Jumat, 26 Juli 2013

(7)

TIARACITRA

Sekarang aku sudah menemukan tempat baru di perpustakaan. Mulanya untuk menghindari Hayat. Tempat yang sekarang lebih enak. Dulu kami di tepi dinding kaca. Melalui dinding kaca itu kami bisa melihat orang lalu-lalang menaiki atau menuruni tangga. Di sisi lain rak buku berderet-deret, dan orang lalu-lalang mencari buku-buku yang mereka perlukan. Sekarang aku juga memilih tempat di tepi dinding kaca, di mana melaluinya aku bisa melihat orang lalu-lalang… oke, aku hanya pindah lantai. Beberapa hari di sini ternyata tidak membangun suasana baru. Gobloknya aku. Aku terpikir untuk pindah ke tempat lain lagi. Di sisi lain lantai ini terdapat deretan bangku lagi, yang bersebelahan dengan jendela. Dari jendela itu kita bisa melihat langit, bukan tangga dengan orang lalu-lalang. Aku pun memindahkan barang-barangku ke sana. Benar juga. Di sini aku merasa agak lega. Aku lanjutkan meronce. Beberapa hari lalu aku sempat “tamasya” (habis aku bosan ke kampus terus) ke pasar di pusat-kota, lalu memborong manik-manik. Aku mau merangkai kalung yang sesuai dengan salah satu bajuku. Kenapa aku tidak mengerjakan TA, ayolah, sesekali kan aku butuh refreshing. Atau pekerjaan utamamu adalah refreshing, lalu sesekali mengerjakan TA. Oh diamlah.

Tidak kusangka orang yang barusan melewatiku adalah Hayat. Kini ia mengambil bangkuku sambil melambaikan sebelah tangannya. Bibirnya membentuk garis yang menyerupai… senyum? Jaga omonganmu, hei, Pemuda, kalau kamu mau duduk di depanku, aku berkata begitu tapi di dalam hati saja. Memangnya cuman dia yang bisa pelit bicara.

Dia membuka laptop. Setelah menunggu beberapa lama, dia mengetik. Hei, dia mengetik apa. Apa dia mengerjakan TA? Kenapa aku juga tidak membuka laptopku, dan mengerjakan TA? Kenapa aku malah meronce? Aku memperbaiki posisi dudukku. Pertama-tama aku ingin memastikan. “Udah sampai mana?”

“Apanya yang sampai mana?”

Kenapa matanya bisa tampak secemerlang itu? Ini pasti karena efek duduk di pinggir jendela. Tempat ini cukup disinari matahari. Bahkan tanpa lampu pun aku yakin tempat ini sudah terang sekali. Sementara di tempat kami yang dulu, tanpa penerangan dari lampu sepertinya akan suram sekali.

“TA,” jawabku.

“Oh. Enggaklah,” ucapnya seolah itu hal terakhir yang ingin ia lakukan.

“Terus elo ngetik apaan? Subtitle lagi?”

“Enggak. Gue nulis cerita.” Matanya sudah terpaku lagi pada layar.

“Cerita tentang TA…”

Yang bener aja, ekspresinya mengatakan itu.

“Cerita tentang perempuan.”

“Kayak lo ngerti perempuan aja.”

“Tentu aja perempuan dari sudut pandang gue,” dia terus mengetik seperti tidak terganggu sama sekali dengan interupsiku.

“Pasti ceritanya jorok.”

“Apa definisi lo tentang jorok?” Ia berhenti mengetik sejenak, tapi hanya untuk mengambili camilan yang ia sembunyikan di saku hemnya.

“Erotis.”

“Bener.”

“Apa lo enggak punya pikiran lain?”

Ia tidak menjawab. Aku kembali memilah manik-manik yang akan kumasukkan selanjutnya.

“Sebenernya apa cita-cita lo, Cit?”

Aku hanya bergumam, seakan tidak yakin dengan yang ia tanyakan.

“Kenapa lo enggak masuk… Kebidanan, misalnya, Tata Boga, apa deh, yang elo suka.”

“Papa aku pinginnya di sini.”

“Kenapa enggak papa lo aja yang kuliah?”

“Maksudnya papa gue pinginnya gue kuliah di sini.”

Jeda sebentar. Aku kira ia tidak akan melanjutkan percakapan. Tapi ternyata, “…atau TL, Planologi, jurusan-jurusan yang lebih… gitulah.”

“Lebih gitulah gimana?”

“Elo sama sekali enggak ngerti materi TA lo.”

Mulanya aku ragu, tapi kemudian aku mengiyakan dengan nada yang mempertegas pernyataannya.

“Jurusan sini bukan minat lo, Cit,” ia terus saja mengoceh. “Lo sebenernya pingin jadi apa?”

“Gue tokoh dalam cerita lo bukan?” Aku tahu pertanyaan ini mungkin bakal mengesankan aku sebagai orang yang ke-GR-an atau apa, tapi tidak dapat aku tahan, aku ingin tahu saja. Ia pun tidak langsung menjawab. Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang kebohongan apa yang bakal ia utarakan.

“Entahlah. Lo pikir diri lo cukup menarik sebagai tokoh dalam cerita?”

Argh. Harusnya aku tahu akan begini jadinya kalau bercakap-cakap sama dia. Lidahnya itu benar-benar pisau. Pisau berlapis daging dengan kutil-kutil merah kecil!

No offense, Cit. Ini mengenai persepsi lo tentang diri lo…”

“Aku enggak mau jadi tokoh dalam cerita kamu.”

“Oke. Kalau gitu, bukan.”

Kenapa bukan?! Jadi siapa?! Siapa cewek yang lebih menarik buat dia?!

Oh. Tentu saja. Ayudh. Apa memang cowok suka mengkhayalkan jorok tentang ceweknya, eh, bahkan ketika ceweknya itu sudah jadi mantan? Ih.

“Terus kenapa lo pilih jurusan ini?” masih saja bersambung.

“Enggak tahu. Gue ngasal aja.” Dan karena asal, maka aku ingin jurusan yang banyak jalan-jalan dan banyak cowoknya sekalian. Tapi tentu saja aku tidak usah mengungkapkannya sama Hayat kan. “Elo sendiri kenapa, pilih jurusan ini?” sebelum ia makin mengorek tentang aku. Aku masih curiga. Ia bikin cerita. Terus ia tanya-tanya tentang aku. Mestinya ada hubungannya kan.

“Karena Ayudh.” Ia memandangku dengan agak menunduk.

“Tapi kan Ayudh di jurusan lain?”

“Iya gue juga pilih jurusannya Ayudh, tapi masuknya malah ke jurusan ini.”

“Ayolah, lo pilih dua jurusan yang passing grade-nya beda tipis?”

“Yang penting satu fakultas.”

Entah kenapa aku merasa ngeri sama cowok yang sebegitunya ngebet sama cewek. Lalu aku teringat si mas-mas alay. Hih. Orang itu cuman main-main kan, tidak serius. Argh. Kenapa dunia ini berisi orang-orang mengiyuhkan.

Perhatiannya sudah kembali ke laptop, tapi, “Jadi benernya lo pingin jadi apa?”

“Bener kan, tokoh di dalam cerita gue bukan lo?”

“Ya ampun. Bukan.”

“Entah gue boleh baca?”

“Enggak boleh.”

“Tuh kan.”

“Entar lo horny.”

HA!

Tatapannya bergulir dari layar ke arahku. Sesaat aku merasa seram. Apalagi tiba-tiba ia menjulurkan tangannya. “Kenalin, gue Rahayy Shamash.” Aku ragu menyambutnya. “Kita belum pernah bener-bener kenalan kan?”

Memang. Sejak pertama kali bertemu di kampus ini, di jurusan, yang aku tidak ingat kapan dan seperti apa, aku tahu namanya dari orang lain, dan mungkin dia juga tahu namaku dari orang lain. Aku selalu menganggapnya cowok yang tidak tersentuh. Sekarang telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya. “Tiaracitra… Widyatami Suryotomo.”

“Jadi Tiaracitra Widyatami Suryotomo, lu pingin jadi apa?”

Aku agak tersentak ketika ia menarik tangannya lagi.

“Mm…” Keningku berkerut. Bibirku maju. Serius sekali pertanyaannya. “Aku ingin jadi…” Aku tidak tahu ingin jadi apa. Hah. Tapi sepertinya enak sekali jika bisa melampiaskan segala sesuatunya, tidak menahan-nahan diri, juga tidak ada halangan dari luar. Bertingkah sesuka hati, seperti, “…seniman?”

Cowok itu seperti yang menahan ketawa. Ah. Aku tahu ingin apa. Aku ingin bisa kebal kalau berhadapan dengan cowok seperti dia.

“Kenapa lo enggak masuk jurusan Seni Rupa? Seni Murni? Atau apaan kek yang ada di fakultas lain itu?”

“Aku independen,” jawabku dengan sok meyakinkan, sekaligus kupikir sepertinya dia tahu kalau aku cuman sok iyeh, asal.

“Lo udah pernah bikin karya seni apaan?”

Kali ini aku tidak ragu nadanya betulan ofensif. Segala rongsokan di kamarku, itulah karya seniku. Makanya aku tidak pernah membiarkan Nenek memasuki kamarku. Betulan. Entah kenapa aku punya kecenderungan untuk mengumpulkan barang-barang yang dianggap ‘sampah’. Segala perabotan bekas pakai seperti botol plastik, botol losion, wadah bedak, juga potongan gambar dari koran, sedotan, kertas bekas corat-coret, dan sebagainya, aku atur letaknya masing-masing di kamar. Aku pikir suatu saat itu akan ada gunanya. Aku suka melihat-lihat buku tentang crafting kalau ke toko buku, kadang membeli kalau isinya benar-benar menarik. Sesekali aku berusaha memraktikkannya. Tidak persis seperti di buku, lagipula aku senang berimprovisasi. Bukankah itu yang namanya kreatif? Ya, aku ingin jadi seniman.

“Kalau lo emangnya pingin jadi apa?” segera kutangkis ia dengan pertanyaan lagi.

Sempat kukira ia bakal menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya dulu. Tapi tidak. Ia malah bilang, “Kalau gue, gue pingin jadi mayat.”

Oh. Tidak salah menjulukinya “Pangeran Kegelapan”.

“Suram amat sih.”

Ia terkekeh. Tapi entah kenapa kata-kata yang menjurus pada kesuraman ini malah membuatnya terlihat agak… bagaimana ya… cerah?, ceria?

“Tapi gue bener kan? Kita semua bakal jadi mayat.”

Aku tidak tahu harus berkata apa, aku bahkan tidak ada minat untuk menimpali kata-katanya. Terserah deh dia mau omong apa lagi. Asalkan, “bener lo enggak nulis tentang gue kan?” Tapi ketika aku baru saja hendak mengatakan itu, sepasang tangan tiba-tiba menjejak permukaan meja kami. Jantungku seperti yang berhenti berdetak. Mulut Hayat bahkan sedikit terbuka, alisnya menekuk. Cewek bermata sipit itu. Ia mengenakan sweter kelabu tebal. Bagian atas rambutnya dijepit. Ia lalu meninggalkan kami, duduk di bangku yang berjarak beberapa meja dari meja kami, membelakangi kami. Bawahannya berupa rok rempel selutut merah hati. Posisiku membuatku bisa melihatnya, sementara posisi Hayat memunggunginya. Hayat menoleh sama sekali ke belakang, seolah cewek itu tidak menarik hatinya.

“Dia kuliah di sini juga,” barangkali aku bisa memancing minatnya. Hayat menjawab dengan gumaman. Perhatiannya sudah tertuju lagi pada kibor. Cowok ini suka yang suram-suram tapi tidak tertarik kalau orang lain yang suram. Dari kapan bicara tentang mati-mati, tapi tidak peduli ketika ada orang lain yang juga mau mati. Hih!

HAYAT

Ceritaku mandek. Tokohku terlalu malas untuk melanjutkan hidup. Seharian ia tidur saja di kamar. Bisa saja aku menceritakan mimpi-mimpinya. Tapi aku sudah terlanjur bilang pada Tiaracitra ini akan menjadi cerita erotis. Aku tidak tahu cewek bermimpi basah atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apakah ia suka bermasturbasi. Tiaracitra tidak menjawab pertanyaanku kapan itu.

Aku berputar. Barangkali Tiaracitra bisa memberikan inspirasi. Ia sedang mandi, sedari tadi mandi. Memamerkan tubuhnya yang gelap, penuh bulu, dan tak berbaju padaku. Kalau kucing menjilati tubuhnya, itu sama dengan mandi kan? Angin mengibarkan gorden jendela kamarku yang terbuka. Apa ia tidak takut masuk angin? 

Aku tidak bisa begitu saja menyuruh tokohku untuk berbuat apa yang aku mau. Maksudku, bukan begitu cara kerja Tuhan kan?

Tunggu. Aku melihatnya bergerak, tangannya bergerak. Ia meraih ponsel. Apakah ia akan menghubungi seseorang, yang selanjutnya akan mengubah hidupnya?

Ia hanya mengecek jam. Lalu kepalanya terempas lagi ke bantal.

Aku bahkan tidak tahu kenapa ia begitu pemalas. Jika ia malas karena sebetulnya ia depresi, apa yang membuatnya depresi? Apakah ia pernah diperkosa, lalu trauma? Tapi jadinya itu bakal terlalu seperti… “kisah sejati”, “o mama o papa”, sinetron, Hidayah, dan semacamnya. Basi. Kenapa harus begitu dramatis. 

Kuangkat Tiaracitra, biar ia lanjutkan mandinya di balkon. Kututup jendela. Kuseret gorden. Kumatikan lampu. Hanya layar laptopku (dan sedikit sinar dari bulan melalui celah gorden dan ventilasi) yang menyorotkan cahaya, dan Aoi Sora. 

Sejam saja sudah cukup untuk mengantarku ke kasur, tapi aku malah tertidur.

Tiaracitra di bawahku. Ia menurunkan celanaku. Mulutnya meraup ituku. Aku langsung kejang-kejang. Aku masih kejang-kejang saat terbangun. Dalam kegelapan aku mondar-mandir sambil teriak-teriak. Bukan serapah. Hanya teriak seperti argh, argh, dan AAARGH. Aku ingin melepaskan ini, tapi bukan dengan cara yang biasa. Aku bosan. Aku lelah. Aku muak.

HAYAT

Begini, Tiaracitra. Ada beberapa hal yang tidak memungkinkan kita untuk bersama. Pertama, jika kita bersama, maka kamu harus sering melayaniku. Kalau tidak, aku bisa kena kanker prostat. Kedua, aku suka warna kulitmu. Dalam kegelapan, aku tidak akan bisa melihat wajahmu. Bukan karena wajahmu jelek, bukan, aku lebih suka mengatakan wajahmu bukan tipeku. Justru karena wajahmu tidak kelihatan, aku bisa konsentrasi. Ketiga, perasaan ingin dekat denganmu ini bukan dari hati, tapi dari kontol.

It’s just getting you to think of dirty things.// I can’t let this out here, nor anywhere.// It’s not good, but it’s true.//

Sepertinya lumayan juga untuk jadi lirik lagu. Mungkin ketimbang menulis aku lebih mending jadi pemusik.

Cericit burung memalingkan kepalaku ke jendela. Hm. Sepertinya sudah pagi. Tidak terasa.

HAYAT

Akhir minggu Kakak mengajakku menginap di apartemennya. Saat SMA sampai awal kuliah aku juga tinggal di situ, lalu ia menikah. Seperti dua kucing jantan yang tidak mungkin tinggal di area yang sama, maka aku mulai kos. Bukannya aku dengan suaminya itu doyan berseteru. Kami akur-akur saja, dari sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja… Lagipula saat itu aku sama Ayudh, jadi begitulah. Kami saling menegur saat aku ke apartemen kami, eh, sekarang sudah menjadi apartemennya dan kakak sehingga lebih tepat kalau dikatakan sebagai apartemen mereka. Tapi aku tidak bicara dengan dia sebanyak aku bicara dengan kakakku. Lagipula akhir minggu ini Kakak yang ada urusan denganku, urusan Mama denganku.

Aku ke sana sekitar Sabtu sore. Lalu mereka pergi entah ke mana sehingga aku menghabiskan waktu sendirian sambil menonton maraton serial AS di TV kabel. Aku sudah tidak di depan TV saat mereka pulang. Hanya duduk-duduk di pinggir jendela sambil makan kacang, sesekali larut dalam titik-titik cahaya yang menyemut di bawah. Lalu Kakak duduk di hadapanku dan mulai menjalankan amanatnya. Tapi obrolan kami kemudian lebih dari sekadar itu. Pikiranku banyak sekali malam itu, tentang birahi, tentang tipisnya harapan sastra Indonesia untuk dikenal dunia, tentang orang-orang dangkal yang tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dengan hidup mereka. Kebo. Hidup seharusnya begini, dan seharusnya begitu. Idealisme omong-kosong semacam itulah. Aku utarakan panjang-lebar padanya, sementara ia diam mendengarkan. Entahlah. Aku kira ia bisa memahamiku. Aku tidak tahu harus melantur sama siapa lagi.

“Pemikiran kamu bisa dimengerti, Hayy,” akhirnya ia mendapat kesempatan untuk menanggapi. “Tapi itu karena kamu masih berada di tahap ini. Kalau aku lihat kenyataannya…“ Bla bla bla. Aku hanya menatapnya dengan kosong. Kenapa ia bisa begitu dewasa. Kadang aku tidak begitu yakin usianya berapa. Kenapa ia selalu bisa membalasku dengan perspektif lain. Entah sudah berapa kali ia bilang suatu saat aku akan bosan dengan keadaanku yang sekarang. Apakah pemikiranku tidak berarti?, tidak berharga? “…mungkin mereka cuman belum mendapat pencapaian, jadinya mengalami kegalauan dan kepesimisan seperti yang kamu rasain…” Mataku terus menancap padanya, berganti-ganti antara matanya yang besar dan bibirnya yang merah-penuh. Tapi pikiranku berdesing-desing. Di dalamku hanya gemuruh. “Kenyataan enggak selalu berdampak pesimis. Memang tahap itu ada, cuman output-nya…”

“Enggak. Lo enggak ngerti gue.”

Punggungnya rebah ke sandaran kursi. Dagunya seakan tertarik ke leher.         

“Gue enggak suka berada di tahap ini, selamanya gue bakal berada di tahap ini, lo pikir gue bisa ngehindarin ini?! Gue enggak pernah bisa tahu yang gue lakuin bener apa salah, bahkan mikirinnya aja gue ragu!”

Sikutku meluncur di meja, menopang pipiku yang tidak keruan bentuknya. Ia masih menanti reaksiku. Tatapannya bertanya, Jadi?

Mungkin aku akan menelepon Peter Pan, dan meminta untuk ikut tinggal di Neverland.

“Seenggaknya kamu hubungin Mama, Rahayy.”

Ck. Nantilah. Aku masih punya duit.

Pembicaraan yang tidak memuaskan ini cuman bikin aku ingin mengasap lagi. Sering kali aku pikir dia orang yang pragmatis. Hanya memikirkan hal-hal yang teknis. Bekerja hanya untuk uang. Tidak mengerti pemikiran-pemikiran, apalagi berusaha untuk memahaminya. Apa dia tidak pernah mengalami masa itu, tahap itu? Aku tidak ingat. Baru belakangan ini kami bertukar pendapat cukup sering. Sebelumnya kami berkutat saja di dunia masing-masing, jarang bertemu, dan kalaupun bertemu tidak banyak yang kami bagi. Selagi aku di sekolah kemudian melanjutkan dengan aktivitas-aktivitas ekstra, ia kuliah sambil kerja—atau kerja sambil kuliah. Jamnya tidak menentu. Baru tahun-tahun ini aku juga mengalami yang seperti itu. Dulu hidupku teratur sekali, dan mengira selamanya akan begitu. Dunia penuh orang-orang praktis seperti kakakku. Ia tidak akan pernah menghasilkan apa-apa selain untuk dirinya saja, dan perusahaan, dan suaminya, dan anaknya, dan siapa lagi entah.

Tapi kuingat-ingat lagi, kadang ia cukup perhatian padaku. Hubungan kami tidak pernah benar-benar putus. Tapi itu tidak berarti pembicaraan kami sering nyambung.

Baru saja menyulut rokok, suara benda keras beradu dengan meja. Memalingkan perhatianku. Asbak. “Matiin rokoknya,” tukas kakakku yang entah sudah berdiri dari kapan.

“Lu juga ngerokok,” sergahku. Baru juga sekepul-dua kepul.

“Kamu enggak liat aku lagi hamil?” nada suaranya sudah seperti Mama.

Ya. Aku lihat dengan amat jelas sekali perutnya yang melendung seperti diisi helm batok. Dan ironisnya, saat SMA aku pernah menjadi ketua acara kampanye anti rokok di sekolah. Poster-poster untuk dipajang saat acara sempat ditaruh di apartemen ini, dan kakakku mondar-mondar di depannya sambil mengepul tak henti-henti.

“Arlan juga udah enggak ngerokok,” tangannya melayang ke arah suaminya yang sedang tiduran di sofa. TV menyala. Entah ia masih menonton TV atau TV yang menontonnya.

“Lo tuh kebanyakan mikir, Rahayy.” Kakakku menjauh ke arah pantri.

“Ya itu kan gunanya gue dikasih akal. Gue cuman ngelaksanain perintah Tuhan yang sering diulang-ulang! Dan Tuhan enggak bakal ngasih gue pahala lebih buat ini. Orang-orang saleh ngasih gue petuah, ‘Segala sesuatu yang berlebihan itu enggak baik’! Apa gunanya gue mikir, Kak?!” Tanganku bergerak-gerak sementara meracau, menguar asap ke mana-mana.

Ia mondar-mandir di balik pantri. Mengangkat ini, meletakkan itu. Menyembur itu, mengelap ini. Jangan sangka ia bisa sembunyi. Aku bisa lihat dengan yakin ia memutar bola mata, mendengar dengan jelas ia mendesah.

“Kenapa hidup harus begitu serius kalau katanya senda gurau belaka, tapi siapa juga yang bilang kalau amal kita dihitung sekecil apapun. Lo kira amalan lo yang cuman ‘senda gurau’ itu bisa diterima? Lo ngerti enggak kontradiksi ini, Kak?! Lo mikir pake akal! Terus hilang akal lo gara-gara mikir sampai ruwet! Nihil! Semua nihil!”

Sejenak hanya TV yang bersuara, seperti yang takut-takut.

“Matiin rokoknya, Rahayy,” kata kakakku lagi. Tidak terlihat. Mungkin lagi jongkok di balik pantri.

“Ya ya ya!” seruku seraya menjejalkan ujung puntung ke dasar asbak yang menghitam.

Lalu kugantung dagu di permukaan meja. Ocehku lagi, “Kak, orang yang lugu dan naif dan bodoh itu pantes hidup enggak sih, Kak?”

“Hah? Ngomong apa lu, Hayy?”

Tang. Tong. Tang. Brusssss…

Tidak bisa diharapkan.

“Kalau yang lu maksud nama band, yang doyan banyak, Hayy.” Sejak kapan Arlan berdiri. Matanya setengah terkatup. Langkahnya terseret-seret menuju kamar.

“Kalau gue Hitler, gua akan lenyapkan semua orang lugu, naif, dan bodoh… dan malas… dari muka bumi,” kataku.

Udah berapa lama lo enggak tidur, Dek? kakakku bertanya dengan ekspresinya. Tangannya mengelus-elus lap yang tersampir di tepi pantri.

Pada sisa malam aku hanya memandang jendela, sampai warna langit berubah. Sama sekali tidak merasakan kantuk. Sempat teringat Ayudh. Sempat teringat orang-orang yang berkata padaku, “Move ooon…! Masak lo mau terus patah hati sampai berlarut-larut gitu?” Bahkan sampai sekarang pun masih ada yang bilang begitu padaku. Mereka menyuruhku untuk bangkit, dan mulai melakukan sesuatu.

Lalu aku bilang kalau aku sudah melakukan sesuatu, yang diharap-harap setiap orang akan dapat memberikan pencerahan. “Duduk di pantai dan merenungi penciptaan, udah. Sampai gue ngerasa diri gue begitu kecil enggak berarti.” Jadi itu yang aku dapatkan dari perjalanan: nihilisme.

Aku tidak mengerti kenapa mereka sedangkal itu. Orang-orang sering kali hanya tertarik pada apa yang terjadi, tanpa sudi berpusing menelisik lapisan di bawahnya. Tentu saja problemnya lebih dari sekadar patah hati. Patah hati hanya puncak gunung es. Titik kulminasi. Trigger. Klik. Jderr. Bum. Hancur.

Kamis, 25 Juli 2013

Mimpi Seekor Beruang

http://photography.nationalgeographic.com/photography/photo-of-the-day/sleepy-grizzly-bear/

Pada suatu musim gugur, seekor beruang cokelat besar bernama Growly bergelung di guanya untuk tidur musim dingin yang panjang. Segera ia mulai bermimpi. Di dalam mimpi ia bisa makan madu sepuasnya tanpa harus capek-capek memanjat pohon dan disengat tawon. Di dalam mimpi ia bisa jalan-jalan ke mana saja, mengunjungi saudaranya yang putih bersih di Antartika atau yang kurus kering di Kebun Binatang Surabaya. Di dalam mimpi ia bisa memiliki pacar, bahkan!

Pacar Growly di dalam mimpi bernama Angela. Bulan-bulan musim dingin mereka lalui bersama. Ketika cericit burung mulai terdengar samar-samar, kelinci-kelinci saling seruduk di liangnya, tupai-tupai mengendus hangatnya mentari dengan moncongnya, Growly berkata pada sang kekasih, “Hei, Sayang, kita harus kopi darat.”

Demikianlah. Mereka berjanji untuk bersua di tepi hutan sebelum mentari beranjak ke peraduan, di bawah pohon ara yang dahannya melingkar-lingkar bak lintasan kereta setan di Disneyland. Growly telah menyiapkan beberapa tangkai bunga. Bunga-bunga pertama yang mekar di semak-semak. Salju telah mencair dengan sempurna. Growly berlari-lari kecil sepanjang jalan tanpa sekalipun tersaruk lumpur.

Namun alangkah terkejut ia ketika mendapati sesosok manusia betina yang bersandar di pohon itu. Hanya rambut dan sweter dan celananya yang cokelat. Hanya sweternya yang berbulu lebat. Tidak begitu persis sebagaimana yang biasa ia temui di dalam mimpi!

Namun lebih terkejut lagi manusia itu saat melihatnya. Sampai-sampai tubuhnya yang gempal menggelosor dari sandaran. 

Growly yang kebingungan akhirnya menyeret manusia itu ke tempat yang agak tersembunyi. Beberapa lama ditunggui, manusia itu tidak kunjung sadarkan diri. Growly tidak dapat menahan kantuknya lagi. Ia pun terseret ke dalam mimpi. Angela langsung menyambutnya.

“Growly, oh, Growly, maafkan aku! Aku tidak menyangka ternyata kau begitu besar!”

“Aku pun tidak menyangka ternyata kau manusia!” sahut Growly gusar.

“Di dalam mimpi kita bisa menjadi apa saja!” seru Angela. “Aku tidak suka terus-terusan jadi manusia, maka aku jadi beruang! Tahukah kau betapa sejak dulu aku menyukai Teddy, Yogi, dan Winnie?”

“Tapi bagaimana kita bisa bersama?” tanya Growly muram.

Angela mengguncang-guncang lengan Growly yang nyaris seukuran batang pohon. “Makan aku, Growly! Makan aku! Selagi aku tidak sadarkan diri! Dengan begitu kita bisa bersama selamanya!” Perempuan itu mulai menangis.

Sama sekali Growly tidak menduga Angela hanyalah penjelmaan manusia yang putus asa. Jangan-jangan namanya pun bukanlah Angela. Ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia ingin melarikan diri. Ia kan vegetarian. Karena tenaganya yang besar, tidak sulit bagi Growly untuk mengempaskan perempuan itu. Namun belum lagi ia menjauh, sosoknya mendadak lenyap.  

Perempuan itu terjaga. Tembakan yang begitu dekat di kupingnya. Di sampingnya terkapar seekor beruang cokelat besar. Beberapa langkah dari situ seorang pria dengan topi pemburu dan mantel berbulu berdiri, menurunkan senapan.

“Hei, Nona. Kau tidak apa-apa? Nyaris saja beruang itu memakanmu.”

Sontak perempuan itu mendekatinya, merebut senapan dari tangannya. “Hei, hei, apa yang kau lakukan?” Perempuan itu mengokang pelatuk, lalu mengarahkan ujung laras ke dahinya sendiri.

Sekali lagi bunyi ledakan teredam pepohonan.[]


sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Rabu, 24 Juli 2013

(6)

HAYAT

Tiaracitra. Aku ingin memelukmu. Kenapa kamu tidak di kamarku. Kenapa hanya guling yang di kamarku.

Hari ini dia memakai terusan lagi, sepertinya, bagian atasnya tertutup kardigan, tapi aku yakin itu terusan. Panjangnya sedikit di bawah lutut. Agak tersingkap tadi, waktu dia marah-marah dan mau turun ke bawah. Aku lihat bilur-bilur putih di pangkal betisnya. Kontras dengan kulitnya yang cokelat.

Stretchmark. Musuh para gadis.

Tapi kepalaku langsung pening. Serius. Aku ingin menyentuhnya, mengelusnya. Aku sampai gelagapan. Serius. Aku ingin tahu apa ia suka masturbasi. Cewek buluan katanya libido tinggi.

Aku ingin membuatnya megap-megap setiap malam, setiap saat.

Tiara, citra.                       

Di sisa sore itu aku hanya memeluk guling.

[]

Masih banyak yang harus dibicarakan dengan Tiaracitra. Tapi Hayat tidak tahan pening terus-terusan.             

Ia masih bisa ditemukan mengasap di atap, di mana suatu ketika ia melihat seorang cewek berdiri di atap gedung yang lain. Cewek itu mungkin setinggi Tiaracitra. Rambutnya lurus melampaui bahu. Kepalanya menunduk dalam sekali, Hayat tidak bisa melihat wajahnya. Pakaian cewek itu longgar—jumper ungu dan celana panjang yang seperti bagian dari piama. Hanya terlihat tangannya yang pucat. Gumpalan awan kelam seolah terpusat padanya, mungkin sebentar lagi sampai ke tempat Hayat dan menumpahkan derasnya. Hayat memiringkan kepala. Sejenak termenung.

Tiaracitra baru saja menaiki angkot yang menuju ke kawasan di mana rumah neneknya berada. Walau hari itu tidak panas, tapi ia merasa sudah sangat lemas. Ia telah melewatkan jam makan-siang, lebih ingin menyantap sayuran-hijau olahan Nenek saja. Toh kalaupun ia sudah makan-siang di kampus, ia pasti disuruh makan lagi oleh Nenek sesampainya di rumah. Ia tidak mau memasukkan kalori yang tidak perlu ke dalam tubuhnya. Ketika mendadak ponselnya berdering. Mata Tiaracitra menyipit begitu melihat nama yang tertera di layar.

“BURUAN KE SINI! ASAP!”

“Ke sini tuh ke mana?” Kepala Tiaracitra celingukan, sebelum menghadap ke kaca belakang angkot. Memandang jarak yang semakin menjauh dari area kampus. Asap? Asap apa? Baru kemudian ia menyadari ada jeritan perempuan melatari panggilan dari Hayat.

“GEDUNG—!”

Mati.

Sekitar setengah jam kemudian Tiaracitra mengamati pergantian angka di lift dengan waswas. Bapak-bapak di sebelahnya mungkin berpikir kalau ia sedang kebelet kencing. Tapi selain itu dadanya juga bergemuruh, tepian rambutnya yang mengikal menempel di pelipis. Sampai di angka tertinggi, Tiaracitra segera berlari. Terengah-engah dulu di tangga. Kenapa ia harus begitu terburu-buru, ia juga tidak mengerti. Ia terbawa nada suara Hayat tadi, yang sepertinya tengah berada dalam situasi genting atau apa. Menahan-nahan pingsan, Tiaracitra pun sampai di atap. Ia tidak menemukan apapun selain embusan angin. Ia terlalu capek untuk geram, tapi bagaimanapun ia tetap geram. Jangan-jangan Hayat mengerjainya. Dan jeritan tadi hanya jeritan seseorang yang kebetulan Hayat lewati. Sesaat ia mematung saja dalam kehampaan, sebelum melihat sosok-sosok di atap gedung yang lain. Ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Tapi sepertinya tidak salah lagi. Bergegas ia menuruni tangga, menunggui lift. Kembali mengamati pergantian angka dengan waswas. Lalu berlari ke gedung yang lain.

Mendekati atap gedung itu, Tiaracitra samar-samar mendengar Hayat menyentak.

“Siapapun Tuhan lo, nyebut!”

Seorang cewek berbaring, Hayat berlutut di sampingnya. Tiaracitra bergidik ketika tangan Hayat menghantam pipi cewek itu dengan keras. Tidak cuman mesum, cowok ini juga sadis. Apa ia disuruh kemari hanya untuk menyaksikan kesadisan? Tiaracitra mendekat perlahan. Cewek itu tersedu-sedan tidak kalah keras. Ia berusaha bangkit dan pergi, tapi cengkeraman Hayat menguat di lengannya. Lunglai, iapun meringkuk lagi di lantai semen. Tidak membiarkan Tiaracitra melihat wajahnya.

Tiaracitra dan Hayat saling menatap, sama-sama tidak tahu harus berbuat apa. Yang mana mengherankan Tiaracitra. Iapun bersimpuh di samping cewek itu. “Hei,” tegurnya hati-hati, “mau minum?”

Cewek itu meringkuk semakin rapat. Tangisnya memilukan, Tiaracitra merasa sesak.

“Lu sih pake acara nampar segala,” apapun masalahnya. Tiaracitra berucap sepelan mungkin.

Hayat melipat kakinya. Matanya terarah pada punggung yang bergetar karena sesenggukan. Tiaracitra juga. Bagai menunggui api unggun.

“Jadi gue lagi di atap,” Hayat bercerita.

“Meratapi nasib seperti biasa,” sela Tiaracitra.

Hayat tersenyum sinis. “Terus gue liat dia. Gue pikir dia mau bunuh diri. Gue udah ngarepin gitu… Ya, lu pingin bunuh diri, ya?” Pandangannya menuding punggung cewek itu (yang posisinya memang membelakangi Hayat). Telunjuknya menusuk-nusuk pinggang dengan pelan. Dijawab erangan yang semakin kencang. “Gue mau nemenin dia. Tapi dia enggak mau.”

Tiaracitra mengernyit. Hayat bukan untuk dipercaya.

Garis-garis miring dari cakrawala mulai menghunjam. Hati-hati Tiaracitra menyentuh bahu cewek itu. “Udah mulai ujan. Kita ke dalam yuk…” Cewek itu menarik bahunya. Seketika Tiaracitra memandang Hayat, yang seolah ingin berkata, “Ya udah terserah dia lah.” Maka Tiaracitra mengeluarkan payung dari ransel, yang hanya cukup untuk meneduhi dirinya dan cewek itu. Hayat, biar saja kehujanan. Toh cowok itupun bergeming saja. “Yuk. Entar kamu sakit,” Tiaracitra terus berusaha membujuk cewek itu dengan lembut. Tapi sekonyong-konyong ia terjungkal karena cewek itu bangkit dan mendorongnya. Masih kaget dengan apa yang terjadi, Tiaracitra melihat Hayat sudah menangkap pinggang cewek yang berusaha melarikan diri itu. Tenaga yang cukup kuat, cewek itu berhasil menjatuhkan Hayat.

“HEI!” teriak Hayat.

Tergopoh-gopoh Tiaracitra mengikuti cewek yang menuju ke tepi gedung itu.

“Jangan—“ suara Tiaracitra teredam deras hujan.

“…KENAL AKU JUGA ENGGAK!” hanya itu yang bisa Tiaracitra tangkap.

Tirai air itu mendadak tersingkap. Pencahayaan yang semula kelabu diganti oranye. Cerah. Burung-burung berciap. Tiaracitra bisa melihat tampak samping cewek itu. Putih dan bermata sipit. Tatapannya seperti menantang matahari.

Tiaracitra bingung apa yang harus dikatakan. Sepatu kets yang dikenakan cewek itu hanya berjarak sekitar sepuluh senti dari tepi gedung. Ia bisa saja menjatuhkan diri sewaktu-waktu. Harus dicegah dengan apa.

Tapi sementara cewek itu bergeming saja, Hayat melangkah ke sampingnya hingga mereka berdiri sejajar.

“Kenapa sih lo enggak mau ditemenin? Emang lo tahu di alam sana kayak gimana? Gue juga enggak tahu. Seenggaknya kita bisa saling nemenin kalau nyasar…”

Tiaracitra terperangah, lalu menjerit saat cewek itu mendorong dada Hayat. Ia menutup mata, lalu jemarinya terbuka. Melalui celah-celah yang lantas terbuka sama sekali, ia bersyukur cowok itu tidak jatuh. Tapi cewek itu terus memukuli dada Hayat.

“MATI! MATI KAMU!” suara cewek itu serak.

Tiaracitra merasa kuduknya dingin karena Hayat tampak mulai goyah.

“Gue emang mau mati!” sahut Hayat tidak kalah lantang.

Cepat-cepat Tiaracitra meraih tangan Hayat, lalu menariknya sekuat mungkin. “Udah! Kalian ini pada kenapa sih? Kalau ada masalah kita omongin baik-baik! Saling bantu!” racau Tiaracitra. Langkah Hayat pun bergeser menjauhi tepian dengan terseret-seret. Sempat Tiaracitra kaget saat tangan Hayat seperti akan lepas dari pegangannya. Tapi ternyata Hayat hanya sedang berusaha menangkap tangan cewek itu, lalu menariknya dengan kuat pula. Cewek itu terjatuh. Tiaracitra terjatuh. Hayat terjatuh. “BERAT…!” jerit Tiaracitra. Untung Hayat segera bangkit untuk menangkap tangan cewek itu, yang berusaha menjauhkan diri lagi. Hayat memeluk lengan cewek itu erat-erat. “Aku mau pulang! Aku mau pulang!” raung cewek itu sembari menggelepar-gelepar. Tiaracitra yang telah berdiri pun mengikuti, agak tidak tega dengan cara Hayat memperlakukan cewek itu.

“Pulang ke alam baka? Lu kalau mau gue lempar, gue lempar sekarang juga!”

“Hayat!”

“Mau pulang! Mau pulaaang…! Huhuhuuu…”

Tiaracitra mendekap cewek itu. Ketika pandangannya bertemu Hayat, cowok itu menangkupkan kedua belah tangannya. “Audzubillahiminasyaitonirradzim…”

Kontan cewek itu tertawa. Tiaracitra melonggarkan dekapannya. Hayat tetap membaca ayat-ayat namun dengan tempo yang melambat.

“Kamu lucu! Aku bukan muslim. Doanya enggak bakal ngaruh.”

“Emang kenapa? Keyakinan, keyakinan gue,” sahut Hayat.

“Kamu juga tolol!” Tiaracitra khawatir cewek itu akan menerkam Hayat. Ia terus memegangi lengan cewek itu supaya tubuhnya tidak terlalu condong. “Gimana kalau ternyata aku cuman pura-pura, terus kamu jatuh sendirian?”

“Enggak masalah.” Hayat menggeleng.

“Kamu mau mati?!”

“Semua manusia pasti mati. Emang kenapa kalau mati muda? Jimi Hendrix. Kurt Cobain. Soe Hok Gie? Ibu kita Kartini?”

“Gila!”

“Iya. Hayat tuh emang gila. Udah, enggak usah dengerin dia.” Tiaracitra berupaya menahan tubuh cewek itu yang mendadak seperti sangat bertenaga, sementara matanya memohon Hayat agar membaca ayat-ayat lagi.

Tapi mata Hayat malah terpusat pada cewek itu, “Lu kalau mau mati, mati aja. Enggak usah setengah-setengah kayak gitu.”

Yang balas menyolot dengan tajam. “Kamu sendiri—“

“Kalau gue emang iya, gue ragu-ragu, soalnya gue belum pernah—“

Tiaracitra sengaja menjerit supaya dua konsonan itu tidak didengarnya. Hayat pun bungkam. Kembali menatap cewek itu dalam-dalam. Cewek itu malah tergelak-gelak. Matanya melengkung ke bawah, membentuk bulan sabit. Lalu hening lagi. Tiaracitra berkali-kali melirik Hayat, yang tampak putus asa. Cowok itu beringsut mundur, mencari sandaran terdekat untuk punggungnya. Jemari naik ke kepala, menarik-narik sejumput rambut.

Tiba-tiba cewek itu melepaskan diri dari Tiaracitra. Ia tidak mengarah ke tepi gedung lagi. Ia masuk ke dalam bangunan, menuruni tangga. Tiaracitra sontak mengejar, disusul Hayat.

“Jangan ikut!” Cewek itu berbalik. Matanya mendelik. “Aku mau pulang!”

Tiaracitra dan Hayat mematung.

[]

Pemandangan kembali abu-abu. Gerimis menerjang ubin dan aspal. Satu-dua orang kebasahan atau melintas di bawah payung. Tiaracitra dan Hayat duduk di depan kafe kopi di dalam kampus mereka. Tangan mereka yang dingin menyerap kehangatan yang diuarkan gelas kertas. Sesekali Tiaracitra masih memeras rambut dan bajunya dengan sebelah tangan. Gigi Hayat mulai bergemeletukan. Iapun menyulut sebatang rokok. Tiaracitra mengamatinya. Hayat menyodorkan kotak rokoknya. Kedua belah tangan Tiaracitra tetap memeluk gelas, tak satupun menyambut.

“Ambil aja. Anggap aja sebagai gantinya kopi.”

“Enak aja. Kamu tetep harus bayar gantinya kopi.”

Hayat memasukkan lagi kotak rokoknya ke dalam saku jaket, lalu meminjam ponsel Tiaracitra.

“Jadi tadi itu apa?”

Hayat menengok sekilas dari layar. “Enggak tahu.” Tiaracitra masih menatapnya. “Entahlah. Gue juga enggak tahu apa yang mesti gue lakuin. Cewek itu juga enggak tahu apa yang mesti dia lakuin. Dan elo juga enggak tahu apa yang mesti elo lakuin. Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin.” Tiaracitra mengernyit. “Kita semua enggak tahu apa yang mesti kita lakuin dengan hidup kita. Kadang-kadang kita kebingungan gara-gara itu. Simpel kan? Itu penjelasan paling fundamental.”

“Aku tadi udah naik angkot tahu,” tukas Tiaracitra sebal.

“Gue pikir cewek bisa ngatasin cewek. Who knows? Ya gue kepikiran aja sama elo.”

Tiaracitra terdiam. Hayat memikirkannya, oh, manis banget. Walau mungkin konteks sebetulnya tidak semanis itu.

“Dan pulsa gue habis gara-gara nelepon lo.”

Demi apa, Hayat manis?

“Jadi apa dia tadi bener-bener mau bunuh diri?”

“Keliatannya sih gitu. Makanya gue deketin aja tadi. Kalaupun kedatangan gue enggak bikin dia batal buat ngapainlah itu, gue penasaran pingin liat kematian dari deket.”

“Lo seolah ngedorong dia buat bunuh diri. Tadi lo bilang lo mau nemenin dia atau apa gitu…”

“Itu hidupnya dia, ya terserah dia mau ngapain—”

“Tapi lo enggak usah pake nampar—“

“Dia nyerang gue kayak kesurupan! Gue mesti ngapain? Lo liat nih cakaran dia,” Hayat menarik lengan jaketnya, lalu mengangkat kepala untuk memperlihatkan lehernya. Tiaracitra mendengus. Hayat kembali melihat ponsel. “Lo namain gue ‘Pangeran Kegelapan’?!”

Tiaracitra merampas ponselnya. “Numpang sms ya numpang sms aja, enggak usah liat-liat yang lain!”

“Gue cuman ngecek sms-nya kekirim apa enggak!”

Cowok itu lalu bersin-bersin, mengusap bagian bawah hidung, lalu berdiri dan ber… lalu.

HAYAT

Cewek gila itu bikin kacau saja. Masih terasa perih di beberapa bagian tubuhku. Memar di perutku bahkan mulai membiru. Amoi setan, sialan.

Eh. Tapi aku sama sekali tidak merasakan libido karena Tiaracitra, selama itu. Bagus juga.

Aku kembali tidur dua belas jam. Aku baru benar-benar bisa melek menjelang jam dua belas.

Begitu kubuka jendela, kucing betina bermata besar itu menapakkan kaki-kakinya di lantai kamarku. Semula ia meloncat ke kasurnya, bersandar pada gumpalan selimutku. Tubuhnya meninggalkan butiran-butiran hitam yang entah apa. Aku menjauhkan selimutku darinya. Ia terbangun. Mestinya ia terganggu dengan musik yang kusetel keras-keras. Tapi kenapa aku harus peduli. Ia menjilat-jilat tubuhnya. Tiaracitra. Aduh. Kucing itu merangkak menuju celana jins yang terhampar di karpet entah sejak kapan. Bagian luar celana jins itu berada di sebelah dalam, tahu maksudku kan? Saat berganti pakaian, aku suka melemparkan yang bekas kupakai ke sembarang arah.

Aku menyeret kursi hingga sejajar dengan jendela, membiarkan sinar bintang terbesar di Bimasakti merengkuh tubuhku yang sempat diguyur hujan kemarin petang. Buku tentang Guevara kubaca sambil membungkuk. Sesekali aku coba menulis sesuatu. Kadang aku suka menulis, tapi aku tidak tahu menulis untuk apa. Belum lama, aku letakkan lagi buku itu. Kuremas juga kertas yang telah tercoreng, lalu kulempar ke mana entahlah aku harap mengenai kucing itu. Tapi tidak. Aku tidak tahu apa gunanya membaca. Slogan-slogan itu tidak berarti untukku. Aku suka merokok, dan tidur. Hanya itu yang ada gunanya, untuk melupakan hal-hal lain yang tidak ada gunanya.

Aku beringsut, ikut meringkuk di samping kucing yang suka bau celana jinsku. Ia menggeliat, lalu berguling hingga menempelku. Sebelah kakinya bahkan mendarat di dadaku. Kukunya mengait di kaosku. Perlahan aku mengubah posisi menjadi lurus seperti dia. Kuangkat sebelah lenganku, kulipat untuk menopang kepalaku. Wajahnya menghadapku. Matanya terpejam rapat, membentuk dua garis diagonal yang berlawanan arah. Perutnya bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang teratur, terasakan oleh perutku. “Sok akrab lu ye,” ujarku. Tapi ia tidak diam saja. Entah mendengar atau tidak. Entah mengerti kata-kataku apa tidak. Ia bahkan tidak terusik sekali dengan aroma ketiakku. (Terakhir kali aku mandi adalah saat hujan kemarin.) Kamu juga kecokelatan dan berbulu, batinku, tapi kamu bukan Tiaracitra. Tapi sekarang aku tidak begitu merasakannya, menginginkannya. Hanya teringat saja. Kenapa aku bukannya teringat Ayudh, aku tidak mengerti. Mungkin aku memang berhasil melupakannya. Aku masih ingin mengungkit-ungkitnya kalau bicara dengan orang lain, juga menapaktilasi kenanganku dengannya. Tapi sepertinya hanya untuk menguji apa itu masih ada rasanya bagiku. Perjalanan itu memang berhasil. Aku melupakan Ayudh. Aku melupakan segalanya—

Taik. Aku paling tidak suka kalau ketenanganku diinterupsi. Kuraih ponsel yang dari tadi tidak berhenti bergetar. Bukan sekadar sms rupanya.

“Rahayy kenapa sih kamu jarang bales sms Mama…”

Aku malas, Mama. Kalau ada topik selain TA, bereskan kamar, atau semacam itu, aku mau deh relakan jariku untuk mengetik balasan, tapi memang ada?

“…gitu ya kamu hubungin Mama cuman buat minta duit—”

Aku matikan ponsel, lalu aku taruh di bawah kasur.

Kembali aku berbaring di samping kucing. Sebelumnya aku taruh bantal di bawah kepalaku, tapi tetap kualasi lagi dengan kedua lenganku. Sore ini begitu cerah. Matahari menyorotkan hangatnya kepadaku. Begitu nyaman. Dan aku tidak sendiri. Sampai di mana tadi? Seolah-olah sedari tadi aku bicara padanya. Kucing ini harus kuberi nama. Tiaracitra sepertinya nama yang bagus, dan aku tidak akan memperpendeknya jadi Tiara saja, atau Citra saja hahaha. Nama macam apa itu. Mungkin anaknya besok akan dinamai Ayusrirejeki atau Rizkiramadhan atau Rizkamalia.

—sampai aku tidak memiliki apa-apa lagi, menginginkan apa-apa lagi.

Lalu aliran pikiranku putus begitu saja.               

Aku bangkit lagi. Bisa kurasakan separuh rambutku yang menempel dengan karpet tadi melayang. Sebelah kaki depan kucing itu terjulur. Aku menggenggamnya dengan ujung jemari kanan. “Selamat,” kataku, selamat karena hidupmu hanya seekor kucing, tanpa akal untuk berpikir, berpikir itu rumit.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain