Risky mengetuk rumah itu, membangunkan
penghuninya. Seketika pintu rumah itu terbuka, ia tergagu. Sekilas harapan
berwujud cahaya lampu tadi telah membuat pikirannya kelu. Sejenak mereka hanya
bertatapan, hingga penghuni rumah menegurnya. Sesaat benaknya menyuruh untuk
meminta tumpangan menginap dan melanjutkan perjalanan keesokan pagi saja. Tapi
mulutnya malah memuncratkan nama Abah, menerangkan siapa dirinya, dan penghuni
rumah pun mafhum. Nyonya Rumah menjamu Risky dan Adek ala kadarnya sementara
Tuan Rumah mempersiapkan diri untuk mengantar mereka sampai ke rumah Abah.
Tibalah mereka di rumah Abah, yang
disambut dengan tak kalah herannya.
Percakapan apa pun yang terjadi
semalaman itu, Risky berusaha melupakannya. Ia telah menyadari kekhilafannya,
dan tak ingin terus dikorek. Ia hanya ingin beristirahat, secepatnya menemui
pagi, meminta doa restu, dan segera pulang lagi.
Mereka diberi ruangan belakang. Terdapat
sebuah dipan yang cukup lebar untuk ditempati keduanya.
"Enggak ada kasurnya?" tanya
Adek.
Risky mengeluarkan sarung dari ransel,
membentangkannya di atas dipan. Adek merangkak ke atasnya lalu meringkuk. Risky
menggeletak di sampingnya. Sebentar kemudian, keduanya langsung pulas. Padahal
Abah baru menyuruh orang untuk membawakan kasur dan selimut tebal ke ruangan
itu, yang akhirnya hanya diletakkan di kaki dipan. Dini hari saat Risky
terbangun kedinginan dan mendapati Adek berdempet padanya, ia menggelar selimut
tebal menutupi badan mereka berdua.
Risky terbangun oleh cahaya matahari
yang merembes melalui celah-celah dinding anyaman bambu. Keluar dari ruangan
itu, ia disambut oleh Emih yang sedang memasak di perapian. Abah sudah ke
sawah, katanya. Risky mengatakan mau mandi dan ditunjukkan arah ke tempat
melakukannya. Ia membangunkan Adek.
Di kamar mandi, terlebih dahulu ia
melepaskan semua pakaian Adek. "Kak, pipisnya enggak mau keluar,"
keluh Adek sementara Risky meloloskan kausnya sendiri.
"Kelamaan ditahan semalam,"
sekarang Risky tinggal bercelana pendek.
"Bisa! Bisa!" Adek kegirangan
lalu dibungkam guyuran air oleh Risky.
Selagi disabuni, Adek melongok ke dalam
bak yang hitam berlumut itu. "Iii, ada ikannya!"
Risky ikut melongok.
"Itu buat makan jentik
nyamuk."
"Itu apa?!" Adek menunjuk
sebentuk lonjong lagi kenyal berwarna gelap yang ujungnya bersungut di dasar
bak.
"Siput."
"Itu?!"
"Cacing."
Bagus. Mereka belum lagi keluar rumah
dan Adek sudah belajar keanekaragaman hayati dari dalam kamar mandi. Risky
sendiri tak mengingat berbagai detail tersebut dari masa kecilnya.
Setelah Adek mengenakan pakaian bersih,
Risky menyuruhnya menunggu sebentar di luar kamar mandi sementara ia sendiri
membersihkan dirinya cepat-cepat. Keluar dari kamar mandi, ia mendapati Adek
sedang mengulurkan rumput kepada sapi yang kandangnya tak jauh di seberang.
Mereka sarapan dan sekali lagi Risky
menanyakan Abah. Emih menawarkan untuk menyusul Abah ke sawah.
Yah, Risky tidak bisa langsung meminta
doa restu lantas pulang. Memang sudah takdirnya mengajak Adek menikmati
nostalgia masa kecilnya dahulu.
"Sawahnya lebih luas dari yang
deket rumah, kan, Dek?" kata Risky saat mereka meniti pematang. Ia sengaja
menghindari bagian sawah Abah dan mengambil jalur memutar menuju kali di kaki
perbukitan.
"Hu uh!" sahut Adek.
Mereka sampai di tujuan. Tempat main air
yang dahulu begitu mengasyikkan kini bak arena ranjau di matanya, dengan
batu-batu besar dan jeram-jeram yang tampak dalam. Bagaimana ia dahulu dengan
teman-teman masa kecilnya begitu asyik mandi dan berloncatan ke sana kemari
tanpa seorang pun tewas terbentur batu atau terhanyut entah ke mana?
"TAHAN!" serunya begitu Adek
siap mencebur.
Sudah mah membawa kabur Adek, ia tak mau
pulang membawa anak itu dalam keadaan celaka ataupun sesuatunya yang lebih
parah.
"Udah, sini aja, cari
kepiting." Risky menggiring Adek ke sisi yang dangkal, tempat terdapat
banyak lubang di tepian sungai yang kemungkinan sarang kepiting. Ia mencari
semacam ranting untuk menyodok lubang agar kepitingnya keluar. Tapi, ia cuma
meleng sebentar, Adek sudah lompat lagi ke tengah. Anak itu bersikeras ingin
menaiki batu yang sangat besar. Risky mengalah. Ia membantu Adek menaiki batu
itu kemudian ikut duduk di sebelahnya. Sejenak ia menikmati pemandangan dari
atas batu tersebut, Adek sudah menghilang lagi.
"ADEEEK!"
Anak itu sama sekali tidak betah duduk
berlama-lama sekadar untuk mencari kepiting atau menikmati pemandangan, tidak
sedikit pun membiarkan Risky mengendurkan pengawasannya. Mereka bermain-main di
kali itu sampai sinar matahari terasa menyengat.
"Balik yuk ah!"
"Katanya di situ banyak
binatangnya!" Adek menunjuk ke bukit.
"Kapan-kapan lagi aja. Sekarang
udah siang!"
"Kenapa?"
"Panas!"
"Enggak apa-apa!"
"Nanti dicari Abah!
Dimarahin!"
"Hu-uuuh! Kalau sore boleh enggak?
Kan udah enggak panas?"
"Enggak boleh."
"Kenapaaa?! Kalau udah bilang sama
Abah, boleh?!"
"Enggak boleh."
"Iiih, itu mah kata Kakak! Bukan
Abah!"
Sekujur tubuh telah basah kuyup namun
lamat-lamat mengering sementara mereka menyusuri pematang sambil bergandengan
tangan. Kali ini Risky mengambil jalur yang secepat-cepatnya sampai ke rumah
Abah.
Di kejauhan tampak rumah itu beserta
Abah berdiri di muka pintu, seperti yang sedang menunggu kedatangan mereka.
"Udah mainnya?" sambut Abah
begitu mereka tiba. Ia mengusap kepala Adek yang tiba-tiba saja jadi malu-malu.
Segera saja mereka disuruh mandi.
Rumah agak ramai karena ada saudara dan
keponakan yang datang, sudah waktunya pulang sekolah.
Risky kembali harus melalui basa-basi
meresahkan itu. Kepada mereka ia mengatakan bahwa ia baru lulus SMA tahun
kemarin, dan di rumah saja mempersiapkan UMPTN. Apalagi ketika bertemu
saudara yang sekaligus teman sepermainannya dahulu, Risky diceritai kabar lebih
banyak mengenai teman-teman sepermainannya yang lain, yang sudah pada bekerja,
bahkan menikah dan beranak, meski ada pula yang kuliah di kampus-kampus kecil.
Abah menepuk-nepuk punggung Risky dan
mengatakan kepada yang lain dengan kebanggaan, bahwa Risky hendak menyusul
ayahnya ke ITB. Padahal Risky belum mengatakan apa-apa, tapi Abah seperti bisa
membaca pikirannya. Risky tersenyum saja dengan pandangan agak tunduk, sedang
yang lain-lain terpukau menatapnya. Abah lalu bercerita tentang betapa
pintarnya ayah Risky. Saat itu akhir tahun '60-an, PLN belum masuk desa. Tapi
ayah Risky bisa membuat rangkaian listrik sendiri dari bahan-bahan yang
dibelinya di tukang loak. Rumah Abah pun menjadi yang pertama di desa itu yang
terang oleh bohlam. Dengan yakin, Abah mengatakan bahwa Risky sepintar ayahnya
dan mendoakan keberhasilannya di UMPTN nanti, dan sebagainya yang Risky teramat
malu mendengarkannya, yang ditimpali dengan "amin" dari satu-dua orang
saudaranya.
Tanpa diminta terang-terangan, doa restu
sudah diberikan.
Tinggallah Risky termangu. Baik Abah
maupun Papa menaruh kepercayaan besar kepadanya. Ia juga pada awalnya merasa
yakin. Kalau Papa bisa, ia juga.
Ditambah lagi, sore itu, ketika ia duduk
mengobrol berdua saja dengan Abah--tidak jadi pulang segera sebab ditahan untuk
menginap lebih lama--sementara Adek main dengan anak-anak sekitar yang
sebayanya, mengalir cerita tentang zaman Jepang dan revolusi.
Saat itu Abah masih seusia Risky dan bergabung
dengan laskar santri. Tentara Jepang melatih Abah dan kawan-kawannya, betapa
keras dan disiplinnya mereka. Abah terkekeh mengingat bahwa Risky juga pernah
dididik Jepang, papanya juga, tapi zamannya sudah berbeda. Risky
manggut-manggut saja. Pengalaman tak mengenakkan selama bersekolah dan tinggal
di Jepang agaknya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang Abah ungkapkan
kemudian, ketika satu per satu tetangganya dibawa untuk jadi romusa dan tidak
pernah terdengar lagi kabarnya serta berbagai kemelaratan pada masa itu. Abah
sendiri banyak bergerilya di hutan, makan daun-daunan dan umbi-umbian, sampai
tulang belulang tercetak di sekujur tubuhnya, bersama-sama tentara Jepang yang
tersisa setelah Indonesia merdeka melawan para tentara bule.
Kisah Abah yang kental oleh bumbu
heroisme itu membuat Risky berpikir, kakeknya ini sungguh pemberani.
Khayalannya membawa dia ke masa itu, menempatkan diri dalam situasi Abah.
Badannya tentu tidak akan segempal ini, kulitnya juga tidak akan sebegitu
terang. Mungkin ia jadi kurus, keling, dan kucel, tatapannya penuh waspada
mengawasi setiap pergerakan di antara pepohonan, alih-alih hampir juling dengan
kepala pusing akibat banyak-banyak memikirkan materi UMPTN. Situasi Abah pada
waktu itu antara hidup dan mati; peluru bisa menghantamnya dari arah mana saja.
Sementara Risky kini, yah, ia juga bisa mati kalau gagal kuliah, gagal mendapat
pekerjaan, hanya saja prosesnya jauh lebih lamban. Risky coba menghayati
ketegangan Abah dan kawan-kawan selama di hutan; apakah persis dengan
ketegangannya saat membayangkan kegagalan UMPTN?
Papanya orang pintar, dan abahnya orang
berani. Namun Risky merasa tidak pintar, tidak juga berani, mengingat
kesulitan-kesulitannya dalam pelajaran, serta ketakutannya akan masa depan.
Semakin didengarkan, ocehan Abah semakin membuatnya lemas. Namun Abah kian
bergairah. Ia meninggalkan Risky yang sedang menerawang langit petang yang
membentang di hadapannya, masuk ke kamar lalu keluar lagi dengan membawa satu
setel seragam berbau kamper: jas hijau, kemeja kerah putih, celana panjang
hijau, dan topi hijau. Ia menyerahkannya kepada Risky.
"Apa ini, Bah?"
"Itu seragam teman seperjuangan
Abah dulu."
Risky tidak mengerti kenapa Abah
memberikannya. Ia hendak mengembalikan barang itu, tapi Abah menahan.
"Bawa pulang aja."
"Oh, iya, nanti aku pakai waktu
UMPTN," Risky berkelakar. Abah tertawa.
"Yang muda itu yang berjuang. Tapi
sekarang perjuangannya udah beda," kata Abah.
Risky memandang seragam di pangkuannya.
Ia mafhum. Abah mungkin ingin dia memiliki semangat juang. Seragam ini adalah
simbol nyata yang bisa dilihat, dipegang, dicium.
Abah menceritakan tentang teman
seperjuangannya dahulu yang dimaksudnya tadi itu. Saat Abah dan teman-temannya
mulai gentar karena sudah lama kurang makan sehingga kurang tenaga dan lagi
kurang senjata, tentara Jepang yang kini membela laskar rakyat itu justru makin
menggebu-gebu. Hasratnya untuk mempertahankan kemerdekaan negara yang padahal
bukan tanah airnya malah lebih besar daripada para pemuda lokal yang mulai
menciut nyalinya. Ia memberikan contoh akan semangat nasionalisme yang
sebesar-besarnya. Kekecewaannya kepada bangsanya sendiri yang telah bertekuk
lutut kepada sekutu, tak menyurutkan tekadnya untuk menepati janji kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia yang harus dipertahankan sampai titik darah
penghabisan.
Risky takjub. Ada tentara Jepang yang
alih-alih ikut pulang ke negaranya sendiri malah menetap di Indonesia?
"Terus sekarang orangnya
gimana?" tanya Risky.
"Sudah mati, ditembak
Walanda."
"Heh?"
Si orang Jepang hendak menularkan
semangat keberanian kepada yang lain-lainnya, yang hampir pada lari dari hutan.
Saat Belanda mengokang senjata, bersiap menyasar mereka, ia melompat dari
persembunyian dan menerjang peluru yang membabi buta.
Risky terdiam.
"Tuh, kuburannya sebelah
sana," Abah menunjuk jauh-jauh, entah ke bukit yang sebelah mana.
"Besok, yuk."
Namun Risky menolak dengan alasan tidak diberi izin oleh Mama untuk menginap lama-lama. Keesokan paginya, ia dan Adek pun berpamitan kepada sanak kerabat. Ia mencium tangan Abah, meminta doa restu sekali lagi, lalu bersama Adek membonceng motor saudara yang hendak mengantarkan mereka sampai terminal.
Sepanjang perjalanan pulang, benaknya tersita oleh nasib si tentara Jepang. Begitulah kalau nekat, pikirnya. Orang Jepang memang enggak takut mati sih, ingatannya melayang kepada Si Kepiting yang hanya berupa gundukan putih di atas tandu sebelum dimasukkan ke ambulans.