saja dibacanya. Sedikit sekali. Tapi lelah. Ia membaca ulang, barangkali ada lebih banyak yang masuk. Tapi ia keburu muak. Ia menepikan buku-bukunya, mengambil selembar kertas, menarik garis-garis, lalu menuliskan materi apa saja yang menurutnya relatif mudah dari tiap-tiap pelajaran. Selebihnya, atau materi yang sulit, terlalu banyak untuk dituliskan. Kalau begini, ia hanya bisa mengerjakan beberapa persen saja dari keseluruhan soal UMPTN. Kalau ia berfokus pada yang mudah saja--itu pun tingkat kemudahannya relatif!--kecil kemungkinan ia dapat lolos dari kompetisi yang ketat ini. Ia harus menguasai lebih banyak materi. Malah, bukan lebih banyak lagi, melainkan semuanya!

Enek dengan buku-buku pelajaran SMA, Risky mengumpulkan yang SMP. Kalau ia memperkuat konsep-konsep di SMP, mungkin akan memudahkan untuk memahami yang di SMA. Tapi, buku-bukunya di SMP pada berhuruf Jepang dan Risky langsung pusing melihatnya. Ia coba membacanya, dan mendapati bahwa kemampuannya memahami bahasa Jepang mulai berkurang akibat jarang-jarang dipraktikkan. Oh, ini seperti kerja dua kali! Risky menyingkirkan buku-buku itu dari mejanya.

Timbul pikiran bahwa buku-buku pelajaran dari penulis atau penerbit lain cara penyajiannya mungkin lebih mudah dipahami daripada buku-buku yang dia punya. Mungkin ia perlu membeli buku-buku itu. Ia perlu uang.

Beberapa bulan ini, sejak tidak bersekolah, sebenarnya Risky masih diberi uang. Sebelum Risky sempat memintanya--bahkan sebelum ia merasa butuh--tahu-tahu saja Papa menghampiri dia dan menyodorkan beberapa lembar uang. Biasanya, tidak lama kemudian, uang itu dia gunakan untuk menambah koleksi bacaan, kaset, atau mainannya, serta membeli rokok dan jajanan lain sekalian menraktir Adek, sampai tinggal menyisakan recehan yang lalu tercecer begitu saja di mana-mana di kamarnya. Ia punya celengan, tapi jarang ingat untuk mengisinya. Kalaupun bisa menabung, itu karena ada barang cukup mahal yang ingin dia beli; begitu jumlahnya mencukupi, tabungannya langsung digunakan dan sisanya tidak seberapa.

Menahan segan, Risky mendekati Papa dan mengutarakan maksudnya. Papa memberikan beberapa lembar uang bergambar presiden. Didampingi Adek yang memaksa-maksa ikut, Risky pergi ke Palasari. Ia mendatangi kios buku pelajaran dan menghabiskan waktu lama mencermati isi buku-buku yang disodorkan kepadanya, mencari yang gaya tuturnya paling mudah diikuti, sambil sesekali meladeni Adek yang merengek kebosanan. Sempat ia lengah sehingga Adek mengeloyor jauh. Setelah menemukan, menempeleng, dan menenangkan Adek dengan membelikan anak itu satu buku aktivitas bergambar pahlawan kesukaannya, Risky memutuskan untuk mempercepat. Ia membeli beberapa buku pelajaran, satu kumpulan soal, dan di toko lain kertas dan pensil masing-masing satu pak.

Setibanya di rumah, ia langsung duduk di balik meja belajar dengan tumpukan buku baru di sampingnya. Proses itu berulang. Yang sewaktu di kios tadinya berasa mudah dipahami, kini kembali memuyengkan. Ia teringat pada buku-buku yang tidak jadi ia beli tadi karena uangnya tidak mencukupi. Mungkin buku-buku itulah yang justru lebih gampang dicerna .... Risky melamun. Ingin minta uang lagi pada Papa.

"Mau beli buku lagi," kata Risky.

Sementara Papa tercenung karena menganggap uang yang dia berikan sebelumnya sudah cukup besar, Mama yang sedari kapan memerhatikan itu pun menimbrung, "Buku udah numpuk banyak gitu, sia-sia!"

Risky menahan bogemnya.

Mama menyambung, "Yang salah bukan bukunya ...."

Risky sudah waspada saja bila Mama hendak mengatainya bodoh atau yang semacam itu.

"Kamu butuh guru!"

"Ah, belajar sendiri aja!" Uang untuk bayar guru jatuhnya pasti akan lebih mahal, dan Mama akan mengungkit-ungkitnya terus.

"Coba aja panggil guru. Kalau enggak cocok kan bisa cari lagi," kata Papa.

"Kalau mau murah," lanjut Mama, "Coba belajar bareng Adin. Kemarin dia habis ranking lagi lo!"

Sejak awal mereka pindah ke perumahan itu, sebenarnya Mama sudah sering menyuruh Risky main dengan Adin, atau nama lengkapnya yaitu Saladin. Ia putra kakaknya Mama yang tinggal tepat di belakang rumah, RT sebelah. Mama dan kakaknya berwajah mirip, begitu juga Risky dan Saladin. Apabila keduanya dijejerkan, orang mungkin mengira keduanya kakak beradik. Bedanya, ada banyak. Saladin bertubuh ramping dan entah bagaimana mungkin itu yang membuatnya sekaligus tampak rupawan. Ia selalu tersenyum, senang menyapa, dan tutur katanya lembut. Ketika Risky lulus dari SMA swasta yang terkenal sebagai tempat pembuangan anak-anak yang tidak diterima di SMA negeri, Saladin naik ke kelas dua di sebuah SMA negeri favorit. Sebelum memasuki SMA itu pun, sekolah Saladin mulai dari TK, SD dan SMP negeri, semuanya favorit sekodya Bandung.

Setelah ibu Saladin meninggal, ayahnya menikah lagi dan pindah ke rumah keluarga yang satunya. Rumah yang di belakang itu pun ditinggali Saladin dan kedua kakak perempuannya. Salah seorang kakak perempuannya pandai lagi senang memasak, dan Saladin kerap mengantarkan penganan buatan kakaknya itu untuk Mama. Saat Saladin berkunjung ke rumah, Mama pasti menahan untuk mengajaknya mengobrol terlebih dahulu. Setelah itu, Risky diberondong dengan kabar-kabar baik tentang Saladin yang sama sekali tidak hendak dia dengar: Saladin ikut lomba, Saladin aktif di DKM sekolahnya, Saladin mulai bantu mengajar di TPQ, Saladin banyak kawan, Saladin mau main bola di lapangan. "Kayak Saladin itu lo. Aktif di luar rumahnya. Bergaul, berprestasi, bermasyarakat!" demikian kata Mama, yang padahal baru sebentar lalu menyuruh Risky mengawasi Adek agar jangan sampai memasukkan mainan ke mulut.

Sewaktu kecil, memang adakalanya mereka main bareng pada acara-acara keluarga. Tapi hubungan mereka tidak pernah lebih daripada itu. Apalagi kemudian Risky tinggal bertahun-tahun di Jepang sehingga mereka hampir-hampir tidak pernah bertemu lagi. Kini mereka bertetangga. Tapi semakin banyak Mama membicarakan tentang Saladin, semakin Risky ingin memojok saja di kamar dan menenggelamkan diri dalam barang-barang koleksinya yang jauh lebih seru. Dalam acara-acara keluarga selanjutnya pun, ketika tidak sengaja bertatapan, Saladin selalu tersenyum pada Risky yang membalasnya dengan pura-pura tidak melihat sambil mengernyit rikuh.

Sekarang, Mama kembali mempromosikan Saladin. "Dia itu pinter di sekolahnya. Tiap ulangan cawu, ranking terus. Siapa tahu aja dia bisa bantuin kamu. Minimal sampai pelajaran kelas dua lah."

"Coba dulu aja sama Adin," Papa mendukung.

Risky kembali ke kamar dan memlih untuk berjibaku dengan buku-bukunya saja. Ia ingat perjuangannya dulu belajar bahasa Jepang dari nol, setiap hari, dari pagi sampai menjelang larut malam, supaya bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Memang dalam perjuangannya itu ia terbantu oleh adanya sesosok kawan yang sekaligus bisa menjadi guru, Shigeo. Tapi, Shigeo dan Saladin itu bagaikan bir Asahi dan limun Orson; Risky lebih suka yang pertama. Ah, kangen ngebir bareng diam-diam di kamar Shigeo lalu pulang sambil mabuk tapi orang tuanya tidak pernah tahu.

Keesokan sorenya, Risky sedang menyusun balok-balok kayu menjadi robot bersama Adek di ruang tengah, ketika dari arah pintu depan terdengar suara Mama disusul suara lain yang antara asing dan tidak asing. Itu Saladin yang tidak pernah lupa mengucap salam ketika hendak memasuki rumah siapa saja.

"Tuh orangnya ada di rumah. Iki tuh enggak pernah ke mana-mana," ucap Mama.

Risky memandang sekilas pada Saladin dan senyumannya yang permanen, lalu berlagak acuh tak acuh meneruskan rancangan robot kayunya. Tapi, sudah tidak ada balok yang tersisa. Seketika itu juga, robotnya diruntuhkan tendangan maut Adek.

Melompati adegan-adegan canggung, kini Risky duduk bersama Saladin di kamar. Risky memfokuskan pandangan pada satu titik di lantai seakan-akan sedang bermeditasi membunuh kegeraman pada Mama, sedang Saladin bersin-bersin yang mungkinkah akibat debu kamar yang belum pernah dibersihkan lagi sejak pembantu yang terakhir pergi? Sesaat keduanya berdiam-diaman, bak pasangan yang dijodohkan dan baru pertama kali itu dipertemukan. Hingga Saladin berinisiatif dengan menanyakan tentang materi-materi yang keluar pada UMPTN kemarin. Seketika itu juga Risky berpikir: ia punya buku kumpulan soal sejak USM ITB 1975 sampai UMPTN yang awal-awal, kenapa ia tidak meneliti kalau-kalau ada kekerapan pada materi-materi tertentu?

Hm, belum apa-apa Saladin sudah menunjukkan kecemerlangannya dalam mengilhamkan strategi. Dengan sabar, Saladin menanti Risky menuntaskan pergumulan prasangkanya.

Risky pun menjawab seingatnya. Tidak banyak, karena pada waktu ia belum ada niat, jangankan ketertarikan dalam memecahkan soal-soal. Saladin manggut-manggut.

Mendapati percakapan yang tersendat-sendat, Mama yang sedari tadi pasang kuping menimbrung. "Kasih tahu, Ki, kamu sulitnya yang mana aja!"

"SEMUA!!!" Risky ingin berteriak.

"Adin udah belajar apa aja di sekolah?" tanya Mama dengan nada yang berbeda. "Ajarin aja dulu itu ke Iki."

Di balik punggung Saladin, Mama mendelik pada Risky. Serangan visual itu semakin membekukan Risky. Alih-alih, ia meraih salah satu konsol gim dan menyerahkannya pada Saladin. Mengabaikan letupan jengkel Mama, Risky menyalakan mesin Nintendo. Saladin tidak kuasa menolak.

Sepulangnya Saladin, rentet omelan Mama dianggap Risky petasan Ramadan atau kembang api Tahun Baru, yang sedikit-sedikit menggetarkan namun dengan mudah terlupakan. Begitu malam hening, Risky membuka salah satu buku kelas satu, membaca bab pertama, mencatat bagian-bagian yang tidak dimengerti ... untuk, rencananya, besok sore ia tanyakan pada Saladin.

Maka, keesokan sorenya, ganti Risky yang mendatangi rumah Saladin, meninggalkan Mama yang kesal karena ia tidak menjawab tujuan perginya. Tapi rupanya sore itu Saladin belum pulang. Ketika Risky balik lagi ke rumah, barulah ia menjawab bahwa ia habis dari warung. Mudah-mudahan Mama tidak lihat buku yang dia pegang. Risky minggat lagi lepas magrib. Kali ini Saladin benar sudah ada di rumah. Mereka masuk ke kamar Saladin, dan Risky menutup pintunya.

.

Menakjubkan! Setiap kesulitan yang dibawa Risky ke hadapan Saladin dapat dipecahkan dengan mudah. Risky merasa Saladin ini sungguh punya kekuatan luar biasa. Kalaupun ada persoalan yang tidak bisa dia atasi sendiri, Saladin bilang akan menanyakannya kepada guru di sekolah. Benar saja, besoknya saat mereka ketemu lagi, Saladin telah memiliki penjelasan. Saladin menyampaikannya kepada Risky dengan cara yang gampang dipahami, dalam langkah-langkah kecil yang ringan diikuti, seperti guru TK menunjukkan pada anak didiknya bagaimana menempelkan kacang hijau sebutir demi sebutir ke atas gambar di kertas, dimulai dari keseluruhan pinggirnya terlebih dahulu lalu selapis demi selapis ke bagian dalam.

Risky meneliti lagi kesulitan-kesulitannya berikut pemecahan Saladin. Ia menyadari bahwa sebagian memang sebenarnya soal yang relatif mudah, kalau saja ia dapat menghadapinya dengan tenang. Soalnya, belum apa-apa dia sudah stres duluan. Segala kesan tidak mengenakkan sepanjang masa SMA seperti mengabutkan otak Risky; yang mudah jadi susah, yang susah jadi tambah susah.

Setelah memahami itu, Risky mulai dapat membedakan mana yang benar-benar sulit dan mana yang masih bisa dia pecahkan sendiri--walau memerlukan waktu lama. Semangat belajarnya naik. Biasanya ia tidak kuat duduk tanpa menyetel kaset atau radio, dan tiap kali ada lagu kesukaannya atau obrolan penyiar yang menarik, serta-merta ia menyimak dulu dengan sepenuh hati. Tidak lupa, kopi dan rokok mesti menemani. Dengan begitu, kalaupun tidak ada lagu kesukaan atau obrolan penyiar yang menarik, ia tetap akan teralihkan juga sekadar untuk mengisap rokok dalam-dalam sembari merenungkan nasib. Sering kali, ia perlu menghabiskan satu batang terlebih dahulu sebelum lanjut ke soal yang berikutnya. Setelah menemukan satu soal yang dapat dia pecahkan, ia rihat dulu untuk menghabiskan satu batang lagi.

Sekarang, kadang-kadang ia langsung duduk dan menghadapi pelajaran tanpa ingat untuk menyalakan tape. Rokok masih bertengger dalam apitan jari, tapi karena sekarang yang sulit jadi agak mudah, dan yang mudah jadi lebih mudah, habisnya tidak secepat sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain