Gambar diambil dari Twitter @sukma_hetty. |
Noktah Perjalanan Hidup
Idealnya sih, punya ayah/suami yang baik/bertanggung jawab dan yang bersangkutan bisa tetap jadi pribadi yang wow. Nyatanya, tidak semua orang diberikan karunia itu. Ada yang ayah/suaminya masih hidup tapi tidak baik/tidak bertanggung jawab atau baik/bertanggung jawab tapi keburu dipanggil YME sehingga yang lainnya terpaksa mandiri lebih dini. Ada pula yang ayah/suaminya terlampau baik sehingga yang lainnya jadi susah mandiri. Macam-macam deh.
Penulis: Endah Nurzaira, dkk.
Penerbit: Dd Publishing, Riau,
Juli 2022 (cetakan pertama)
Buku ini adalah kumpulan tulisan bebas dengan tema kehidupan. Hampir semuanya ditulis oleh perempuan, hampir semuanya bernuansa religius. Tidak semua tulisan diangkat dari pengalaman pribadi; ada yang menceritakan pengalaman orang lain, ada pula yang tampaknya fiktif meski tentunya masih realistis dan penuh harapan. Ada juga yang tampaknya berupa renungan saja. Adakalanya terasa mengkhotbahi, tapi anggap saja sebagai pengingat yang kadang-kadang memang dibutuhkan.
Beberapa pengalaman betul-betul berat. Karena umumnya yang menulis adalah perempuan (yang laki-laki cuma satu), maka pengalaman berat itu mengenai perjuangan perempuan khususnya lagi mengenai upaya mereka dalam mencari nafkah baik untuk diri sendiri maupun keluarga.
Membaca kisah semacam itu, timbul pikiran bahwa orang bisa menjadi pribadi dewasa, hebat, mandiri, tangguh, apalah yang dielu-elukan masyarakat, bisa jadi di luar kemauan sendiri yaitu berkat keadaan eksternal yang memaksanya ke arah situ, dengan sebelumnya entah bagaimana sudah diberikan kemampuan yang kemudian klik dengan takdir itu. Contoh dari keadaan eksternal tersebut adalah meninggalnya tulang punggung keluarga, yaitu ayah/suami. Apalagi jika ayah/suami tersebut merupakan sosok yang baik/bertanggung jawab, tentu tak seorang pun hendak memilih untuk kehilangan.
Gambar diambil dari Twitter @sukma_hetty. |
Proporsional saja dalam melihatnya. Apalagi dalam nuansa religius buku ini, perbedaan nasib dan cara-cara menjalaninya kiranya berkaitan dengan iman kepada qada dan qadar atau takdir yang kata seorang ustaz di antara hikmahnya adalah agar tidak jatuh dalam penyakit-penyakit hati berupa sombong, ujub, iri, atau putus asa.
Tulisan favorit saya adalah "Perjalananku Masih Panjang" oleh Yesil Yaz, yang sebetulnya di akhir membuat saya bertanya-tanya: "Ini nyata atau fiktif, sih?" Kalaupun memang diangkat dari kisah nyata, sepertinya (perkiraan) usia si aku terlalu belia untuk dapat menuturkannya sendiri. Kemungkinan ini kisah seseorang yang disampaikan oleh penulis seakan-akan mengalaminya sendiri, yakni dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Tulisan ini menceritakan tentang seorang anak yang bisa dibilang ditelantarkan oleh kedua orangtuanya sehingga dalam pengasuhannya "dilempar" ke sana-sini, bahkan sempat dianiaya orang tak dikenal juga. Hiks. Terlepas dari penggunaan sudut pandang yang meragukan itu, cerita ini masih terasa realistis serta dapat menyentuh dan meyakinkan. Putar soundtrack-nya dulu ah.
Tulisan lainnya yang memantik pikiran adalah "Apa yang Bisa Dilakukan Setelah Berhenti Kerja?" oleh Hetty Kusumandari. Di akhir tulisannya, penulis mengajukan kiat untuk menemukan bidang yang hendak ditekuni. Sepertinya bukan sekali ini saya mendengar masukan bahwa pengalaman atau kesenangan masa kecil itu bisa jadi penentu. Cuma, belakangan ini, saya kerap memikirkan kebenarannya. Maksudnya, apakah mesti seperti itu? Yang saya alami justru sekarang itu terasa semakin enggak relevan. Seiring dengan waktu, perlahan-lahan kita tumbuh dan berkembang menuju perubahan dari diri yang sebelumnya. Hal-hal yang pernah begitu memuaskan di masa lalu pun ditinggalkan, entahkah atas keterpaksaan menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan/zaman or simply because the magic has gone.
"... kalau bicara usia, ada satu titik di mana kita sudah harus legowo, melepas hal-hal ambisius yang dirasa memberatkan kita." (halaman 23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar