Gambar di-screeshot dari Ipusnas. |
- bahasa daerah,
- bahasa nasional (Indonesia),
- bahasa asing (di antaranya Inggris, yang paling mendominasi).
Gambar di-screenshot dari Instagram. |
Gambar di-screeshot dari Ipusnas. |
Gambar di-screenshot dari Instagram. |
Sebelumnya ini dibuat pada 26/06/23.
Menyambung pembacaan Cerita dari Tengah Rimba, bab ketiga buku ini yang berjudul "BERLADANG" menceritakan bagaimana penduduk di pedalaman Kalimantan membuka ladang dengan cara membakar hutan. Mereka berkeliling hutan untuk memilih lahan yang akan digarap. Setelah menemukan tempat pilihan (bisa didukung dengan adanya firasat), mereka membuat tanda (misalkan dengan sepotong bambu yang dibelah-belah atasnya sehingga berbentuk seperti bunga) sebagai pernyataan akan mengusahakan lahan tersebut. Tanda itu memberi tahu orang lain agar tidak menyerobot. Kemudian mereka mengadakan upacara kecil supaya tidak diganggu roh-roh halus yang dianggap menghuni tempat itu. Setelah upacara, mulailah menumbangkan pohon-pohon dan tetumbuhan lainnya di tanah itu. Hasil tebangan dibiarkan selama seminggu supaya mengering dan lebih mudah dibakar. Api dihidupkan pada keempat sudut lahan.
Perladangan ini tentulah sangat vital bagi warga yang menggarapnya karena merupakan sumber penghidupan mereka. Tetumbuhan yang dibakar pun menjadi abu yang dapat menyuburkan tanaman. Namun, di sisi lain terdapat nada mengkritisi praktik tersebut.
"Mereka bertiga menyaksikan secara pelan-pelan kayu-kayu kecil yang mereka tebang habis menjadi abu. Tak ada satu lagi yang hidup di sana. Tanaman musnah apalagi binatang. Entah berapa banyak makhluk hidup baik binatang maupun tanaman yang mati karena pembakaran tersebut. Makin besar api yang mereka nyalakan makin besar pula kepunahan yang terjadi. Hal itu akan selalu terjadi bilamana seorang peladang membakar hutan untuk membuka ladangnya." (halaman 20)
"Akan tetapi tidak jarang terjadi seorang peladang yang membakar hutan, yang terbakar bukan hanya apa yang mereka tebang akan tetapi juga hutan-hutan lain di sekitarnya dan menimbulkan akibat yang sangat merugikan." (halaman 22)
"Kata orang berladang ini merusak hutan. Mungkin juga ada benarnya, walaupun masih belum seberapa bilamana dibandingkan dengan luasnya hutan yang ada. Akan tetapi bilamana jumlah para peladang semakin bertambah semakin besar pula kerusakan hutan yang akan timbul." (halaman 26)
Pernyataan sebagaimana yang dikutip di atas menimbulkan kesan negatif pada teknik perladangan berpindah yang selama ini dilakukan oleh warga sekitar hutan. Seakan-akan, jika ada kebakaran hutan, maka peladang lah yang mesti disalahkan. Bab ini menyinggung juga perusahaan-perusahaan yang diberi Hak Pengusahaan Hutan oleh negara sehingga boleh menebangi hutan. ("Tetapi terpikir juga olehnya kalau terus-terusan ditebang dengan cara besar-besaran bisa habis juga hutan kita." --halaman 19) Namun tidak ada keterangan yang mendetail sebagaimana praktik yang dilakukan oleh warga. Malah terkesan bahwa perusahaan pemegang HPH itu lebih dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.
"'Ayah, apa tidak sayang kayu-kayu besar itu dibakar?' kata Arman. 'Kalau di seberang, di pabrik itu, kayu itu dibikin mereka papan dan macam-macam.' Tapi kata ayah, 'bagaimana kita mengerjakannya, mengangkatnya saja kita tidak kuat, alatnya tidak ada dan tempat ini jauh dari rumah kita.' Arman terdiam, kelihatannya ia masih belum puas karena ia merasa kayu itu cukup berharga dan dapat diolah tetapi menjadi terbuang karena dibakar begitu saja." (halaman 20)
Berselang hampir setengah tahun sejak membaca buku itu, saya menemukan video dari saluran Vox di YouTube yang berjudul "How decades of stopping forest fires made them worse" (dirilis pada 22 September 2021). Video ini dibuka dengan menceritakan upaya Departemen Kehutanan Amerika Serikat (US Forest Service) menangani kebakaran hutan yang justru memberikan efek bumerang. Selama beberapa dekade, upaya mereka efektif. Kebakaran hutan tidak terjadi lagi. Namun sekarang kebakaran hutan kembali terjadi bahkan lebih parah. Rupanya hutan yang terjaga dari api selama beberapa dekade itu memperbanyak materi pembakaran ketika api kembali melalap. (Scientists are beginning to understand that decades of fire suppression has created dense forests that are ready to ignite in catastrophic ways. --0.58 - 1.03) Maka muncullah solusi yang sebetulnya sudah dijalankan penduduk asli selama berabad-abad yaitu sengaja membakar petak-petak di dalam hutan. (One proposed solution dates back hundreds of years: burning parts of our forests, on purpose. --1.07 - 1.11).
Maka, api itu tidak sepenuhnya buruk. Api justru termasuk energi yang mendukung pertumbuhan.
"For most of the globe and particularly the forests in the western US, they actually evolved with fire. Tree rings, soil samples, and charcoal records all show a history of fire--likely started by lightning strikes and other natural phenomena. And that history shows that fire isn't always a destructive force--but an important part of forest ecology.
"Fire plays a really important role where it is essentially removing a lot of the older, less productive material from the landscape and is creating pockets in patches of different ages of vegetation.
"That diversity of ages also produces a diversity of species. In many places, fires work as a 'reset button' for the forest. It clears out dead brush and older materials and makes space for new growth. For some species, fire is even vital for reproduction. For example, low burning fires dry out sequoia tree cones enough for them to open and drop seeds. At the same time, the fire clears the ground to expose fresh, nutrient rich soil which creates ideal conditions for seeds to germinate. But aside from the ecological benefits, fires also help a forest become more resistant to high severity burns later on. Low burning fires clear the forest floor and lower branches from trees. Then, if a more intense fire moves through the same area, it's slowed by a lack of fuel.
"So when you get those type of patches all over the place, it becomes difficult for fire to move through that landscape again any time soon. But decades of suppression have led to a build up of dry, dread materials in our forests--so we're long past that point of just letting all fires burn." (2.04 - 3.55)
Wkwkwk, saya jadi menyalin sebagian transkrip. Untuk lengkapnya, silakan tonton sendiri videonya.
Tak Usah Kau Takut
Oleh Ny Widya Suwarna
Bobo No. 47/XXIX/02
Marta bergegas pulang ke
rumahnya. Ia baru saja belajar bersama di rumah Sisi. “Apakah hari ini lemet
buatan Mama laku terjual?” pikir Marta gelisah. Rumah Marta adalah sebuah
penginapan kecil. Namun akhir-akhir ini jarang ada tamu menginap. Padahal
penghasilan Mama berasal dari tamu-tamu itu. Ayah Marta sudah meninggal. Hari
ini Mama baru akan mencoba menjual lemet atau ketimus. Makanan kecil ini
terbuat dari singkong, diberi gula merah dan kelapa, dibungkus daun pisang dan kemudian
dikukus.
Ketika Marta masuk ke rumah,
tampak Mama dan Mbak Eni sedang duduk di kursi meja makan. Mama bertopang dagu,
sementara Mbak Eni duduk membisu. Di atas nampan di meja masih ada tumpukan
lemet.
“Halo, Ma, Marta sudah
pulang. Lo, kok lemetnya masih banyak?” tanya Marta, lalu duduk di sisi Mama.
Mbak Eni menghela napas.
“Tadi Mbak bawa 50 bungkus.
Mbak sudah keliling kompleks, tapi hanya laku 25 buah. Masih ada 25 buah lagi.
Banyak orang tak mampu beli kue. Mungkin mereka bikin sendiri!” kata Mbak Eni.
“Yaaa, baru jualan satu hari,
kok hasilnya payah!” seru Marta kecewa.
Mama tersenyum dan berkata, “Sudah,
tak usah kecewa. Kita mengucap syukur pada Tuhan karena sudah 25 buah lemet
laku. Mbak Eni pergi ke warung saja dan beli beras 1 kg. Nanti kalau ada tukang
sayur kita beli bayam dan jagung. Besok kita masak bubur!”
Kemudian Mama menyanyi
pelan-pelan, “Tak usah kau takut, Tuhan menjagamu ….”
Marta ikut menyanyi. Ada
perasaan hangat mengalir di hatinya. Tuhan selalu menolong kalau Marta, Mbak
Eni, dan Mama menghadapi kesulitan.
Selesai menyanyi, Marta dan
Mama saling berpandangan dan tersenyum. Mama bangkit dan mengambil lemet serta
memisah-misahkannya di meja.
“Marta, tolong antarkan 5
buah pada Ibu Sakri. Dan 5 buah lagi untuk Tante Ina. Yang 5 buah terserah kamu
mau berikan pada siapa. Yang 10 buah akan kita makan sendiri!” kata Mama. Marta
pergi ke dapur, mengambil kantung-kantung plastik dan memasukkan lemet-lemet
tadi.
Marta berjalan ke luar rumah
sambil berpikir-pikir. Mula-mula lemet yang 5 buah akan diberikannya pada
kawannya, Evi, yang tinggal di ujung jalan. Tapi, kemudian diurungkan niatnya.
Belum tentu Evi suka singkong. Mungkin lebih baik ia berikan pada tukang-tukang
ojek yang mangkal di ujung kompleks. Tapi ah, siapa tahu ada orang lain yang
lebih cocok untuk menerima lemet itu.
Marta menyelesaikan tugasnya
mengantar lemet pada Bu Sakri dan Tante Ina. Marta terharu ketika anak-anak Bu
Sakri menyambutnya gembira. Mereka berseru, “Horeee, ada kueee!” lalu mereka
segera memakan lemet bawaannya.
Tante Ina lain lagi. Ia
berkata, “Wah, lagi krismon bagi-bagi kue! Ini bukan untuk dijual?”
“Maunya sih dijual, tapi cuma
laku sebagian!” kata Marta. Kemudian Tante Ina memberikan 5 bungkus mi instant.
Ketika berjalan pulang Marta
masih bingung. Lemet yang 5 buah itu mau diberikan pada siapa? Ah, akhirnya
Marta ingat tukang tambal ban, Pak Amin. Ia pun belok ke kanan. Di bawah pohon
besar di ujung jalan, di sanalah tempat Pak Amin mangkal.
“Hei, nona kecil, sini dulu!”
tiba-tiba terdengar suara dari arah kanan. Oom Martin yang gemuk pendek
melambai-lambaikan tangan. Marta masuk ke halaman rumah. Tiba-tiba saja hatinya
tergerak untuk memberikan lemet itu pada Oom Martin.
“Ini untuk Oom!” katanya
sambil memberikan bungkusan berisi lemet.
“Terima kasih, terima kasih.
Kamu tahu saja Oom lagi lapar. Beta baru pulang memancing dan Tante belum
pulang dari kantor!” kata Oom Martin.
“Duduklah dulu. Oom mau makan
kue ini!” kata Oom Martin. Marta duduk di teras dan Oom Martin segera melahap
lemetnya. Satu buah, dua buah, tiga buah … dan Marta berseru,
“Sisakan untuk Tante, Oom!”
Oom Martin tertawa
terkekeh-kekeh. “Beta sedang lapar. Tuhan baik kirim nona kecil bawa lemet.
Bilang sama mamamu, besok Oom pesan 20 lemet untuk Tante. He he he, biar dia tidak
marah. Marta, tolong ambilkan Oom minum. Ambil sebotol air kulkas dan gelasnya!”
kata Oom Martin dengan riang. Marta menurut. Dalam hati ia merasa geli. Oom
Martin ini lucu.
Sesudah Oom Martin kenyang
makan dan minum ia berkata, “Tadinya Oom panggil kamu mau suruh masak supermi.
Tapi, sekarang Oom sudah kenyang. Terima kasih, ya. Tunggu sebentar, Oom mau
ambil ikan untuk mamamu!”
Oom Martin masuk ke dalam.
Kemudian ia keluar membawa seekor ikan tenggiri yang diikat dengan tali rafia.
“Terima kasih, Oom, Mama pasti
senang!” kata Marta sambil menerima ikan itu. Marta lalu pamitan. Namun saat
Marta berjalan keluar halaman. “Marta! Hei nona kecil … sini dulu!” panggil Oom
Martin. Marta yang sudah di jalan kembali lagi. Ada apa, pikir Marta.
“Ini uang untuk bayar lemet
20 buah. Kirim besok siang, ya!” Oom Martin memberikan uang Rp 10.000.
“Kembalinya besok, ya Oom!”
kata Marta.
“Ah, kembalinya untukmu
sajalah. Oom tahu kamu anak Mama yang baik!” kata Oom Martin. Marta mengucapkan
terima kasih.
Di jalan menuju rumah, tak
putus-putus Marta bersyukur pada Tuhan. Siapa sangka ia bertemu Oom Martin yang
baru pulang mancing ikan. Siapa sangka Oom Martin pesan lemet dan Tante Ina
memberikan mi instant. Siapa sangka anak-anak Bu Sakri menyambut pemberian
sederhana itu dengan riang. Sungguh Tuhan amat baik. Dalam hati Marta kembali
menyanyi dengan riang,
“Tak usah kau takut, Tuhan menjagamu ….”
BONUS: BAHASA JAKSEL KID 2000-AN
(Dari majalah yang sama, sebelum sampai pada cerpen di atas, ada artikel menarik.)
Gambar dari Simply Psychology. |
Mbak Mitha. |
Lingkaran kartu sebelum dijamah peserta. |
Ciluk ... |
... baaa!!! |
The reason we struggle with insecurity is because we compare our behind-the-scenes with everyone else's highlight reel.- Steven Furtick