Gambar di-screenshot dari Ipusnas. |
Penerbit : Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Cetakan : pertama, Juni 2015
ISBN : 978-602-203-751-4
Jawa yang dimaksud dalam buku ini adalah Pulau Jawa secara keseluruhan, tidak hanya mencakup suku Jawa yang umumnya menempati Jawa Tengah dan Jawa Timur tetapi juga suku Sunda di Jawa Barat dan Banten. Kedua suku itu dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan wilayah dan kulturnya. Suku Betawi, misalnya, ternyata merupakan sub-suku Sunda. Di antara yang termasuk ke dalam suku Jawa ada yang memiliki kebudayaan khas seperti Samin, Tengger, dan Osing. (halaman 55).
Kita tahu bahwa Jawa merupakan kawasan terpadat di Indonesia (malah mungkin termasuk salah satu yang terpadat di seluruh dunia). Jumlah penduduk terus bertambah, lahan makin berkurang lagi menurun kualitasnya. Air tercemar, bahkan di tempat tertentu udara tak lagi layak hirup. Harimau jawa telah punah, badak jawa terpojok di Taman Nasional Ujung Kulon; tekanan terhadap keanekaragaman hayati sangatlah besar.
Namun di sela-sela kepadatan itu masih terdapat upaya-upaya pelestarian lingkungan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berperan dalam menetapkan dan mengelola kawasan konservasi, adapun masyarakat melalui kearifan lokal mempertahankan cara hidup tradisional yang tidak merusak lingkungan.
Bagi saya, keturunan Jawa yang tumbuh tinggal dalam gaya hidup kota besar selama bergenerasi-generasi (sejak kakek-nenek dan hampir-hampir tidak mengenal lebih daripada itu), membaca buku ini seperti menemukan akar budaya yang telah tercerabut begitu lama hingga tak berjejak, khususnya dalam interaksi dengan alam sekitar.
Saya tak mengakrabi falsafah hidup orang Jawa yang ternyata ada begitu banyaknya, apalagi yang sampai meliputi produk alam seperti jamu. Ya, kalau ada "filosofi kopi" kenapa tidak dengan "filosofi jamu" (mungkin bisa dikembangkan jadi novel lainnya? :v)? Malah kedelapan macam jamu itu rupanya melambangkan perjalanan manusia sejak baru lahir sampai akhir hidupnya (halaman 71-72).
Selain itu, ada pula mengenai jati (halaman 74-77). Dari pemaparan mengenai tipe-tipe tanaman jati berikut peruntukannya, ditarik kesimpulan bahwa orang tak boleh sembarangan dalam menebang dan menggunakan pohon. Ada cara tertentu dalam menebang jati, misalkan didahului dengan upacara dan ditentukan arah mata anginnya. Buku ini kemudian menjabarkan kepercayaan bagaimana jati tertentu (terutama berdasarkan pada tipe percabangan, tempat tumbuh, dan kondisi hidup) dapat menimbulkan energi positif atau negatif dalam pemanfaatannya. Sebagai contoh: jati bercabang 5 disebut pendawa, dipercaya kuat dan dapat mendatangkan kemakmuran sehingga disarankan untuk dijadikan bahan bangunan kantor pemerintahan; ada pula gandongan yaitu jati yang tumbuh dari cabang kayu dan kalau digunakan untuk rumah akan membawa penghuninya mudah memiliki niat yang tidak baik. Semuanya ada dari a sampai z. Saya jadi bertanya-tanya, apa berbagai keburukan yang terjadi di kehidupan ini di antaranya dikarenakan orang memakai jati (ataupun jenis pohon lainnya yang juga terdapat kepercayaan semacam ini) dari sumber yang salah untuk keperluan rumahnya? Entah apa sebetulnya ada penjelasan rasional di balik kepercayaan ini, misal agar tidak membabat habis semua jati tetapi menyisakan sebagian yang memiliki kriteria tertentu demi kepentingan ekosistem. Kalau ada hasil penelitian ilmiah yang membuktikan kenapa boleh begini kenapa tidak boleh begitu tentu bakal lebih meyakinkan, tetapi juga bakal makan waktu sangat lama sementara laju pengrusakan begitu cepatnya. Menuruti saja kepercayaan yang ada bisa jadi merupakan langkah efisien, ketimbang trial sendiri malahan banyak error. Proporsional saja.
Ada sejumlah tumbuhan lain yang digunakan masyarakat Jawa untuk membuat bangunan, di antaranya bambu. Disertakan tahapan pemanenan dan pengawetan kayu atau bambu (halaman 78).
Dalam buku ini tentunya diangkat pula mengenai praktik-praktik ritual yang bertalian dengan konservasi lingkungan, meskipun tidak dibenarkan menurut ajaran tertentu. Kalau caranya tidak boleh seperti itu, apakah alternatifnya supaya esensi konservasi lingkungan itu tetap terwujudkan? Saya berharap ajaran yang kontra terhadap cara semacam itu bisa menawarkan solusinya secara lebih gencar, karena sudah jelas perintah untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Sudah jelas pula menyangkut tujuan hidup manusia sebagai khalifah fil ardh dan rahmatan lil alamin. Tanpa gaya hidup yang mendukung konservasi lingkungan, apakah bisa selamat baik di dunia maupun di akhirat. Yang menarik, halaman 85 buku ini menyatakan bahwa pandangan filosofis, terhadap hewan misalnya, tidak cukup berdampak dalam upaya konservasinya. Kiranya ini sejalan dengan realitas bahwa ilmu tidak serta-merta mengubah akhlak.
Cara hidup masyarakat Baduy di Banten serta Tengger di Jawa Timur mendapat sorotan tersendiri di akhir buku. Saya pikir mereka--Baduy khususnya--adalah contoh sebagaimana yang dimaksudkan dalam buku The Moneyless Manifesto Mark Boyle, mengenai cara hidup yang langsung berhubungan dengan alam tanpa perantaraan uang. Cara hidup yang layak dipelajari dan diteladani sebisa-bisanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar