Selasa, 06 Juli 2021

13. GANGGUAN-GANGGUAN

"Adeeek, kalau makan yang kon-sen-tra-si!!!"

Tapi Adek menggeleng-geleng dan terus saja berlarian masuk ke satu ruangan dan keluar lagi menuju ruangan lain, sering kali ke kamar Risky, di mana yang bersangkutan sendiri tengah berusaha keras agar dapat berkonsentrasi.

"Kakak! Kakak! Gambarin lagi Power Renjer kayak yang waktu itu," kata Adek ketika melihat Risky sedang menggambar pesawat mendekati menara di atas kertas. Sebenarnya Risky sedang berusaha memahami Efek Doppler yang keluar di UMPTN tahun lalu. Tapi sepertinya Adek mengira ia sedang membuat gambar aksi. "Itu yang di pesawat siapa?"

"Enggak ada orangnya."

"Ada Power Renjernya?"

"Enggak ada."

"Kenapa enggak ada orangnya?"

"Enggak ada."

"Ke mana orangnya?"

"Sibuk."

"Sibuk apa?"

"Diem!"

"Sibuk diem?"

"Kamu yang diem!"

"Adek, sini, ayok, belajar makan sendiri bareng Mama, yuk," Mama memasuki kamar. Beberapa saat selanjutnya dilalui dengan Mama membujuk Adek yang selalu membantah di balik punggung Risky yang serta-merta terkacaukan konsentrasinya.

"Kakak lagi sibuk belajar--"

"Enggak mau!"

"Jangan ganggu--"

"Aku makannya di sini ajaaa!"

"Enggak boleh!" Risky berbalik. Kemarin Adek makan di kamarnya, sampai mencecerkan remah-remah makanan sehingga terinjak-injak oleh Risky dan merekatkan halaman-halaman majalah yang baru dia beli.

"Ya udah, enggak apa-apa deh, biar di sini aja. Daripada sulit makan!" putus Mama sembari menyerahkan piring kepada Adek. Tidak ada yang memedulikan erangan Risky.

Begitupun ketika selanjutnya Risky menemukan sampul kaset hiphop kesayangannya robek. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Adek?! Risky membentak anak itu, yang buru-buru dihampiri Mama, yang segera saja membalas tuduhannya. "Makanya kamu rapiin dong kamarnya! Jangan geletakin barang sembarangan aja. Adek kan enggak tahu!" sergah Mama sambil menyambut Adek yang mendekap pahanya.

"Jangan ke sini!"

"Biarin aja dong. Kamu kan udah gede, berbagi sama Adek!"

"AAARRRGGGHHH!!!"

Waktu belajar paling tenteram memang sepanjang malam, selagi yang lain-lain tidur. Tapi adakalanya Adek ingin tidur di kamar Risky, memintanya membacakan komik sebagai pengantar tidur, atau asyik sendiri main sambil berceloteh menirukan efek suara, atau kesatria melawan penjahat, di balik punggung Risky yang duduk di meja belajar sembari memijat-mijat kepala. Pastinya Mama turun tangan mengajak Adek agar kembali ke kamar sebelah, untuk tidur saat itu juga. Tapi Adek berkilah, "Kakak juga enggak tidur!"

"Kakak mau belajar ...."

"Aku mau nemenin Kakak!"

"Enggak usah ditemenin!" bentak Risky.

"Aku mau nemenin!"

"Kakak tidur sekarang aja deh!" kata Mama.

Padahal Risky sudah penuh niat dan semangat untuk menghajar malam itu.

"Pura-pura aja!" lanjut Mama pada Risky seakan-akan Adek tidak memerhatikan. "Lagian kamu apa-apaan sih begadang semalaman, tidur seharian, kayak kalong aja. Kebiasaan enggak bener itu!"

Ingin Risky menendang adiknya, tapi itu hanya akan memperpanjang urusan. Risky menurut. Ia merebahkan diri dan memejamkan mata--sementara Mama mematikan lampu dan menutup pintu kamarnya sembari menggandeng Adek keluar. Risky pun tertidur semalaman dan terbangun penuh penyesalan pagi-pagi oleh gelegar senam disko, sejak Mama menetapkan bahwa program perampingan tubuh sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ruang keluarga tempat TV dan alat pemutar video berada tepat di muka kamar Risky. Kalau sudah begitu, percuma saja mencoba tidur terus. Risky keluar kamar hendak membuang muatan dan membasuh muka di kamar mandi, sembari tangannya menutupi sisi wajah untuk menghalangi pemandangan Mama yang terbungkus dalam busana ketat berwarna-warni menyolok mata sedang di sampingnya Adek berjingkrak-jingkrak mengikuti gerakannya.

Kalau terjaga sepanjang pagi sampai malam, gangguannya lebih-lebih lagi. Mama memang mendukung Risky belajar, dengan mengantarkan nyamikan serta menjauhkan Adek, tapi sering kali cuma berlagak. Berkali-kali Mama mampir sekadar untuk menegur,

"Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana sama Adek," yang maksudnya adalah mengawasi Adek makan sementara Mama mengerjakan yang lain, atau,

"Mau jajan, enggak? Sekalian titip tahu," yang maksudnya adalah berbelanja ke warung yang jauh sebab warung terdekat tidak menyediakan bahan masakan, atau,

"Biar segar, cuci piring dulu gih," yang maksudnya tentu sudah jelas, atau,

"Tidur melulu! Katanya mau belajar!?" padahal Risky baru saja merebahkan diri sembari terus memikirkan maksud dari "gradien garis singgung grafik fungsi y=f(x) adalah y'=f'(x) sama dengan dua kali absis P(x,y)".

Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak kekerapan Mama--dan Adek, pastinya--masuk ke kamarnya daripada jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.

Risky bisa saja mengunci pintu kamar, sebagai tanda bahwa dia sedang tidak bisa diganggu. Kalau belum cukup, sekalian saja ia setel volume stereonya kencang-kencang untuk meredam gedoran Mama atau teriakan Adek. Tapi suatu kali tetangga sebelah datang dan meminta agar suara stereo Risky dipelankan, karena di rumahnya ada yang sakit, atau apalah. Ditambah lagi, pada suatu waktu, Risky mengamuk menonjok-nonjok pintu sampai bolong sehingga siapa saja kini bisa mengintip dan memanggil dia dengan suara yang lebih jelas daripada sebelumnya. Adek, terutama, yang menjadikan lubang pintu itu permainan menarik. Ia senang menjulurkan anggota badannya lewat lubang, bahkan kemudian lengannya entah bagaimana dapat memutar kunci pintu. Ketika kunci pintunya disembunyikan, ia tetap saja iseng.

"Kakak, Kakak lagi apa?"

"Kakak lagi belajar, Dek!" jawab Mama dari jauh.

"Kakak lagi belajar apa?"

"Kakak, itu di tipi ada yang rame lo!" kata Adek lagi.

"Kakak, kok diem aja? Kakak lagi bobok sambil duduk, ya?"

"Kakak, Kakak lagi bobok?"

Risky coba menutup lubang itu dengan kertas, karton, lakban, dan segala macamnya, tapi selalu berhasil dilubangi lagi oleh Adek, sampai Risky menemukan potongan tripleks di gudang dan memakukannya pada pintu.

Tapi, kemudian, "IKIII! Apa-apaan sih dikunci segala?!" dengan suara nyaring yang tak mungkin lagi disamarkan oleh kencangnya volume stereo.

Tampaknya Risky kemudian coba berdamai dengan keadaan, dengan membiarkan pintu kamarnya tidak terkunci bahkan terbuka lebar-lebar sekalian. Padahal diam-diam ia menyiapkan penghalang baru, dengan mengasah sensitivitas artistiknya dalam menggambar ... cewek bugil. Pengalaman telah mengajarkan Risky bahwa itu cara ampuh untuk menjauhkan diri dari wanita. Memang benar.

Sebelumnya Mama masih menoleransi poster-poster cewek berbaju renang. Tapi kali ini, "APA-APAAN SIH KAMUUU???!" Mama menunjuk-nunjuk gambar di atas tempat tidur, menjambretnya, menggumalkannya, dan membawanya keluar mungkin untuk dibakar. Risky cuma menoleh sedikit dengan malas. Tidak apa-apa. Ia masih bisa bikin lagi. Ia akan terus bikin.

Sembari menggambar yang baru, dan baru lagi, Risky mempertimbangkan apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni saja daripada teknik. Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kedengarannya keren.

Tapi setelah mengamat-amati lagi hasil gambarnya, ia merasa tidak cukup nyeniman. Tarikan garisnya jauh dari lembut. Ia memang dapat menggambar genitalia, robot, serta pahlawan super pesanan Adek secara mendetail, tapi lebih daripada itu hanyalah lukisan manusia gua yang Adek pun bisa membuatnya.

Setelah Mama mengenyahkan satu gambar, gambar-gambar lain pun segera terpampang di dinding kamar Risky. Memang Mama jadi risih masuk ke kamarnya. Hingga, Risky tidak menduga, Papa lalu menggantikan.

Pertama-tama, Papa memerhatikan lubang di pintu yang kini ditutup oleh tripleks itu, kemudian seantero kamar Risky: ranjang kayu yang beralaskan pakaian-pakaian kotor, onggokan kasur di sudut sebelahnya dengan isian kapuk yang amburadul berikut bantal dan gulingnya, berbukit-bukit komik dan bacaan ringan lain, serta berbagai kaset gim dan musik, sebagian ambruk berserakan begitu saja di karpet, lantai, kolong tempat tidur, belum lagi mainan, renyukan kertas coretan, puntung rokok, gumpalan debu, bungkus makanan ringan, dan aneka sampah lain, sedang meja sesak oleh gunungan buku pelajaran, mug-mug bekas kopi, asbak buatan sendiri dari kertas ....

Papa membuka jalan dengan mengangkat dan menepikan barang-barang, mendekati gambar-gambar di dinding yang hanya bermodalkan kertas kuarto dan pensil itu, hingga Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambarnya, selayaknya guru Biologi sedang mengoreksi lembar jawaban ulangan.

Namun Papa hanya mengatakan soal Adek yang suka masuk ke kamarnya. Memang saat itu Adek sedang berguling-gulingan di hamparan pakaian kotor, sambil menerbangkan dan menabrakkan satu robot-robotan Risky ke perbukitan komik. Mendengar dirinya disinggung-singgung, Adek bangkit dan ikut mengamat-amati gambar Risky dengan raut bertanya-tanya, sampai tidak menyadari Papa keluar kamar.

"Kakak, itu gambar orang?" ganti Adek yang mengomentari.

"Iya," jawab Risky malas. Ia sudah kembali beralih pada buku pelajaran.

"Orangnya enggak pakai baju?"

"Enggak."

"Enggak dingin?"

"Enggak."

"Enggak masuk angin?"

"Enggak."

Terpikir untuk menggiring Adek keluar kamar, namun saat Risky berbalik, anak itu sudah tidak ada. Risky kembali menghadap meja belajar.

Tidak lama kemudian, Risky membaui aroma yang dia akrabi, biasanya menyebar setelah Adek mandi. Ia mendengus-dengus sembari menoleh mencari asal aroma itu, dan mendapati Adek menurunkan kaki dari kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangannya.

Risky beranjak dari kursi, menghampiri Adek dan memerhatikan yang baru saja dilakukan bocah itu. Ia tercengang, lalu mencabut salah satu gambar buatannya yang telah dibanjur minyak telon itu, menggumalkannya, lalu menimpukkannya ke kepala Adek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain