Sebelumnya, tidak ada warga di perumahan
itu yang benar-benar memerhatikan Risky. Mereka mungkin pernah melihat Risky
sesekali sewaktu ia pergi atau pulang sekolah, juga saat ke atau dari warung.
Tapi tidak ada yang sampai penasaran mencari tahu anak siapakah itu, rumahnya
di mana.
Setelah anak yang diamuk Risky pulang
sambil tersedu-sedu, ia menjelaskan kepada ibunya penyebab lengannya sampai
sobek. "Orangnya gede, bewok, bau coro!"
"Siapa?!" ibunya tentu geram.
"Enggak tahu!"
"Orang sini bukan?!"
"Iya," jawab anak itu yakin,
"tapi enggak tahu rumahnya!"
Anak yang terluka itu gemetar. Sesaat
ibunya panik kalau-kalau tulang lengannya patah. Ia meminta anak itu
menggerak-gerakkan lengan. Kata anak itu, lengannya terasa kaku dan linu.
Waduh, waduh, ini tidak bisa dibiarkan! Ibu itu menyabarkan anaknya. Karena
banyaknya darah, ia khawatir dan bertambah geram saja kalau-kalau ternyata
lukanya dalam dan perlu dijahit. Setelah dibersihkan, tampak daging menganga
walau tampaknya cukup diberi obat merah dan ditutupi perban. Tetap saja, ini
keterlaluan!
Setelah beres, si ibu menggandeng anak
itu ke tempat kejadian. Jalan itu kini telah sepi. Anak itu menerangkan adegan
demi adegan mulai dari saat kerah bajunya ditarik, dilemparkan dari sepeda
(tanpa menyebutkan bahwa sepeda itu bukan miliknya), sampai ke titik tempat ia
tersungkur beberapa meter. Betapa sadis! Ibu itu mencari-cari ke sekitar
kalau-kalau ada yang menjadi saksi. Ia melihat si pembantu muda yang sedang
menyapu teras salah satu rumah dan menghampirinya. "Kamu lihat siapa yang
dorong anak saya?!"
Pembantu itu terbata-bata. "Eh,
anu, itu, masnya anak yang putih, sipit, kayak Cina."
"Tahu enggak, yang mana
rumahnya?!"
"Eng-eng-enggak ...."
"Sering kelihatan di sini enggak
orangnya? Orang sini?"
"Eh .... Kayaknya sih, iya,
Bu."
Ibu itu menyeret anaknya ke warung
terdekat. Ibu Warung mesti hafal wajah-wajah di sekitar sini. Tepat setelah ia
melampiaskan keluhannya pada Ibu Warung, ibu-ibu lain datang. Seketika itu
juga, ia mendapati ibu-ibu itu berkulit terang, bermata kecil, dan sepintas
seperti keturunan Cina, tapi semakin diperhatikan kok kayaknya bukan. Ia kenal
ibu itu di arisan RT. Kadang-kadang anaknya yang kecil dibawa. Wajah keduanya
mirip. Ia ingat ibu itu pernah mengatakan bahwa ada satu lagi anaknya yang
sudah besar. Jangan-jangan ...! Firasatnya begitu meyakinkan. Ia terus
mengamati. Mama pun segera saja merasa diamati. Ibu Warung mengamati keduanya
saling mengamati. Namun, betapapun yakinnya si ibu yang anaknya diamuk Risky
itu, ia tidak memiliki bukti.
Ia berbasa-basi pamit, lalu menggamit
tangan anaknya meninggalkan warung. "Nanti juga ketemu!" katanya
seolah-olah menghibur si anak.
Hari demi hari, kejadian itu terkubur
dengan sendirinya. Apalagi setelah lengan anak itu ternyata dapat
bergerak-gerak lagi seperti sedia kala. Ia pun kembali menjelajahi perumahan
bersama kawanannya sore-sore seperti biasa. Mereka melewati jalan di mana Adek
juga sedang bermain dengan teman-temannya sendiri, kali ini tanpa sepeda.
Seketika itu, anak tersebut ingat akan perlakuan Risky kepadanya. Lukanya belum
kering benar, dan sepertinya akan meninggalkan bekas. Dendamnya menggelegak.
Sepedanya ia pacu menyerbu Adek yang kontan berlari ketakutan. Anak itu
memojokkan Adek sampai terperosok ke dalam solokan. Namun tahu-tahu terdengar
suara keras ibu-ibu yang menegur. Secepat kilat ia pancal sepedanya
meninggalkan jalan itu.
Sekali lagi, kawan Adek yang paling
besar berlari ke rumah. Ketika Risky sampai ke tempat kejadian, adiknya sudah
dikeluarkan dari solokan dan sedang meraung-raung di tengah jalan. Separuh
badannya basah kuyup dan menghitam oleh lumpur. Kawan Adek memberitahukan bahwa
pelakunya anak yang sama. Ibu-ibu yang menolong Adek mengenali anak itu dan
menerangkan ciri-ciri rumahnya.
Adek bilang kakinya sakit sehingga tidak
bisa jalan. Risky menggendong Adek dan menyuruh si kawan mengantar dia ke rumah
yang diterangkan ibu tadi. Sampai di depan rumah tersebut, teman Adek kabur
sehingga Risky menurunkan adiknya lalu mengetuk pintu keras-keras.
Yang membukakan pintu pembantu di rumah
itu. Tapi begitu Risky bertanya garang, "Di sini rumah Teddy?!",
nyonya rumah tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ada apa, ya?"
"Ini adik saja dikerjain mulu sama
si Teddy!" Risky mendorong adiknya yang sesekali masih tersengguk,
celemotan sekujur badan bak anak tapir. "Lihat ini sampai masuk
solokan."
Ibu Teddy mendelik, sekonyong-konyong
ingat pada kecelakaan yang belum lama ini menimpa anaknya sendiri.
"Kamu yang waktu itu mencelakakan
anak saya?!"
"Anak Ibu yang mencelakakan adik
saya!"
"Tangannya hampir patah, tahu
enggak! Untung aja enggak sampai kehabisan darah!"
"Mana anaknya?! Bukan gue patahin
lagi, gua remukin tulangnya sampai hancur sekalian!"
"Heh! Sembarangan! Saya lapor
polisi kamu, ya!"
"Lapor aja! Gue cuma belain adik
gue! Anak Ibu yang cari gara-gara duluan!"
"Yang sopan bicaranya, ya!"
Ibu Teddy semakin melotot.
"Anak lu tuh didik yang bener!
Jangan malah gangguin anak orang!"
Orang-orang di sekitar situ, baik yang
tadinya berada dalam rumah maupun sedang di jalan, mendekati asal keributan.
Ada yang coba menengahi. Namun perseteruan itu berakhir dengan sendirinya
seketika kedua belah pihak menyadari telah kehabisan kata-kata sehingga hanya
mengulang-ulang gertakan. Risky pun berbalik meninggalkan si ibu yang seluruh
mukanya merah padam, sambil membopong adiknya, dan masih sempat-sempatnya ia
menyemburkan ludah hingga mengenai daun salah satu tanaman hias di halaman
rumah itu. Para tetangga satu per satu menyingkir, memberikan jalan bagi Risky
dan adiknya. Mata mereka mengikuti keduanya bergerak sampai memasuki halaman
lain yang rupanya hanya berjarak beberapa rumah dari situ.
Mama sendiri dapat mendengar dan
mengenali suara Risky dari dalam rumah. Lagi marah sama siapa itu anak? Tumben,
seakan-akan pada orang tua sendiri belum cukup. Ia cepat-cepat membereskan
bahan masakan yang sedang dikerjakannya untuk diteruskan nanti, mencuci tangan
lalu mengelapkannya ke celemek. Baru saja ia hendak menuju ruang depan, pintu
terbuka. Risky menurunkan Adek yang berbalur lumpur hitam got. Mama terkejut.
"Aduh, Adek kenapa?!"
"Dikerjain lagi sama anak
orang!" Risky masih menggebu-gebu.
Mama terperangah, tapi sekaligus terlintas akan masalah yang mungkin dihadapinya nanti. "Tapi jangan teriak-teriak gitu dong! Malu!"
Risky terbelalak. Ia berteriak sendiri sekadar meluapkan emosi lalu melepaskan bajunya yang ikut menghitam basah itu dan membantingnya ke sembarang arah.