Sumber: Bobo Nomor 31 Tahun XXIX 1 November 2001
Ruang
Minggu, 27 Juni 2021
Minggu, 20 Juni 2021
12. ORANG GILA DI KOMPLEKS
Risky bisa saja kembali menyuruh adiknya
untuk membelikan rokok di warung secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih, ia
memutuskan untuk pergi sendiri ke warung ... yang sejauh-jauhnya dari rumah.
Lagi pula, suntuk ia di kamar terus. Sudah lama ia tidak keluyuran tidak tentu
arah seperti sewaktu SMA.
Risky masih malas mandi. Tapi, di
samping mengoleskan Axe banyak-banyak, ia berganti pakaian dengan yang bersih
dan sudah diseterika, sedang yang sebelumnya ia lemparkan ke ranjang untuk
nanti jadi alas tidur. Ia juga membasuh muka dan merapikan rambutnya yang mulai
gondrong dengan jemari. Keluarlah ia dari rumah, memasuki belokan, melewati
taman, tanpa mengacuhkan sesama pejalan. Namun hatinya berdesir akan pertemuan
yang tidak disengaja dengan Shelly.
Mendekati kali yang membatasi kompleks
itu, di suatu lahan yang ditumbuhi pohon jambu dan sering kali sepi, Risky
melihat sekelompok anak duduk di sepedanya masing-masing memandang ke satu
arah. Ada sosok di bawah pohon yang serbahitam, mulai dari rambutnya yang
gimbal, kulitnya yang cemong, sampai seluruh pakaiannya yang telah
tercabik-cabik; yang berwarna-warni hanya tali rafia yang meliliti kedua
pergelangan tangannya. Ia duduk bersila, namun badannya bergerak-gerak tidak
keruan seiring dengan desisan-desisan dan ludah bercipratan dari mulutnya.
Salah seorang anak yang penasaran menyambitkan kerikil dan sosok itu pun
berjengit. Sesaat anak-anak tu heboh mengantisipasi serangan balasan. Namun
sosok itu alih-alih bangkit malah terus bersila dan mendesis. Mereka pun anteng
lagi memerhatikan, hingga salah seorang lainnya yang penasaran mengambil
kerikil dari tanah. Ini gilirannya mencoba. Tapi baru saja ia mengangkat
tangan, sebongkah batu yang lebih besar menghantam roda sepedanya disusul
hardikan. Sontak kelompok itu porak poranda. Risky mengenali salah satu anak
sebagai si bangsat yang dahulu kerap mengganggu Adek, dan si bangsat pun--yang
tentu saja mengenali Risky--serta-merta berteriak, "Temennya orang gila!"
sebelum melarikan sepedanya kencang-kencang.
Begitu anak-anak itu tidak terlihat
lagi, Risky lanjut melangkah. Sembari melewati sosok hitam itu, ia melirikkan
pandangannya sekaligus menjaga jarak.
Risky berjalan berputar-putar kompleks,
bahkan memasuki perkampungan, hingga merasa cukup, baru membeli persediaan
rokok di warung berikutnya yang ia temukan, dan memutuskan untuk melewati sisi
kali itu lagi. Sosok hitam itu rupanya telah berpindah. Risky mendapati dia
sedang berdiri di tengah jalan menuju persawahan, masih mendesis-desis namun
kali ini diselingi bunyi yang menyerupai salakan anjing.
Tiba di rumah, setelah beberapa lama,
Risky merasakan bahwa jalan-jalan sore seperti tadi cukup menyegarkan. Gairah
belajar naik sedikit. Risky berpikiran untuk mengulanginya sewaktu-waktu.
Pada waktu-waktu itulah Risky mendapati
bahwa sosok hitam itu sepertinya mulai menetap di kompleks, sebab ia selalu
melihatnya. Kadang sosok itu diam saja di bawah pohon jambu, kadang berkeliaran
di jalan, kadang diikuti, diteriaki, atau dilempari anak-anak, kadang
mengais-ngais tempat sampah seperti anjing mencari makan.
Entah mulai kapan, kehadiran sosok itu
meresahkan warga kompleks. Sebabnya, ada anak-anak yang diserang. Sosok itu
mengejar anak-anak sambil mengacungkan patahan dahan yang cukup besar. Selain
itu, kadang ia memukul-mukulkan patahan dahan itu pada pagar rumah orang, tiang
listrik, apa pun, sambil berteriak-teriak mengamuk sendiri. Ada pula tetangga
yang menggembok pagar rumahnya biarpun hari masih terang, sebab pernah sosok
itu kedapatan tidur di sembarang teras sehingga merisihkan yang punya rumah;
mau keluar, takut disergap. Ibu-ibu yang ketakutan melarang anaknya keluar
rumah, atau setidaknya jangan main jauh-jauh dan apabila bertemu si orang gila
jangan didekati sebaiknya langsung pulang saja. Adek termasuk anak yang
dikurung di rumah. Tiap kali Adek merengek-rengek sambil menariki gagang pintu
yang dikunci, Mama menggiringnya masuk ke kamar Risky, secara tidak langsung
menyuruh dia agar mengalihkan perhatian anak itu, padahal Risky sedang berusaha
keras agar dapat berkonsentrasi belajar.
Awalnya, Risky masih rela meladeni
adiknya. Tapi sekarang tinggal beberapa bulan lagi menuju UMPTN, sedang bahan
yang belum dikuasai masih banyak. Ketika menghadapi soal yang benar-benar
menguras otak, yang sudah berkali-kali diutak-atiknya, ditinggalkan, lalu
dicobanya kembali setelah beberapa lama, Risky merasa ingin berteriak-teriak
juga seperti si sosok hitam, malah kalau perlu sampai membanting meja.
Kepalanya seperti yang mengepulkan asap saking panasnya. Mama sama sekali tidak
meringankan bebannya. Ketika terdengar di kejauhan sosok itu sedang melancarkan
amuknya, apa pun penyebabnya, Mama menuding, "Tuh, Ki, kayak kamu."
Luapan stres yang nyaris meloncat dari mulut Risky pun tertelan lagi,
menggondok di tenggorokan. Maka sebagai gantinya ia cuma duduk di bawah kipas
angin, meresapi pusaran itu mengademkan kepalanya. Meski akibatnya ia selalu
masuk angin dan Adek tergelak-gelak tiap kali kentutnya menggelegar.
Warga kerap membicarakan cara-cara
mengusir si sosok hitam dari kompleks. Ada yang bilang itu kiriman dari
kompleks lain. Ada yang bilang nanti juga ia pergi sendiri kalau sudah bosan.
Ada yang mengusulkan untuk menghubungi Dinas Sosial. Tapi ada yang menyanggah
dengan teori bahwa Dinas Sosial justru sengaja melepas orang gila ke
jalan-jalan karena sudah kelebihan kapasitas, dan yang satu itu kebetulan saja
menyasar kemari.
Diskusi pun merembet pada fenomena dunia
kiwari yang semakin banyak tekanan, sehingga semakin banyak pula orang sakit
jiwa.
"Betul itu, apalagi sekarang ini
makin banyak TV swasta. Banyak acara TV yang tidak baik, bikin neurotik!"
imbuh Mama berapi-api, didukung informasi yang pernah dibacanya dari suatu
majalah. Dari dalam kamarnya yang menghadap halaman depan, Risky tak sengaja
mendengarnya saat para ibu berkumpul di pinggir jalan.
Lalu diskusi bergulir pada kemungkinan
sebab-sebab menggilanya si sosok hitam. Keranjingan menonton TV cuma salah satu
teori. Berbagai teori lain tidak tertangkap oleh Risky karena perhatiannya
semestinya hanya tercurah pada buku di hadapannya. Kebetulan saja yang satu itu
masuk ke telinganya.
"Mungkin dia kelamaan nganggur,
enggak dapat-dapat kerja, jadi stres, frustrasi, depresi, gila!"
"Hah ..." ada yang mendesah. "Sekarang
ini sudah jadi sarjana pun enggak menjamin dapat kerjaan."
"Betul, malah ada tetangga saudara
saya di kampung akhirnya melamar jadi TKI!"
"Sarjana lulusan mana dulu?"
"Lulusan PTN pun belum tentu
gampang dapat kerja lo!"
Risky meletakkan pensilnya. Ia bergeser
menjangkau stereo dan menyalakan radio. Volumenya dikencangkan secukupnya untuk
menyamarkan suara ibu-ibu di luar.
Bersamaan dengan itu muncul teori,
"Jangan-jangan itu intel gaya baru!"
"Atau mungkin kelamaan di penjara,
jadi gila ...."
Suara mereka berangsur-angsur memelan.
Mata saling melirik waspada, beredar ke sekeliling. Perkumpulan itu membubarkan
diri.
Tak sengaja Risky memutar kepala
sehingga menghadap ke ambang pintu yang terbuka. Mama yang baru memasuki rumah
sembari lewat tak sengaja pula menoleh ke arah kamar Risky. Pandangan mereka
bertumbuk, namun Risky yang tak acuh lantas kembali menghadapi mejanya.
Terdengar suara Mama, "Papa kamu dulu, belum lulus dari ITB aja, udah
dapat tawaran kerja di mana-mana. Sekarang juga mesti lulusan ITB banyak yang
nyari. Indonesia kan masih membangun. Masih butuh banyak insinyur."
Risky mendengarkan namun tak menyahut,
biar Mama mengira sudah mengoceh sendiri. Lagi pula, ia sudah tahu. Karena
itulah, kesempatan ini tidak boleh ia gagalkan lagi. Tapi, semakin
meresapkannya, semakin ia merasakan ketegangan. Setiap materi yang tidak dapat
ia pahami, setiap hafalan yang segera terlupa lagi, setiap soal yang tidak
berhasil ia pecahkan, bagi dia berarti semakin besar kemungkinan untuk kembali
gagal ....
Sering kali pikiran Risky melayang pada
si sosok hitam, yang sama-sama menjadi bahan hinaan orang. Tapi, si sosok hitam
sudah kehilangan akal, bukan? Mestinya mau diejek sebagaimanapun, ia tidak akan
merasa. Tapi ia masih bisa menyerang, mengamuk. Mungkin ia tidak sepenuhnya
gila. Mungkin masih ada kesadarannya, tapi apa lagi yang bisa dia lakukan?
Mungkin ia sudah di ambang ketidakberdayaan. Seketika itu, Risky menyadari
bahwa hidupnya tidak sama sekali buruk, atau tepatnya, belum. Ia masih bisa anjlok
ke posisi yang lebih bawah lagi, yang ditempati si sosok hitam.
Risky menepis kemungkinan itu. Tidak,
kalau ia berjuang terus hingga dapat menguasai segala materi dan soal, ia akan
lulus UMPTN, kuliah di ITB, dan masa depannya terjamin cerah. Tapi, begitu
kembali melihat barisan soal yang sudah berkali-kali dia lewati, saking
sulitnya, Risky mendapati sel-sel otaknya bagaikan romusa-romusa kecil yang
mulai pada tumbang bergelimpangan. Mau memikirkan soal sampai sekeras apa pun,
mengutak-atiknya sampai memenuhi berlembar-lembar kertas, tetap saja menemui
jalan buntu. Akalnya seperti berhenti, yang kalau didesak terus, jangan-jangan
bakal memilih untuk terbang lari dan tidak kembali lagi--menghilang. Hilang
akal! Bukankah itu yang terjadi pada si sosok hitam?! Orang disebut gila karena
hilang akalnya, bukan?! Tapi, bagaimanapun, tidak ada cara lain, ia mesti terus
mencambuki romusa-romusa kecil itu agar terus menggali, menggali, menggali, ...
sampai menemukan jawaban atas setiap persoalan dalam buku pelajaran dan
persiapan UMPTN ....
Mama melongok ke dalam kamar dan mendapati Risky bertelanjang dada dan bercelana kolor; rambutnya sama awut-awutan dengan segala barang lain di kamarnya, tiap beberapa waktu diremas-remas dan diacak-acak sambil kepalanya digeleng-gelengkan. Badannya mengilap oleh keringat dan kipas angin menebarkan aromanya ke mana-mana.
"Belum mandi jugaaa?! Kayak orang gila aja!"
Minggu, 06 Juni 2021
11. KECANDUAN ROKOK
"Terus pelajaran kamu
gimana?!" tanya Mama begitu menyadari bahwa Risky tidak pernah lagi
mendatangi rumah Saladin, dan mendengar sendiri pengakuan bahwa anak itu sudah
tidak mau belajar bareng sepupunya.
"Belajar sendiri," Risky
menampakkan rasa percaya diri.
Namun Mama tidak yakin. "Cari guru
privat, ya?!"
"Enggak usah!!"
Mama memilih bungkam, sedang capek
merongrong Risky. Biar anak itu menentukan nasibnya sendiri! Mama tak hendak
peduli lagi, atau, maunya sih begitu. Tapi, menurut yang sudah-sudah, semakin
didesak, semakin keras kepala anak itu. Biarkan dahulu sementara waktu.
Risky menunjukkan kekeraskepalaannya itu
dengan menambah jam belajar, bukan hanya ketika yang lain sudah pada tidur tapi
juga sepanjang mereka sedang bangun. Barulah ketika sudah tidak sanggup lagi
menahan kantuk, ia tidur sepuas-puasnya.
Memang kelihatannya ia sibuk belajar.
Tapi, sebenarnya begini perinciannya:
Tiap kali berhasil mengerjakan satu
soal, ia akan menyelinginya dengan satu kepul rokok atau satu teguk kopi
sebelum melanjutkan ke soal lagi. Berangsur-angsur satu kepul atau satu teguk
itu menjadi satu kepul dan satu teguk. Lama-lama, setelah beberapa kepul
ditambah beberapa teguk, satu soal belum selesai juga. Tidak ada lagi soal
mudah yang tersisa. Semua tinggal soal sulit yang memerlukan bimbingan. Namun,
begitu senyuman Saladin yang meluluhkan hati para ibu itu terbit dalam
benaknya, seketika itu juga Risky terkesiap. Lagi pula, ia sudah tegas-tegas
memutus bantuan Saladin. Ia tidak hendak menjilat ludah yang telah
dilontarkannya sekalian bersama gumpalan dahak itu.
Alhasil, lebih banyak rokok dan kopi
yang dikonsumsi ketimbang soal yang dikerjakan. Untuk kopi, Risky tinggal mengambil
stok di ruang makan. Untuk rokok, cuma dia yang merokok di rumah itu.
Risky telah mengecek setiap bungkus
rokok di kamarnya kalau-kalau ada yang tertinggal, tapi nihil. Ia mulai
mengalami kegelisahan. Sebelumnya, ia langsung saja pergi ke warung terdekat
tanpa memikirkan akan bertemu ibu siapa di sana yang akan teringat untuk
menggosipkan dia kemudian. Tapi, setelah suatu kejadian baru-baru ini ....
Saat itu Mama telah memperingatkan dia
untuk mandi dan ganti pakaian terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki keluar.
Namun Risky mengabaikannya. "Cuman sebentar!" katanya. Lagi pula,
walau malas mandi dan ganti pakaian, Risky selalu ingat untuk membasuh muka,
menggosok gigi, dan mengoleskan lapisan baru Axe di ketiaknya, paling sedikit
sekali sehari. Ia juga tidak pernah mengkhawatirkan jerawat yang kadang
bertumbuhan di wajahnya, toh nanti juga hilang sendiri tanpa bekas. Risky
seperti biasanya saja waktu itu tiap kali pergi ke warung, sembari kemudian
disusul dan digandeng Adek yang tak sempat mengambil sepeda.
Namun, tidak biasanya kali itu, setelah
Risky meminta diambilkan rokok favoritnya kepada Ibu Warung, di sisi kirinya
muncul Shelly.
SHELLY!
Risky menjengit sedikit, lalu tak kuasa
bergerak sama sekali. Bagaimana kalau tiba-tiba ada angin? Apakah deodorannya
sudah cukup menyamarkan aroma badannya? Apakah akhir-akhir ini ia berkeringat
banyak sehingga pakaiannya mulai bau? Kapan terakhir kali ia ganti baju?!
Bagaimana dengan jerawatnya, yang hari ini belum sempat ia hitung jumlahnya dan
amati perubahan warnanya berikut pertumbuhan ukurannya? Bagaimana dengan
rambutnya, yang baru beberapa saat lalu ia acak-acak saking pusingnya dengan
suatu soal IPA Terpadu hingga mengawurkan hujan salju ke sela-sela halaman
bukunya--yang baru detik ini terpikir olehnya untuk menyisir terlebih dahulu
sebelum keluar rumah!??? Lantas dengan polosnya si Adek menarik perhatian gadis
itu untuk menoleh ke arahnya. "Teceyi ..." sapa anak itu sembari
masih menggenggam erat tangan Risky.
"Dek Ian," gadis itu membalas
seraya tersenyum pada Adek. Lalu tatapannya menyusur naik dan bertemu mata
Risky. Perlahan-lahan kepalanya bergerak kembali ke arah depan. Senyum masih
tertahan di bibirnya namun menyurut dari sorot matanya.
PANIK! PANIIK!! PANIIIK!!!
"Mas, ini rokoknya."
Ganti kepala Risky yang
tergerak--kaku--ke arah depan. Tatapannya yang nanar meresahkan Ibu Warung.
Untung--bagi Ibu Warung--bersamaan
dengan itu, ibu si anak bangsat menyelonong ke sisi kanan Risky. Ibu Warung
segera menyambut wanita itu. Perhatian Risky pun ikut teralih. Ibu Teddy
memandangnya sinis. Ia siap kapan pun beradu lagi dengan pemuda kurang ajar
ini. Risky juga menyatakan kesiapan dalam tatapannya, tapi tidak, bila mesti
disaksikan Shelly. Oh, tidak, jangan sekarang.
"Kak," Adek menarik-narik
tangan Risky. "Mau ini lagi." Jarinya menunjuk toples berisikan
permen rokok-rokokan.
"Mau berapa, Dek?" Ibu Warung
sigap mengangkat toples itu dan memutar penutupnya.
"Cama kayak Kakak."
"Jangan banyak-banyak," desis
Risky, lalu menyesali ucapannya.
Adek manyun. Risky tidak berkata apa-apa
lagi.
"Ada lagi enggak?" tanya Ibu
Warung.
"Udah," tukas Risky cepat
sebelum adiknya sempat menambahkan.
Ia merogoh saku kiri jaketnya untuk
mengambil uang. Lo, kok enggak ada? Yang sebelah kiri .... Enggak ada juga!?
Saku celana .... Kanan, kiri, belakang, aduh, goblok, di mana ia biasanya
menyimpan uang??? Risky berharap Shelly tak sedang mengawasinya, ataupun
menangkap dentaman jantungnya. Di mana?! DI MANA?! Kenapa ia bisa lupa? Baru
kali ini ia lupa! Ia memasukkan tangan ke saku dada kaus polonya dan nyaris
saja kelepasan mendesah keras-keras saking leganya.
Ia menyodorkan lipatan uang itu kepada
Ibu Warung. Menit-menit wanita itu mengambil uangnya, lalu melangkah ke meja di
pojok warung, menarik laci, dan mencari uang kembalian, menghitungnya satu per
satu, kemudian berjalan kembali menghampiri Risky terasa bagaikan jam demi jam.
Risky berusaha tak menoleh ke mana-mana, matanya menyorot tajam pada setiap
pergerakan Ibu Warung yang jelas-jelas merasa diawasi sehingga membuatnya gugup
sehingga berkali-kali salah menghitung uang kembalian dan memanjangkan siksaan
bagi Risky. Sedang Ibu Teddy melirik ke samping, seperti mencari-cari apa lagi
yang bisa dicelanya dari pemuda gendut bau kecut ini, sembari menjaga agar
kepala dan lehernya tak kentara turut bergeser. Shelly menunduk saja,
menanti-nanti kapan gilirannya dan kenapa, ya, suasananya tidak mengenakkan;
punggungnya berdesir dingin. Sementara Adek menyobek sedikit demi sedikit
kertas pelapis permen, menjatuhkannya ke lantai pelataran warung, lalu mulai
mengulum manisan itu dengan nikmat.
Akhirnya uang kembalian mendarat di
tangan Risky. Ia menyempatkan diri melirik Shelly, yang terus saja menunduk
memandangi kemasan Softex di etalase paling bawah. Cepat-cepat ia berbalik tanpa
sedikit pun melirik kepada ibu-ibu di sisi satunya lagi. Adek terburu-buru
menyusul dan menyambar tangan Risky yang tidak memegang plastik.
Keduanya mulai menjauh saat Ibu Teddy
berkata pada Ibu Warung, "Kasihan, kecil-kecil sudah diajari kakaknya merokok."
Matanya terus mengekori kakak beradik itu. Ibu Warung sesungguhnya tidak
peduli, yang penting barang jualannya--apa pun itu--ada yang membeli--oleh
siapa pun itu, tapi bagaimanapun ia harus menanggapi dengan simpatik. Angin
mengembuskan cakapan mereka ke telinga Risky sehingga nyaris saja ia berbalik
lagi. Ingin ditonjoknya wanita sialan itu karena sudah membicarakan dia dalam
nada buruk sedang di situ ada Shelly. Tapi, justru karena ada Shelly, Risky
tidak hendak mempertunjukkan masalah. Ia berupaya tak acuh, tapi melepaskan
genggaman Adek dari tangannya. Adek mendongak, tapi sesaat kemudian kembali
asyik mengisap permennya.
Shelly tidak sabar ingin menuntaskan
keperluannya, namun sekarang Ibu Warung malah terpikat oleh ibu satunya lagi.
Shelly mencari kesempatan untuk menyela dengan sopan, dan tak ayal pembicaraan
tentang "si genderuwo" masuk ke pendengarannya.
.
Mulanya Adek suka permen rokok-rokokan
memang karena sering melihat Risky merokok. Sebetulnya Mama sudah melarang
Risky merokok dekat-dekat Adek. Tapi tetap saja Risky merokok tanpa acuh di
dekatnya ada Adek atau tidak. Hanya ia membatasi untuk merokok di kamarnya
saja, tidak di ruangan-ruangan lainnya di rumah.
Adek memerhatikan betapa nikmatnya Risky
mengisap rokok lalu memonyongkan bibir dan mengeluarkan kepulan-kepulan asap
dalam berbagai bentuk. Ia terpukau, penasaran pada benda ajaib itu. Ia juga
ingin bisa mengepul-ngepulkan asap dari mulutnya, seperti naga ....
Ia menyentuh-nyentuh bungkus rokok milik
kakaknya, mengendus-endus isinya. Hmmm, wangi! Ia menarik sebatang lalu
menjilat salah satu ujungnya yang seperti busa berwarna putih. Ada
manis-manisnya! Kalau ujung satunya lagi rasanya bagaimana, ya? Ia memasukkan
sebalik batang rokok itu ke mulutnya, lalu meniup-niup. Kok enggak keluar asap
kayak punya Kakak? Sementara sensasi rokok yang tanpa dinyalakan itu mulai
merebak ke rongga mulutnya, ia mulai mengisap, meraba-raba ujung rokok itu
dengan lidahnya, sampai isinya yang berupa potongan tembakau dan lain
sebagainya itu membuyar, lalu ditelannya, dan ia terbatuk-batuk, kontan
melepeh. Risky menoleh dan membeliak sementara Adek menjulurkan lidah dan
jemarinya merogoh-rogoh berusaha menyingkirkan serpihan-serpihan itu yang lalu
disekakannya ke baju. Buru-buru Risky mendorong Adek ke kamar mandi, sambil
berusaha menutupinya dari pandangan Mama, dan lalu menyerokkan air dengan
gayung untuk Adek, menyuruhnya berkumur-kumur sampai memastikan lidah anak itu
telah bersih sama sekali.
Mereka kembali ke kamar. Risky menutup
pintu dan mendesis pada Adek, "Anak kecil enggak boleh makan rokok!"
"Mau yang ada asepnya," kata
Adek.
"Anak kecil belum bisa keluar asep.
Cuma orang gede yang bisa!"
Adek merajuk. Selanjutnya ia cuma bisa
menatap iri, seakan-akan mendamba, Kapan aku besar?, saat melihat
Risky bermain asap lagi. Risky memerhatikan Adek acuh tak acuh. Saat melihat
ada permen yang bentuk dan kemasannya menyerupai rokok di warung, tanpa pikir
panjang ia membelikannya untuk Adek. Anak itu pun semringah karena sekarang ia
bisa merokok bareng kakaknya, walau belum bisa mengeluarkan asap. Memang
rasanya beda dari rokok yang sebelumnya, tapi ini lebih enak, lebih manis, dan
enggak ada gerindil-gerindil-nya! Tabahnya Adek. Mama gemas melihat
kakak-beradik itu "merokok" bersama.
.
Sekarang Risky resah ketika berpikiran
mesti ke warung. Hasratnya untuk mengecap yang asam-asam khas itu membakar
mulutnya, menjalar ke seluruh tubuhnya, mengawurkan konsentrasi yang
dibutuhkannya untuk mempersiapkan UMPTN besok. Ia sudah menjangkau
lipatan-lipatan duitnya saat terpikir: Bagaimana kalau tiba-tiba ada Shelly?
Kalau cuma si ibu bangsat itu sih enggak apa-apa, ia siap bertarung di ronde
selanjutnya, kapan pun juga, di mana pun itu, tapi bagaimana kalau tiba-tiba
ada Shelly? Bukan soal besar. Kemarin itu tidak terduga, sedang sekarang ia
punya kesempatan untuk mempersiapkannya. Ia hanya perlu mandi keramas gosok
gigi bersih-bersih, mengenakan pakaian terbaik, dan merapikan rambutnya, baik
yang di kepala maupun yang mulai bertumbuhan di wajahnya.
Tapi, bagaimana kalau ada si ibu bangsat
itu lagi dan mengajaknya bergelut saat itu juga di hadapan Shelly?
Pada kesempatan yang kemarin itu,
mungkin ia sedang beruntung sehingga si ibu bangsat melepas dia.
Aduh, jadi sebenarnya mana yang lebih ia
cemaskan? Bertemu Shelly atau si ibu bangsat?
Aduh, kenapa juga tahu-tahu timbul
kegelisahan ini? Biasanya ia cuek saja.
Aduh, aduh, aduh, Risky tertahan di
tempatnya. Mau bergerak, tapi bayangan Shelly berikut para ibu perumpi
menyergap dia bak tatapan Medusa sehingga yang disorot menjadi kaku padahal di
dalamnya masih ada nyawa mengentak-entak ingin melarikan diri. Seperti tindihan
kala terjaga!
"Adek enggak usah ikut ya! Entar
minta macem-macem lagi! Mama cuma bentar, beli bumbu doang. Main sama Kakak,
ya!"
Adek mengerang panjang. "IKUUUT
...!"
Mama mau ke warung! Risky beranjak ke luar kamar, bak
pahlawan memanggil Adek supaya bermain dengan dia.
Tapi, baru saja Mama hendak menjangkau
pintu depan, "Titip rokok, Ma."
Mama mengernyit. "Beli aja
sendiri!"
"Ma, titip, Ma!" rengek Risky.
"Apa-apaan sih kamu ini?!
"Ma, aku udah enggak pernah minta
apa-apa lagi sama Mama! Sekarang aku cuma minta satu--"
"Enggak!"
"Kalau enggak ngerokok, aku enggak
bisa belajar!"
"Belajar buat belajar enggak pakai
rokok!"
"Nanti sebagian aku bagi buat Mama!"
sahut Risky putus asa.
Mama melotot, dan tidak bisa
ditahan-tahan lagi untuk mendengarkan permintaan Risky yang keterlaluan itu.
Pintu depan pun ditutup, membungkam harapan Risky agar mulai sekarang bisa
titip beli rokok sama Mama.
Sial, Mama benar sudah tobat, pikir
Risky.
Padahal dahulu, ketika lagi
akur-akurnya, Mama dan Papa suka merokok bareng sambil duduk-duduk mengobrol,
dan Risky cukup pintar untuk mengetahui bahwa itu konsumsi orang dewasa--tidak
pernah ada kejadian ia makan rokok. Hingga, suatu kali, justru karena barang
itu juga Mama dan Papa pecah lagi.
"Sudahlah, Ma, jangan merokok lagi.
Biar enggak keguguran terus," kata Papa, sembari dua jarinya mengapit
rokok yang sudah terbakar separuh.
Mama yang baru saja menyulut rokok baru
pun tak terima. "Papa sendiri enggak berhenti-berhenti."
"Kan Mama yang mengandung."
"Ah, sama saja. Asapnya ke
mana-mana!" Terlambat, ujung rokok di bibir Mama telah membara.
"Eeeh, enggak bisa dibilangin,
ya!" nada suara Papa melonjak.
"Papa ini bisanya cuma menyuruh,
enggak tahu memberi contoh!" geringsing Mama mengepulkan asap
tinggi-tinggi.
Adu cakap itu pun menghangat, memanas,
dan menyurutkan Risky ke kamar Simbok.
Sekarang, Risky berpikir bahwa wajar
saja waktu itu Papa marah kepada Mama. Dalam ingatannya, Mama selalu menebeng
rokok milik Papa, menyelonong asal ambil saja tanpa bilang-bilang tanpa pernah
beli sendiri. Mungkin Mama berhenti karena Papa pun tidak pernah beli lagi.
Sekarang, ditawari rokok gratis pun ia tak mau. Sial! Pakai sok
ngelarang-larang segala!
Sebetulnya, Risky tak bisa memastikan
kapan keduanya berhenti: apakah berbarengan ataukah yang satu mengikuti yang
lain? Sepertinya keduanya sama-sama berhenti sewaktu tinggal di Jepang, saat
Risky sendiri justru memulai kebiasaan itu dengan rokok pertamanya pemberian
Shigeo yang diisap bergantian sambil sembunyi di balik semak-semak taman.
.
Adek rupanya mulai mengenal uang dan
cara berjual beli. Kalau menemukan uang--biasanya Mama menaruh kembalian di
atas bufet samping televisi--Adek akan mengambilnya lalu pergi sendiri ke
warung terdekat untuk beli Chiki, es teh, es kacang hijau, kue kepang, atau
berbagai jajanan lainnya.
Awalnya Mama menuduh Risky mengambil
uang itu, yang tentu saja dibantah keras-keras. Jatah uang bulanan Risky yang
diberikan Papa memang tidak besar sekali, tapi selalu ia cukup-cukupkan. Kalau
ada barang kesukaannya yang tidak terbeli, daripada diam-diam mengambili
recehan yang tercecer di luar kamarnya, ia masih bisa bersabar.
Tapi Mama menganggap Risky berkilah,
menyinggung kamar anak itu yang sesak oleh aneka buku, kaset, majalah, dan
berbagai mainan lain, belum lagi sampahnya; dari mana lagi Risky dapat membeli
semuanya itu!? Sudah begitu, barang-barangnya itu tidak pernah dibereskan.
Sampai di situ, Risky sadar bahwa kalau diladeni
terus Mama akan merembet ke mana-mana, mengungkit persoalan yang sudah bukan
tentang hilangnya kembalian uang belanjaan lagi. Di samping itu, Risky pun
teringat bahwa Mama pernah meminjam sebagian jatah uang bulanannya dan belum
dikembalikan; saat itu, ada orang datang ke rumah menagih pembayaran oven tapi
Mama kekurangan uang tunai. Risky lantas geram karena merasa diperlakukan
secara tidak adil.
Pertengkaran berlarut sampai Adek masuk,
baru kembali dari warung membeli Chiki Boom dengan uang yang ditemukannya di
ujung tempat tidur kamar Mama dan Papa. Melihat ibu dan kakaknya saling bentak,
Adek kaget lantas menyumbang kericuhan dengan menangis keras-keras. Air mata
yang masuk mulutnya menambah gurih bola-bola Chiki yang diemutnya.
Tangisan Adek membuyarkan konsentrasi
Risky sehingga tidak terpikir lagi olehnya kata-kata sengit untuk melawan Mama.
Ia meninggalkan arena dan selanjutnya sampai berhari-hari terlalu marah untuk
duduk di meja belajar, sehingga ia menendang-nendang dan menubrukkan badan ke
dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar orang tuanya; setelah badannya
sudah sakit-sakit, bantalnya yang ia pukul-pukulkan sampai isian kapuknya
amburadul, dan selanjutnya guling yang menjadi korban, yang ketika sudah hancur
juga, ganti kasurnya melayang, sehingga ia tidur di ranjang kayunya hanya
beralaskan tripleks, atau di karpet bertemankan barang-barang koleksinya.
Waktu yang habis untuk marah-marah itu
kemudian disadarinya telah terbuang percuma, padahal lumayan bila digunakan
untuk menambah hafalan, apalagi tahun telah berganti, dan UMPTN tinggal
beberapa bulan lagi, semakin dekat saja. Frustrasinya menjadi-jadi, dan setelah
marahnya reda, serta-merta rasa ketagihan itu melandanya kembali, menerbitkan
andai-andainya yang sampai mewujud dalam bunga tidur di mana ia menjadi pohon
angker di tengah kuburan yang rutin disuguhi kopi dan rokok oleh para pencari
berkat, sehingga ia tidak perlu beranjak dari tempatnya sama sekali, tidak
perlu keluar kamar, keluar rumah, keluar uang sebagaimana ia sewaktu dalam rupa
sesosok anak manusia bernama Risky; orang-orang menatap dia penuh harap
alih-alih hina.
Sementara itu, sewaktu ke warung,
akhirnya Mama diberi tahu bahwa Adek suka datang jajan sendiri. Memang Adek
membawa uang. Kadang uangnya lebih dan Adek sudah keburu mengacir saat
dipanggil-panggil karena kembaliannya ketinggalan. Kali lain justru uangnya
kurang, sehingga Ibu Warung mesti mengingat-ingat kelebihan yang kemarin dan
menghitung-hitung. Memang catatan Ibu Warung acak-acakan. Biar begitu, toh selama
ini pemasukannya cukup-cukup saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
menabung sedikit. Tapi lama-lama Ibu Warung pusing menimbang-nimbang apakah
kelakuan Adek menguntungkan atau justru merugikan dia, sehingga ia pun
menyampaikannya kepada Mama untuk menyudahi ketidakjelasan ini.
Mama tercengang. Alih-alih menyadari
bahwa ia telah salah menuduh Risky, yang timbul malah gagasan bahwa sudah
waktunya Adek diajari perhitungan sederhana berikut penerapannya pada
harga-harga warung, melanjutkan pengenalan angka dan penjumlahan benda-benda di
sekitar rumah yang selama ini sudah berlangsung pelan-pelan. Maka, dari balik
pintu kamarnya, Risky mendengar Mama mulai memberikan jatah uang jajan buat
Adek. "Ini Mama kasih 150. Tapi yang boleh dijajanin 100 aja, ya. Yang 50
buat ditabung. Nah, kalau harga Chiki berapa?" Mama lalu menunggu Adek
yang langsung mengacir membelanjakan jatahnya saat itu juga, dan setelah Adek
kembali, memastikan bahwa anak itu sudah melakukan hal yang benar.
Mama pun mulai suka menyuruh Adek
membelikan barang remeh-temeh yang kebetulan habis, sekadar gula, garam, kecap,
dan micin, di warung terdekat, dan Adek mendapatkan sedikit tip yang harus
ditabung dahulu sampai jumlahnya mencukupi untuk dijajankan. Walaupun
kenyataannya, begitu sampai warung, sering kali Adek melupakan barang titipan
Mama dan malah memilih jajanan kesukaannya sendiri--tanpa memperhitungkannya
dengan besaran uang yang ia bawa. Namun Mama tidak berputus asa mengulang-ulang
penjelasan kepada Adek, disertai omelan sekadarnya. Risky yang menguping dari
balik pintu kamar terinspirasi untuk turut mengajari Adek.
Selagi Mama sibuk sendiri dengan
pekerjaan rumah, Risky membuka pintu kamarnya dan menyuruh Adek masuk.
"Adek mau jajan?"
Adek sontak mengangguk-anggukkan kepala
seperti mainan di atas dashboard mobil. Risky mengulurkan
selembar uang bergambar Sultan Hamengku Buwono IX yang di baliknya ada Candi
Borobudur kepada Adek. "Kakak titip Marlboro, yah," berikut jumlahnya
berapa kotak yang sekalian banyak yang Risky perkirakan Adek masih kuat
menentengnya. Risky menerangkan harga satu kotak rokok merek tersebut, yang
kalau beli sekian kotak, harganya jadi sekian, dan ditambah dengan jajanan yang
Adek mau, sehingga kembaliannya jadi sekian. Risky menyuruh Adek menghafal dan
mengucapkannya berulang-ulang. Lalu Risky memasukkan lipatan uang tersebut
dalam-dalam ke saku dada baju monyet yang dikenakan Adek.
"Kakak titip beli apa?" Sekali
lagi, Risky ingin memastikan. Ia menahan pundak Adek ketika sudah berbalik
hendak maju jalan.
"Bolo."
"Marl-bo-ro."
"Maa-bo-lo?"
"Marlboro!"
"Mabolo?"
Cukuplah. Risky melepas anak itu.
Adek berjalan ke warung yang jaraknya
hanya melewati empat rumah dan dua belokan itu. Hup! Hup! Ia menaiki undakan
dengan langkah-langkah besar penuh semangat, lalu berteriak keras-keras,
"Beliii ...!" Ibu Warung beranjak dari depan televisi lalu menyeret
langkah ke ruang depan yang difungsikan sebagai tempat berjual beli itu. Di
balik konter, lagi-lagi ia mendapati bocah itu. "Beli apa, Dek?" tanyanya
akrab.
"Beli bolo." Ketika Risky yang
titip, entah kenapa Adek langsung ingat berikut jumlah yang dipesankan.
"Bolo?" tapi Ibu Warung jadi
bingung. "Chiki?" ia menanyakan jajanan yang biasa dibeli Adek.
Anak itu menggeleng. "Bolo. Kata
Kakak, Bolo."
Ibu Warung termangu, lantas terlintas
sesuatu. Ia pun membungkuk, menggeser kaca etalase, dan mengeluarkan sebungkus
makanan ringan dari rak paling atas. Kemasannya sebagian berwarna hijau,
sebagian lagi bening menampakkan logo kelinci putih. Di dalamnya ada bola-bola
kecil biskuit putih kecokelatan. Ia mengulurkannya kepada Adek, "Potato
Boro, ya?" yang serta-merta mengingatkan anak itu bahwa ia kerap dibelikan
makanan tersebut setiap mereka sekeluarga berbelanja mingguan ke supermarket di
Bandung Indah Plaza. Rasanya enak, renyah dan manis sekali! Adek suka! Kakak
juga waktu itu ikut makan. Kakak juga suka. Pasti ini!
Sebungkus Potato Boro lebih berat
daripada sekotak Marlboro, dan dalam jumlah yang diminta Risky, Adek cukup
kepayahan membawanya. Setidaknya begitulah yang dilihat Ibu Warung, yang
terheran-heran oleh permintaan yang tidak biasanya itu. Ia berteriak memberi
tahu Adek supaya plastik isi Potato Boro itu jangan diseret, apalagi jalanan
berkerikil. Adek pun membopong plastik dengan kedua tangannya. Tapi di tengah jalan
ia berhenti. Ia meletakkan plastik di jalan, berjongkok, dan membuka satu
bungkus Potato Boro yang menggoda itu. Adek tak tahan. Sesaat ia menikmati
beberapa genggam butiran itu melumer ke lidahnya. Tenaganya lalu pulih untuk
melanjutkan perjalanan sampai rumah.
Adek menjatuhkan plastik gemuk itu di
depan Risky, yang sontak terbelalak. Risky mengeluarkan semua isi plastik itu
namun tidak menemukan satu pun pesanannya.
"Mana Marlboro-nya?!"
"Itu Bolo."
"Ini Potato Boro! Bukan Marlboro!
AAARGH!"
Adek menatap polos sembari mulutnya
terus bergerak-gerak mengunyah Potato Boro.
Jumlah uang kembalian tentu saja tidak
sesuai dengan yang sudah ditentukan.
Untuk sementara waktu, Risky lanjut
belajar sambil sedikit-sedikit meraup segenggam Potato Boro, dan melontarkannya
ke mulut bak makan kacang goreng saja. Giginya mulai ngilu dan setelah beberapa
lama, tiap beberapa menit sekali, perhatiannya teralih pada rasa yang hilang di
mulutnya. Ia kembali berpikiran untuk menitip beli rokok pada Adek. Ia
memikirkan rokok merek lainnya. Kalau ia titip Djarum, jangan-jangan Adek malah
membelikannya jarum betulan, dan kalau Bentoel, bisa-bisa jadi jarum pentul.
Hingga muncul ilham untuk memberi Adek bungkus rokok yang dimaksudnya. Risky
menyuruh Adek menunjukkan benda itu kepada Ibu Warung dan mengatakan,
"Beli yang ini!"
Adek menurutinya dan lalu menyerahkan
bungkus rokok yang sudah diisi lipatan uang itu kepada Ibu Warung, yang sontak
terbelalak.
Misi berjalan sukses. Risky mengusap-usap kepala adiknya dan memberikan tip yang cukup besar kepada anak itu. Sayang, pada kesempatan berikutnya, Mama memergoki Adek baru dari warung memegang sekotak rokok baru. Risky pun habislah ditegur.
"Kamu ini konyol sekali, ya! Masak anak kecil disuruh beli rokok?! Enggak mikir, apa?! Kayak enggak punya kaki aja. Beli sendiri!"
Sabtu, 05 Juni 2021
Jumat, 04 Juni 2021
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu