Minggu, 20 Juni 2021

12. ORANG GILA DI KOMPLEKS

Risky bisa saja kembali menyuruh adiknya untuk membelikan rokok di warung secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih, ia memutuskan untuk pergi sendiri ke warung ... yang sejauh-jauhnya dari rumah. Lagi pula, suntuk ia di kamar terus. Sudah lama ia tidak keluyuran tidak tentu arah seperti sewaktu SMA.

Risky masih malas mandi. Tapi, di samping mengoleskan Axe banyak-banyak, ia berganti pakaian dengan yang bersih dan sudah diseterika, sedang yang sebelumnya ia lemparkan ke ranjang untuk nanti jadi alas tidur. Ia juga membasuh muka dan merapikan rambutnya yang mulai gondrong dengan jemari. Keluarlah ia dari rumah, memasuki belokan, melewati taman, tanpa mengacuhkan sesama pejalan. Namun hatinya berdesir akan pertemuan yang tidak disengaja dengan Shelly.

Mendekati kali yang membatasi kompleks itu, di suatu lahan yang ditumbuhi pohon jambu dan sering kali sepi, Risky melihat sekelompok anak duduk di sepedanya masing-masing memandang ke satu arah. Ada sosok di bawah pohon yang serbahitam, mulai dari rambutnya yang gimbal, kulitnya yang cemong, sampai seluruh pakaiannya yang telah tercabik-cabik; yang berwarna-warni hanya tali rafia yang meliliti kedua pergelangan tangannya. Ia duduk bersila, namun badannya bergerak-gerak tidak keruan seiring dengan desisan-desisan dan ludah bercipratan dari mulutnya. Salah seorang anak yang penasaran menyambitkan kerikil dan sosok itu pun berjengit. Sesaat anak-anak tu heboh mengantisipasi serangan balasan. Namun sosok itu alih-alih bangkit malah terus bersila dan mendesis. Mereka pun anteng lagi memerhatikan, hingga salah seorang lainnya yang penasaran mengambil kerikil dari tanah. Ini gilirannya mencoba. Tapi baru saja ia mengangkat tangan, sebongkah batu yang lebih besar menghantam roda sepedanya disusul hardikan. Sontak kelompok itu porak poranda. Risky mengenali salah satu anak sebagai si bangsat yang dahulu kerap mengganggu Adek, dan si bangsat pun--yang tentu saja mengenali Risky--serta-merta berteriak, "Temennya orang gila!" sebelum melarikan sepedanya kencang-kencang.

Begitu anak-anak itu tidak terlihat lagi, Risky lanjut melangkah. Sembari melewati sosok hitam itu, ia melirikkan pandangannya sekaligus menjaga jarak.

Risky berjalan berputar-putar kompleks, bahkan memasuki perkampungan, hingga merasa cukup, baru membeli persediaan rokok di warung berikutnya yang ia temukan, dan memutuskan untuk melewati sisi kali itu lagi. Sosok hitam itu rupanya telah berpindah. Risky mendapati dia sedang berdiri di tengah jalan menuju persawahan, masih mendesis-desis namun kali ini diselingi bunyi yang menyerupai salakan anjing.

Tiba di rumah, setelah beberapa lama, Risky merasakan bahwa jalan-jalan sore seperti tadi cukup menyegarkan. Gairah belajar naik sedikit. Risky berpikiran untuk mengulanginya sewaktu-waktu.

Pada waktu-waktu itulah Risky mendapati bahwa sosok hitam itu sepertinya mulai menetap di kompleks, sebab ia selalu melihatnya. Kadang sosok itu diam saja di bawah pohon jambu, kadang berkeliaran di jalan, kadang diikuti, diteriaki, atau dilempari anak-anak, kadang mengais-ngais tempat sampah seperti anjing mencari makan.

Entah mulai kapan, kehadiran sosok itu meresahkan warga kompleks. Sebabnya, ada anak-anak yang diserang. Sosok itu mengejar anak-anak sambil mengacungkan patahan dahan yang cukup besar. Selain itu, kadang ia memukul-mukulkan patahan dahan itu pada pagar rumah orang, tiang listrik, apa pun, sambil berteriak-teriak mengamuk sendiri. Ada pula tetangga yang menggembok pagar rumahnya biarpun hari masih terang, sebab pernah sosok itu kedapatan tidur di sembarang teras sehingga merisihkan yang punya rumah; mau keluar, takut disergap. Ibu-ibu yang ketakutan melarang anaknya keluar rumah, atau setidaknya jangan main jauh-jauh dan apabila bertemu si orang gila jangan didekati sebaiknya langsung pulang saja. Adek termasuk anak yang dikurung di rumah. Tiap kali Adek merengek-rengek sambil menariki gagang pintu yang dikunci, Mama menggiringnya masuk ke kamar Risky, secara tidak langsung menyuruh dia agar mengalihkan perhatian anak itu, padahal Risky sedang berusaha keras agar dapat berkonsentrasi belajar.

Awalnya, Risky masih rela meladeni adiknya. Tapi sekarang tinggal beberapa bulan lagi menuju UMPTN, sedang bahan yang belum dikuasai masih banyak. Ketika menghadapi soal yang benar-benar menguras otak, yang sudah berkali-kali diutak-atiknya, ditinggalkan, lalu dicobanya kembali setelah beberapa lama, Risky merasa ingin berteriak-teriak juga seperti si sosok hitam, malah kalau perlu sampai membanting meja. Kepalanya seperti yang mengepulkan asap saking panasnya. Mama sama sekali tidak meringankan bebannya. Ketika terdengar di kejauhan sosok itu sedang melancarkan amuknya, apa pun penyebabnya, Mama menuding, "Tuh, Ki, kayak kamu." Luapan stres yang nyaris meloncat dari mulut Risky pun tertelan lagi, menggondok di tenggorokan. Maka sebagai gantinya ia cuma duduk di bawah kipas angin, meresapi pusaran itu mengademkan kepalanya. Meski akibatnya ia selalu masuk angin dan Adek tergelak-gelak tiap kali kentutnya menggelegar.

Warga kerap membicarakan cara-cara mengusir si sosok hitam dari kompleks. Ada yang bilang itu kiriman dari kompleks lain. Ada yang bilang nanti juga ia pergi sendiri kalau sudah bosan. Ada yang mengusulkan untuk menghubungi Dinas Sosial. Tapi ada yang menyanggah dengan teori bahwa Dinas Sosial justru sengaja melepas orang gila ke jalan-jalan karena sudah kelebihan kapasitas, dan yang satu itu kebetulan saja menyasar kemari.

Diskusi pun merembet pada fenomena dunia kiwari yang semakin banyak tekanan, sehingga semakin banyak pula orang sakit jiwa.

"Betul itu, apalagi sekarang ini makin banyak TV swasta. Banyak acara TV yang tidak baik, bikin neurotik!" imbuh Mama berapi-api, didukung informasi yang pernah dibacanya dari suatu majalah. Dari dalam kamarnya yang menghadap halaman depan, Risky tak sengaja mendengarnya saat para ibu berkumpul di pinggir jalan.

Lalu diskusi bergulir pada kemungkinan sebab-sebab menggilanya si sosok hitam. Keranjingan menonton TV cuma salah satu teori. Berbagai teori lain tidak tertangkap oleh Risky karena perhatiannya semestinya hanya tercurah pada buku di hadapannya. Kebetulan saja yang satu itu masuk ke telinganya.

"Mungkin dia kelamaan nganggur, enggak dapat-dapat kerja, jadi stres, frustrasi, depresi, gila!"

"Hah ..." ada yang mendesah. "Sekarang ini sudah jadi sarjana pun enggak menjamin dapat kerjaan."

"Betul, malah ada tetangga saudara saya di kampung akhirnya melamar jadi TKI!"

"Sarjana lulusan mana dulu?"

"Lulusan PTN pun belum tentu gampang dapat kerja lo!"

Risky meletakkan pensilnya. Ia bergeser menjangkau stereo dan menyalakan radio. Volumenya dikencangkan secukupnya untuk menyamarkan suara ibu-ibu di luar.

Bersamaan dengan itu muncul teori, "Jangan-jangan itu intel gaya baru!"

"Atau mungkin kelamaan di penjara, jadi gila ...."

Suara mereka berangsur-angsur memelan. Mata saling melirik waspada, beredar ke sekeliling. Perkumpulan itu membubarkan diri.

Tak sengaja Risky memutar kepala sehingga menghadap ke ambang pintu yang terbuka. Mama yang baru memasuki rumah sembari lewat tak sengaja pula menoleh ke arah kamar Risky. Pandangan mereka bertumbuk, namun Risky yang tak acuh lantas kembali menghadapi mejanya. Terdengar suara Mama, "Papa kamu dulu, belum lulus dari ITB aja, udah dapat tawaran kerja di mana-mana. Sekarang juga mesti lulusan ITB banyak yang nyari. Indonesia kan masih membangun. Masih butuh banyak insinyur."

Risky mendengarkan namun tak menyahut, biar Mama mengira sudah mengoceh sendiri. Lagi pula, ia sudah tahu. Karena itulah, kesempatan ini tidak boleh ia gagalkan lagi. Tapi, semakin meresapkannya, semakin ia merasakan ketegangan. Setiap materi yang tidak dapat ia pahami, setiap hafalan yang segera terlupa lagi, setiap soal yang tidak berhasil ia pecahkan, bagi dia berarti semakin besar kemungkinan untuk kembali gagal ....

Sering kali pikiran Risky melayang pada si sosok hitam, yang sama-sama menjadi bahan hinaan orang. Tapi, si sosok hitam sudah kehilangan akal, bukan? Mestinya mau diejek sebagaimanapun, ia tidak akan merasa. Tapi ia masih bisa menyerang, mengamuk. Mungkin ia tidak sepenuhnya gila. Mungkin masih ada kesadarannya, tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Mungkin ia sudah di ambang ketidakberdayaan. Seketika itu, Risky menyadari bahwa hidupnya tidak sama sekali buruk, atau tepatnya, belum. Ia masih bisa anjlok ke posisi yang lebih bawah lagi, yang ditempati si sosok hitam.

Risky menepis kemungkinan itu. Tidak, kalau ia berjuang terus hingga dapat menguasai segala materi dan soal, ia akan lulus UMPTN, kuliah di ITB, dan masa depannya terjamin cerah. Tapi, begitu kembali melihat barisan soal yang sudah berkali-kali dia lewati, saking sulitnya, Risky mendapati sel-sel otaknya bagaikan romusa-romusa kecil yang mulai pada tumbang bergelimpangan. Mau memikirkan soal sampai sekeras apa pun, mengutak-atiknya sampai memenuhi berlembar-lembar kertas, tetap saja menemui jalan buntu. Akalnya seperti berhenti, yang kalau didesak terus, jangan-jangan bakal memilih untuk terbang lari dan tidak kembali lagi--menghilang. Hilang akal! Bukankah itu yang terjadi pada si sosok hitam?! Orang disebut gila karena hilang akalnya, bukan?! Tapi, bagaimanapun, tidak ada cara lain, ia mesti terus mencambuki romusa-romusa kecil itu agar terus menggali, menggali, menggali, ... sampai menemukan jawaban atas setiap persoalan dalam buku pelajaran dan persiapan UMPTN ....

Mama melongok ke dalam kamar dan mendapati Risky bertelanjang dada dan bercelana kolor; rambutnya sama awut-awutan dengan segala barang lain di kamarnya, tiap beberapa waktu diremas-remas dan diacak-acak sambil kepalanya digeleng-gelengkan. Badannya mengilap oleh keringat dan kipas angin menebarkan aromanya ke mana-mana.

"Belum mandi jugaaa?! Kayak orang gila aja!"

Minggu, 06 Juni 2021

11. KECANDUAN ROKOK

"Terus pelajaran kamu gimana?!" tanya Mama begitu menyadari bahwa Risky tidak pernah lagi mendatangi rumah Saladin, dan mendengar sendiri pengakuan bahwa anak itu sudah tidak mau belajar bareng sepupunya.

"Belajar sendiri," Risky menampakkan rasa percaya diri.

Namun Mama tidak yakin. "Cari guru privat, ya?!"

"Enggak usah!!"

Mama memilih bungkam, sedang capek merongrong Risky. Biar anak itu menentukan nasibnya sendiri! Mama tak hendak peduli lagi, atau, maunya sih begitu. Tapi, menurut yang sudah-sudah, semakin didesak, semakin keras kepala anak itu. Biarkan dahulu sementara waktu.

Risky menunjukkan kekeraskepalaannya itu dengan menambah jam belajar, bukan hanya ketika yang lain sudah pada tidur tapi juga sepanjang mereka sedang bangun. Barulah ketika sudah tidak sanggup lagi menahan kantuk, ia tidur sepuas-puasnya.

Memang kelihatannya ia sibuk belajar. Tapi, sebenarnya begini perinciannya:

Tiap kali berhasil mengerjakan satu soal, ia akan menyelinginya dengan satu kepul rokok atau satu teguk kopi sebelum melanjutkan ke soal lagi. Berangsur-angsur satu kepul atau satu teguk itu menjadi satu kepul dan satu teguk. Lama-lama, setelah beberapa kepul ditambah beberapa teguk, satu soal belum selesai juga. Tidak ada lagi soal mudah yang tersisa. Semua tinggal soal sulit yang memerlukan bimbingan. Namun, begitu senyuman Saladin yang meluluhkan hati para ibu itu terbit dalam benaknya, seketika itu juga Risky terkesiap. Lagi pula, ia sudah tegas-tegas memutus bantuan Saladin. Ia tidak hendak menjilat ludah yang telah dilontarkannya sekalian bersama gumpalan dahak itu.

Alhasil, lebih banyak rokok dan kopi yang dikonsumsi ketimbang soal yang dikerjakan. Untuk kopi, Risky tinggal mengambil stok di ruang makan. Untuk rokok, cuma dia yang merokok di rumah itu.

Risky telah mengecek setiap bungkus rokok di kamarnya kalau-kalau ada yang tertinggal, tapi nihil. Ia mulai mengalami kegelisahan. Sebelumnya, ia langsung saja pergi ke warung terdekat tanpa memikirkan akan bertemu ibu siapa di sana yang akan teringat untuk menggosipkan dia kemudian. Tapi, setelah suatu kejadian baru-baru ini ....

Saat itu Mama telah memperingatkan dia untuk mandi dan ganti pakaian terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki keluar. Namun Risky mengabaikannya. "Cuman sebentar!" katanya. Lagi pula, walau malas mandi dan ganti pakaian, Risky selalu ingat untuk membasuh muka, menggosok gigi, dan mengoleskan lapisan baru Axe di ketiaknya, paling sedikit sekali sehari. Ia juga tidak pernah mengkhawatirkan jerawat yang kadang bertumbuhan di wajahnya, toh nanti juga hilang sendiri tanpa bekas. Risky seperti biasanya saja waktu itu tiap kali pergi ke warung, sembari kemudian disusul dan digandeng Adek yang tak sempat mengambil sepeda.

Namun, tidak biasanya kali itu, setelah Risky meminta diambilkan rokok favoritnya kepada Ibu Warung, di sisi kirinya muncul Shelly.

SHELLY!

Risky menjengit sedikit, lalu tak kuasa bergerak sama sekali. Bagaimana kalau tiba-tiba ada angin? Apakah deodorannya sudah cukup menyamarkan aroma badannya? Apakah akhir-akhir ini ia berkeringat banyak sehingga pakaiannya mulai bau? Kapan terakhir kali ia ganti baju?! Bagaimana dengan jerawatnya, yang hari ini belum sempat ia hitung jumlahnya dan amati perubahan warnanya berikut pertumbuhan ukurannya? Bagaimana dengan rambutnya, yang baru beberapa saat lalu ia acak-acak saking pusingnya dengan suatu soal IPA Terpadu hingga mengawurkan hujan salju ke sela-sela halaman bukunya--yang baru detik ini terpikir olehnya untuk menyisir terlebih dahulu sebelum keluar rumah!??? Lantas dengan polosnya si Adek menarik perhatian gadis itu untuk menoleh ke arahnya. "Teceyi ..." sapa anak itu sembari masih menggenggam erat tangan Risky.

"Dek Ian," gadis itu membalas seraya tersenyum pada Adek. Lalu tatapannya menyusur naik dan bertemu mata Risky. Perlahan-lahan kepalanya bergerak kembali ke arah depan. Senyum masih tertahan di bibirnya namun menyurut dari sorot matanya.

PANIK! PANIIK!! PANIIIK!!!

"Mas, ini rokoknya."

Ganti kepala Risky yang tergerak--kaku--ke arah depan. Tatapannya yang nanar meresahkan Ibu Warung.

Untung--bagi Ibu Warung--bersamaan dengan itu, ibu si anak bangsat menyelonong ke sisi kanan Risky. Ibu Warung segera menyambut wanita itu. Perhatian Risky pun ikut teralih. Ibu Teddy memandangnya sinis. Ia siap kapan pun beradu lagi dengan pemuda kurang ajar ini. Risky juga menyatakan kesiapan dalam tatapannya, tapi tidak, bila mesti disaksikan Shelly. Oh, tidak, jangan sekarang.

"Kak," Adek menarik-narik tangan Risky. "Mau ini lagi." Jarinya menunjuk toples berisikan permen rokok-rokokan.

"Mau berapa, Dek?" Ibu Warung sigap mengangkat toples itu dan memutar penutupnya.

"Cama kayak Kakak."

"Jangan banyak-banyak," desis Risky, lalu menyesali ucapannya.

Adek manyun. Risky tidak berkata apa-apa lagi.

"Ada lagi enggak?" tanya Ibu Warung.

"Udah," tukas Risky cepat sebelum adiknya sempat menambahkan.

Ia merogoh saku kiri jaketnya untuk mengambil uang. Lo, kok enggak ada? Yang sebelah kiri .... Enggak ada juga!? Saku celana .... Kanan, kiri, belakang, aduh, goblok, di mana ia biasanya menyimpan uang??? Risky berharap Shelly tak sedang mengawasinya, ataupun menangkap dentaman jantungnya. Di mana?! DI MANA?! Kenapa ia bisa lupa? Baru kali ini ia lupa! Ia memasukkan tangan ke saku dada kaus polonya dan nyaris saja kelepasan mendesah keras-keras saking leganya.

Ia menyodorkan lipatan uang itu kepada Ibu Warung. Menit-menit wanita itu mengambil uangnya, lalu melangkah ke meja di pojok warung, menarik laci, dan mencari uang kembalian, menghitungnya satu per satu, kemudian berjalan kembali menghampiri Risky terasa bagaikan jam demi jam. Risky berusaha tak menoleh ke mana-mana, matanya menyorot tajam pada setiap pergerakan Ibu Warung yang jelas-jelas merasa diawasi sehingga membuatnya gugup sehingga berkali-kali salah menghitung uang kembalian dan memanjangkan siksaan bagi Risky. Sedang Ibu Teddy melirik ke samping, seperti mencari-cari apa lagi yang bisa dicelanya dari pemuda gendut bau kecut ini, sembari menjaga agar kepala dan lehernya tak kentara turut bergeser. Shelly menunduk saja, menanti-nanti kapan gilirannya dan kenapa, ya, suasananya tidak mengenakkan; punggungnya berdesir dingin. Sementara Adek menyobek sedikit demi sedikit kertas pelapis permen, menjatuhkannya ke lantai pelataran warung, lalu mulai mengulum manisan itu dengan nikmat.

Akhirnya uang kembalian mendarat di tangan Risky. Ia menyempatkan diri melirik Shelly, yang terus saja menunduk memandangi kemasan Softex di etalase paling bawah. Cepat-cepat ia berbalik tanpa sedikit pun melirik kepada ibu-ibu di sisi satunya lagi. Adek terburu-buru menyusul dan menyambar tangan Risky yang tidak memegang plastik.

Keduanya mulai menjauh saat Ibu Teddy berkata pada Ibu Warung, "Kasihan, kecil-kecil sudah diajari kakaknya merokok." Matanya terus mengekori kakak beradik itu. Ibu Warung sesungguhnya tidak peduli, yang penting barang jualannya--apa pun itu--ada yang membeli--oleh siapa pun itu, tapi bagaimanapun ia harus menanggapi dengan simpatik. Angin mengembuskan cakapan mereka ke telinga Risky sehingga nyaris saja ia berbalik lagi. Ingin ditonjoknya wanita sialan itu karena sudah membicarakan dia dalam nada buruk sedang di situ ada Shelly. Tapi, justru karena ada Shelly, Risky tidak hendak mempertunjukkan masalah. Ia berupaya tak acuh, tapi melepaskan genggaman Adek dari tangannya. Adek mendongak, tapi sesaat kemudian kembali asyik mengisap permennya.

Shelly tidak sabar ingin menuntaskan keperluannya, namun sekarang Ibu Warung malah terpikat oleh ibu satunya lagi. Shelly mencari kesempatan untuk menyela dengan sopan, dan tak ayal pembicaraan tentang "si genderuwo" masuk ke pendengarannya.

.

Mulanya Adek suka permen rokok-rokokan memang karena sering melihat Risky merokok. Sebetulnya Mama sudah melarang Risky merokok dekat-dekat Adek. Tapi tetap saja Risky merokok tanpa acuh di dekatnya ada Adek atau tidak. Hanya ia membatasi untuk merokok di kamarnya saja, tidak di ruangan-ruangan lainnya di rumah.

Adek memerhatikan betapa nikmatnya Risky mengisap rokok lalu memonyongkan bibir dan mengeluarkan kepulan-kepulan asap dalam berbagai bentuk. Ia terpukau, penasaran pada benda ajaib itu. Ia juga ingin bisa mengepul-ngepulkan asap dari mulutnya, seperti naga ....

Ia menyentuh-nyentuh bungkus rokok milik kakaknya, mengendus-endus isinya. Hmmm, wangi! Ia menarik sebatang lalu menjilat salah satu ujungnya yang seperti busa berwarna putih. Ada manis-manisnya! Kalau ujung satunya lagi rasanya bagaimana, ya? Ia memasukkan sebalik batang rokok itu ke mulutnya, lalu meniup-niup. Kok enggak keluar asap kayak punya Kakak? Sementara sensasi rokok yang tanpa dinyalakan itu mulai merebak ke rongga mulutnya, ia mulai mengisap, meraba-raba ujung rokok itu dengan lidahnya, sampai isinya yang berupa potongan tembakau dan lain sebagainya itu membuyar, lalu ditelannya, dan ia terbatuk-batuk, kontan melepeh. Risky menoleh dan membeliak sementara Adek menjulurkan lidah dan jemarinya merogoh-rogoh berusaha menyingkirkan serpihan-serpihan itu yang lalu disekakannya ke baju. Buru-buru Risky mendorong Adek ke kamar mandi, sambil berusaha menutupinya dari pandangan Mama, dan lalu menyerokkan air dengan gayung untuk Adek, menyuruhnya berkumur-kumur sampai memastikan lidah anak itu telah bersih sama sekali.

Mereka kembali ke kamar. Risky menutup pintu dan mendesis pada Adek, "Anak kecil enggak boleh makan rokok!"

"Mau yang ada asepnya," kata Adek.

"Anak kecil belum bisa keluar asep. Cuma orang gede yang bisa!"

Adek merajuk. Selanjutnya ia cuma bisa menatap iri, seakan-akan mendamba, Kapan aku besar?, saat melihat Risky bermain asap lagi. Risky memerhatikan Adek acuh tak acuh. Saat melihat ada permen yang bentuk dan kemasannya menyerupai rokok di warung, tanpa pikir panjang ia membelikannya untuk Adek. Anak itu pun semringah karena sekarang ia bisa merokok bareng kakaknya, walau belum bisa mengeluarkan asap. Memang rasanya beda dari rokok yang sebelumnya, tapi ini lebih enak, lebih manis, dan enggak ada gerindil-gerindil-nya! Tabahnya Adek. Mama gemas melihat kakak-beradik itu "merokok" bersama.

.

Sekarang Risky resah ketika berpikiran mesti ke warung. Hasratnya untuk mengecap yang asam-asam khas itu membakar mulutnya, menjalar ke seluruh tubuhnya, mengawurkan konsentrasi yang dibutuhkannya untuk mempersiapkan UMPTN besok. Ia sudah menjangkau lipatan-lipatan duitnya saat terpikir: Bagaimana kalau tiba-tiba ada Shelly? Kalau cuma si ibu bangsat itu sih enggak apa-apa, ia siap bertarung di ronde selanjutnya, kapan pun juga, di mana pun itu, tapi bagaimana kalau tiba-tiba ada Shelly? Bukan soal besar. Kemarin itu tidak terduga, sedang sekarang ia punya kesempatan untuk mempersiapkannya. Ia hanya perlu mandi keramas gosok gigi bersih-bersih, mengenakan pakaian terbaik, dan merapikan rambutnya, baik yang di kepala maupun yang mulai bertumbuhan di wajahnya.

Tapi, bagaimana kalau ada si ibu bangsat itu lagi dan mengajaknya bergelut saat itu juga di hadapan Shelly?

Pada kesempatan yang kemarin itu, mungkin ia sedang beruntung sehingga si ibu bangsat melepas dia.

Aduh, jadi sebenarnya mana yang lebih ia cemaskan? Bertemu Shelly atau si ibu bangsat?

Aduh, kenapa juga tahu-tahu timbul kegelisahan ini? Biasanya ia cuek saja.

Aduh, aduh, aduh, Risky tertahan di tempatnya. Mau bergerak, tapi bayangan Shelly berikut para ibu perumpi menyergap dia bak tatapan Medusa sehingga yang disorot menjadi kaku padahal di dalamnya masih ada nyawa mengentak-entak ingin melarikan diri. Seperti tindihan kala terjaga!

"Adek enggak usah ikut ya! Entar minta macem-macem lagi! Mama cuma bentar, beli bumbu doang. Main sama Kakak, ya!"

Adek mengerang panjang. "IKUUUT ...!"

Mama mau ke warung! Risky beranjak ke luar kamar, bak pahlawan memanggil Adek supaya bermain dengan dia.

Tapi, baru saja Mama hendak menjangkau pintu depan, "Titip rokok, Ma."

Mama mengernyit. "Beli aja sendiri!"

"Ma, titip, Ma!" rengek Risky.

"Apa-apaan sih kamu ini?!

"Ma, aku udah enggak pernah minta apa-apa lagi sama Mama! Sekarang aku cuma minta satu--"

"Enggak!"

"Kalau enggak ngerokok, aku enggak bisa belajar!"

"Belajar buat belajar enggak pakai rokok!"

"Nanti sebagian aku bagi buat Mama!" sahut Risky putus asa.

Mama melotot, dan tidak bisa ditahan-tahan lagi untuk mendengarkan permintaan Risky yang keterlaluan itu. Pintu depan pun ditutup, membungkam harapan Risky agar mulai sekarang bisa titip beli rokok sama Mama.

Sial, Mama benar sudah tobat, pikir Risky.

Padahal dahulu, ketika lagi akur-akurnya, Mama dan Papa suka merokok bareng sambil duduk-duduk mengobrol, dan Risky cukup pintar untuk mengetahui bahwa itu konsumsi orang dewasa--tidak pernah ada kejadian ia makan rokok. Hingga, suatu kali, justru karena barang itu juga Mama dan Papa pecah lagi.

"Sudahlah, Ma, jangan merokok lagi. Biar enggak keguguran terus," kata Papa, sembari dua jarinya mengapit rokok yang sudah terbakar separuh.

Mama yang baru saja menyulut rokok baru pun tak terima. "Papa sendiri enggak berhenti-berhenti."

"Kan Mama yang mengandung."

"Ah, sama saja. Asapnya ke mana-mana!" Terlambat, ujung rokok di bibir Mama telah membara.

"Eeeh, enggak bisa dibilangin, ya!" nada suara Papa melonjak.

"Papa ini bisanya cuma menyuruh, enggak tahu memberi contoh!" geringsing Mama mengepulkan asap tinggi-tinggi.

Adu cakap itu pun menghangat, memanas, dan menyurutkan Risky ke kamar Simbok.

Sekarang, Risky berpikir bahwa wajar saja waktu itu Papa marah kepada Mama. Dalam ingatannya, Mama selalu menebeng rokok milik Papa, menyelonong asal ambil saja tanpa bilang-bilang tanpa pernah beli sendiri. Mungkin Mama berhenti karena Papa pun tidak pernah beli lagi. Sekarang, ditawari rokok gratis pun ia tak mau. Sial! Pakai sok ngelarang-larang segala!

Sebetulnya, Risky tak bisa memastikan kapan keduanya berhenti: apakah berbarengan ataukah yang satu mengikuti yang lain? Sepertinya keduanya sama-sama berhenti sewaktu tinggal di Jepang, saat Risky sendiri justru memulai kebiasaan itu dengan rokok pertamanya pemberian Shigeo yang diisap bergantian sambil sembunyi di balik semak-semak taman.

.

Adek rupanya mulai mengenal uang dan cara berjual beli. Kalau menemukan uang--biasanya Mama menaruh kembalian di atas bufet samping televisi--Adek akan mengambilnya lalu pergi sendiri ke warung terdekat untuk beli Chiki, es teh, es kacang hijau, kue kepang, atau berbagai jajanan lainnya.

Awalnya Mama menuduh Risky mengambil uang itu, yang tentu saja dibantah keras-keras. Jatah uang bulanan Risky yang diberikan Papa memang tidak besar sekali, tapi selalu ia cukup-cukupkan. Kalau ada barang kesukaannya yang tidak terbeli, daripada diam-diam mengambili recehan yang tercecer di luar kamarnya, ia masih bisa bersabar.

Tapi Mama menganggap Risky berkilah, menyinggung kamar anak itu yang sesak oleh aneka buku, kaset, majalah, dan berbagai mainan lain, belum lagi sampahnya; dari mana lagi Risky dapat membeli semuanya itu!? Sudah begitu, barang-barangnya itu tidak pernah dibereskan.

Sampai di situ, Risky sadar bahwa kalau diladeni terus Mama akan merembet ke mana-mana, mengungkit persoalan yang sudah bukan tentang hilangnya kembalian uang belanjaan lagi. Di samping itu, Risky pun teringat bahwa Mama pernah meminjam sebagian jatah uang bulanannya dan belum dikembalikan; saat itu, ada orang datang ke rumah menagih pembayaran oven tapi Mama kekurangan uang tunai. Risky lantas geram karena merasa diperlakukan secara tidak adil.

Pertengkaran berlarut sampai Adek masuk, baru kembali dari warung membeli Chiki Boom dengan uang yang ditemukannya di ujung tempat tidur kamar Mama dan Papa. Melihat ibu dan kakaknya saling bentak, Adek kaget lantas menyumbang kericuhan dengan menangis keras-keras. Air mata yang masuk mulutnya menambah gurih bola-bola Chiki yang diemutnya.

Tangisan Adek membuyarkan konsentrasi Risky sehingga tidak terpikir lagi olehnya kata-kata sengit untuk melawan Mama. Ia meninggalkan arena dan selanjutnya sampai berhari-hari terlalu marah untuk duduk di meja belajar, sehingga ia menendang-nendang dan menubrukkan badan ke dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar orang tuanya; setelah badannya sudah sakit-sakit, bantalnya yang ia pukul-pukulkan sampai isian kapuknya amburadul, dan selanjutnya guling yang menjadi korban, yang ketika sudah hancur juga, ganti kasurnya melayang, sehingga ia tidur di ranjang kayunya hanya beralaskan tripleks, atau di karpet bertemankan barang-barang koleksinya.

Waktu yang habis untuk marah-marah itu kemudian disadarinya telah terbuang percuma, padahal lumayan bila digunakan untuk menambah hafalan, apalagi tahun telah berganti, dan UMPTN tinggal beberapa bulan lagi, semakin dekat saja. Frustrasinya menjadi-jadi, dan setelah marahnya reda, serta-merta rasa ketagihan itu melandanya kembali, menerbitkan andai-andainya yang sampai mewujud dalam bunga tidur di mana ia menjadi pohon angker di tengah kuburan yang rutin disuguhi kopi dan rokok oleh para pencari berkat, sehingga ia tidak perlu beranjak dari tempatnya sama sekali, tidak perlu keluar kamar, keluar rumah, keluar uang sebagaimana ia sewaktu dalam rupa sesosok anak manusia bernama Risky; orang-orang menatap dia penuh harap alih-alih hina.

Sementara itu, sewaktu ke warung, akhirnya Mama diberi tahu bahwa Adek suka datang jajan sendiri. Memang Adek membawa uang. Kadang uangnya lebih dan Adek sudah keburu mengacir saat dipanggil-panggil karena kembaliannya ketinggalan. Kali lain justru uangnya kurang, sehingga Ibu Warung mesti mengingat-ingat kelebihan yang kemarin dan menghitung-hitung. Memang catatan Ibu Warung acak-acakan. Biar begitu, toh selama ini pemasukannya cukup-cukup saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung sedikit. Tapi lama-lama Ibu Warung pusing menimbang-nimbang apakah kelakuan Adek menguntungkan atau justru merugikan dia, sehingga ia pun menyampaikannya kepada Mama untuk menyudahi ketidakjelasan ini.

Mama tercengang. Alih-alih menyadari bahwa ia telah salah menuduh Risky, yang timbul malah gagasan bahwa sudah waktunya Adek diajari perhitungan sederhana berikut penerapannya pada harga-harga warung, melanjutkan pengenalan angka dan penjumlahan benda-benda di sekitar rumah yang selama ini sudah berlangsung pelan-pelan. Maka, dari balik pintu kamarnya, Risky mendengar Mama mulai memberikan jatah uang jajan buat Adek. "Ini Mama kasih 150. Tapi yang boleh dijajanin 100 aja, ya. Yang 50 buat ditabung. Nah, kalau harga Chiki berapa?" Mama lalu menunggu Adek yang langsung mengacir membelanjakan jatahnya saat itu juga, dan setelah Adek kembali, memastikan bahwa anak itu sudah melakukan hal yang benar.

Mama pun mulai suka menyuruh Adek membelikan barang remeh-temeh yang kebetulan habis, sekadar gula, garam, kecap, dan micin, di warung terdekat, dan Adek mendapatkan sedikit tip yang harus ditabung dahulu sampai jumlahnya mencukupi untuk dijajankan. Walaupun kenyataannya, begitu sampai warung, sering kali Adek melupakan barang titipan Mama dan malah memilih jajanan kesukaannya sendiri--tanpa memperhitungkannya dengan besaran uang yang ia bawa. Namun Mama tidak berputus asa mengulang-ulang penjelasan kepada Adek, disertai omelan sekadarnya. Risky yang menguping dari balik pintu kamar terinspirasi untuk turut mengajari Adek.

Selagi Mama sibuk sendiri dengan pekerjaan rumah, Risky membuka pintu kamarnya dan menyuruh Adek masuk.

"Adek mau jajan?"

Adek sontak mengangguk-anggukkan kepala seperti mainan di atas dashboard mobil. Risky mengulurkan selembar uang bergambar Sultan Hamengku Buwono IX yang di baliknya ada Candi Borobudur kepada Adek. "Kakak titip Marlboro, yah," berikut jumlahnya berapa kotak yang sekalian banyak yang Risky perkirakan Adek masih kuat menentengnya. Risky menerangkan harga satu kotak rokok merek tersebut, yang kalau beli sekian kotak, harganya jadi sekian, dan ditambah dengan jajanan yang Adek mau, sehingga kembaliannya jadi sekian. Risky menyuruh Adek menghafal dan mengucapkannya berulang-ulang. Lalu Risky memasukkan lipatan uang tersebut dalam-dalam ke saku dada baju monyet yang dikenakan Adek.

"Kakak titip beli apa?" Sekali lagi, Risky ingin memastikan. Ia menahan pundak Adek ketika sudah berbalik hendak maju jalan.

"Bolo."

"Marl-bo-ro."

"Maa-bo-lo?"

"Marlboro!"

"Mabolo?"

Cukuplah. Risky melepas anak itu.

Adek berjalan ke warung yang jaraknya hanya melewati empat rumah dan dua belokan itu. Hup! Hup! Ia menaiki undakan dengan langkah-langkah besar penuh semangat, lalu berteriak keras-keras, "Beliii ...!" Ibu Warung beranjak dari depan televisi lalu menyeret langkah ke ruang depan yang difungsikan sebagai tempat berjual beli itu. Di balik konter, lagi-lagi ia mendapati bocah itu. "Beli apa, Dek?" tanyanya akrab.

"Beli bolo." Ketika Risky yang titip, entah kenapa Adek langsung ingat berikut jumlah yang dipesankan.

"Bolo?" tapi Ibu Warung jadi bingung. "Chiki?" ia menanyakan jajanan yang biasa dibeli Adek.

Anak itu menggeleng. "Bolo. Kata Kakak, Bolo."

Ibu Warung termangu, lantas terlintas sesuatu. Ia pun membungkuk, menggeser kaca etalase, dan mengeluarkan sebungkus makanan ringan dari rak paling atas. Kemasannya sebagian berwarna hijau, sebagian lagi bening menampakkan logo kelinci putih. Di dalamnya ada bola-bola kecil biskuit putih kecokelatan. Ia mengulurkannya kepada Adek, "Potato Boro, ya?" yang serta-merta mengingatkan anak itu bahwa ia kerap dibelikan makanan tersebut setiap mereka sekeluarga berbelanja mingguan ke supermarket di Bandung Indah Plaza. Rasanya enak, renyah dan manis sekali! Adek suka! Kakak juga waktu itu ikut makan. Kakak juga suka. Pasti ini!

Sebungkus Potato Boro lebih berat daripada sekotak Marlboro, dan dalam jumlah yang diminta Risky, Adek cukup kepayahan membawanya. Setidaknya begitulah yang dilihat Ibu Warung, yang terheran-heran oleh permintaan yang tidak biasanya itu. Ia berteriak memberi tahu Adek supaya plastik isi Potato Boro itu jangan diseret, apalagi jalanan berkerikil. Adek pun membopong plastik dengan kedua tangannya. Tapi di tengah jalan ia berhenti. Ia meletakkan plastik di jalan, berjongkok, dan membuka satu bungkus Potato Boro yang menggoda itu. Adek tak tahan. Sesaat ia menikmati beberapa genggam butiran itu melumer ke lidahnya. Tenaganya lalu pulih untuk melanjutkan perjalanan sampai rumah.

Adek menjatuhkan plastik gemuk itu di depan Risky, yang sontak terbelalak. Risky mengeluarkan semua isi plastik itu namun tidak menemukan satu pun pesanannya.

"Mana Marlboro-nya?!"

"Itu Bolo."

"Ini Potato Boro! Bukan Marlboro! AAARGH!"

Adek menatap polos sembari mulutnya terus bergerak-gerak mengunyah Potato Boro.

Jumlah uang kembalian tentu saja tidak sesuai dengan yang sudah ditentukan.

Untuk sementara waktu, Risky lanjut belajar sambil sedikit-sedikit meraup segenggam Potato Boro, dan melontarkannya ke mulut bak makan kacang goreng saja. Giginya mulai ngilu dan setelah beberapa lama, tiap beberapa menit sekali, perhatiannya teralih pada rasa yang hilang di mulutnya. Ia kembali berpikiran untuk menitip beli rokok pada Adek. Ia memikirkan rokok merek lainnya. Kalau ia titip Djarum, jangan-jangan Adek malah membelikannya jarum betulan, dan kalau Bentoel, bisa-bisa jadi jarum pentul. Hingga muncul ilham untuk memberi Adek bungkus rokok yang dimaksudnya. Risky menyuruh Adek menunjukkan benda itu kepada Ibu Warung dan mengatakan, "Beli yang ini!"

Adek menurutinya dan lalu menyerahkan bungkus rokok yang sudah diisi lipatan uang itu kepada Ibu Warung, yang sontak terbelalak.

Misi berjalan sukses. Risky mengusap-usap kepala adiknya dan memberikan tip yang cukup besar kepada anak itu. Sayang, pada kesempatan berikutnya, Mama memergoki Adek baru dari warung memegang sekotak rokok baru. Risky pun habislah ditegur.

"Kamu ini konyol sekali, ya! Masak anak kecil disuruh beli rokok?! Enggak mikir, apa?! Kayak enggak punya kaki aja. Beli sendiri!"

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain