Kamis, 27 Juli 2023

Persoalan-persoalan dalam Belajar Bahasa Sunda dari Sudut Pandang Orang Bandung yang Bukan Asli Sunda

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa itu ada benarnya. Jika kita pindah mukim ke suatu wilayah, untuk dapat berbaur baik-baik dengan warga setempat, kita perlu mempelajari bahasa dan budaya mereka serta mempraktikkannya dalam kesempatan bersama mereka. Namun, apakah hal itu berlaku di Kota Bandung yang aslinya merupakan wilayah berbahasa Sunda? Nyatanya, selama hidup di Kota Bandung, mulai dari lahir, TK, SD, SMP, SMA, sampai setelah lulus dari kuliah, saya dapat bergaul tanpa perlu menguasai bahasa Sunda. 

Saya bukan orang Sunda. Kakek-nenek saya dari pihak ibu berasal dari Jawa Timur, sedangkan bapak dari Jawa Tengah. Di lingkungan keluarga di Bandung, bahasa Indonesia yang digunakan. Dalam pergaulan dengan teman-teman, mulai dari di sekitar rumah sampai di sekolah, bahasa Indonesia pula yang digunakan. Baru ketika saya SMP, ada seorang teman yang cukup nyunda, tetapi dia sendiri yang kemudian repot harus menjelaskan arti kata-kata yang dia gunakan, sebab dalam kelompok pergaulannya di kelas tidak ada yang mengerti; kebanyakan dari kami keturunan Jawa dan ada pula yang Sumatra. Di SMA malah saya tidak mendapatkan pelajaran Bahasa Sunda sama sekali. Tetap bahasa Indonesia yang digunakan dalam pergaulan. Kawan-kawan sekelas saya lebih majemuk lagi, berasal dari berbagai daerah dan pulau demi bersekolah di SMA itu. 

Kemudian saya kuliah di Jogja. Untuk mengatasi rasa kangen terhadap "kampung halaman", saya mendengarkan lagu-lagu Sunda dan Cangehgar. Aneh kan. Saya menganggap Bandung sebagai "kampung halaman" semata-mata karena saya lahir dan besar di sana. Orang tua saya pun masih tinggal di sana, ke mana pada akhirnya saya akan berpulang. Padahal, dari segi keturunan, saya sudah berada di kampung halaman yang sebenarnya, yaitu wilayah berbahasa Jawa dan memang banyak dari keluarga besar saya yang tinggal di Jogja dan kota-kota sekitarnya.

Baru lama kemudian, kesadaran akan bahasa daerah kembali mengemuka ketika saya mengikuti Klub Buku Laswi. Dalam beberapa bulan ke belakang, klub ini mengadakan pertemuan yang membahas buku fiksi berbahasa Sunda. Dengan sendirinya, terangkat masalah-masalah yang menyangkut pemakaian bahasa Sunda di masyarakat dewasa ini.

Dalam pertemuan kemarin (Rabu, 26 Juli 2023), ada kurang lebih sembilan orang yang duduk. Sebagian yang hadir adalah orang Sunda asli. Yang saya kenal merupakan keturunan Jawa hanya dua orang, itu pun cuma saya yang berdarah murni (saya tidak tahu jika ternyata saya ada campuran). Di antara mereka yang memang orang Sunda, terungkap persoalan-persoalan di kalangan mereka sendiri sehingga bahasa Sunda yang baik dan benar kurang memasyarakat.

Pertemuan Klub Buku Laswi yang 
saya hadiri kemarin. Informasi 
mengenai klub ini bisa dilihat di 
Instagram biblioforum atau 
lawangbuku. Catatan pembacaan saya 
mengenai buku yang dibahas dalam 
pertemuan ini bisa dilihat di 
Yang pertama, orang tua tidak membesarkan anak-anaknya dalam bahasa Sunda. Bahkan kepada pasangan yang sesama orang Sunda pun mereka belum tentu berbahasa Sunda. Akibatnya, anak menganggap dirinya lebih sebagai orang Bandung ketimbang orang Sunda. Seakan-akan Bandung tidaklah identik dengan Sunda.* Anak-anak pun belajar bahasa Sunda melalui pergaulan dengan anak-anak sekitarnya, tanpa mengindahkan mana kata-kata yang baik diucapkan dan mana yang tidak.

Yang kedua, bahasa Sunda memiliki banyak variasi. Beda wilayah, beda lagi kata yang digunakan untuk merujuk satu hal yang sama. Bahasa Sunda yang digunakan orang Bandung dan sekitarnya lain dengan bahasa Sunda orang Sukabumi, Purwakarta, Banten, apalagi Cirebon. Hal ini bisa jadi membingungkan bahkan di antara sesama pemakai bahasa Sunda sendiri.

Yang ketiga, dari kalangan pemuda Sunda kurang ada kesadaran untuk mempelajari bahasanya lebih lanjut. Ada di antara peserta klub kemarin yang mengatakan bahwa walaupun ia asli Sunda, ketika membaca cerpen berbahasa Sunda, ternyata menemukan kata-kata yang ia sendiri tidak paham.

Yang keempat, orang Sunda sendiri kadang kesulitan ketika menjelaskan pengertian suatu kata. Kalau sudah begini, saya pikir, baru dengan hidup cukup lama atau bergaul intens di lingkungan yang kental berbahasa Sunda, orang dapat benar-benar memahami bahasa Sunda sampai merasuk di kalbunya tanpa perlu pengertian lewat kata-kata. 

Ketika kemarin saya mengajukan usul agar dibuat buku dwibahasa Sunda-Indonesia untuk mempermudah pembelajaran bahasa Sunda, ada yang mengatakan bahwa teks dalam bahasa Sunda tidak bisa diterjemahkan per kata paling-paling seperti menyadur. Saya sendiri sebetulnya ada pikiran untuk belajar bahasa Sunda dengan cara menerjemahkan cerita, sebagaimana yang selama ini saya lakukan dengan bahasa Inggris. Namun, ketika membaca buku fiksi berbahasa Sunda, setiap kali tidak mengerti suatu kata, mencarinya di kamus atau di internet tapi tidak menemukannya, saya jadi mengurungkan ide tersebut. Belum lagi struktur kalimatnya yang ketika saya coba menerjemahkan ke struktur kalimat bahasa Indonesia dalam pikiran malah bikin pusing sendiri. 

Tampak bahasa Inggris masih lebih mudah dipelajari--mudah ditemukan artinya baik di kamus maupun di internet, mudah diterjemahkan ke struktur kalimat bahasa Indonesia, mudah dipraktikkan juga dalam pergaulan sehari-hari melalui aplikasi chatting dengan orang asing. Sekiranya orang Sunda merasa penting agar sesamanya begitu pula orang luar yang tinggal di wilayahnya turut melestarikan bahasa mereka, bisakah sarana-sarana pembelajarannya dibuat sepraktis atau seatraktif belajar bahasa Inggris?



*) Kenyataannya memang sudah demikian banyak pendatang sebagaimana yang saya temukan sendiri selama puluhan tahun hidup di Bandung. Kebanyakan kawan saya adalah keturunan dari suku lain sebagaimana saya sendiri, dan hanya beberapa di antaranya yang orang Sunda asli. Ada pakde saya alias kakak dari bapak yang aslinya orang Jawa tetapi dapat berbahasa Sunda tanpa kedengaran masih ada aksen Jawa. Beliau menikah dengan orang Garut dan bermukim di sana sepanjang sisa hidupnya. Sementara ini saya hanya dapat menduga bahwa di Garut masyarakatnya tidak semajemuk di Bandung kota, sehingga pakde saya bisa fasih berbahasa Sunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain