Sabtu, 13 September 2025

Mengapa Pengunjung Tempat-tempat Hiburan Makin Bertambah? -- Kisah Kesaktian PP 10 dan Dampaknya

Oleh : TATI HENDARYATI (WARTAWATI "PR")

SEMBILAN bulan sudah Peraturan Pemerintah No. 10 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil berlaku di negara kita, peraturan tersebut ditetapkan dan berlaku sejak April 1983 atau tepatnya 21 April 1983.

Mengapa peraturan tersebut harus ditujukan bagi pegawai negeri sipil? Tujuannya tak lain agar para pegawai negeri memberikan contoh yang baik di masyarakat dan menjadi teladan bagi lingkungannya terutama dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.

Dalam penjelasan PP 10 tahun 1983 tersebut dikatakan bahwa pegawai negeri sipil merupakan unsur aparat negara, abdi negara, dan juga abdi masyarakat. Mereka itu harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan baik tentu saja harus ditunjang dengan kehidupan berkeluarga yang baik dan serasi sehingga mereka tidak banyak terganggu oleh masalah-masalah keluarga.

Tidak bisa dipungkiri lagi persoalan yang terjadi dalam keluarga kadang-kala mengganggu konsentrasi kerja, pekerjaan menjadi gagal karena konsentrasi terpecah belah. Manusia sering kali dipenuhi dengan emosi sehingga suasana yang tidak menyenangkan di rumah akan berpengaruh juga terhadap hasil pekerjaan di kantor.

Seperti contoh yang dialami oleh Drs H (38 th) karyawan salah satu instansi pemerintah. Dalam kariernya sebagai pegawai negeri ia ditempatkan di bagian keuangan, karena kebetulan ia lulusan fakultas ekonomi. Ia mengakui mengandalkan gaji sebagai pegawai negeri hidupnya akan pas-pasan, padahal ia ingin sekali membahagiakan istri dan empat orang anaknya.

Istrinya memang berasal dari keluarga yang berada, sedangkan Pak H dari keluarga biasa. Tidak heran kalau Ny. H (36 th) yang sudah biasa dengan hidup mewah sukar melepaskan kebiasaannya walaupun ia telah menjadi istri Drs H.

H yang begitu sayang pada istrinya masih bisa memenuhi permintaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan gajinya, entah dari mana H masih bisa mendapatkan uang dari luar gajinya itu. Tetapi kehidupan makin lama makin susah, H akhirnya berterus terang kepada istrinya yang ia sayangi untuk mengurangi kebiasaan hidup mewah, demikian juga terhadap anak-anaknya.

Entah apa yang kemudian dikerjakan oleh Ny. H yang jelas ia tidak pernah mengeluh kekurangan walaupun H tidak menambah lagi uang belanjanya. Hanya perubahan yang terjadi ia sering keluar rumah, kalau ditanya ia akan menjawab arisan atau bisnis. H yang juga sibuk dengan pekerjaannya tidak memusingkan hal itu.

Tetapi lama kelamaan perubahan itu makin terasa, istrinya makin sering meninggalkan rumah. Acap kali H pulang dari kantor, makanan belum tersedia. Keempat anaknya yang masih kecil sudah terbiasa mengalami keadaan seperti itu. Sepulang sekolah mereka hanya mendapatkan secarik kertas dan sejumlah uang di meja makan untuk pembeli lauk pauk.

Tiba saatnya H bertindak, istrinya yang baru datang ia tanyai. Namun dengan manis Ny H menjawab, langganan bisnisnya makin banyak sehingga ia harus mengantar dagangan ke rumah orang-orang itu. "Lihat nih hasilnya!" kata Ny. H sambil mengeluarkan setumpuk uang dari dalam tasnya. Ternyata H tidak bisa berbuat apa-apa mendapat jawaban dari istrinya itu.

Hari terus berlalu, Ny. H masih terus sibuk dengan urusan bisnisnya. H sendiri sibuk dengan urusan kantornya. Pekerjaannya itu membutuhkan ketelitian karena H setiap harinya bertugas menghitung keluar masuknya uang.

Yang mengherankan bagi H, akhir-akhir ini sering datang tamu yang tak dikenal menanyakan istrinya. Mereka tidak saja datang ke rumah tetapi juga ke kantor H. Tamu-tamu tersebut bermuka masam bila tidak berhasil bertemu Ny. H. Seringnya menghadapi suasana seperti ini H cepat bertindak, ia paksa istrinya untuk mengakui apa yang dilakukan selama ini.

Bagai disambar petir rasanya ketika H mendengar pengakuan dari istrinya bahwa tamu-tamu tersebut adalah orang-orang yang menagih utang. "Mereka menagih haknya karena mereka mendapatkan arisan, sedangkan uangnya sudah saya pakai untuk keperluan lain. Untuk membeli perhiasan dan berjudi," kata H menirukan jawaban istrinya.

Entah bagaimana kisah H selanjutnya, yang jelas barang-barang mewah di rumah H sudah berpindah tangan, istri meninggalkan rumah, tetapi anak-anak masih tinggal bersamanya. H masih dipenuhi emosi. Ia segera mengajukan cerai tetapi istrinya ogah dicerai.

Kejadian itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu namun istrinya belum saja insaf akan perbuatannya. Setiap ekonomi rumah tangganya mulai membaik, setiap kali itulah ia mengulangi perbuatannya.

Kekesalan H mulai memuncak. Awal Desember yang lalu ia datang ke kantor Depag mengadukan persoalannya. Ia ingin menceraikan istrinya tetapi atasannya tidak mengizinkan. Karena ia tdak memperoleh surat izin cerai, maka Pengadilan Agama pun menolak permintaan H.

"Apa yang harus saya lakukan. Kalau begini terus saya tidak sanggup. Keluarga saya tidak bisa dipertahankan lagi!" katanya dengan iba.

Waktu ditanya "PR" tentang alasan atasannya tidak mengizinkan H bercerai, mengatakan kemungkinan ia terpaku pada PP 10. "Ia tidak mau menanggung risiko kalau memberikan izin bercerai," kata H.

Benarkah tindakan atasan Tuan H itu? Benarkah dengan memberi izin kepada bawahan untuk bercerai akan mempengaruhi kondite sang atasan?

Kepala Kanwil Departemen Kehakiman Jabar Soehendro Hendarsin SH yang sempat dihubungi "PR" mengatakan, tindakan atasan H seperti itu bisa saja dibenarkan. Pihak atasan tidak boleh mendengar alasan dari satu pihak saja, bisa saja H mengemukakan alasan yang dibuat-buat. Mungkin izin tidak diberikan karena atasan belum mendengar keterangan dari Ny. H sendiri. Ketentuan tersebut sudah ada di PP 10 pasal enam.

Ka Kanwil Departemen Kehakiman itu menolak adanya faktor subjektivitas dari atasan yang tidak mengizinkan bawahannya untuk bercerai walaupun alasannya bisa diterima. "Kalau memang ada atasan yang begitu, atasan yang lebih tinggi lagi bisa menegurnya," katanya.

PP 10 memang cukup ampuh, begitu pendapat banyak orang. Tidak ada yang berani melanggarnya karena hukumannya cukup berat, di samping mendapat hukuman kurungan yang lamanya lima tahun juga sang pelanggar akan dipecat dari jabatannya. Wah siapa yang mau!

Seorang pejabat di salah satu departemen di Jabar mengatakan, PP 10 betul-betul sakti. Ia dibuat sesuai dengan ketentuan agama. Sebetulnya dalam hukum-hukum agama, ketetntuan seperti itu pun sudah ada. Tapi masih ada yang berani melanggar.

Dalam PP 10 peranan atasan cukup mempunyai arti yang penting. Ia wajib mengetahui kehidupan anak buahnya, karena kehidupan keluarga yang sejahtera juga akan mempengaruhi pada hasil pekerjaan.

Ada lagi yang berpendapat setelah dikeluarkannya PP 10 itu jumlah tamu yang berkunjung ke tempat-tempat hiburan makin bertambah. Entah apa hubungannya. Yang jelas seorang ahli berpendapat manusia sifatnya mencari kesenangan, dan menjauhi apa yang tidak menyenangkan. Untuk mendapatkan apa yang disukainya, ia akan berusaha dengan berbagai daya meskipun ada hambatan yang dihadapinya. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Januari 1984



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain