Para penulis : Agusanna Ernest, Briantono Raharjo, Dhian Mutiara, Dia Nana, Esti Pasaribu, Hadi S. Abdullah, Iin Andini, Ika Lestari Rahayu, Intan Rahma, Irene Tan, Ivy Sudjana, Jenny Seputro, Lilis Tr, Mikawati, Rahma Syukriah Sy, Rumadi
QRCBN : 62-1173-1992-308
Cetakan pertama : Desember 2022
Penerbit : Voila -- Nakara Aksara Dunia
RBCL adalah Ruang Belajar Cerpen Lanjutan, kelas yang diadakan komunitas NAD atau Nulis Aja Dulu. Sebetulnya saya bergabung dengan komunitas ini di Facebook, atas dorongan seseorang yang kenal dengan seseorang di sana dan kebetulan kami sama-sama kenal dengan seseorang lainnya di sana dan juga ada seseorang lainnya lagi yang saya kenal dari komunitas lainnya lagi. Cuma kemudian saya tidak buka Facebook lagi, di samping masih kepayahan untuk kembali menetapkan rutin mengarang fiksi, sehingga saya tidak mengikuti perkembangannya. Tahu-tahu ada seseorang lainnya lagi-lagi yang saya kenal dari komunitas lainnya lagi itu yang juga bergabung dengan NAD dan mengikuti RBCL batch #9 ini sehingga ada cerpennya yang termuat dalam antologi ini. Karena itulah saya dapat memperoleh pinjaman buku ini. Melihat nama-nama penulis, ternyata ada seseorang lainnya lagi-lagi-lagi yang sepertinya pernah satu SMA dengan saya. Ah, seperti kata papa saya, dunia tidak selebar celana kolor.
Sebelum masuk ke kumpulan cerita, ada dua pengantar. Yang pertama dari mentor dan editor Kurnia Effendi. Yang kedua sepertinya dari Admin NAD yang memberikan gambaran mengenai latar diadakannya ajang ini serta tema kumpulan cerita. Akan ada 16 peserta yang masing-masing menulis cerita sepanjang 2.000-3.000 kata. Pengantar ini dikemas secara begitu imajinatif sehingga saya baru agak-agak menangkap maksudnya setelah membaca cerita pertama.
Cerita-cerita dalam buku ini menggunakan latar yang sudah ditentukan, yaitu sebuah kota fantasi, yang untuk mencapainya peserta menumpang kereta magenta mewah dan harus menghabiskan tiga hari di sana. Dari situ mereka mesti mengembangkan imajinasinya sendiri-sendiri. Banyak cerita dalam buku ini menggunakan unsur-unsur yang serupa, seperti informasi bahwa kota ini memiliki beberapa jalur, ada kafe, kantor walikota, asrama, toko buku, peramal tarot, sepasang perempuan kembar pianis-penari, dan seterusnya. Walaupun ada kesamaan unsur, peserta bebas mengimprovisasinya. Misalkan, penunggu toko buku pada satu cerita adalah nenek-nenek sedangkan di cerita lain seorang pemuda pucat tampan. Tidak mesti sinkron. Selain itu, ada beberapa penulis yang melibatkan sebagian atau bahkan semua peserta lain sebagai tokoh pendukung atau figuran dalam ceritanya.
Ada pula beberapa cerita yang tampak asyik sendiri, maksudnya tidak mesti menggunakan semua unsur tersebut. Contohnya "Serangga-serangga Kertas" oleh Briantono Raharjo. Bahkan nama kotanya pun ia ganti menjadi "Botoljayus" ketimbang "Kota-Yang-Akan-Kalian-Ceritakan" yang jadinya tampak kepanjangan itu. Tidak ada peramal tarot, maupun si kembar pianis-penari; hanya kereta magenta, kepala stasiun, masinis, kafe (ya, ini mesti ada karena di mana lagi mau mengisi perut?) yang tetap ada. Baru di cerita ini juga (padahal letaknya belakangan) saya menemukan suatu pikiran yang sangat realistis, yaitu mencukupkan uang yang tersisa untuk bertahan hidup tiga hari. Bukannya di cerita-cerita sebelumnya tidak ada problem yang sangat realistis sih, cuma di antara yang realistis itulah yang paling realistis wkwkw. Cerita berikutnya, "Drei Nachte, A City Lost in Time" oleh Irene Tan, malah mengambil Eropa abad pertengahan, khususnya Jerman, sebagai rujukan untuk latar. Unsur-unsur yang khas tema kumpulan cerita ini baru disebutkannya belakangan.
Banyak cerita dalam kumpulan ini yang tampak mirip dengan satu sama lain atau membentuk pola tertentu (walaupun bagaimana mengisinya tentu saja berbeda-beda).
- Cerita terasa wishful thinking atau bertujuan untuk menerbitkan kesan feel good. Biasanya tokoh tengah dirundung problem tertentu sebelum berangkat dan di kota ini seperti mendapatkan pencerahan.
- Cerita diawali dengan penyesuaian peserta yang baru tiba di kota itu, bertemu tokoh lain penduduk sana, yang memantik terjadinya suatu aksi entahkah petualangan, dikejar penjahat, misteri, romance (so pasti ...), dan sebagainya, yang semua itu mesti diselesaikan dalam tiga hari dan berakhir dengan kembali ke kereta. Meskipun ada juga beberapa di antaranya yang tidak kembali, entah atas keputusan sendiri atau terjebak.
Tentunya, ada cerita-cerita yang lain dari yang lain di antaranya adalah "Peonies and the Knight" oleh Mikawati. Dengan gaya penyampaian yang santai, sederhana, tenang, dan lembut, cerita ini mengusung kuasa gelap yang mengambil jiwa hampa secara bertahap. Karena ketentuannya adalah segala ingatan mengenai kota ini akan lenyap setelah tiga hari, baru di cerita ini saya menemukan ide untuk merekam segala hal di situ supaya tidak terlupakan. Walaupun, pada akhirnya cerita mesti ditutup secara ironis.
Kesan umum yang saya dapat dari kumpulan cerita ini adalah: dreamy (: like a dream in mood or nature; lacking spirit or liveliness). Dalam gaya penyampaian, banyak yang bahasanya sederhana dan lurus-lurus saja. (Satu cerita yang bahasanya relatif bergaya adalah "Retret Pascaputus" oleh Hadi S. Abdullah, tapi isinya masih ringan.) Beberapa cerita tampak mengandung inside jokes atau hal lain yang mungkin hanya dipahami atau menarik bagi kalangan NAD sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar