Senin, 20 Desember 2021

24. UMPTN YANG PENGHABISAN

Adek tidak lagi menyambangi kamar Risky. Risky memanfaatkan kesempatan itu baik-baik. Sekarang ia berkonsentrasi mengejar materi-materi yang belum dia kuasai.

Sesekali Risky ke lantai bawah untuk mengembalikan peralatan makan dan minum, sekalian disuruh Mama mencucikan semua perabot di bak, mengambil amunisi baru untuk kembali mengurung diri selama beberapa waktu ke depan, juga ke kamar mandi. Tapi ia sudah tidak lagi menonton televisi.

Lagi pula, Adek langsung lari bersembunyi saat sekilas saja melihat Risky. Risky tidak mengacuhkan anak itu sama sekali. Ia menuntaskan urusannya lalu bergegas naik ke kamarnya, memaksimalkan usaha dalam minggu-minggu yang tersisa.

Kadang Risky terpikir untuk berdoa: Tuhan, semoga kali ini aku lolos .... Tapi, entah kenapa ia tidak yakin ingin benar-benar lolos. Lolos atau tidak, entah mana yang terbaik. Lalu apakah artinya dua tahun ini? Kamu harus lolos! Ia sudah mempertaruhkan waktu yang sedianya bisa ia gunakan untuk berkuliah di kampus swasta, alternatif yang mungkin tak kalah baiknya, sesuai dengan masukan dari orang tuanya, ITB cuma soal reputasi saja.

Entahlah. Kalau orang tuanya bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, maka paling tidak ia bisa menyamainya, kalau bukan melampaui. Kalau tidak? Ah, kenapa ia mesti begitu peduli pada standar orang tuanya? Setan apa yang telah merasukinya tahun-tahun ini?

Because it's there.

Risky mengusir lamunannya, pikiran-pikiran yang melantur dari tujuannya.

Sudah telanjur, mengapa harus menyesal?

Lama-lama ia kembali sulit berkonsentrasi.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebelum berangkat, Risky menyalami kedua orang tuanya takzim. Wajah Mama penuh pengharapan, sedang Papa tampak datar-seakan-akan siap menerima apa pun hasilnya. Sesaat Risky merasa sebagai anak yang tidak dapat diharapkan, setelah segala fasilitas yang diberikan. Lalu ia ingat masa kecilnya yang menyakitkan bersama Papa dan pemberontakannya saat SMA. Mungkin memang sudah sepantasnya ....

Adek bersembunyi di balik tubuh Mama. Baru tersadar oleh Risky, ia juga harus meminta doa restu si kecil ini. Ia mengulurkan tangan. Mama mendorong Adek agar menyambutnya. Adek mencium punggung tangan Risky, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya, kembali menamengi diri dengan tubuh Mama dan memegangi kain bajunya erat-erat.

Risky pun pergi dengan motornya.

Sekarang ia mendapat lokasi di suatu sekolah. Paket ujian dibagikan. Risky membuka halaman demi halaman, meninjau soal. "POLUSI UDARA", "CARA POHON MENDAPAT AIR", "ENERGI PEMBANGKIT LISTRIK DARI SEKAM", demikian judul-judul teks untuk bagian IPA Terpadu. Risky mendesah. Dari pengalaman dua kali UMPTN sebelumnya, teks-teks IPA Terpadu cenderung berbau Biologi dan Kimia-dua subjek paling dibencinya. Ia sudah memperkirakan akan mendapatkannya lagi, tapi tetap saja .... Sudah malas baca teks padat, topiknya tidak disenangi pula.

Risky kembali ke lembar pertama dan mulai mencoret-coret .... Tiap kali menemui kesulitan, pikirannya berkeluyuran.

Persetan lolos ITB apa enggak!

Seakan-akan dengan titel "mahasiswa ITB", orang-orang tidak akan lagi memandangnya rendah. Orang tuanya akan menghargai dia. Adiknya akan menjadikannya panutan. Para tetangga akan berbalik mengaguminya. Cewek-cewek akan mendekat. Namun si Edo membuyarkan semua ilusi itu. Titel itu hanya cangkang, sedang di dalamnya tetaplah seonggok pungguk yang hina.

Muncul bercak-bercak pada kertas ujiannya. Risky mendongak. Apa langit-langitnya bocor? Padahal di luar sana langit terang benderang, tak menampakkan awan seserpih pun. Risky mengisap ingusnya berkali-kali, menarik perhatian beberapa peserta lain di ruangan itu. Ah, kenapa tiba-tiba jadi pilek begini? Tentunya hanya peserta di kanan, kiri, dan belakangnya yang dapat melirik dan melihat ia menyeka matanya dengan tangan lalu lengan baju.

Tuhan, kalau memang kau ada,

Aku tidak peduli lagi lolos ITB atau tidak ....

Aku cuma ingin dihargai ....

Air tidak menetes lagi. Ia mengembuskan desah yang penghabisan. Ia tidak lagi cemas akan menjawab salah. Ia mengerjakan sebisanya. Setiap kesulitan ia hadapi tanpa banyak gundah. Kalau buntu, ia segera loncat ke soal yang lain. Begitu seterusnya sampai waktu habis.

Selagi masih di tempat parkir motor, sedang mengenakan helm, Risky mendengar beberapa orang membahas ujian tadi.

"Di samping urang siah, nepi ka ceurik." Di sebelah saya, sampai ada yang menangis.

Risky tidak acuh. Ia segera pulang.

Ada sebulan lebih hingga waktunya pengumuman. Ia kembali mendatangi beberapa kampus, adakalanya ditemani orang tua, untuk mencari informasi pendaftaran mahasiswa baru sampai ia dapat menjatuhkan pilihan. Uang muka disetorkan. Orang tuanya seakan-akan tidak ingat kepada sesumbarnya dahulu hendak membayar sendiri, atau memang pada dasarnya tak percaya? Risky pun tidak mencegah dengan menunjukkan kekuatan tekad hendak memenuhi kata-katanya itu.

Sesekali ia membuka koran juga, memindai barisan iklan lowongan kerja. Tapi tidak ada yang diminatinya. Sebagian besar waktu ia lalui dengan melamun saja di kamar. Ia merasa kembali ke masa SMA, ketika kakinya seperti yang tidak menginjak bumi sedang kepalanya diliputi kabut. Ia melayang ke sana kemari, tanpa arah pasti atau sekadar menuruti keinginan sesaat. Bedanya, kali ini keluyuran pun ia tidak bernafsu. Mau baca komik, novel, apa pun yang ringan-ringan, malah ingat kepada buku pelajaran. Mau menggambar, jadinya malah rantai DNA. Mau merakit model, rasanya tidak lagi menantang bila jadinya sekadar mainan-bukan yang betulan walau entah bagaimana juga cara membuatnya. Mau main komputer, yang dibuka cuma software dan arsip lain peninggalan Edo yang akhirnya cuma dlihat-lihat. Game Boy berikut Tetris-nya menjadi momok. Sudah capek-capek berpikir bagaimana supaya tiap potongannya bisa saling klop, eh, malah hilang begitu saja. Lalu temponya semakin cepat, menarik Risky kembali ke lokasi ujian saat waktu mengerjakan kian tipis. Kabar si Doel pun sudah tidak dipedulikannya lagi; dia sudah dapat pekerjaan atau belum, bukan urusan Risky.

Saat sedang termangu-mangu itu, Risky mendengar adiknya berteriak-teriak di lantai bawah.

"Mama! Mama!"

Adek baru terbangun dari tidur siangnya. Ia keluar kamar, mendapati suasana yang sepi. Cuma gumaman pelan dari televisi. Ia masuk ke ruangan demi ruangan. Semuanya terbuka, tapi Mama tidak ada di mana-mana. Mendung pula. Seantero rumah dirundung kegelapan.

Saat itulah Risky turun. Adek menatapnya seperti dia itu hantu. Anak itu hendak berlari ke pintu depan, menyelamatkan diri ke jalan. Tapi, bahunya keburu digapai. Adek menjerit, menoleh ngeri, di ambang tangis. Semakin keras anak itu memberontak sambil berteriak-teriak, semakin erat pula Risky memeluknya-seperti ular membelit mangsanya agar mati lemas. Ia sama takutnya dengan Adek. Takut pintu hati si kecil telah tertutup untuk dia, dan lalu anak itu akan tumbuh dengan memandang tak simpatik kepadanya-seperti orang-orang lainnya. Seperti ia yang dahulu berlari dari Mama tiap kali mendengar deru mobil ayahnya mendekati rumah, masuk ke kamarnya sendiri untuk bersembunyi. Sementara Mama beranjak ke pintu depan untuk menyambut, Risky mendekapkan bantal rapat-rapat ke telinganya, tak mau mendengar suara Papa.

"Maafin Kakak, Dek," sedunya terbenam ke dada Adek, teredam pula oleh tangisan anak itu. Jangan takut sama Kakak, jangan benci ....

Beberapa saat mereka bersahut-sahutan dalam pilu, hingga telinga Risky awas menangkap langkah kaki mendekat dari jalan. Segera saja ia bangkit sambil mengangkat Adek dan membawa anak itu lari ke lantai atas.

"Mama! Mama ...!" kali ini Adek tak hendak membiarkan dirinya diculik lagi. Ia meronta-ronta dalam dekapan.

Namun mereka sudah telanjur sampai di kamar Risky. Pintu dikunci.

"Kakak punya gim baru!" ucap Risky sembari terengah-engah. Asal saja ia menjambret kaset gim yang terdekat lantas diserahkannya kepada Adek yang kebingungan. "Yang menang, hadiahnya bakso paling gede!"

"Segede apa?" cicit Adek, masih tak yakin kepada Risky.

"Segede bola tenis-eh, enggak! Segede bola basket!"

"Segede bola basket?" Adek tercengang.

"Iya! Makannya juga di baskom!"

"Di baskom?!"

"Kalau kalah, tetep dapat hadiah. Tapi baksonya segede bola pingpong aja!"

"Segede bola pingpong tapi yang banyak?"

"Iya!"

"Tapi, aku maunya yang segede bola basket!"

"Makanya itu, harus menang dulu!" Risky merebut kaset gim itu lalu memasukkannya ke mesin Nintendo.

"Mau! MAU!" Adek melonjak lalu mengambil posisi di depan televisi kecil itu.

Segera saja keduanya asyik masyuk dalam permainan, lupa menghapus jejak-jejak air mata di pipi.

Kini Mama yang ganti memanggili Adek dan tak menemukannya di mana pun sehingga naik ke kamar Risky.

"Iki!" Mama menggedor-gedor, khawatir Adek telah kabur lagi karena entah diapakan lagi oleh Risky.

Terpaksa Risky menjeda permainan dan membukakan pintu. Ia memperlihatkan kepada Mama Adek yang sedang duduk anteng, hanya raut mukanya kesal karena permainan terganggu.

Mama melongo.

Sejak itu, Adek mulai kembali berani memasuki kamar Risky. Walau mulanya ia cuma berdiri di pintu, ragu dan takut. Kalau pintu ditutup, ia mengetuk pelan dan kalau tidak kunjung terbuka, ia tidak memaksakan. Kalau pintu terbuka, ia memanggil Risky pelan sampai kakaknya itu menyuruhnya agar langsung masuk saja. Lama-lama, Adek kembali berani masuk dengan sendirinya meski telah diiringi kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak membangunkan si monster lagi.

Risky sendiri sebetulnya telah kurang gairah meladeni Adek. Sering kali ia cuma berbaring saja di kasur sambil mengamati Adek bemain sendiri. Namun benaknya kosong melompong.

Saat sendirian, ia larut dalam lamunannya yang tak bercorak warna, sambil duduk atau berbaring, lalu tahu-tahu saja ada yang mengalir di pipinya. Padahal ia tidak sedang merasakan apa-apa. Ia usap pipinya, dan sudah begitu saja. Adakalanya pula tetes air matanya disusul kelebatan bayangan yang berupa kenangan tak mengenakkan. Misalnya, ketika suatu saat ia menghampiri Simbok dan bertanya, "Mbok, cerai itu apa?"

"Ngomong apa tho, Mas?" sambut Simbok sambil lalu karena sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Cerai itu apa, Mbok?"

"PR-nya sudah dikerjakan belum?" Kali ini Simbok mendengar Risky dengan saksama namun tak hendak mengacuhkannya.

"Cerai itu kalau Mama pergi Papa pergi, ya, Mbok?"

"Eeeh ..."

Mama akan pergi bersama om itu, sedang Papa mana mau mengurus dia.

"Mbok, nanti aku ikut sama Simbok, ya?"

"Ikut ke mana?"

Risky telah menjerat perhatian Simbok sepenuhnya.

"Pokoknya aku ikut sama Simbok!"

"Udah, udah, jangan nangis tho ...!" Simbok merangkul dan mengusap punggungnya

"Cup, cup, jangan nangis. Kakak mau bakso?" Adek menirukan suara Mama saat menghiburnya. Lalu ia melepaskan rangkulannya dari kepala Risky.

Risky terdiam.

"Mata Kakak kemasukan debu," sahut Risky sembari mengusap matanya. Lalu ia berdiri, menggiring Adek keluar kamar dan mengunci pintu, kemudian kembali duduk termenung.

Sekali waktu Risky keluar rumah, melanjutkan kebiasaan jalan-jalan sore sekalian mampir ke warung yang jauh untuk beli rokok-walau entah sudah berapa lama ia tidak merokok, tidak ada dorongan lagi. Melewati sisi kali dengan sebatang pohon jambu yang rindang, Risky mendapati sosok hitam itu lagi. Di bawah pohon ia duduk bersila. Mulutnya menyeringai, mendesis-desis sampai mencipratkan busa.

Tidak lama Risky mengamatinya. Ia lanjut berjalan pulang, berharap tak berpapasan dengan Shelly. Sampai di rumah, ia memikirkan sosok hitam itu. Setelah orang tersebut sempat meresahkan warga, Risky mengira sudah ada pihak yang menanganinya karena lama tidak terdengar kabarnya. Ternyata ia balik lagi. Dari manakah asal usulnya? Kenapa bisa sampai begitu? Ia ingat mendengar suara amukan sosok itu dari jauh, entah marah kepada siapa. Ia ingat juga saat sosok itu tampak ketakutan karena dilempari anak-anak sialan. Seandainya masih punya kesadaran, mesti dia sedih akan keadaannya itu. Mungkin justru beban kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang terlalu itu yang membuat dia mati rasa, sampai hilang akal.

Mati rasa .... Bukannya itu hampir-hampir seperti dia kini? Walau kadang ia kelepasan menangis, tapi entah apa sebabnya, karena sering kali ia sedang tak merasakan apa-apa.

Mati rasa mungkin hanya satu langkah dari hilang akal.

Agustus datang kembali. Mama hendak membangunkan Risky pagi-pagi sekali untuk mencari koran hari itu. Namun Risky tidak tidur semalaman. Bukan karena was-was akan hasil pengumumannya, melainkan ia bahkan tidak sadar bahwa malam sudah berakhir. Setelah mendapat satu eksemplar dari loper koran yang baru buka, Risky langsung pulang dan naik ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka koran, mengambil kartu ujiannya dan mencari ....

Enggak mungkin ....

Risky memastikannya sekali lagi.

Ini pasti halusinasi ....

Mama tadi melihat Risky sudah pulang, namun masih sibuk menyiapkan sarapan. Kemudian Mama membangunkan Adek. Setelah menyuruh anak itu mandi, Mama yang penasaran naik ke kamar Risky. Namun ia mendapati anak itu sedang tersedu-sedu. Mama duduk di samping Risky, mengusap-usap bahunya.

"Udah .... Kalau enggak lolos, enggak apa-apa. Kan udah diterima di swasta."

Tentunya Mama tak mendengar Risky membatin, Aku mulai gila ....

Saat ia hendak membuka mulut, mengatakan kepada Mama bahwa sepertinya ia perlu ke psikolog, sedunya malah makin menjadi. Kedua tangannya menutupi muka.

Mama mengambil koran dan kartu ujian Risky, ingin memastikannya sendiri. Ia turun membawa lembaran itu dan mencari kacamata baca. Lalu ia duduk membersamai Papa di meja makan.

Tak lama kemudian, "Pa, bener enggak ini?" Mama menunjuk satu baris. Papa menurutinya.

"Lo, iya, Ma!

"KI! IKIII ...!"

Mama bangkit, bergegas mengambil Stabilo. Papa memeriksa sekali lagi, memastikan.

"Maaa! Handuk!" teriak Adek dari kamar mandi.

Setelah membungkus Adek dengan handuk, kata Mama, "Panggil Kakak ke bawah. Suruh mandi, biar enggak stres!"

Adek menurut.

Risky menurut.

Di meja makan, Risky yang sudah segar mengejap-ngejap mendapati namanya di koran telah diwarnai oleh Mama.

Bukan halusinasi ....

"Selamat, Ki," Papa menepuk bahunya.

Sedang Mama mencium sebelah pipinya. "Akhirnya jerih payah kamu terbayar juga."

Adek yang sudah berseragam, siap diantar ke TK, melihat temannya di jalan, hendak berangkat juga bersama orang tuanya. Ia berteriak sekeras-kerasnya kepada temannya itu, "KAKAK AKU MASUK ITB LO!"[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain