Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia (The World Bank) dan Conservation International Indonesia
Edisi pertama, Juni 2005
Gambar dari Gramedia. |
(Buku tersedia di Ipusnas.)
PENDAHULUAN
Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia dan Conservation International Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut bisa dibilang merupakan lembaga "sekuler", dalam arti tidak secara khusus mendakwahkan nilai-nilai agama tertentu. Kalau boleh diasumsikan melalui kacamata sekuler, yang dikedepankan adalah kepentingan konservasi alam dan salah satu cara efektif untuk menyampaikan pesan tersebut kepada masyarakat adalah melalui pendekatan agama, khususnya di negara yang dianggap relatif agamis seperti Indonesia. Di halaman depan buku ini pun, tepatnya sebelum "DAFTAR ISI", ada suatu disclaimer yang menyatakan: "Penerbitan publikasi ini didukung oleh Inisiatif Keagamaan dan Lingkungan (Faiths and Environment Initiative) Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang disajikan dalam publikasi ini adalah milik penulis dan tidak secara langsung merefleksikan pendapat dari Dewan Direktur Eksekutif Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development)/Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya …" dan seterusnya.
Buku ini dimulai justru dengan mengkritisi sistem sekuler. Dalam kacamata sekuler, agama dipandang hanya sebagai urusan pribadi yang tidak boleh mencampuri ranah publik. Namun, sistem sekuler yang dikotomis itu seakan-akan tidak hanya memisahkan urusan dunia dari urusan agama, urusan pribadi dari urusan publik, tetapi juga antara pembangunan dan pelestarian, antara ekonomi dan ekologi. Baru belakangan, ketika ancaman pemanasan global akibat kerusakan alam makin nyata, mulai tumbuh kesadaran bahwa hal-hal yang tampaknya terpisah itu ternyata mesti berjalinan sehingga muncul term seperti "pembangunan berkelanjutan", "ekonomi hijau", dan sebagainya. Wujud dari sistem sekuler yang di antaranya liberalisasi dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab dari kerusakan alam karena tidak sesuai dengan fitrah.
Padahal agama, dalam hal ini Islam, telah mengatur segala sesuatunya menurut fitrah (KBBI VI: sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan). Dalam agama Islam, sistem yang sejalan dengan fitrah itu dinamakan dengan "syariat". Selama ini, syariat dikenal sebagai hukum yang mengatur ibadah-ibadah ritual Islam saja seperti salat, puasa, zakat, nikah, dan sebagainya, Padahal syariat mencakup hal-hal yang sifatnya sangat luas dan menyeluruh. Syariat bukan hanya mengatur urusan pribadi melainkan juga memberikan petunjuk akan cara membangun sistem pemerintahan dan peradaban yang madani, termasuk dalam pengelolaan alam. Maka pengelolaan alam bila dipandang dari sudut pandang Islam memang tidak cukup dijadikan sebagai urusan pribadi belaka, tetapi memerlukan kebijakan yang otoritatif apalagi mengenai objek-objek yang menyangkut kemaslahatan umum seperti tata kawasan dan hidupan liar. Petunjuk-petunjuk mengenai pengelolaan alam itu dapat ditemukan dalam sumber hukum Islam, yakni Al-Qur'an berikut sunah, ijmak dan qias (halaman 24), sebagaimana yang akan dipaparkan dalam buku ini.
Namun, buku ini memaklumi bahwa sekarang ini ketika menyinggung soal syariat, akan timbul kesan ngeri, bahkan antikebebasan dan rentan menimbulkan perpecahan. Sebagaimana yang diketahui dalam sejarah pendirian negara Indonesia, ada tujuh kata menyangkut syariat yang dihapus dari Piagam Jakarta. Di kalangan umat Islam sendiri banyak yang enggan untuk menjalankan syariat sepenuhnya.
Padahal syariat pernah diterapkan di wilayah Indonesia pada masa kerajaan Islam (kesultanan), sebelum kemudian bangsa Eropa masuk dan menerapkan hukumnya sendiri yang mana sampai sekarang masih diikuti oleh masyarakat pada umumnya (halaman 3). Namun, buku ini tidak sampai meneliti bentuk-bentuk pengelolaan alam pada masa berlakunya syariat di nusantara itu.
Maka buku yang relatif tipis ini seperti baru memberikan pengantar yang merumuskan konsep pengelolaan alam menurut Islam berikut contoh-contohnya yang terdapat dalam hadis (masa hidup Rasulullah dan khulafaurasyidin) dan kitab-kitab fikih.
TEORI LINGKUNGAN ISLAMI
Sistem ekonomi yang dominan sekarang ini sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran, di antaranya berupa pertambangan untuk menghasilkan produk-produk yang diperlukan untuk menjalankan teknologi sehari-hari, seperti minyak bumi, batu bara, tembaga, emas, timah, dan seterusnya. Pembukaan tambang itu dilakukan dengan penggundulan hutan yang untuk memulihkannya (restorasi) memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang sangat lama untuk kembali pada ekosistem semula yang seimbang. Sementara itu, penggundulan hutan mengakibatkan berbagai bencana seperti: banjir, longsor, pencemaran, berkurangnya biodiversitas, dan lain-lain.
Adalah ironi bahwa Indonesia memiliki populasi muslim yang sangat besar tetapi mengalami kehancuran alam yang sangat besar pula, yang mana tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam Islam sebagaimana yang salah satunya termaktub dalam QS. Al-Qasas (28): 77: "... dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Padahal Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi, banyak di antaranya yang endemik (KBBI VI: berkenaan dengan spesies organisme yang terbatas pada wilayah geografis tertentu). Akibatnya ada spesies-spesies yang kini sudah punah misalnya harimau jawa dan harimau bali, banyak lainnya yang terancam punah seperti badak jawa dan orangutan. Banyak jenis langka yang diperdagangkan dan ditangkap langsung dari alam, pelakunya ada yang muslim juga.
Dengan kerusakan alam yang telah berlangsung demikian parah sekarang ini, setiap manusia perlu memahami ekologi yaitu hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya) (KBBI VI). Namun pengertian ekologi yang demikian sesungguhnya hanya melalui kacamata sekuler, sebab dalam kacamata syariat, memahami hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya, disertai dengan amalan nyata untuk memelihara lingkungan hidup, memang sudah semestinya sebagai bukti keimanan yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di akhirat.
Yang mengherankan, kajian keislaman umumnya hanya seputar hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama manusia, tetapi meluputkan bahwa alam sekitarnya itu sesungguhnya bagian dari umat yang harus diperhatikan juga. Dalam QS. Al-An'am (6): 38 disebutkan: "Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu." Pernyataan "umat-umat (juga) seperti kamu" boleh jadi mengisyaratkan agar kita mesti memperhatikan hewan-hewan selayaknya kita memperhatikan diri sendiri atau sesama manusia karena mereka pun sama-sama umat.
Bahkan dikatakan bahwa seluruh alam itu sesungguhnya juga bertasbih kepada Allah sebagaimana dalam ayat-ayat berikut.
QS. Al-Isra (17): 44, "Langit yang tujuh, Bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka."
QS. An-Nur (24): 41, "Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih."
QS. Sad (38): 18, "Sungguh, Kamilah yang menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) pada waktu petang dan pagi."
QS. Saba (34): 10, "Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), 'Wahai gunung--gunung dan burung-burung! Bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud," dan Kami telah melunakkan besi untuknya."
Implikasinya, mengapa banyak muslim yang seakan-akan tidak memiliki penghargaan terhadap umat yang sama-sama menyucikan Allah itu, alih-alih membiarkan saja terjadinya kerusakan alam malah termasuk pemanfaat dan penikmat hasil dari kerusakan itu? Padahal dalam QS. Al-Ma'idah (5): 2 dikatakan, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
Akar dari kerusakan itu adalah sifat manusia yang hanya mengikuti keinginan (hawa nafsu) tanpa ilmu pengetahuan, seperti dinyatakan dalam ayat-ayat berikut.
QS. Al-Mu'minun (23): 71, "Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan Bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu."
QS. Ar-Rum (30): 29, "Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti keinginannya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi mereka."
Karena itulah, manusia terperdaya oleh setan sehingga memandang baik perbuatan-perbuatannya yang sesungguhnya menimbulkan kerusakan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat berikut.
QS. Al-Hijr (15): 39, "Ia (iblis) berkata, 'Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di Bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya."
QS. Al-Kahf (18): 103-105, "Katakanlah (Muhammad), 'Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari kiamat."
QS. Fatir (35): 5, "Wahai, manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah." …. 8, "Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu?"
Maka kalau ditanyakan, sebagaimana tertera pada judul buku, "Bagaimanakah konservasi alam dalam Islam?" Buku ini menjawab: kembali pada syariat yang sesuai dengan fitrah. Karena kerusakan alam diakibatkan oleh perbuatan manusia, maka konservasi alam sejatinya persoalan mengelola jiwa (nafsu) manusia menurut fitrah sebagaimana dinyatakan dalam QS. Ar-Rum (30): 30, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Untuk menjalankan syariat, pertama-tama manusia harus memahami beberapa hal yang dalam buku ini istilahnya adalah "konsep kunci Islam", yakni: Tauhid (keesaan Allah), Khilafah (kepemimpinan), Istislah (kemaslahatan umat), serta Halal dan Haram (peraturan mengenai yang dibolehkan dan yang dilarang). Konsep ini diambil dari buku Ziauddin Sardar berjudul Towards an Islamic Theory of Environment in Islamic Futures: A Shape of Ideas to Come (Mansel Publishing, London: 1985).
Tauhid
Tauhid adalah akar dari syariat. Untuk meyakini syariat sebagai jalan yang benar, manusia perlu terlebih dahulu meyakini tauhid, yaitu mengimani satu Pencipta yang melalui malaikat memberikan petunjuk kepada rasul yang tertulis dalam sebentuk kitab untuk menjalani hidup menurut ketetapan-Nya karena semuanya kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari akhir.
Khilafah
Kepemimpinan menyangkut tanggung jawab baik individual maupun kolektif. Manusia perlu memahami amanat yang dipikulkan padanya sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat berikut
QS. Al-Baqarah (2): 2, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah (: pengganti, pemimpin, penguasa) di bumi.' Mereka berkata, 'Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?' Dia berfirman, 'Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." …. 24: "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, 'Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.' Dia (Ibrahim) berkata, 'Dan (juga) dari anak cucuku?' Allah berfirman, '(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim."
QS. Al-Isra' (17): 70, "Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna."
QS. Al-Ahzab (33): 72, "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, Bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
QS. Sad (38): 26, "(Allah berfirman), 'Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah kan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan."
Di halaman 25 buku ini terdapat ilustrasi yang menggambarkan manusia sebagai predator puncak, diambil dari buku MacKinnon dkk. (Ekologi Kalimantan, Prenhallindo: Jakarta, 2000). Dengan kelebihan akal yang dikaruniakan kepadanya, manusia mampu menaklukkan alam. Namun manusia harus mempergunakan kelebihannya itu secara bertanggung jawab.
Al-Istishlah
Sebagai pengambil kebijakan di muka bumi, manusia harus mempertimbangkan kemaslahatan umum/umat. Bentuknya dapat berupa pemanfaatan SDA yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan generasi yang akan datang. Artinya, pemanfaatan SDA jangan sampai melampaui batas. Menurut J. E. Lovelock (Gaia: A New Look at Life on Earth, Oxford University Press: 1979), Bumi memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri (homeostasis). Dengan mempelajari kemampuan tersebut manusia dapat memperhitungkan pemanfaatan SDA yang optimal dan efisien. Kalau tidak, faktor-faktor pendukung dalam pemulihan akan hilang sehingga ekosistem tidak dapat kembali seperti semula tetapi malah menjadi lahan terlantar yang tidak produktif dan tidak subur. Hal ini diungkit dalam ayat-ayat berikut.
QS. Al-A'raf (7): 56, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
QS. Asy-Syu'ara (26): 151-152, "Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas, yang berbuat kerusakan di Bumi dan tidak mengadakan perbaikan."
Halal dan Haram
Aturan mengenai halal dan haram merupakan wujud praktis dari pembatasan konsumsi manusia agar tidak sampai menimbulkan kerusakan, sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 168, "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."
BENTUK KONSERVASI ALAM DALAM KHAZANAH ISLAM
Secara garis besar, bentuk-bentuk konservasi alam dalam khazanah Islam yang disebutkan dalam buku ini tertuju pada dua komponen, yaitu hewan dan kawasan.
Hewan
Kepedulian Rasulullah terhadap hewan (diambil dari buku K. H. M. Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhamad S. A. W. Jilid 8, Cetakan IV, PT Bulan Bintang, Jakarta: 1994) (lihat halaman 38-43)
Larangan
Memisahkan anak burung dari induknya,
Membakar sarang semut (menyiksa hewan dengan api),
Membebani hewan dengan muatan berat,
Membunuh hewan kecuali untuk dimakan,
Perintah
Menunggang hewan dengan sikap baik dan hewan itu dalam keadaan sehat,
Merawat hewan peliharaan dengan baik,
Membunuh hewan (hanya untuk dimakan) dalam keadaan sehat dengan cara yang tidak menyakiti/tidak menganiaya (mengurung hidup-hidup, melemparkannya atau melemparinya dengan batu sampai mati, menjadikannya sasaran permainan), yaitu dengan menyembelih menggunakan pisau yang tajam.
Larangan dan perintah di atas masih relevan sampai sekarang. Contohnya sebagai berikut.
Dalam perdagangan satwa liar, misalnya untuk peliharaan, yang diambil adalah anak hewan yang diambil langsung dari alam dipisahkan dari induknya dengan cara dibunuh atau lainnya.
Menyiksa hewan dengan api dapat terjadi dalam tindakan membakar hutan untuk membuka lahan. Ini merupakan tradisi warga pedalaman menggunakan sekat bakar agar api tidak menjalar ke mana-mana dan abunya dapat menyuburkan tanah, tetapi perusahaan juga melakukannya secara besar-besaran. Hutan yang terbakar dapat merembet luas sehingga menimbulkan bencana asap yang mengganggu pernapasan.
Membunuh hewan dengan cara menganiaya masih dilakukan sekalangan orang, misalnya pemakan anjing yang katanya untuk membunuhnya dengan memasukkannya ke dalam karung kemudian memukulinya sampai mati karena rasa daging akan lebih sedap jika menggunakan cara demikian. Pemanfaatan hewan untuk uji coba obat-obatan juga dapat merupakan bentuk penyiksaan hewan.
Hak Asasi Hewan
Ahli hukum Islam (fukaha) Izz al-din Ibn Abd al-Salam pada abad ke-13 merumuskan hak ternak dan binatang lain dalam kitab Qawaid al-Ahkam (perincian ada di halaman 48-49). Poin-poinnya persis sebagaimana bentuk kepedulian Rasulullah terhadap hewan. Hak ini merupakan bagian dari syariat yang pelaksanaannya dijamin oleh negara dengan menunjuk wali atau penanggung jawab, dapat berupa Undang Undang Hak Asasi Hewan.
Konsumsi
Hal ini secara khusus dibahas di "BAB V. MENJAGA POLA KONSUMSI" dan "BAB VI. PERDAGANGAN BINATANG BERDASARKAN SYARIAT", mencakup seluruh rantai pemanfaatan manusia terhadap satwa liar khususnya yang dilindungi mulai dari produksi (perburuan di alam), distribusi (perdagangan), sampai konsumsi (untuk makanan, obat-obatan, peliharaan, dan sebagainya).
Pembahasan diawali dengan menerangkan tentang fikih makanan (hukum mengonsumsi hewan) yang dipengaruhi oleh latar belakang fukaha. Ada empat mazhab besar dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab itu dalam menentukan status hewan yang boleh atau tidak boleh dimakan. Perlu dipertimbangkan soal kondisi lingkungan biogeografis, populasi satwa liar, budaya, ekonomi, politik, iptek, dan sebagainya pada masa ditetapkannya hukum tersebut yang mungkin berlainan atau belum berkembang setaraf sekarang (halaman 69, 76-81). Ketetapan fikih menurut tiap-tiap mazhab dirangkum dalam tabel di halaman 78. Sebagai contoh, Hanafi dan Hambali mengharamkan binatang bertaring dan bercakar yang memakan binatang lain seperti harimau, buaya, beruang, dan sejenisnya, tetapi Maliki memakruhkannya. Contoh lain, Hanafi, Hambali, dan Maliki memubahkan hewan-hewan laut yang ada bandingannya di darat seperti anjing laut, ular air, dan sebagainya, tetapi Syafi'i mengharamkannya. Ketetapan fikih tersebut kemudian dibandingkan dengan keadaan hewan-hewan itu sekarang ini, khususnya jenis yang dilindungi menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Flora dan Fauna)/CITES (halaman 101). Banyak hewan yang menurut ketetapan fikih tergolong haram rupanya dewasa ini dikategorikan sebagai endangered atau memiliki risiko kepunahan tinggi, contohnya harimau sumatera dan badak jawa (halaman 101-102).
Pengambilan satwa liar yang terus-menerus dari alam dapat mengakibatkan berkurangnya populasi, menimbulkan ancaman kepunahan spesies serta mengganggu keseimbangan ekosistem. Sebagai contoh, berkurangnya spesies predator atas seperti elang/harimau dapat menyebabkan peningkatan populasi tikus/babi hutan yang ujungnya merugikan manusia sendiri karena menyerang sawah/ladang mereka.
Pembahasan diakhiri dengan menyiratkan bahwa turut menjadi bagian dari rantai pelanggaran hukum atas hewan–sekalipun tidak memakannya secara langsung–menurut QS. Al-Maidah (5): 2 (sebagaimana telah dikutip di atas) serta kaidah fikih "sesuatu itu dihukumkan sesuai dengan hukum asalnya" (halaman 99) adalah haram.
Pembahasan disisipi dengan bentuk-bentuk penyuluhan konservasi alam dalam lingkungan Islam dewasa ini, misalnya berupa lembaran informasi yang dibagikan pada waktu Jumatan (halaman 79-80) serta pertemuan para pimpinan pondok pesantren se-Indonesia untuk menggagas fikih lingkungan (fiqh al-bi'ah) (halaman 91-93).
Kawasan
Hal ini secara khusus dibahas di "BAB IV. KONSERVASI ALAM DALAM ISLAM". Dalam khazanah Islam yang dimunculkan di buku ini, terdapat beberapa kategori kawasan sebagai berikut.
Hima' (kawasan preservasi hewan)
Hima' adalah kawasan lindung yang tidak boleh digarap karena diperlukan untuk menjaga suatu ekosistem agar makhluk hidup di dalamnya lestari (lihat halaman 37, 53-54, "Daftar Istilah"). Dalam masa hidup Rasulullah, beliau menetapkan kawasan untuk menempatkan kuda-kuda perang kaum Muhajirin dan Ansar serta hewan-hewan zakat (halaman 54). Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab terdapat hima' untuk memfasilitasi hewan-hewan ternak milik penduduk yang tidak mampu (halaman 55). Kemudian ahli fikih Imam Al-Mawardi (370 - 450 H/949 - 1029 M) dalam kitab Al-Ahkam al Shulthaniyyah membuat ketetapan-ketetapan mengenai peruntukan lahan yang dilindungi menurut status kepemilikan dan golongan-golongan tertentu dalam masyarakat dengan mengutamakan kalangan fakir (halaman 56-57). Sampai sekarang terdapat sejumlah hima' (6 tipe menurut Ziauddin Sardar) di Arabia Barat/Semenanjung Arabia yang masih bertahan sejak awal munculnya Islam dan diakui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (halaman 55-58).
Dalam konteks sekarang, hima' dapat berupa kawasan yang statusnya Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Zona Inti Taman Nasional. Kawasan-kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali untuk kepentingan khusus, di antaranya penelitian.
Harim (kawasan perlindungan air dan tanah)
Harim adalah kawasan lindung untuk menjaga keutuhan sumber air, misalnya sumur dan sungai (lihat halaman 29-30, "Daftar Istilah").
Dalam konteks sekarang, harim dapat berupa kawasan yang statusnya Hutan Lindung dan berfungsi menjaga Daerah Aliran Sungai serta tanah yang curam dan mudah tererosi untuk menghindarkan dari bencana banjir dan longsor.
Lahan terlantar
Al-Mawat artinya tanah yang belum dikelola sehingga belum produktif bagi manusia. Al-Ihya artinya hidup atau menghidupkan. Ihya al-mawat berarti usaha mengelola lahan tidak produktif agar bermanfaat bagi manusia. Terdapat hadis yang mana Rasulullah menganjurkan untuk memakmurkan tanah yang tidak dimiliki siapa-siapa serta bukan termasuk kawasan lindung. Pada masa kekhalifahan Umar (bin Khattab?), lahan yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun akan diambil alih (halaman 66). Individu tidak boleh memiliki tanah secara berlebih-lebihan sehingga umat tidak dapat mengambil manfaat dari padanya (halaman 66).
KESIMPULAN
Umat Islam perlu mendalami agamanya, terutama kaitan antara tazkiyatun nafs dan kelestarian alam semesta (halaman 103-104).
Individu perlu meluaskan wawasan mengenai dampak dari aktivitas berikut rantai konsumsinya sehari-hari yang belum tentu sustainable, dan beralih ke alternatif yang meminimalkan akibat negatif terhadap alam (misal dengan mempelajari keterampilan swadaya, membeli dari produsen lokal, mengurangi sampah dengan membatasi konsumsi, mengguna/mendaur ulang, dan seterusnya) dalam rangka bertakwa kepada Allah (halaman 103-105). Ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait:
QS. Ali Imran (3): 137, "Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)."
QS. Al-An'am (6): 11, "Katakanlah (Muhammad), 'Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.'"
QS. Yusuf (12): 109, "Dan kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"
QS. An-Naml (27): 69, "Katakanlah (Muhammad), 'Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa."
QS. Ar-Rum (30): 9, "Dan tidakkah mereka bepergian di Bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah Bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri." …. 42, "Katakanlah (Muhammad), 'Bepergianlah di Bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menyekutukan (Allah)."
QS. Muhammad (47): 10, "Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di Bumi, sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu."
Ulama perlu memutakhirkan pengajaran agama menyesuaikan dengan kondisi lingkungan hidup dewasa ini (halaman 102, 104).