Penerbit : PT Kiblat Buku Utama, Bandung
Cetakan ke-1, Menembus Belantara Ujung Kulon, 1985
Cetakan ke-2, 2007
Edisi Kiblat Buku Utama Cetakan ke-1, Oktober 2018
ISBN 978-979-8004-20-9
Buku ini ditulis pada zaman PELITA III, mula-mula terbit pada 1985 dan meraih penghargaan Yayasan Buku Utama tahun itu juga. Isinya merupakan kombinasi antara pelajaran IPA dan catatan perjalanan yang dikemas secara naratif (dengan tokoh-tokoh dan serangkaian peristiwa walaupun "cerita" baru benar-benar terjadi di dua bab terakhir). Sebagai bacaan untuk anak muda (hanya 97 halaman), buku ini dilengkapi dengan banyak amanat yang kadang-kadang religius serta bumbu romance yang tipis-tipis saja.
Dalam buku ini, penulis menjadi dirinya sendiri yang ceritanya sedang mengantar sekelompok remaja menjelajahi Taman Nasional Ujung Kulon (selanjutnya TNUK) dalam liburan sekolah. Para remaja itu adalah Nesi, Deti, Giri, dan Andri (yang disebut juga sebagai Pak Kopral Adun,); mereka memanggil penulis sebagai Kang Bach. Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama serbatahu, karena ia bisa mengetahui juga apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh remajanya.
Setiba di TNUK, mereka ditemani oleh Pak Wawan insinyur lulusan Fakultas Kehutanan IPB (mulai bab 1 dst). Kemudian ada Pak Karman (bab 2), lalu Pak Usup (mulai bab 3 dst).
Tiap bab diakhiri dengan rencana perjalanan selanjutnya. Bahkan di ujung bab terakhir pun ada rencana untuk kembali ke TNUK tahun depannya.
1. MENUJU UJUNG KULON
Mereka memasuki TNUK melalui jalur laut, menggunakan perahu selama 6 jam dari Labuan (letak kantor Sub-Balai Kawasan Pelestarian Alam Ujung Kulon tempat mengurus izin dsb) ke Pulau Handeuleum kemudian menginap semalam di sana sebelum memulai perjalanan.
2. MENYUSURI CI GENTER
Sebelum memulai perjalanan menyusuri Sungai Cigenter, Pak Wawan menjelaskan sejarah Taman Nasional Ujung Kulon (halaman 22). Perjalanan susur sungai dilakukan dengan perahu dari dermaga Pulau Handeuleum; Pak Karman turut sebagai jurumudinya. Saat menyusuri sungai melalui hutan bakau (halaman 26), sempat terjadi ketegangan karena bertemu buaya (halaman 28). Mereka berhenti di sebuah padang penggembalaan atau tegalan yang ada menara pengintai. Dari menara itu, mereka dapat meneropong babi hutan yang rupanya memiliki peran penting dalam ekosistem (halaman 30). Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Peucang.melewati Teluk Selamat Datang dan Tanjung Alang-alang.
3. PESONA LAUT DANGKAL PULAU PEUCANG
Di Pulau Peucang, mereka dapat menyelam dengan scuba (scuba diving) dan menikmati keindahan dan kekayaan panorama bawah laut (halaman 37).
4. MENEMBUS BELANTARA UJUNG KULON
Di pesanggrahan, mereka bertemu dan berkenalan dengan rombongan Pecinta Alam dari Jurusan Geografi IKIP Bandung yaitu JANTERA. (Nantinya mereka muncul lagi di belakang). Mereka lalu kembali menaiki perahu ke Ujung Kulon, tepatnya hutan Cikuya. Memasuki hutan Ujung Kulon, ada etiketnya. Orang tidak boleh berbicara sembarangan, dan mesti dengan suara pelan (halaman 48). Selain itu, ada tip umum dalam melakukan perjalanan di alam yaitu membungkus barang-barang dengan plastik agar tidak kebasahan kalau-kalau nanti tercebur ke sungai (halaman 51).
Bab ini adalah yang paling panjang karena di dalam hutan ada banyak hal yang ditemui dan dengan begitu memantik untuk menjelaskan banyak hal pula. Mereka bertemu jejak ajag dan badak (halaman 53 dan halaman 54), kotoran macan tutul (halaman 56), kera-kera, kura-kura (halaman 61), pemburu sarang burung walet (halaman 64), melewati pandan dan kelapa yang merupakan vegetasi khas pantai selatan Ujung Kulon, dan seterusnya.
Di Pantai Cibunar mereka bermalam dengan membuat bivak dari dahan dan ranting. Giri dan Andri mendapat giliran berjaga pertama dan terpengaruh oleh cerita-cerita horor yang banyak beredar di kawasan Ujung Kulon. Terdengar suara aneh yang merupakan foreshadowing bagi peristiwa yang akan terjadi di bab berikutnya.
5. PARA PENCURI PENYU HIJAU
Setelah bab-bab sebelumnya sarat oleh perjalanan dan pelajaran, baru di bab inilah "cerita" benar-benar terjadi. Bab ini termasuk paling panjang, walau tidak sepanjang bab sebelumnya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri pantai dari Cibunar ke Ciramea yang merupakan area penyu bertelur. Mereka melewati Sang Hyang Sirah yang berhawa mistis. Namun, setiba di Ciramea, Giri menyadari teropongnya tertinggal di Cibunar sehingga ingin balik ke sana dan Andri memutuskan untuk menemaninya.
(SPOILER.) Sepeninggal keduanya, Pak Usup mendapat giliran berjaga pertama. Ia memergoki pencuri telur penyu, diculik oleh mereka, dan disekap di gua Sang Hyang Sirah. Giri dan Kopral yang memutuskan untuk kembali segera--setelah mengambil teropong di Cibunar--melewati tempat itu dan menemukan Pak Usup. Mereka tergesa-gesa kembali ke Ciramea untuk melapor kepada Kang Bach dan Pak Wawan. Kang Bach dan Pak Wawan pun ke Sang Hyang Sirah untuk menyelamatkan Pak Usup, tetapi malah ikut disekap setelah pencuri telur penyu kembali dengan membawa lebih banyak orang. Giri cs yang berjaga di Ciramea lalu kedatangan rombongan JANTERA. Mendengar peristiwa itu, mereka bersama-sama ke Sang Hyang Sirah (khususnya yang laki-laki, sedang yang perempuan tetap di Ciramea) untuk meringkus para pencuri. Suara aneh yang terdengar di bab sebelumnya ternyata suara perahu para pencuri. Dengan perahu itu, para pencuri yang telah ditaklukkan dibawa ke Taman Jaya.
6. PERJALANAN PULANG YANG MENYENANGKAN
Setelah terjadinya huru-hara di bab sebelumnya, mereka pulang ke arah barat dan mendapat reward berupa perjumpaan dengan badak. Mereka mengamati dari atas pohon supaya tidak mengganggu si badak. Selain itu, karena telah membantu meringkus penjahat, mereka mendapat undangan untuk datang lagi ke TNUK tahun depan--gratis!
Dengan adanya peristiwa di bab 5 itu, timbul kesan bahwa pada masa itu TNUK masih kekurangan tenaga patroli dan fasilitasnya belum memadai (di antaranya belum dibangun pos ronda dan shelter di Cibunar dan Ciramea, halaman 94). Entah sekarang.
.
Sepanjang perjalanan menjelajahi TNUK ini, banyak pengetahuan dan amanat terkait hal-hal yang ditemui para tokohnya. Pengetahuan itu berdasarkan pada buku, majalah, dan surat kabar (halaman 95, "DAFTAR PUSTAKA"). Banyak pengetahuan yang berupa teori tetapi ada juga yang praktis, misalnya ditunjukkan caranya melakukan penelitian dengan mengukur suhu air laut dan membuat dokumentasi (halaman 37), menyensus badak di antaranya dengan mengukur panjang jejaknya (halaman 54), serta mencari tahu pakan macan tutul dengan mengambil kotorannya kemudian mencucinya sehingga tertinggal sisa-sisa hewan yang dimakannya (halaman 56). Sekalian disisipkan kritik akan kurangnya praktik, khususnya dalam pelajaran biologi, sehingga yang banyak meneliti sumber daya alam Indonesia justru pihak asing bukannya bangsa sendiri.
Karena buku ini mula-mula terbit pada 1985, saya jadi membayangkan Deti diperankan oleh Desy Ratnasari (yang tenyata baru lh. 1973 sehingga pada waktu itu usianya kurang lebih masih 12 tahun, wkwk) sedang Nesi oleh Paramitha Rusady (lh. 1966 berarti kurang lebih 19 tahun, cocok lah).