Selasa, 27 Mei 2025

Budaya Sunda (Perspektif Islam)

Gambar dari Digital Library
UIN Sunan Gunung Djati
.
Penulis : Dr. Enok Risdayah, M.Ag., Dr. H. Asep Iwan Setiawan, M.Ag., Dr. H. Rohmanur Aziz, M.Ag., Dr. H. Enjang AS, M.Si., M.Ag.
ISBN : 978-602-446-594-0, (PDF) 978-602-446-632-9
Cetakan pertama, Desember 2021
Tahun Terbit Digital, 2021
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya, Bandung

Menghabiskan sebagian besar umur di Kota Bandung yang notabene wilayah Sunda, saya tidak tahu banyak tentang budaya Sunda. Pertama, latar keluarga saya bukan suku Sunda dan kami tidak berbicara dalam bahasa Sunda. Kedua, sedari kecil di lingkungan perumahan, sampai SD, SMP, SMA, saya bergaul dengan teman-teman yang sama-sama bukan asli Sunda. Tentunya ada di antara teman-teman yang keturunan Sunda, atau paling tidak, "mengajarkan" kata-kata Sunda sehingga saya tahu sedikit-sedikit dan berbicara pun dalam dialek Sunda. Selain itu, pastinya saya mendapat pelajaran Basa Sunda di sekolah (SD dan SMP), tapi sepertinya tidak begitu berpengaruh. Di luar itu, kami sebagai anak baru gede, daripada mempelajari budaya Sunda, misalkan dengan membacai buku-buku ceritanya atau mendengarkan lagu-lagunya, lebih banyak mengonsumsi budaya luar, seperti komik-komik Jepang, novel-novel Barat, atau lagu apa pun (banyak yang berbahasa Inggris) yang diperdengarkan oleh radio anak muda, belum lagi tontonan impor di televisi. Maka budaya yang asalnya dari tempat-tempat nun jauh di sana justru terasa lebih dekat daripada budaya asli di daerah yang ditinggali.

Baru setelah berkuliah di luar kota, berjarak dari "kampung halaman" tempat kelahiran dan dibesarkan, saya meresapi latar asal saya, yaitu budaya kota besar yang kesunda-sundaan. Waktu merasa homesick, entah kenapa saya mengunduh lagu-lagu Sunda dari internet. Ketika itu sebetulnya mulai ada rasa penasaran untuk mengenal lebih jauh tentang Sunda, tapi tidak kunjung terlaksana. 

Baru tahun-tahun belakangan muncul Ipusnas yang memudahkan akses ke literatur kesundaan, kemudian klub buku yang saya ikuti juga mengangkat buku-buku sastra Sunda, ditambah lagi sekarang ada SundaDigi yang relatif lengkap daripada kamus-kamus yang tersedia di rumah. Selain buku-buku cetak pelajaran Basa Sunda dari kelas 1 SD, serta yang dibahas di klub buku, buku ini yang pertama-tama saya pilih untuk baca. Judulnya menyebut "Perspektif Islam", subjek lain yang saya mau pelajari juga--sekali mendayung, dua pulau terlampaui.

Buku ini meringkaskan serba-serbi kesundaan, mulai dari tata krama, adat istiadat (tradisi dan ritual), bahasa dan sastra, arsitektur, makanan, busana, sejarah, falsafah, hingga sistem pengetahuan masyarakat (meliputi penentuan jodoh, hari baik, dan kematian, serta pamali, pelet, teluh, dan pesugihan). Ada beberapa referensinya yang saya sudah baca, yaitu Munjung (dalam terjemahan Indonesia: Memuja Siluman) dan Rasiah nu Goreng Patut (yang ini belum sampai tamat karena bahasanya susah :'). Setelah penjabaran, di akhir bab dikaitkan dengan Islam. 

Namun, untuk penjelasan dari "perspektif Islam" ini saya rasakan kudu berhati-hati. Hanya karena ada "Islam", bukan berarti terima saja bahwa itu memang "Islam". Apalagi bila terselip paham yang justru mengaburkan hakikat dari agama itu sendiri. Jadi dari buku ini saya hanya ambil wawasan kesundaan serta masukan yang sifatnya umum, seperti soal tata krama dalam berbahasa dan berperilaku, sedangkan untuk keislamannya, saya berniat untuk terus membaca sebanyak-banyaknya buku terkait. Semoga istikamah, insyaallah.

Kamis, 22 Mei 2025

Tentang Pornografi di Film dan Komik

Hikmat Darmawan, 2023
CV. Garuda Mas Sejahtera, Surabaya

Buku Ipusnas setebal 67 halaman ini memuat 5 tulisan. "KETIKA SEKS JADI TEKS: Kama Sutra, dan lain-lain" mengomentari film Kama Sutra Mira Nair. "PORNOGRAFI DI MEDIA: STANDAR YANG KEREPOTAN" mengenai hubungan antara film dan komik yang saling menginspirasi, termasuk dalam pornografi. "SEKS TAK INGIN SERIUS" mempermasalahkan film komedi seks Indonesia. "EROS DAN HENTAI: MEMAHAMI PORNOGRAFI DALAM KOMIK" menyarikan riwayat komik dewasa di Eropa, Amerika, Jepang, dan Indonesia, sekalian menanggapi penentangan terhadap UU Pornografi. "PORNOGRAFI EISNER" membela trilogi novel grafis Kontrak dengan Tuhan Will Eisner, yang dipulangkan dari Toko Buku Gramedia Karawaci karena mengandung adegan seks.  

Mendefinisikan pornografi berikut batas-batasnya itu pelik, karena standar yang relatif dalam kemajemukan masyarakat yang bukan hanya menyangkut budaya melainkan juga masa. Di antara negara-negara yang budayanya bebas saja terdapat aturan yang berbeda-beda mengenai pornografi, sebagaimana yang dibahas dalam buku Erotic Comics in Japan: An Introduction to Eromanga, yang diungkap pula dalam buku ini. 

Kalau pengertiannya sekadar yang "membangkitkan hasrat seksual", ini juga relatif, tergantung pada individu atau budaya masing-masing. Ada yang sudah biasa melihat tubuh telanjang, sehingga tidak mudah terangsang. Ada pula yang tak sengaja lihat betis tersingkap langsung tegang. Di tempat yang isinya orang-orang yang pada menutup aurat pun tetap terjadi kasus-kasus pencabulan. Saya tidak nyaman membaca Haruki Murakami, tapi orang lain fine-fine saja. Ada pula karya-karya yang barangkali termasuk saru, tapi alih-alih merangsang, bagi saya pribadi justru berhasil menyampaikan suatu pesan, contohnya: Onani Master KurosawaDua Bersaudara (Yu Hua), "The Dabba Dabba Tree" (Yasutaka Tsutsui).

Selain itu, bagi yang masih ingat agama, ada suatu dilema, sebagaimana diungkap penulis tatkala menonton Kama Sutra Mira Nair: "Tapi sebagai seorang penonton yang orang Timur juga (wa bil khusus, sebagai orang Islam), saya kembali menghadapi dilema yang mungkin tipikal dalam menyaksikan ketelanjangan di layar itu. .... toh saya tetap percaya pada 'dosa', dan bagaimana pun merasa saru dalam menonton serba ketelanjangan itu." (halaman 9 atau 13/67) Ibarat masyarakat Jepang yang katanya butuh katarsis akibat dari budaya yang "mengidealkan pengekangan diri, sementara modernisasi terasa semakin menekan, melahirkan pelepasan dalam imajinasi yang tertuang dan dinikmati pada manga dan anime" (halaman 47 atau 51/67), barangkali memang sudah sewajarnya ada perasaan berkonflik. 

Bagaimanapun seksualitas merupakan salah satu persoalan yang mesti dialami sesuatu makhluk dalam usia dewasanya. Seks adalah laku esensial dalam penciptaan; dengan seks, sesuatu makhluk mengada dan melakoni tujuan penciptaannya. Barangkali itu sebabnya dalam Islam selibat tidak disukai; hasrat itu memerlukan penyaluran, yang disyariatkan melalui pernikahan. Meskipun, dalam praktiknya, tidak sesimpel itu mengatasi masalah dengan menikah. Ada yang susah menemukan jodoh. Ada pula yang sudah menikah, tetap liar, atau setelah masalah penyaluran hasrat teratasi secara halal, lantas tertimpa masalah-masalah lainnya. 

Maka terciptalah bentuk-bentuk penyaluran lain, misalnya melalui karya seni atau fiksi, meski kemudian timbul soal lain: apakah memang hanya sebagai katarsis atau justru katalis bagi merebaknya kasus-kasus? Ada yang bilang pornografi adalah penyaluran aman, daripada dilampiaskan di kenyataan. Ada pula yang katanya terdorong merudapaksa setelah menonton film dewasa. Ini kayak telur dulu atau ayam dulu. 

Penulis cenderung memandang bahwa pornografi tak lebih dari perpanjangan gaya hidup seksual suatu masyarakat (halaman 33 atau 37/67). Contohnya, permintaan yang makin besar akan pornografi anak memungkinkan makin banyak kasus eksploitasi anak untuk memenuhinya. Hal ini disanggah dalam Erotic Comics in Japan. Katanya di Jepang pornografi anak tidak serta-merta meningkatkan kasus eksploitasi anak. Barangkali di Jepang masyarakatnya memang sudah "dewasa", mampu membatasi antara khayalan dan realita. Di Indonesia, kita ingat belum lama ini muncul kasus ibu membuat video mencabuli anak sendiri karena motif ekonomi.
"... menerima kebebasan pornografis bukan tak menyimpan masalah. Argumen moral seringkali dianggap argumen yang lemah. Toh argumen ini selalu ditengok jika kita menemui ekses negatif dari kebebasan. Dan ekses negatif itu memang ada." (halaman 21 atau 25/67) 
Sex sells, dan orang pada mau saja membelinya tanpa pikir panjang. dan orang lain ikut kena getahnya. Lama-lama memualkan dihadapkan dengan materi sugestif yang out of place saat membuka media apa pun, mulai dari komik, novel, sampai Duolingo, Instagram Shopee, YouTube, tanpa mesti disebabkan oleh seringnya sengaja membuka situs begitu. Malah di dunia nyata sudah berkali-kali ketika saya lagi anteng di ruang publik, ada saja yang menyodorkan pemandangan tak senonoh. 
"Benarkah film mencerminkan penontonnya? Jika film-film sampah dapat penonton berlimpah, ini gejala apa?" (halaman 29 atau 33/67)
Jangan-jangan agama membatasi seks dengan pernikahan karena seks yang berlebih-lebihan tidak pada jalurnya memang hanya akan menghasilkan manusia-manusia sampah?  

Apabila dilakukan lembaga publik, sensor malah menuai konflik. Karena repotnya membatasi syahwat orang lain, ujungnya dikembalikan ke tanggung jawab masing-masing. "Tak ada sensor terbaik selain sensor dalam diri kita sendiri--kita sendiri yang mesti pandai menyaring dan kritis," penulis mengutip Marseli dalam Dasar-dasar Apresiasi Film (halaman 22 atau 26/67). Kita sendiri yang butuh mengembangkan kesadaran sampai taraf mana eksposur materi tersebut dapat merusak jiwa, dan memalingkan pandang secepatnya. Jika dikaruniai kreativitas, "Mungkin perlu ada teks lain, yang alternatif juga, mungkin dari Timur juga, yang menyoal penghadiran seks kepada publik di jaman modern ini. Misalnya, .... sebuah teks yang cerdas tentang kenapa menampilkan seks kepada publik adalah sebuah persoalan, dan betapa kita lebih sering lupa, atau pura-pura lupa, pada persoalan itu." (halaman 9 atau 13/67)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain