Selasa, 20 April 2021

8. BISIK-BISIK TETANGGA

Sebelumnya, tidak ada warga di perumahan itu yang benar-benar memerhatikan Risky. Mereka mungkin pernah melihat Risky sesekali sewaktu ia pergi atau pulang sekolah, juga saat ke atau dari warung. Tapi tidak ada yang sampai penasaran mencari tahu anak siapakah itu, rumahnya di mana.

Setelah anak yang diamuk Risky pulang sambil tersedu-sedu, ia menjelaskan kepada ibunya penyebab lengannya sampai sobek. "Orangnya gede, bewok, bau coro!"

"Siapa?!" ibunya tentu geram.

"Enggak tahu!"

"Orang sini bukan?!"

"Iya," jawab anak itu yakin, "tapi enggak tahu rumahnya!"

Anak yang terluka itu gemetar. Sesaat ibunya panik kalau-kalau tulang lengannya patah. Ia meminta anak itu menggerak-gerakkan lengan. Kata anak itu, lengannya terasa kaku dan linu. Waduh, waduh, ini tidak bisa dibiarkan! Ibu itu menyabarkan anaknya. Karena banyaknya darah, ia khawatir dan bertambah geram saja kalau-kalau ternyata lukanya dalam dan perlu dijahit. Setelah dibersihkan, tampak daging menganga walau tampaknya cukup diberi obat merah dan ditutupi perban. Tetap saja, ini keterlaluan!

Setelah beres, si ibu menggandeng anak itu ke tempat kejadian. Jalan itu kini telah sepi. Anak itu menerangkan adegan demi adegan mulai dari saat kerah bajunya ditarik, dilemparkan dari sepeda (tanpa menyebutkan bahwa sepeda itu bukan miliknya), sampai ke titik tempat ia tersungkur beberapa meter. Betapa sadis! Ibu itu mencari-cari ke sekitar kalau-kalau ada yang menjadi saksi. Ia melihat si pembantu muda yang sedang menyapu teras salah satu rumah dan menghampirinya. "Kamu lihat siapa yang dorong anak saya?!"

Pembantu itu terbata-bata. "Eh, anu, itu, masnya anak yang putih, sipit, kayak Cina."

"Tahu enggak, yang mana rumahnya?!"

"Eng-eng-enggak ...."

"Sering kelihatan di sini enggak orangnya? Orang sini?"

"Eh .... Kayaknya sih, iya, Bu."

Ibu itu menyeret anaknya ke warung terdekat. Ibu Warung mesti hafal wajah-wajah di sekitar sini. Tepat setelah ia melampiaskan keluhannya pada Ibu Warung, ibu-ibu lain datang. Seketika itu juga, ia mendapati ibu-ibu itu berkulit terang, bermata kecil, dan sepintas seperti keturunan Cina, tapi semakin diperhatikan kok kayaknya bukan. Ia kenal ibu itu di arisan RT. Kadang-kadang anaknya yang kecil dibawa. Wajah keduanya mirip. Ia ingat ibu itu pernah mengatakan bahwa ada satu lagi anaknya yang sudah besar. Jangan-jangan ...! Firasatnya begitu meyakinkan. Ia terus mengamati. Mama pun segera saja merasa diamati. Ibu Warung mengamati keduanya saling mengamati. Namun, betapapun yakinnya si ibu yang anaknya diamuk Risky itu, ia tidak memiliki bukti.

Ia berbasa-basi pamit, lalu menggamit tangan anaknya meninggalkan warung. "Nanti juga ketemu!" katanya seolah-olah menghibur si anak.

Hari demi hari, kejadian itu terkubur dengan sendirinya. Apalagi setelah lengan anak itu ternyata dapat bergerak-gerak lagi seperti sedia kala. Ia pun kembali menjelajahi perumahan bersama kawanannya sore-sore seperti biasa. Mereka melewati jalan di mana Adek juga sedang bermain dengan teman-temannya sendiri, kali ini tanpa sepeda. Seketika itu, anak tersebut ingat akan perlakuan Risky kepadanya. Lukanya belum kering benar, dan sepertinya akan meninggalkan bekas. Dendamnya menggelegak. Sepedanya ia pacu menyerbu Adek yang kontan berlari ketakutan. Anak itu memojokkan Adek sampai terperosok ke dalam solokan. Namun tahu-tahu terdengar suara keras ibu-ibu yang menegur. Secepat kilat ia pancal sepedanya meninggalkan jalan itu.

Sekali lagi, kawan Adek yang paling besar berlari ke rumah. Ketika Risky sampai ke tempat kejadian, adiknya sudah dikeluarkan dari solokan dan sedang meraung-raung di tengah jalan. Separuh badannya basah kuyup dan menghitam oleh lumpur. Kawan Adek memberitahukan bahwa pelakunya anak yang sama. Ibu-ibu yang menolong Adek mengenali anak itu dan menerangkan ciri-ciri rumahnya.

Adek bilang kakinya sakit sehingga tidak bisa jalan. Risky menggendong Adek dan menyuruh si kawan mengantar dia ke rumah yang diterangkan ibu tadi. Sampai di depan rumah tersebut, teman Adek kabur sehingga Risky menurunkan adiknya lalu mengetuk pintu keras-keras.

Yang membukakan pintu pembantu di rumah itu. Tapi begitu Risky bertanya garang, "Di sini rumah Teddy?!", nyonya rumah tergopoh-gopoh menghampiri.

"Ada apa, ya?"

"Ini adik saja dikerjain mulu sama si Teddy!" Risky mendorong adiknya yang sesekali masih tersengguk, celemotan sekujur badan bak anak tapir. "Lihat ini sampai masuk solokan."

Ibu Teddy mendelik, sekonyong-konyong ingat pada kecelakaan yang belum lama ini menimpa anaknya sendiri.

"Kamu yang waktu itu mencelakakan anak saya?!"

"Anak Ibu yang mencelakakan adik saya!"

"Tangannya hampir patah, tahu enggak! Untung aja enggak sampai kehabisan darah!"

"Mana anaknya?! Bukan gue patahin lagi, gua remukin tulangnya sampai hancur sekalian!"

"Heh! Sembarangan! Saya lapor polisi kamu, ya!"

"Lapor aja! Gue cuma belain adik gue! Anak Ibu yang cari gara-gara duluan!"

"Yang sopan bicaranya, ya!" Ibu Teddy semakin melotot.

"Anak lu tuh didik yang bener! Jangan malah gangguin anak orang!"

Orang-orang di sekitar situ, baik yang tadinya berada dalam rumah maupun sedang di jalan, mendekati asal keributan. Ada yang coba menengahi. Namun perseteruan itu berakhir dengan sendirinya seketika kedua belah pihak menyadari telah kehabisan kata-kata sehingga hanya mengulang-ulang gertakan. Risky pun berbalik meninggalkan si ibu yang seluruh mukanya merah padam, sambil membopong adiknya, dan masih sempat-sempatnya ia menyemburkan ludah hingga mengenai daun salah satu tanaman hias di halaman rumah itu. Para tetangga satu per satu menyingkir, memberikan jalan bagi Risky dan adiknya. Mata mereka mengikuti keduanya bergerak sampai memasuki halaman lain yang rupanya hanya berjarak beberapa rumah dari situ.

Mama sendiri dapat mendengar dan mengenali suara Risky dari dalam rumah. Lagi marah sama siapa itu anak? Tumben, seakan-akan pada orang tua sendiri belum cukup. Ia cepat-cepat membereskan bahan masakan yang sedang dikerjakannya untuk diteruskan nanti, mencuci tangan lalu mengelapkannya ke celemek. Baru saja ia hendak menuju ruang depan, pintu terbuka. Risky menurunkan Adek yang berbalur lumpur hitam got. Mama terkejut.

"Aduh, Adek kenapa?!"

"Dikerjain lagi sama anak orang!" Risky masih menggebu-gebu.

Mama terperangah, tapi sekaligus terlintas akan masalah yang mungkin dihadapinya nanti. "Tapi jangan teriak-teriak gitu dong! Malu!"

Risky terbelalak. Ia berteriak sendiri sekadar meluapkan emosi lalu melepaskan bajunya yang ikut menghitam basah itu dan membantingnya ke sembarang arah.

Selasa, 06 April 2021

7. ANAK TETANGGA BERENGSEK

Saking khusyuk belajar, Risky tidak mendengar Mama berteriak minta tolong. Mama pun memasuki kamar Risky dan mendapati anak itu sedang mencurahkan sepenuh perhatian pada buku yang benar-benar buku pelajaran atau kumpulan soal alih-alih bacaan hiburan. Mama maklum. Tapi tetap saja ia menggoyang-goyangkan bahu Risky. "Nyalain kompor dong." Risky menggeram lalu menuruti Mama ke dapur.

Balik-balik ke Indonesia, Mama kembali menggunakan kompor minyak sampai baru-baru ini membeli kompor gas. Walau mulai banyak ibu-ibu lain yang menggunakan kompor gas, masih beredar kabar bahwa barang ini mudah meledak. Mama jadi tidak berani menyalakannya sendiri, padahal selama tinggal di Jepang sudah berpengalaman menggunakannya. Aneh.

"Di Jepang kompornya beda! Lebih aman," alasan Mama.

"Sama aja. Ini juga impor dari Jepang!" bantah Risky. Lalu ia mendemonstrasikan cara menyalakan kompor gas untuk entah yang keberapa kali. "Tinggal diputer doang!"

"Kalau meledak gimana?"

"Kalau meledak, aku yang mati duluan!"

Mama melotot. "Sinis amat sih! Cuma minta tolong sebentar juga!"

Risky segera kembali ke kamarnya, menyambung konsentrasi. Ketika beberapa lama kemudian Mama masuk lagi ke kamarnya, meletakkan sepiring pisang goreng di dekat sikunya, ia cuma melirik. Dan melirik lagi lebih lama. Pisang goreng yang semestinya keemasan, kalau dibuat Mama jadinya malah kehitam-hitaman. Ada yang terlalu kering, lainnya terlalu lembek. Hampir tiap hari Mama menyuguhkan camilan buatan sendiri yang berbeda-beda untuk Risky. Kadang bereksperimen mengikuti resep di majalah, kadang juga ala kadarnya seperti pisang goreng ini. Hasilnya tidak pernah beres, tapi Risky tak sempat memusingkannya lama-lama. Ia lahap juga camilan Mama di sela-sela menekuni pelajaran.

Kalau tidak terlampau sibuk, Mama mencegah Adek memasuki kamar Risky. Sesekali Adek dibawa Mama ke rumah tetangga sehingga rumah hening sama sekali atau cuma suara dari tape Risky yang mengalun sayup.

Andai saja selancar itu bertahan lama. Euforia cuma sesaat, sedang materi masih banyak. Karena berbagai aktivitas Saladin entahkah di sekolah, ekstrakurikuler, les, atau lingkungan rumah, Risky mesti menunggu. Selama menunggu, ia berguling-guling di depan televisi, menjadi tontonan Adek dan teman-temannya yang main ke rumah.

"Nonton TV terus!" Mama mulai berkhotbah tentang bahaya TV, didukung informasi dari majalah. "Kalau kebanyakan nonton TV, bisa sakit jiwa lo!" dilatari hiruk-pikuk Adek dan teman-temannya yang sedang bersandiwara laga.

"RASAKAN!"

"Aaah! Tidaaak!"

"Tunggu pembalasanku!"

"Mantra ajiii!"

"Ga-waaat!"

Lalu ada yang menangis, kena tendang temannya, dan Mama pun tergopoh-gopoh melerai. "Ini akibatnya kecil-kecil pada nonton TV!"

Risky cuma melirik lalu kembali menatap layar televisi sambil meraup rengginang buatan Mama yang keasinan.

Adakalanya Mama cuma mendesah, "Stasiun TV nambah aja," sembari duduk di sofa dan ikut menonton.

Karena kerapnya anak-anak bermain di rumah, mereka mengenal sosok sebesar beruang kutub itu sebagai Kak Iki, kakaknya Ian. Anak-anak itu lebih sering lagi bermain di luar rumah, membentuk geng sepeda roda tiga dan ada juga yang empat, mengeluyur jauh dari para pengasuh mereka yang terlalu asyik merumpi.

Di perumahan itu, ada sekumpulan anak-anak lain yang lebih besar yang sudah lancar bersepeda roda dua. Jangkauan main mereka pun sudah sampai ke kompleks-kompleks tetangga yang jauh. Suatu hari, mereka melihat anak-anak geng sepeda roda tiga dan empat sedang berkumpul. Mereka mengamatinya sembari mengenang pengalaman mereka sendiri sewaktu berada di kisaran usia yang sama. Ada seorang di antara mereka yang sepeda roda tiganya sudah dijual. Ia menceletuk iseng, "Aku ingin coba sepeda roda tiga lagi." Ia memasang standar sepedanya, lalu mendekati satu bocah yang terlihat paling lemah.

"Pinjem dong sepedanya!"

"Enggak boleh!"

"Bentar aja!" Ia mendorong bocah itu sampai terjungkal lalu menaiki sepeda itu.

"Sepeda aku! Sepeda aku!" si bocah menjerit. Ia mengejar sepedanya yang dibawa berputar-putar. Anak-anak lain yang lebih besar menertawakannya. Ketika bocah itu mendekat, salah satu dari mereka iseng mendorongnya. Anak itu jatuh lagi. Tawa berderai kembali. Begitu mudahnya anak itu jatuh, secepat ia bangkit. Anak yang lain menendang bokongnya sehingga bocah itu tersungkur. Bocah itu selayaknya balon mainan yang dijual di pinggir jalan, dengan pemberat di dasarnya, sehingga kalau didorong ke belakang lantas bertolak maju. Begitu terus.

Ada satu anak yang sudah terlalu besar untuk masuk geng sepeda roda tiga dan empat. Tapi dia tetap mengiringi geng itu karena disuruh mengawasi adiknya, dan lagi orang tuanya belum mampu membelikan dia sepeda roda dua. Anak itu telah mengerti keadaan. Ia berlari ke rumah bocah yang sepedanya dirampas itu. Pintu rumah terbuka, sehingga memudahkan dia mengeloyor masuk begitu saja dan mendapati si beruang kutub sedang tiduran di depan televisi sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit.

"Kak Iki! Kak Iki!"

Risky menoleh, heran. Ia kenal tampang anak itu, tapi tidak dengan namanya.

"Ian diganggu anak-anak gede!"

Anak itu menjejak-jejakkan kedua kakinya seperti mau pipis, sambil menunjuk ke luar. Ekspresinya mendesak. Risky mau tak mau bangkit. Kakinya malas menyerok sandal jepit. Karena hebohnya anak itu, terpaksa ia mempercepat langkah. Begitu memasuki jalan lainnya, ia mendapati anak-anak gede itu mengepung adiknya, mengoper bocah itu ke sana kemari seperti sedang berlatih lempar tangkap bola. Anak-anak lainnya yang lebih kecil cuma bisa memerhatikan dengan bingung dari jarak agak jauh. Di teras salah sebuah rumah di situ berdiri seorang pembantu muda yang sedang menyapu. Sebetulnya ia sudah menegur anak-anak itu, namun suaranya terlalu ragu sehingga tidak digubris.

"OI! JAUHIN ADEK GUE!" bentak Risky.

Anak-anak itu terkejut melihat sosok besar menjulang, dengan rambut-rambut bertumbuhan liar di separuh wajahnya yang belum mengakrabi pisau cukur, juga di kepalanya yang lama tak disentuh sisir, ditambah hawa biadab yang tak tersamarkan lagi oleh aroma sabun dan deterjen, serta mata merah menyalang nan menyeramkan akibat semalaman memelototi buku pelajaran kemudian seharian televisi dan belum tidur.

Mereka sontak lintang pukang memancal sepeda masing-masing. Anak yang merampas sepeda Adek pun telah melemparkan barang itu, mengambil sepedanya sendiri, lalu terbirit-birit menyusul kawanannya. Sedang si Adek terjerembap karena pada operan yang terakhir tidak ada yang menangkap. Ia menangis kencang-kencang.

Risky membantu adiknya berdiri, dan memutuskan untuk membopongnya saja dengan satu tangan. Tangan yang lain menjinjing sepeda. Sesampainya di rumah, ia membersihkan si Adek dan mengobati luka goresnya. Lalu Mama pulang.

"Adek kenapa lagi?"

"Digangguin anak-anak."

"Kamu sih keasyikan nonton TV," hardik Mama. Lalu ia membopong Adek dengan sayang, sambil mengusap-usap bagian yang sakit.

Kejadian sekali itu tidak menjadi pikiran buat Risky. Hari-hari selanjutnya berlangsung seperti biasa. Kalau ada semangat, Risky duduk di meja belajar. Kalau tidak ada, ya, ia nikmati saja acara TV yang semakin bervariasi tanpa mengindahkan ocehan Mama. Kalau tiba waktu yang telah disepakati bersama Saladin, atau sepupunya itu menelepon dia memberitahukan bahwa waktunya telah lowong, ia pergi ke rumah di belakang untuk menanyakan materi atau soal yang sulit. Kalau anak yang heboh itu kembali datang ke rumah, memanggil-manggil namanya dengan panik, karena sekali lagi adiknya ada yang mengusili, wah, ini.

Kali ini, anak-anak yang lebih gede itu tidak mengepung adiknya. Mereka cuma tertawa-tawa dari pinggir saat anak yang sama lagi-lagi merampas sepeda si Adek, lalu berputar-putar sembari dikejar-kejar si empunya. Risky merenggut kerah baju anak itu sampai terangkat dari sepeda, lalu mencampakkannya ke jalan yang berkerikil sampai tersungkur beberapa meter. "JANGAN GANGGU ADEK GUE LAGI, BERENGSEK!"

Kain baju anak itu koyak, kulit lengannya pun tergesek. Anak itu kaget melihat darahnya sendiri lalu pontang-panting ke rumah sambil menangis, mau mengadu pada mamanya.

.

Sejak dulu, Risky tidak menyukai anak-anak tetangga. Bukan semata karena peristiwa yang menimpa adiknya, melainkan sejak sewaktu ia sendiri hanya sedikit lebih besar daripada si Adek.

Dibandingkan dengan tetangga sekitar, keluarganya tergolong berpunya walau sama-sama menempati perumahan yang sederhana. Sementara rata-rata anak sebayanya pada punya banyak saudara kandung, dengan ibu di rumah saja, Risky anak tunggal dari kedua orang tua yang sama-sama bekerja dan berpenghasilan lumayan. Sementara anak-anak lain pergi ke sekolah jalan kaki, naik sepeda atau Kopaja, Risky diantar papanya menggunakan mobil pribadi keluaran baru. Sementara anak-anak lain jarang dibelikan mainan atau hiburan lain oleh orang tuanya, dan kalaupun ada mesti berbagi dengan saudara-saudara mereka, Risky dilimpahi barang apa pun yang dia suka dan dapat menikmatinya sendirian.

Anak-anak itu suka berkunjung ke rumah Risky untuk ikut menikmati barang-barangnya. Tapi kemudian Risky menemukan bahwa ada barangnya yang jadi kotor, rusak, bahkan hilang. Yang tidak termaafkan adalah saat ada yang menjatuhkan mainan robotnya. Itu mainan termahal yang dia punya, bisa menyala dan bersuara oleh tenaga baterai. Tapi setelah jatuh, robot itu tidak lagi berfungsi. Ia telah mengganti baterainya, namun robot itu tetap saja diam. Ia memukulkan robot itu kepada anak yang telah menjatuhkannya. Anak itu pulang sambil menangis, mengadu pada orang tuanya. Karena pukulan tersebut mengakibatkan lebam, orang tua anak itu pun memberi tahu orang tua Risky. Malamnya, Risky dihajar Papa.

Risky juga tidak menyukai orang tua anak-anak itu, terutama ibu-ibu mereka yang gemar menyebar rumor yang mungkin saja benar, dan karena itulah Risky tidak menyukainya. Sudah cukup anak-anak itu mengatainya sombong. Ketika mereka menambahinya dengan, "Orang tua kamu mau cerai," yang terdengar dari ibu-ibu mereka, bertambah alasan Risky untuk menolak mereka main ke rumahnya lagi.

Suatu kali, tumben-tumbenan Papa membelikan Risky barang tanpa ia mesti memohon terlebih dahulu. Itu kaset berjudul 15 Lagu Top Hit Koes Plus Bersama The Muppets. Mungkin Papa mengira kaset tersebut kumpulan lagu anak karena sampulnya bergambar boneka-boneka, atau justru karena ada Koes Plus yang merupakan grup musik kesukaannya. Mana pun, yang jelas, baru sebentar memutar kaset itu, Risky segera mengeluarkannya lagi dan mengurai pitanya. Sebab, lagu pertama yang diperdengarkannya begitu sendu seperti yang mengejek, "Hidupku selalu sendiri ...."

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain