Selasa, 20 Juli 2021

14. RENOVASI RUMAH, RENOVASI MENTAL

Adek semestinya bukan tidak ada kegunaan sama sekali. Ketika Risky merasa badannya pegal-pegal, ia bertelungkup di karpet atau ranjang lalu meminta Adek menginjak-nginjak sekujur tubuhnya. Dengan senang hati Adek memenuhi permintaan Risky, tapi kemudian malah diteriaki, "JALAN AJA! JANGAN LONCAT-LONCAT!!!"

Kapok jadi trampolin Adek, Risky membalas dengan menjadikan anak itu jamrah. Ketika Adek lagi asyik-asyiknya main sendiri sambil berceloteh, Risky melemparinya dengan renyukan-renyukan kertas bekas coretannya. Adek yang sejak sekecil itu sudah humoris mengira Risky hanya sedang mengajaknya bermain. Ketika Risky sedang lengah, biasanya justru ketika ia lagi duduk di meja belajar dan penuh konsentrasi pada pelajaran, Adek sembunyi-sembunyi balas melemparkan renyukan kertas atau meneriakinya sekadar mau bikin kaget.

Seiring dengan semakin dekatnya UMPTN, semakin mudah Risky meledak oleh hal kecil. Bahkan ketika Adek lagi anteng-antengnya duduk menonton televisi pun tahu-tahu saja dia bentak tanpa sebab.

Hingga terjadi peristiwa yang menurut Mama sudah terlalu.

Saat itu Adek seperti biasa sedang main perang-perangan dengan aneka barang yang bertebaran di kamar Risky. Kaset-kaset dan buku-buku disusun jadi benteng, kemudian dirobohkan oleh serangan pesawat-pesawat, dan keluarlah musuh-musuh, berhadapan dengan pahlawan-pahlawan. Karena Risky mengoleksi figur dan robot, pemainnya pun banyak seperti dalam sandiwara kolosal. Di antaranya ada satu robot yang sebenarnya sudah Risky amankan di atas lemari, tapi entah bagaimana jatuh, mungkin karena tertubruk, dan kemudian dipungut Adek. Robot itu robot Gundam rakitan pertama Risky, pemberian Shigeo. Saat itu Risky sedang main ke rumah Shigeo, di kamarnya. Ia melihat potongan-potongan robot itu terserak dan segera saja ia penasaran mencoba-coba menyusunnya. Shigeo memerhatikan Risky, lalu memberi tahu cara merakitnya dengan lem khusus. Shigeo bilang, robot itu hadiah Natal untuk dia, tapi sebenarnya ia tidak suka. Kalau bisa merakit robot itu sampai utuh, Risky boleh memilikinya. Memang kemudian Risky berhasil. Shigeo yang mengamati prosesnya mengatakan bahwa Risky berbakat. Sejak itu, Risky ingin merakit lebih banyak robot. Bahkan setelah pulang ke Indonesia, Risky doyan mampir ke toko mainan untuk mencarinya. Tapi, walaupun sudah memiliki koleksi, yang pertama itu yang teristimewa, menjadi tanda mata atas segala kenangan bersama Shigeo.

Mungkin karena Adek terlalu kuat menghantamkannya ke mainan lain, bagian-bagian robot itu terlepas. Adek memberitahukannya keras-keras--secara tidak sengaja--hingga terdengar Risky, "AAAH, TIDAAAK, KEPALAKU COPOOOT ...!" Segera saja Risky menoleh dari meja belajarnya. Barangnya mana lagi yang dirusak Adek?! Rupanya korban kali ini robotnya yang paling disayang! Tanpa ampun lagi, Risky mengangkat tangan dan Adek pun melayang ke tembok. Mendengar kegaduhan, Mama serta-merta keluar dari dapur dan mendapati Adek telah tersungkur di lantai seberang pintu kamar Risky sambil menangis kencang-kencang tentu saja. Mama mengangkat dan memeluk Adek, membelalak pada Risky, "Gila kamu, ya! Kalau patah gimana ini!?" Namun Risky tak mau tahu. Ia membanting pintu, memblokade kecaman Mama, dan untuk beberapa lama marah-marah sendiri, meredam tangisan Adek dan kerisauan Mama.

Suasana sempat hening hingga beberapa saat setelah Papa pulang. Risky mendengar Mama mengadukan perbuatannya kepada Papa. Risky yang tadinya sudah agak tenang pun mulai resah dan gugup. Baru seketika itu ia terpikir pada Adek, mengingat kekuatan lemparannya tadi, kerapuhan tubuh anak itu, serta kesolidan tembok, memikirkan rumus Fisika yang masuk, dan mencoret-coret kertas untuk menaksir seberapa parah kira-kira cedera yang dialami si bocah, dikaitkan dengan materi Biologi dengan regenerasi sel untuk memperkirakan kecepatan pemulihannya. Aaah, tidaaak, soal IPA Terpadu macam apakah iniii?! Persoalan ini malah menimpakan beban baru pada pundaknya, yang apabila memiliki massa sekian, jatuh dalam kecepatan sekian, dengan gaya gravitasi sekian .... Pintu diketok dan seketika itu juga mengingatkan Risky pada materi tentang gelombang suara. Papa membuka pintu yang rupanya tidak dikunci, dan sekali lagi memindai kamar Risky.

Lalu Papa duduk di tepi ranjang.

Papa menanyakan kemajuan belajar Risky. Anak itu menghindari tatapan Papa, dan hanya menggumam tak jelas.

Lalu Papa menanyakan apakah Risky mau pindah kamar.

Risky berpikir. Di rumah itu hanya ada 3 kamar tidur: 1 kamar paling besar untuk Papa dan Mama, dan Adek; 1 kamar berukuran standar di sampingnya yang ditempati Risky, dan 1 kamar lagi yang lebih kecil di belakang untuk pembantu. Risky tidak menyenangi kamar di belakang itu karena kurang ventilasi dan pencahayaan alami.

Namun, Papa melanjutkan dengan menyampaikan rencananya untuk merenovasi rumah. Memang rumah itu tidak bertingkat. Lantai dua cuma tempat jemuran dan selebihnya atap. Papa hendak menambah ruangan di lantai atas. "Kalau mau, kamu pindah ke atas. Biar kamar ini nanti buat Adek."

Risky manggut-manggut. Ide bagus. "Mau dibangun gimana, Pa?"

"Itu makanya. Menurut kamu gimana?"

Menjelang siang pada akhir pekan, ketika Papa libur bekerja, mereka naik ke lantai dua untuk mengamat-amati bentang atap.

"Coba kamu bisa enggak bikin rancangannya?" Papa menawarkan.

Risky tergugah. Setelah turun kembali ke kamarnya, ia menarik selembar kertas baru lalu mencoret-coret denah rumah, lantai satu sebagaimana adanya dan lantai dua sebagaimana yang dia inginkan. Ia menghendaki kamar baru yang lebih besar daripada kamarnya yang sekarang, untuk menampung segala barang koleksinya yang ia bayangkan akan terus bertambah. Malah Papa mengatakan mau membuatkan lemari-lemari--dengan menyuruh orang lain, tentu--untuk itu. Risky meletakkan kamar itu sejauh mungkin dari tangga, tepatnya di bagian depan rumah dengan jendela yang menghadap ke jalan. Kemudian ia menempatkan ruang terbuka semacam beranda luas di sebelah luar kamarnya, sehingga dari posisi tersebut ia juga bisa mengamati jalan di depan rumah berikut bentang atap tetangga tanpa kentara. Kemudian barulah ia menambahkan ruangan lain dan seterusnya.

Risky memperlihatkan rancangannya itu kepada Papa, yang disetujui tanpa banyak revisi. Selanjutnya Papa mencari tukang dan mengajak Risky memilih bahan bangunan.

Pekerjaan renovasi dimulai. Mama bertambah sibuk memasak untuk para tukang. Kebisingan yang bertalu-talu alih-alih mengganggu Risky justru menepis segala pikiran dan perasaan negatif yang sempat meruntuhkan kepercayaan dirinya. Bayangan akan memperoleh kamar yang nyaman di lantai dua, terpencil dari keluarganya, menjaga semangat belajarnya berkelanjutan. Selama Piala Dunia berlangsung pun, Risky tidak terusik. Ia dapat mengatur diri antara belajar dan menonton pertandingan.

Terlebih, Adek sudah tidak seenaknya menyelonong ke dalam kamar Risky. Anak itu hanya berani sampai ambang pintu, lalu mengintip takut-takut ke dalam, memandangi punggung Risky yang sedang berkonsetrasi pada pelajaran. Risky tidak pernah menyadarinya, sampai Adek pergi dengan sendirinya.

Hingga suatu kali Risky tidak sengaja menoleh ke belakang untuk meregangkan badan, dan mendapati kepala adiknya menyembul dari balik kosen pintu. Adek terkejut karena tertangkap basah, lantas cepat-cepat menarik diri. Tapi sebentar kemudian, ia penasaran dan mengintip lagi. Risky masih memandang ke arahnya. Agak nyut-nyutan Risky sebetulnya saat mendapati tatapan takut-takut anak itu. Ia menyadari bahwa perbuatannya kemarin itu hanya menambah jumlah orang yang menghindari dia, apa pun alasannya. Sekarang, adiknya juga, yang padahal masih sekecil itu, belum lagi masuk TK, sudah menanggung kenangan buruk tentang dia, yang mungkin akan menumbuhkan ketakutan seumur hidup padanya.

Tapi, Risky tahu anak itu masih memberi dia kesempatan. Ia melambaikan tangan, isyarat agar adiknya masuk. Anak itu malah mundur, kembali menghilang di balik kosen, dan sesaat Risky teriris. Ia menanti adiknya menyembulkan kepala lagi, namun setelah beberapa lama, akhirnya ia membalikkan badan, hendak melanjutkan pelajaran. Walau sebenarnya ia malah termenung, sembari mencoret-coret kertas yang bukan lagi dengan rumus melainkan bidang-bidang yang lama-kelamaan membentuk robot. Saat ia hendak memutar kertas, sikut sebelah kirinya menyenggol barang yang empuk. Risky tertegun melihat adiknya yang sontak mundur menjaga jarak namun tidak seberapa jauh. Sejak kapan?

"Kayak ninja, enggak ketahuan," Risky tersenyum menggoda adiknya.

Anak itu berangsur-angsur menyengir.

"Eh, mau ngebakso enggak?" Risky menawarkan.

"Mau ..." jawab adiknya malu-malu.

Risky bangkit dari tempat duduk, mengendus-endus ketiaknya untuk menimbang apakah ia cuma perlu menambahkan beberapa lapis deodoran, berganti pakaian, atau mandi sekalian, lalu mencari-cari celana jin yang menyimpan dompetnya, dan merengkuh kepala Adek dengan sebelah tangannya, menggiring anak itu keluar rumah bersama-sama.

.

Akhir Juni kembali tiba. Sebagaimana yang sudah direncanakan semula, Risky tidak lagi mencoba-coba jalur IPC tapi fokus pada IPA. Ia memilih jurusan Teknik Fisika dan ... Fisika. Teknik Fisika, karena ia masih berpikiran bahwa air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan sehingga lagi-lagi sekadar mengikuti jurusan kuliah Papa dahulu. Fisika, karena itu jurusannya dahulu saat SMA, di samping satu-satunya bidang IPA yang ia minati walau ia tak yakin benar sudah menguasai.

Sesaat setelah mengembalikan formulir pada panitia, ia menyesal karena baru teringat bahwa si Dodi ada di Teknik Fisika. Kalau ia sampai benar-benar lolos ke jurusan itu, artinya kebohongannya saat bertemu mereka pada waktu jalan-jalan ke ITB dulu bisa-bisa terbongkar. Lebih buruk lagi, ia akan menjadi adik kelas mereka .... Ah, sudahlah! Berharap saja mereka tidak akan sepeduli itu padanya nanti! Berharap saja mereka tidak akan pernah ketemu!

Sekarang Risky duduk di gelanggang olahraga, memangku papan alas. Beberapa pensil yang sudah diserut runcing-runcing, beserta dua penghapus, bertengger siaga di sampingnya. Seratus lima puluh menit ke depan akan menentukan, dan paket berisi 75 soal itu pun sampai kepadanya.

Risky membuka selembar demi selembar paket soal itu, memindai gambar balok, bandul, katrol, grafik-grafik, matahari, mobil, dan ... apa ini? Zat-zat kimia ...? Segera saja dahinya berkerut-kerut, ludahnya menggumpal sehingga sulit ditelan, bergelenyar badai dalam perutnya, dan gletser mengaliri tengkuknya. Badai itu bergolak, menampar-nampar dinding rongga lambungnya, sementara matanya bergerak liar melewatkan soal-soal sulit untuk menghajar soal-soal mudah terlebih dahulu, untuk secepat-cepatnya mengatasi keterbatasan waktu, dan badai pun berangsur-angsur surut, surut, namun tahu-tahu saja terbit pasang hebat, yang naik tinggi-tinggi hingga tertumpah ke rongga mulutnya, dan seketika saja Risky menutup bagian bawah mukanya rapat-rapat dengan kedua belah tangan, susah payah meneguk lagi sisa-sisa sarapan yang terdampar di lidahnya.

Beberapa lama, pensilnya tidak tersentuh hingga Risky memastikan badainya mereda--mungkin tidak bisa sepenuhnya reda, tapi menit terus berjalan, Risky memandang arlojinya gelisah, membagi sisa waktu dengan sisa soal yang belum terisi jawabannya, menaksir kecepatan yang diperlukan, dan kenapa ia membuang setiap detik yang berharga untuk mengkalkulasi itu alih-alih langsung mengerjakan soal itu sendiri!?!!

Semakin parah saat pikirannya mengingatkan berkali-kali,"Jangan buang satu tahun lagi! Lu harus lulus tahun ini juga! Ingat semua orang yang sudah menghinakan lu!" dan berkelebatlah bayang-bayang Erik, Dodi, Zaki, Cipta, Koko, Teddy si bangsat dan ibunya, dan kawan-kawannya yang sama sialan, dan semua anak Jepang yang telah mengatainya lamban, malas, dan bodoh, dan Shigeo yang mungkin sekarang sudah lulus dari Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, atau Universitas Waseda, atau manalah, dan Si Kepiting yang bila masih hidup entahkah masih dapat mengunggulkan dirinya, begitu pula satu per satu anak tetangga yang pernah tertangkap atau kemungkinan telah mencuri bukunya, kelerengnya, dan sebagai-bagainya, dan Saladin, dan Saladin yang pintar yang tahun depan lulus SMA dan pastilah bisa langsung tembus UMPTN tanpa harus mengulang seperti dia!!! Setiap pikiran dan bayangan itu sembari lewat memadamkan satu per satu ruang di dalam kepalanya, sehingga ke manapun ia meraba, tak tampak sama sekali jawabannya ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain