Senin, 06 Desember 2021

23. SURAT DARI SHELLY

Mama sudah tidak lagi menaruh uang di sembarang tempat. Tiap Adek mau jajan, Mama memberi dia jatah uang. Tapi Adek tidak mau mengerti soal jatah. Ia akan merajuk, merengek, menangis, menjejak-jejakkan kaki, membanting diri ke lantai atau ke dinding, namun Mama bergeming.

Adek pun beringsut ke kamar Risky. Kadang ada recehan tercecer di karpet, atau di tempat tidur, atau di meja--di mana saja. Kalau tidak menemukan, Adek berusaha menjangkau celana Risky yang tergantung di balik pintu, sampai pernah gantungannya jatuh dan ia terkubur di balik pakaian-pakaian setengah bau.

Untuk mengusir Adek yang kerap memecah konsentrasinya belajar, biasanya Risky memberi anak itu uang ala kadarnya. Tapi Adek tidak pernah merasa cukup. Berburu uang di kamar Risky jadi keasyikan baru. Ia meneliti ke balik karpet, kolong tempat tidur, membuka laci-laci, membongkar koleksi yang sudah ditata Risky rapi-rapi, sampai lupa bahwa tadinya cuma mau mencari duit.

Risky masih bisa menahan kesabaran, asal adiknya tidak berisik. Kalau adiknya berisik, Risky akan membentaknya. Kalau ia mengunci pintu kamarnya, Adek akan lebih berisik lagi dengan berbagai cara minta dibukakan. Kalau Mama sampai menyusul ke atas, ketiganya bagai ledakan petasan Ramadan yang berentet tak habis-habis.

Sore itu, ketika Risky sedang jalan-jalan sekalian mencari rokok, Adek masuk ke kamarnya, mulai berburu. Adek menarik laci meja belajar Risky. Biasanya ada lipatan duit di antara alat tulis yang terserak. Kali ini Adek menemukan secarik amplop. Ada tulisannya. "T ... O ... TO ... S ... H ..." Adek mengeja. Mama telah mulai mengajari dia membaca. Tapi S, H, dan E, bagaimana membacanya? Adek membawa amplop itu kepada Mama yang sedang bersantai menonton TV.

"Ma, ini apa bacanya?"

Mama menerima amplop itu. "To Shelly." Mama mengernyit. "Ini dari mana, Dek?"

"Dari kamar Kakak."

"Ooo." Mama tersenyum. "Balikin sana."

"Ini suratnya buat siapa, Ma?"

"Buat Teh Shelly. Udah, sana balikin. Nanti Kakak nyari lo."

"Oh ... buat Teh Seli ...." Adek menjauh. Mama tidak menghiraukannya lagi, kembali terserap oleh tayangan di televisi.

Alih-alih kembali ke kamar Risky, Adek malah menaiki sepedanya yang kini sudah beroda empat. Ia mengayuh sampai ujung jalan, tempat rumah Shelly berada.

"TEH SELIII ..." panggilnya di muka rumah itu.

Yang keluar malah ibunya. "Lo, Dek Ian, ada apa? Shelly belum pulang."

"Ada surat dari Kak Iki! Buat Teh Seli ...." Adek menyerahkan amplop itu. Mama Shelly menerimanya dan memandangi barang itu dengan takjub. Adek memutar sepedanya, menganggap tugasnya sebagai tukang pos dadakan telah tuntas. Ia pulang dengan girang karena merasa telah berbuat baik kepada kakaknya. Sampai di rumah, Adek sudah lupa dan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penemuannya itu kepada Risky.

Shelly tiba di rumahnya, selepas jalan-jalan sepulang sekolah bersama gacoannya di kelas. Hatinya berseri-seri karena dari gelagatnya Shandy tampak benar-benar tulus menyukainya. Tinggal menunggu cowok itu putus dari cewek yang satunya.

Mama Shelly kemudian menyerahkan surat itu.

"Dari siapa, Ma?" tanya Shelly sambil membolak-balik amplop. Tidak ada nama pengirimnya.

"Dari Kak Iki, kakaknya Dek Ian itu lo, anaknya Bu Slamet," jawab Mama Shelly selengkap-lengkapnya.

Kak Iki ...?

Sosok yang menyerupai Bigfoot atau Yeti itu?!

Shelly tercengang.

Memang Kak Iki tidak jelek. Wajahnya lucu persis adiknya, ditambah cambang yang berserakan di bagian bawah wajahnya. Tapi, kalau dibandingkan dengan Shandy yang potongannya model cover boy ... kalah lah!

Setelah masuk ke kamarnya, Shelly membaca surat itu. Mulanya ia heran dengan kata "merdeka" yang berulang-ulang. Apa hubungannya dengan bintang Leo? O rupanya Kak Iki mau ikut UMPTN dan masuk ke ITB. Kenapa jadi mendaki gunung? Sampai di "hatiku berdegup kencang saat melihatmu", Shelly ikut berdebar. "Because it's you" membuatnya menggigil, seakan-akan mendamparkannya ke puncak gunung sungguhan. "Bintangmu apa?" Shelly mencampakkan kertas itu.

Beberapa lama Shelly mengabaikan surat itu. Saat harus bersih-bersih kamar, barulah ia memungutnya dan kebingungan apakah dibuang saja ataukah ditaruh di tempat yang jarang ditengoknya. Akhirnya ia memasukkan barang itu ke suatu kotak, bercampur dengan surat-surat lain yang kebanyakan dari para sahabat penanya. Kemudian ia kembali melupakan adanya surat itu.

Hingga, suatu sore, Shelly hendak ke warung. Di teras, ia melihat adik lelakinya beserta teman-teman sepermainan anak itu pada berjongkok di balik dinding pembatas halaman sambil sesekali melongok ke arah jalan. Mereka tampaknya sedang bersembunyi. Shelly keheranan, namun tak mencampuri. Ia melangkahkan kaki ke jalan, berbelok, dan seketika saja ia mundur lagi dan bergabung bersama anak-anak itu. Ia bergeming sampai mendengar ada di antara anak-anak itu yang bersuara, "Si Wowo udah pergi. Aman!"

Anak-anak itu satu per satu lepas ke jalan. Shelly mengikuti. Tapi, tahu-tahu sosok itu muncul lagi menghadap mereka, baru keluar dari rumahnya--rupanya barusan ia sedang mengambil duit yang ketinggalan. Anak-anak itu berlarian kembali masuk teras, meninggalkan Shelly yang terpaku di jalan. Sosok itu juga melihat dia, dan terhenti. Sesaat mereka berpandangan saja dari jauh.

Sosok itu menyeringai. Shelly terperangah, sudah tidak memerhatikan lagi orang di kejauhan itu berjalan mendekat sambil tertunduk rikuh lalu belok di perempatan dan menghilang. Yang dipikirkannya hanya surat itu. Orang itu pasti menunggu-nunggu dia membalas surat itu!

Nantinya, ketika si adik sudah pulang dari bermain, Shelly iseng-iseng menanyakan kejadian tadi, "Tadi sembunyi kenapa sih? Kayak ketemu orang gila aja."

"Teteh enggak tahu, ya? Temen aku kan pernah dilempar sampai tangannya robek! Terus pernah juga dia lempar-lempar batu ke kita!"

Shelly terperanjat. Orang itu memang gila!

Lantas timbul bayangan kalau ia tidak cepat-cepat membalas suratnya, bisa-bisa orang itu datang ke rumah untuk menagih dan ....

Shelly pun mengambil pulpen dan kertas. Sekarang ia sudah resmi pacaran dengan Shandy, tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Ia harus menjelaskannya kepada Kak Iki. Mudah-mudahan orang itu mengerti. Shelly tidak mau memberi dia harapan yang berlarut-larut. Bisa-bisa nanti Shelly diganggu ....

Kak Risky yang baik ... tulisnya.

Lalu ia mencoretnya.

Kak Risky yang terhormat ....

Ia mencoretnya lagi.

Aduh, kalau begini kapan jadinya surat ini?!

Shelly menulis cepat-cepat di selembar kertas yang bagus dan wangi.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat dari Kakak. Shelly merasa tersanjung menerimanya. Shelly doakan moga-moga Kakak bisa mencapai kemerdekaan yang diimpikan. Selamat mengikuti UMPTN, ya, Kak. Semoga Tuhan meridai Kakak masuk ke kampus yang diidamkan.

Aduh, apa lagi, ya? Ini bagian sulitnya:

Dengan ini, Shelly meminta maaf yang sedalam-dalamnya, karena Shelly sudah ada yang memiliki. Moga-moga Kakak mengerti. Karena bagi Shelly, "Because it's him."

Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian Kakak.

TTD

Shelly Ratnasari

NB.

Bintang Shelly Taurus, jadi enggak cocok sama Leo. Pacar Shelly Virgo. Mohon maklum, ya, Kak.

Shelly tidak mau memikirkannya lama-lama, sehingga langsung memasukkan surat itu ke dalam amplop yang sepaket dengan kertasnya.

Saat itu sudah magrib. Jalan sepi. Shelly berusaha melangkah cepat tanpa suara. Sampai di depan rumah Bu Slamet, ia menyelipkan amplop itu ke lubang kotak surat lalu bergegas pergi.

Esoknya ketika mengecek kotak surat, Mama mendapati amplop tersebut. Tulisannya rapi khas anak perempuan. Desainnya pun cukup centil, bergambar pemuda tampan. Mama mengernyit, tergoda untuk mengintipnya. Tapi ia mengurungkan rasa penasaran itu dan menyuruh Adek menyampaikan surat tersebut kepada Risky.

Adek mengendap-endap memasuki kamar Risky. Kakaknya sedang duduk membelakangi pintu, menghadap meja belajar. Adek menggelitiki bagian belakang kuping Risky dengan sudut amplop, membalas keusilan kakaknya yang suka diam-diam menowel kupingnya juga. Risky terkaget, Adek terkikik.

"Tok, tok, tok, ada pak pooos ..." kata Adek sebelum menyerahkan surat tersebut. Risky menerimanya dengan heran. Jarang-jarang ada yang mengirim surat kepadanya, termasuk kartu ucapan Lebaran. Ia membolak-balik amplop yang bertuliskan namanya itu, lalu membukanya.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat Kakak. Shelly ....

SHELLY!

Mata Risky terbelalak menyorot kata demi kata pada surat itu. Napasnya tercekat. Pandangannya berhenti pada seraut wajah tampan yang menebar pesona di pojok kanan halaman.

Bintangnya Taurus ....

Kertas itu terlepas dari tangannya, melayang-layang ke lantai.

Lalu ia menarik laci di depannya, mengobrak-abrik isinya. Memang surat untuk Shelly yang disembunyikannya di pojok terdalam itu sudah tidak ada. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ...

"ADEEEK ...!!!" Risky meraung.

Begitu dilihatnya Adek di lantai bawah, sedang anteng-antengnya duduk menonton televisi di ruang tengah, segera ditempelengnya anak itu keras-keras. Belum cukup, ia menambahkan tendangan sambil memaki-makinya dengan bengis. Seakan-akan segala rasa kesalnya terhadap anak itu yang selama ini ditahan-tahannya tak tertanggungkan lagi. Mama cepat-cepat menahan, meraih pinggang Risky dan menariknya. Kesempatan itu dipergunakan Adek untuk berlari lintang pukang keluar rumah. Mama tersodok oleh siku Risky dan melepaskan pegangannya. Risky pun memelesat ke jalan, menengok ke kanan dan ke kiri namun Adek tak kelihatan. Di persimpangan pun sama saja; keempat penjuru jalan tak ada yang menampakkan anak itu. Risky berteriak meluapkan emosinya. Mama menyusul, menegurnya keras tak malu lagi setelah apa yang terjadi. Namun anak itu balas meneriakinya. Ia kembali ke rumah, masuk ke kamarnya dan membanting segala barang yang aman dibanting sebelum terduduk di kursi belajar dan tersengguk.

Sementara itu, Mama beredar ke jalan-jalan. Ia mencari Adek hingga terpikir untuk mendatangi rumah teman-temannya satu per satu. Nihil. Ia tidak tahu bahwa ketakutan telah membawa Adek jauh sampai ke kompleks sebelah.

Mama kembali ke rumah. Risky telah mengunci pintu kamarnya. Mama menggedor-gedor.

"Ki! Risky! Bantu Mama cari Adek, Ki!"

Namun Risky tidak menyahut. Ia telah meringkuk dalam selimut, membentengi dirinya dalam hasrat untuk ditelan bumi dan tidak mau muncul lagi.

Mama berkeliling lagi ke jalan, sekalian menunggu Papa pulang.

Sementara itu, Adek sampai ke lingkungan yang belum pernah dimasukinya. Rumah-rumah di sini tampak tidak familier. Ia berbalik menyusuri jalan yang dilaluinya tadi, sampai masuk ke kompleksnya lagi. Tapi, ia gentar kalau-kalau di jalan bertemu Kak Iki. Air matanya kembali menggenang. Ia tidak tahu kenapa Kak Iki tiba-tiba mengamuk begitu. Ia terus berjalan dengan hati-hati, siap lari kapan pun tahu-tahu Kak Iki tampak. Alih-alih menuju rumahnya, ia menghampiri rumah temannya.

Papa pun pulang. Mama menyambutnya dengan risau.

"Ayo cari lagi ke rumah temannya," kata Papa. Mereka pun berpencar setelah Mama memberitahukan rumah teman-teman Adek yang orang tuanya dikenal Papa.

Memang kali ini Adek ditemukan. Tapi ia tidak mau pulang sampai menangis-nangis, betapapun orang tua temannya sudah bantu membujuk.

"Kakak udah enggak marah kok," Mama meyakinkan. Namun Adek bersikeras.

Akhirnya mereka bersikap seolah-olah mengizinkan Adek tinggal di situ. Saat Adek sudah tertidur lelap, orang tua temannya itu menelepon ke rumah sehingga Mama dan Papa datang untuk menjemputnya. Adek pun digendong Papa pulang, terlalu mengantuk untuk melawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain