Jumat, 20 Desember 2024

Masuk Surga Karena Memungut Sampah

Gambar dari situs web
Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
Penulis : Bahagia, SP., MSc.
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
ISBN : 978-979-461-976-6
Edisi pertama, November 2015

Pertama-tama, izinkan saya berkeluh kesah mengenai masalah teknis pada buku ini. 

Ukuran hurufnya kekecilan buat saya, tapi kalau dibesarkan, buku ini bakal ketebalan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman saja sudah membuat buku ini tampak tebal. 

Sudah begitu, caranya menguraikan dan merumuskan gagasan-gagasan banyak yang kurang efektif, menggunakan kalimat-kalimat panjang bertele-tele bahkan tidak logis, membuat saya merasa capek, kesal, stres saat membacanya, dan sedih mengingat jumlah uang yang dikeluarkan untuk membelinya padahal bertahun-tahun kemudian di Ipusnas ada--gratis T_T 

Menjaga kebersihan lingkungan dapat dikategorikan sebagai dosa??? 

diadakan apa????

Kendati disertai rujukan ke dalil ini atau data itu, kesan yang timbul alih-alih ilmiah malah sambatan belaka. Jadi, supaya tidak merasa teramat rugi, saya mesti menganggap sambatan dalam buku ini sebagai sambatan saya sendiri yang dituliskan orang lain dan dibukukan. Toh gagasan-gagasannya--yang berhasil tertangkap oleh saya dari kekacauan cara penyampaiannya itu--memang menjadi perhatian saya juga. 

Buku ini pun mestilah menjadi "pelajaran" bagi saya yang sendirinya asal-asalan saja dalam menulis. Bagaimanapun, menulis yang benar-benar baik itu proses yang sulit dan lama. Namun, mengutarakan gagasan secara serampangan saja, terlebih sampai dicetak dalam sebentuk buku yang dijual dengan harga lumayan, tidak saja menyiksa dan merugikan pembaca, tetapi juga membuang-buang kertas yang padahal untuk memproduksinya harus menebang pohon yang berarti memusnahkan satu kehidupan, dan jadi ironis apabila buku tersebut isinya menyerukan kepedulian pada lingkungan hidup.

Kedua, izinkan saya mencurahkan sambatan saya sendiri mengenai persoalan lingkungan hidup yang terpantik selama membaca buku ini. Terlepas dari penulisannya yang bikin frustrasi dalam membacanya, buku ini sesungguhnya memuat ide yang bagus dan penting, di antaranya bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kualitas keimanan kita sendiri, kotornya lingkungan menunjukkan kotornya hati, kemudian menjabarkan perilaku apa saja yang tampak lazim padahal sesungguhnya mencemari. 

Menyambung buku Konservasi Alam dalam Islam, yang diangkat pula dalam buku ini, dalam Al-Qur'an dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk sehubungan dengan alam. Dalam Al-Qur'an, misalnya, terdapat cerita tentang Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan hewan, tentang Nabi Nuh yang memasukkan hewan sepasang-sepasang ke dalam bahtera, hingga tentang kaum-kaum terdahulu dengan kemampuan membangun yang hebat (di antaranya memahat gunung-gunung jadi rumah) tetapi kemudian dimusnahkan entahkah oleh banjir bandang, hujan batu, atau ledakan gunung berapi--unsur-unsur alam, sehingga seolah-olah alam membalas dendam atau merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia. 

Al-Qur'an juga mengisyaratkan agar manusia memperhatikan kebesaran alam yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengenal Allah. Begitu pentingnya alam, yang terlebih dahulu diciptakan daripada manusia, menjadi perantaraan bagi manusia untuk dapat terhubung dengan Tuhan, senior bagi manusia tetapi juga lebih rendah hati sebab menolak untuk dilimpahi peran yang kemudian diambil manusia, dan apakah kemudian yang dilakukan oleh si newbie nan bodoh dan zalim ini? Dia lupa diri. Sekian lama bergulat dengan alam, pada suatu masa dia berhasil menaklukkannya, menggantikannya dengan produk-produk rekayasanya sendiri, sehingga anak keturunannya tidak saja terputus keterhubungannya dengan alam, tetapi juga dengan Tuhan. 

Kemudian ada hadis-hadis yang salah satunya menyatakan bahwa muslim berserikat dalam sumber-sumber daya alam. Apakah berarti air dan sebagainya itu sesungguhnya haram untuk diperjualbelikan? Apakah tidak semestinya orang mematok tanah dan mengeklaimnya sebagai milik pribadi? Bagaimanakah persisnya penerapan itu dalam konteks sekarang? Bagaimanakah itu akan diterapkan jika pemerintahan Islam benar-benar ditegakkan? Namun, gagasan akan "pemerintahan Islam" umumnya membuat orang ngeri, termasuk orang yang mengaku sebagai muslim. Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim justru kacau balau pemerintahannya. Ada pula yang menjadi makmur setelah menguras sumber daya alam yang mereka miliki, padahal itu tak terbarukan (lain ceritanya kalau dinosaurus masih hidup dan dapat dibudidayakan).

Maka bicara tentang bagaimana alam beserta lingkungan hidup semestinya dikelola dalam konteks luas bagi saya yang awam ini masih perkara memusingkan. Memang semestinya setiap kalangan bekerja sama serempak, tetapi hanya mempersoalkan pemerintah harus begini, pengusaha harus begitu, tampak seperti omong kosong di luar kendali pribadi.  Saya sendiri hanya bisa memikirkan sebatas yang bisa saya lakukan sebagai individu, syukur-syukur bisa memengaruhi orang di sekitar. Malah makin banyak orang yang berpikiran dan bertindak demikian, lambat laut bisa menjadi aksi kolektif. Solusi individual itu sedikitnya ada dua: 

1) tazkiyatunnafs atau introspeksi jiwa secara berkala, sebab alam dirusak, hutan ditebang, hewan dibunuh, adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang pada taraf ini tidak sekadar untuk yang mendasar tetapi terus memperturutkan nafsu yang bertambah-tambah, tak bisa cukup dengan kehidupan sederhana yang membosankan, menyusahkan, lagi dianggap terbelakang, kendati dengan cara demikian alam terlindungi kelestariannya,

2) ekonomi sirkular skala rumah tangga yang kurang lebih dapat berupa mendaur ulang sampah sendiri sehingga bisa swadaya sampai taraf tertentu, dan mengurangi kebergantungan pada sumber daya alam yang jadi jatah hidupan liar selebihnya.

Kalau solusi individual ini diterapkan oleh setiap orang, kiranya beban pekerjaan konservasi alam atau pemulihan lingkungan hidup dapat berkurang. Toh alam dapat mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Lihat saja waktu COVID-19 ketika giliran manusia dikerangkeng di rumahnya masing-masing, kecuali persoalan sampah yang bertambah banyak (itu pun dampak dari perilakunya sendiri), terdengar bahwa di tempat-tempat wisata alam hewan-hewan pada keluar, kualitas udara pun membaik. Ketimbang mengurus alam, yang perlu dikelola manusia itu justru dirinya sendiri, hawa nafsunya. 

Sudah sewajarnya manusia ingin terus "maju". Atau, dari sana-sini--entahkah orang-orang di sekitar atau media sosial--menggempur agar "berkembang", hidup jangan begitu-begitu saja. Namun, kalau memiliki wawasan akan dampak pembangunan terhadap alam sampai serincinya, serta memahami sebabnya Al-Qur'an melarang bermegah-megahan dan Rasulullah pun mencontohkan kesederhanaan, hidup jadi dijalani dengan guilty pleasure, serbasalah. Di balik kemajuan umat manusia, ada pengorbanan alam semesta. Alam sebagai "kakak" daripada manusia banyak mengalah, tapi sewaktu-waktu dapat mengamuk untuk mengambil kembali haknya melalui bencana-bencana. Sudah sepantasnya manusia beristigfar seratus kali sehari--tidak, malah semestinya setiap saat.

Islam memang menganjurkan untuk kaya. Agar dapat menunaikan rukun Islam yang keempat dan kelima, orang perlu memiliki sejumlah kekayaan. Belum lagi perintah untuk banyak bersedekah, menafkahkan harta di jalan Allah. Hanya saja, kekayaan itu diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Untuk memiliki emas batangan saja, prosesnya mungkin memerlukan merkuri yang limbahnya berbahaya bagi lingkungan. Untuk membangun rumah megah lagi estetik, pohon-pohon ditebang, bukit-bukit dihancurkan, pasir dikeruk, dan sebagainya, untuk memperoleh materialnya. Untuk membangun perumahan sederhana saja menurut standar sekarang, berapa banyak makhluk lain yang terampas hak hidupnya sebab tanah tempatnya bertumbuh telah dilapisi beton? Agaknya untuk menjadi "kaya" dalam pengertian materialistis, memang tak terhindarkan cara-cara kotor dan zalim pada makhluk lain, sehingga harus berzakat, bersedekah banyak-banyak, untuk menyucikannya.

Islam juga menganjurkan untuk menikah dan beranak pinak (sunah), tetapi perlu diperhatikan pula bahwa dalam Al-Qur'an pernyataan jangan berbuat kerusakan di muka bumi itu bernada imperatif (wajib). Maka rasa-rasanya ada yang tidak sinkron apabila orang melakukan sunah menikah dan beranak-pinak tapi melalaikan yang wajib karena sebagai dampaknya, salah satunya, jadi menghasilkan lebih banyak limbah tanpa sanggup bertanggung jawab atas itu. Ingatlah ayat yang pertama-tama diturunkan, Bacalah dengan nama Tuhanmu: apakah layak membesarkan anak dalam lingkungan yang cemar, dengan sumber daya alam yang kian terbatas saja untuk mereka bertahan hidup kelak? Sepertinya, AMDAL diperlukan buka hanya dalam membangun bangunan atau proyek-proyek material semacam itu, melainkan juga dalam membangun rumah tangga! 

Andaikata setiap manusia dapat mengendalikan hawa nafsu, selain tidak harus bersusah payah memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkannya sendiri, pemandangan kemiskinan pun tidak perlu ada, sebab apabila diberikan kelebihan rezeki lebih suka membaginya dengan yang kekurangan ketimbang memperkaya diri. Namun, tampaknya sudah sunatullah kebanyakan manusia ditaklukkan hawa nafsu sehingga pemandangan kerusakan dan kemiskinan itu senantiasa ada. 

Sudah keniscayaan pula bahwa untuk dapat membangun, ada yang perlu dihancurkan terlebih dahulu. Contoh simpelnya, untuk dapat memperoleh kompos, sampah organik perlu diurai terlebih dahulu. Untuk dapat membangun peradaban, alam perlu disingkirkan. Untuk dapat membangun pribadi yang baik, ego perlu dirobohkan. 

Sudah ah sambatannya, mau lanjut belajar bagaimana persisnya manusia harus memajukan diri tanpa berbuat kerusakan di muka bumi. Mungkinkah kemajuan yang semestinya dituju itu lebih dalam hal spiritual daripada material?

Kamis, 19 Desember 2024

Perkenalan dengan Orwell

Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di rumah, saya membacanya, Apa sih ini, mengembalikannya tanpa menamatkannya. Maklum, waktu SMA, jiwa remaja saya masih sarat warna-warni teenlit (sampai sekarang sih). Ketika itu saya baru memulai pembacaan karya sastra yang dianggap "serius", dan baru dapat terkesan oleh puisi-puisi Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.

Masa kuliah saya punya sendiri buku 1984 itu. Berbeda dengan yang saya temukan di perpustakaan SMA, yang kovernya berlatar kemerahan, kali ini berlatar abu-abu dengan gambar close up kepala merah yang bagian lehernya ber-barcode, sepertinya terbitan Bentang. Mungkin maksudnya mau melanjutkan pembacaan waktu SMA, tapi tidak kunjung terlaksana. Waktu itu pun tampaknya buku tersebut terbilang langka, belum ada yang mencetak ulang. Sebab, mengetahui saya punya buku itu, seorang kenalan sangat menginginkannya sampai menawarkan barter segala. Merasa sesungguhnya buku itu berharga, awalnya, saya tidak berkenan melepaskannya. Namun, pada akhir masa kuliah, saya mengalami periode ingin-bermurah-hati, sehingga melepaskan buku itu begitu saja kepada si kenalan, walau sepertinya masih agak kurang rela juga (bagaimana sih???).

Bertahun-tahun kemudian, buku itu kembali hadir di lemari rumah. Kali ini yang kovernya kehijauan, sepertinya adik yang membelinya. 

Seakan-akan, takdir berkali-kali menyorongkan novel ini ke muka saya agar membacanya, tapi sampai waktu menulis ini, saya masih, "Entar dulu ah!"

Ada satu lagi karya Orwell yang telah hadir di rumah, yaitu Animal Farm yang kovernya pink bermuka babi itu. Karena ceritanya menyerupai fabel dan bukunya lebih tipis pula, yang ini tampak lebih ringan daripada yang satunya. Saya sudah membacanya sampai tamat, kira-kira pada 2015 atau 2016, tapi ketika itu saya sedang tidak hendak menulis catatan. Yang bisa saya ingat hanya kesan saya pada buku itu positif: bagus, menggugah, semacam itu.

Gambar dari situs web Kakatua.
Karena karya Orwell akan dibahas di klub buku, barulah saya tergerak lagi untuk mencari. Karya tersebut adalah buku kumpulan esai Mengapa Saya Menulis terbitan Kakatua, 2023. Buku ini dapat dibaca di aplikasi Baca Kakatua. Menurut situs web Kakatua, buku ini memuat sepilihan esai yang diterjemahkan dari judul-judul berikut:

Why I Write
Books v. Cigarettes
Good Bad Books
Confessions of a Book Reviewer
Bookshop Memories
Literature and Totalitarianism
Politics and the English Language
Notes on Nationalism
My Country Right or Left
Shooting an Elephant
How the Poor Die
A Hanging
A Nice Cup o Tea

Esai-esai bagian awal berkenaan dengan kepengarangan Orwell ("Why I Write") beserta ihwal perbukuan yang digulatinya ("Books v. Cigarettes", "Good Bad Books"). Selain menjadi pengarang, Orwell pernah bekerja sebagai peresensi buku ("Confessions of a Book Reviewer") dan pegawai toko buku ("Bookshop Memories"). Karena saya juga pernah suka mengarang fiksi, me-review buku, dan sempat sesekali menjaga toko buku, selain itu lebih banyak berekreasi lewat buku daripada secara fisik yang kemungkinan bakal menghabiskan lebih banyak uang, termasuk pembaca karangan yang kiranya tergolong ke dalam "good bad books", serta meminjamkan buku-buku kepada orang-orang yang entah apakah akan dikembalikan, saya merasa dapat mengaitkan diri dengan yang diungkapkan Orwell dalam esai-esai ini, walaupun tentunya pengalaman saya tak sampai setaraf beliau.

Esai-esai bagian tengah, yaitu "Literature and Totalitarianism", "Politics and the English Language", "Notes on Nationalism", "My Country Right of Left", merambah ke ranah politik, yang tidak begitu saya minati. (Mungkin ini sebabnya saya tidak segera tergerak untuk membaca 1984 :v)

Esai-esai berikutnya, "Shooting an Elephant", "How the Poor Die", serta "A Hanging", menceritakan pengalaman Orwell semasa menjadi polisi imperial di Burma. Hal ini mengingatkan pada Multatuli, pengarang Max Havelaar. Keduanya memiliki beberapa kesamaan: pria kulit putih Eropa, pernah bekerja sebagai pegawai kolonial di kawasan Asia Tenggara dan tidak betah, kemudian pulang ke kampung halaman dan menuliskan pengalamannya itu. Semuanya esai yang menyentuh, kiranya dapat dikatakan sebagai contoh karya creative nonfiction, yang menghidupkan kembali suatu peristiwa nyata dengan detail, dialog, dan sebagainya, hingga memberikan efek kepada pembaca seolah-olah turut menyaksikan atau mengalami. 

Soal yang dikemukakan dalam "How the Poor Die" menimbulkan paling banyak reaksi dalam perbincangan di klub. Sewaktu-waktu kita mesti berurusan dengan rumah sakit, entahkah sebagai pendamping atau pasien itu sendiri. Namun, dalam keadaan yang boleh dikata sedang kurang menguntungkan itu, kita tidak selalu mendapatkan pelayanan yang baik. Tidak semua tenaga kesehatan bekerja dengan hati. Atau, memang sifat dari pekerjaan itu memerlukan atau menjadikan orang keras hati.

Esai penutup, "A Nice Cup of Tea", memberikan petunjuk menyeduh teh yang sedap. Ternyata ada serangkaian langkah untuk mendapatkan efek dan kenikmatan maksimal dari secangkir teh, agar menjadi lebih bijaksana, berani, dan optimistis setelah meminumnya. Yang perlu diperhatikan mulai dari sumber teh, bahan teko, cara memperlakukan teko, kondisi air, sampai perkara mencampurkan susu yang sudah kayak pertentangan bubur ayam diaduk vs kagak kalau di kita mah. Sementara itu yang saya tahu sebagai keturunan Jawa di tanah Sunda hanyalah teh nasgitel vs teh tawar encer. 

Mengenai esai jenis instruksional, selain "A Nice Cup of Tea", "Politics and the English Language" juga mengandung beberapa poin petunjuk praktis menulis. Walaupun klise, petunjuk-petunjuk ini banyak diabaikan sehingga menggusarkan pemerhati bahasa.

Di samping kumpulan esai terpilih ini, aplikasi Baca Kakatua menyediakan buku-buku Orwell lainnya. Buku-buku Orwell juga bisa dibaca di aplikasi Gramedia Digital dan Ipusnas. Di Ipusnas yang gratis itu ada buku-buku Orwell terbitan Diva Press dan Gramedia, tapi terakhir kali saya cek, semuanya lagi dalam antrean dong. Apa Orwell lagi populer?

Beberapa kutipan yang kena:
"It is his job, no doubt, to discipline his temperament and avoid getting stuck at some immature stage, or in some perverse mood: but if he escapes from his early influence altogether, he will have killed his impulse to write." ("Why I Write", 1946)
"After the age of about thirty they abandon individual ambition--in many cases, indeed, they almost abandon the sense of being individuals at all--and live chiefly for others, or are simply smothered under drudgery." ("Why I Write", 1946)
".... 'I don't want short stories', or 'I do not desire little stories' .... they sometimes explain that it is too much fag to get used to a new set of characters with every story, they like to 'get into' a novel which demands no further thought after the first chapter." ("Bookshop Memories", 1936)
"People talk about the horrors of war, but what weapon has a man invented that even approaches in cruelty some of the commoner diseases? 'Natural' death, almost by definition, means something slow, smelly and painful." ("How the Poor Die", 1946)

Senin, 16 Desember 2024

Mati Satu, Muncul Seribu

Setelah Napster mati, penyedia program pertukaran dokumen musik bermunculan. Industri rekaman kewalahan.

GAJAH mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Napster tutup? Penyedia layanan pertukaran dokumen musik ini meninggalkan sekitar 20 juta pengguna. Selama tiga tahun beroperasi, situs yang didirikan Shawn Fawning itu bagaikan surga bagi para penggemar musik. Di situ mereka dengan gampang bisa saling tukar dokumen musik dengan pengakses lainnya. Punya satu bisa mendapat seribu.

Terang, pesta itu membuat para bos industri rekaman di Amerika Serikat berang. Tergabung dalam Recording Industry Association of America (RIAA), mereka lalu menghantamnya dengan tuduhan mematikan: penyebar wabah pelanggaran hak cipta.

Tukar-menukar dokumen musik identik dengan penggandaan. Ini menabrak pasal dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual. Setelah melewati proses hukum yang panjang, pengadilan federal akhirnya melarang Napster beroperasi lagi. Dan sejak akhir Juli lalu, situs kondang itu benar-benar tutup layar.

Selesai? Belum. Tak lama kemudian, bermunculan situs sejenis dengan layanan berbeda-beda. Malah tiga situs paling populer saat ini, Kazaa, Grokster, dan Morpheus, diminati lebih banyak orang. Totalnya sekitar 70 juga pengguna aktif. Ketiga situs itu hampir sama dengan Napster, hanya teknologinya lebih canggih, sehingga secara hukum sulit dijegal. Mereka tak hanya menyediakan layanan tukar-menukar dokumen musik, tapi juga videogame, foto, program aplikasi, dan film layar lebar yang sedang diputar di bioskop. Semua kenikmatan tersebut bisa didapat secara gratis.

Pengurus RIAA, yang mewakili delapan raksasa industri rekaman, pun gerah lagi. Demikian pula asosiasi perfilman Amerika (MPA), yang mewakili 19 studio. Munculnya situs pengganti Napster membuat angka penjualan cakram padat (CD) produk mereka di seluruh dunia anjlok lima persen. Sebaliknya, angka penjualan CD kosong meningkat pesat, bahkan untuk pertama kalinya melampaui CD rekaman. 

Mereka lalu menggugat pemilik ketiga situs tersebut. Tuduhannya sama: pelanggaran hak cipta. "Kami tak punya pilihan," kata Cary Sherman, penasihat hukum RIAA, "Kalau kami tidak menggugat, ribuan situs seperti mereka akan terus muncul dan mengganggu bisnis kami."

Hanya, pengelola ketiga situs itu punya argumen kuat. Mereka mengaku tak punya kontrol apa pun pada pemakaian layanan yang mereka sediakan. Pengelola juga tak mengetahui siapa saja yang menggandakan dan menukar dokumen, entah itu lagu milik Eminem, entah resep masakan kalkun panggang ala Seattle, lewat jaringan mereka. Pemilik situs Kazaa, Grokster, dan Morpheus memang agak sulit disalahkan. Soalnya, cara kerja mereka berbeda dengan Napster. Ketiganya mendesentralisasi sistem server-nya. Mereka hanya menyediakan programnya, sedangkan server-nya berupa komputer milik pengakses yang jumlahnya puluhan juta itu. Dulu Napster gampang disalahkan karena menggunakan server sentral yang bisa melacak dan mengontrol transfer dokumen di antara sesama penggunanya.

Gugatan RIAA pun kedodoran. Dalam memo rahasia yang bocor ke mana-mana, tim pengacara lembaga ini terus terang mengakui bahwa gugatan mereka sebetulnya tak sekuat ketika menghadapi Napster. Karena itu, mereka tak yakin bakal memenangkan gugatan.

Secara teknis, sulit juga menghentikan pertukaran dokumen musik atau film lewat program yang disediakan ketiga situs itu. Kata Niklas Zennstrom, pendiri Kazaa, satu-satunya jalan menghentikan pemakaian layanan situsnya adalah memerintahkan agar semua pengakses mematikan program di komputernya. Ini sesuatu yang mustahil.

Kalaupun semua situs ini ditutup karena perintah pengadilan atau alasan lainnya, belasan situs serupa telah siap menggantikannya. Soalnya, "Situs-situs itu sekadar alar," kata seorang penggemar Kazaa kepada majalah Fortune, "Kalau industri rekaman menutup mereka, saya bisa mencari gantinya di tempat lain." Begitu juga para penggemar lainnya. 

Wicaksono



Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002



Senin, 11 November 2024

Investigasi Pohon-pohon: 100 Puisi tentang Kerusakan Lingkungan Hidup

Gambar dari Tonggak Pustaka.
Penulis : Chairul Anwar
Edisi buku cetak I, September 2009
Edisi buku digital II, November 2022
ISBN : 978-623-91272-2-0 (E-) 978-623-361-000-0
Penerbit : Tonggak Pustaka dan Amongkarta, Yogyakarta

Saya menemukan buku ini di Ipusnas waktu iseng mencari buku puisi terkait alam dan sebagainya, langsung memulai membacanya, seperti membaca buku biasa. (Sampai titik ini, saya berpikiran bahwa membaca puisi sebagaimana yang diajarkan buku-buku teori terlalu memakan waktu, mungkin hanya bisa diterapkan oleh yang mempelajari puisi secara serius, bukan pembaca kasual :-/). 

Banyak puisi dalam buku ini mengulang-ulang celaan terhadap cukong, politikus, siapa-siapa yang terang berperan dalam perusakan hutan, yang demi dolar tidak saja menzalimi aneka ragam flora fauna, tetapi juga suka menzinai "asisten wanita berwajah kemilau". 

Karena kerap terasa bagai sambatan, buku ini mengingatkan pada buku Masuk Surga Karena Memungut Sampah (yang dalam waktu ini masih dibaca). Hanya saja, karena bentuknya puisi ketimbang esai, buku ini relatif lebih lancar dibaca. 

Sebagian puisi diakhiri dengan ketidakberdayaan penulis, kadang pula seperti mengakui bahwa yang diurainya hanya racauan. Contohnya dalam pernyataan-pernyataan berikut.
Rasanya tulisan ini harus menepi deh sebab hanya bikinan orang sedih berlarat-larat (halaman 127, "Kabar Pohon dan Semak-semak Dilumat Api")
Aku hanya pengembara yang kantongnya kosong perut juga keroncongan dan tulis puisi walau tak ada yang baca (halaman 129, "Puisi Iseng Semak-semak Pakis Tak Terbaca")
Sebaiknya kata-kata dalam puisi ini jangan dibiarkan mengalir deras ke hulu. Kesasar kau nanti. Sebab hanya ditulis orang yang hidup sepi sendiri di hilir berteman gerimis (halaman 135, "Pesan Ikan Mujair kepada Jeram")
Agaknya tak penting dilanjutkan keluh peyair yang cuma keturunan anak buaya (halaman 144, "Keluhan Keturunan Buaya")
Setelah banyaknya puisi yang cenderung seragam, jadi timbul gagasan bahwa kuantitas bisa saja diimbangi dengan perluasan atau pendalaman kualitas. 

Misal, dalam isu lingkungan hidup, sesungguhnya bukan cuma cukong/politikus saja yang bisa dipersalahkan, melainkan setiap manusia termasuk orang biasa pun berperan. Individu dapat mengambil tanggung jawab terhadap apa pun yang ia konsumsi, dengan melacak mulai dari bagaimana barang itu diproduksi, didistribusikan, sampai setelah menjadi sampah. Apalagi dalam kaitannya dengan keperempuanan, jenisnya bukan cuma "asisten wanita berwajah kemilau" melulu yang bisa diungkit, sebab dalam urusan belanja kerumahtanggaan yang biasanya dipercayakan kepada perempuan, kaum ini memiliki peran tak kalah penting dalam menentukan timbunan sampah yang berakhir di TPA. 

Selain itu, melihat dari judul-judulnya saja dalam daftar isi yang menyebut beragam spesies (: pinang, angsoka, mahoni, ular sanca, sonokeling, akasia, cocorbebek, burung murai, kuping gajah, kayu ulin, kerbau, lebah, kucing hutan, semut, burung parkit, babi hutan, burung merak, siamang, landak, kumbang, harimau belang, dan banyak lagi), jadi timbul ekspektasi puisi-puisi ini akan memberikan kekayaan wawasan sebagaimana dalam buku Pohon-pohon Sahabat Kita: Sajak Anak-anak. Namun, isinya lagi-lagi tentang cukong dan "asisten wanita wajah kemilau", alih-alih mengeksplorasi lebih jauh atau spesifik mengenai spesies yang disebut pada judul.

Kesan seragam itu mengemuka kiranya karena puisi-puisi ini dibaca secara terusan. Sebetulnya ada saja sepilihan puisi yang kena dalam menggugat kepedulian pembaca agar berempati terhadap makhluk-makhluk selainnya, menempatkan mereka dalam posisi yang sejajar. Puisi dalam buku ini pun mungkin akan lebih seru bila dibacakan keras-keras sebagai pengisi acara lingkungan hidup. 

Berikut salinan utuh satu puisi sebagai contoh.
Air Mata di Pipi Pohon-pohon Pinang

Kini aku pohon-pohon pinang di hutan-hutan yang tak lagi perawan
mustahil bisa menatap sinar matahari menerobos dari daun-daun dan ranting-ranting
Simak setiap bunyi yang keluar dari siul burung-burung tentang kedamaian
Dari azan subuh berkumandang hingga isya menyapa yang tersisa hanya udara kering
Doa-doa untuk kebahagiaan terjepit di geladak kapal mengangkut kayu gelondongan
Orang-orang yang senantiasa mengisi hidupnya degan mulut madu kebohongan

Engkau tidak seksama melihat pohon meranti meneteskan air mata
Pernahkah engkau punya niat menghapus air mata di pipi pohon keruing?
Apakah engkau pernah membandingkan air mata bahagia keluargamu bergelimang harta
dengan air mata pohon-pohon pinang di hutan yang terluka parah karena hangus?
Banyak yang kita tidak tahu apa yang dirasakan tanaman di hutan dan binatang melata
Tetapi engkau juga tidak tahu apa yang engkau dan keluargamu rasakan itu semacam rakus
Sadar atau tidak, kalau berbulan-bulan kayu gelondongan diseret liar ke mana-mana
Selama itu pula orang-orang telah melukai tubuhnya dan sungai meminum darahnya
Tetapi pernahkah terpikir olehmu suatu ketika mereka meminta engkau tetap jadi tikus?
Tidak, tidak sama sekali, katamu dengan tubuh terguncang dan mulut terbata-bata
Tetapi tetap saja engkau riang gembira meminum darahnya tak putus dirundung haus

Engkau senang membawa ke mana-mana kepala kosong lantaran enggan merenung
betapa berharga darah dan nyawa, meskipun itu hanya sebatang pohon dan seekor capung
Kebahagiaanmu, kebahagiaan keluargamu, kolegamu adalah kolaborasi membagi untung
tinggal menyisakan korban diiringi penyesalan, apa guna untung jika kepala buntung?

Yogyakarta, 18 Juli 2014

(halaman 11-12)
Kutipan favorit:
Kesendirian adalah jalan terbaik yang harus ditempuh agar kau luruh
bersemayam dalam sepi berkerumun sunyi agar jiwamu mudah tersentuh
menyaksikan harimau belang berlarian dikepung lidah api tubuh melepuh
(halaman 149, "Harimau Belang dan Beruang Madu")

Selasa, 27 Agustus 2024

Arie Hanggara di Ipusnas

Lagi membaca Tempo No. 22/XXXI/28 (atau 29?) Juli – 4 Agustus 2002, di halaman 20 menemukan kolom “ARSIP” dengan kover Tempo tempo doeloe yang mengangkat kasus Arie Hanggara. Tak ingat mula-mula tahu tentang Arie Hanggara dari mana, dulu pernah sempat menonton filmnya di YouTube tapi tidak meneruskan, mungkin karena keburu meneteskan air mata :’{ Film ini menampilkan Dedi Mizwar sebagai ayah Arie Hanggara, ketika itu usianya mungkin baru sekitar 30-an tahun, sedang saya baru “mengenal”-nya (tidak secara personal, hanya melalui televisi) setelah menjadi Pak Haji di Lorong Waktu dan membintangi iklan obat sakit mag.

Klik gambar agar huruf terbaca jelas.
Tempo edisi Arie Hanggara diangkat dalam Tempo edisi 28/29 Juli – 4 Agustus 2002 sepertinya untuk meramaikan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli. Dalam Tempo edisi akhir Juli 2002 ini pula terdapat selingan yang menyoroti eksploitasi anak, baik di masyarakat bawah maupun di dunia hiburan.

Di Ipusnas ada dua “buku” mengenai Arie Hanggara, tepatnya dua  kumpulan artikel Tempo (disusun oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, diterbitkan oleh TEMPO Publishing), masing-masing berjudul Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan terhadap Anak dan Kisah Arie Hanggara yang Terkapar di Tangan Machtino. Buku pertama terbit 2019 total 111 halaman, sedang buku kedua 2023 60 halaman. Setelah dicek, rupanya buku kedua hanya menerbitkan ulang sebagian artikel yang ada di buku pertama. Sudah begitu, halaman yang terisi dalam buku kedua itu cuma sampai nomor 40 dan selebihnya kosong.

Gambar screenshot
dari Ipusnas.
Catatan ini meringkas artikel-artikel dalam kedua buku tersebut, disertai komentar kalau ada.

Tewas di Tangan Ayah Kandung (17 November 1984)

Artikel ini menyampaikan secara detail bagaimana Arie Hanggara didisiplinkan oleh orang tuanya, yaitu ayah kandungnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi. Arie dihajar dengan tangan dan gagang sapu, ditempeleng, diguyur air, diacung-acungi pisau. Kepalanya dibenturkan ke tembok. Sampai akhirnya Arie meninggal dunia. Jasadnya yang penuh memar dicurigai pihak rumah sakit, sehingga polisi dihubungi.

Kasus ini dilatari permasalahan rumah tangga Machtino-Santi. Konon Santi yang galak sebab harus membiayai Machtino yang mengganggur beserta ketiga anaknya. Machtino sendiri katanya cukup sabar, penyayang dan pengalah.

Pemicu dihajarnya Arie sampai tewas adalah karena ditemukannya uang yang cukup besar pada waktu itu (8000 atau 8500) dalam tas anak tersebut. Arie mengatakan bahwa uang itu dicurinya dari anak SMA di yayasan tempatnya bersekolah. Namun, setelah pihak sekolah memeriksanya, tidak ada yang mengaku kehilangan uang.

Ketika berita ini diturunkan, Arie baru dimakamkan sekitar seminggu sebelumnya yaitu 9 November setelah pada 8 November dini hari diantarkan ke rumah sakit.

Yang Terkapar di Tangan Machtino (24 November 1984)

Membayangkan beban ekonomi keluarga Arie, saya berpikiran wajar kalau Santi menderita stres. Machtino pun bukannya lelaki dengan penampilan dan kepribadian yang sama sekali buruk, ia punya beberapa kualitas. Namun, kenyataannya, yang dipentingkan dari laki-laki terutama adalah kemampuan untuk menghasilkan secara mapan. Laki-laki tidak bisa sekadar menjadi bapak rumah tangga yang baik, tetapi mungkin stres dari mencari kerja/tidak memberikan nafkah, apalagi dengan beberapa anak, dapat memengaruhi caranya mendidik. Sama halnya dengan perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, apabila suaminya kurang berpenghasilan sementara ia pun belum dapat menunjang ekonominya sendiri, mungkin mengalami stres hingga  melampiaskan kepada anak-anaknya (bahkan ada yang pernah sampai membunuh).

Membuka video-video tentang Arie Hanggara di YouTube dan membacai komentar-komentarnya, ada yang mengatakan bahwa ia menjadi “masokis” sebab sebagai anak tengah sebetulnya sedang mencari perhatian orang tuanya. Orang tuanya sendiri “kreatif” dalam menghukum Arie, bukan cuma secara fisik, melainkan juga psikis misalkan dengan menulis kalimat yang sama berulang-ulang. Ada pula yang berkomentar bahwa pemberitaan Arie Hanggara sempat efektif menyadarkan orang tua pada masa itu agar tidak terlalu keras kepada anaknya. Walaupun pedih, ada hikmahnya. (Walaupun, sekitar empat puluh tahun sejak kasus ini terjadi yaitu sekarang ini, masih ada saja kasus penganiayaan/pembunuhan anak?)

Benarkah Kita Tidak Kejam? (1 Desember 1984)

Kasus Arie Hanggara hanyalah gunung es dari banyaknya kasus kejahatan orang tua kepada anak. Memang tidak persis sama, tapi tak kalah keji. Ada anak-anak perempuan yang dicabuli ayah kandungnya sendiri—apalagi ayah tiri—sampai hamil. Ada anak-anak lelaki yang mencari perhatian, tapi malah dihukum dengan kekerasan fisik sehingga lari dan menjadi pencuri untuk bertahan hidup sampai menjadi tahanan. Ada pula yang setelah dewasa menjadi kriminal.

Ini 40 tahun lalu, sudah ada istilah “child abuse” dan akibat dari kasus Arie Hanggara adalah diangkatnya perhatian pada pendidikan anak, serta “warisan” atau istilahnya sekarang mungkin “generational trauma”, yakni orang tua memperlakukan anaknya sedemikian karena sekadar meneruskan perlakuan orang tuanya sendiri terhadap dirinya. Menurut Singgih Gunarsa (guru besar Fakultas Psikologi UI yang bersama istrinya pada tahun ’80-an menerbitkan serangkaian buku psikologi anak, remaja, dan keluarga), orang tua yang menghukum untuk mendidik (tidak menyakiti) itu cuma 5%. Selebihnya yang 95% itu memukul anak karena tidak pandai mengendalikan emosi. Maka fenomena ini umum sekali … sampai sekarang. Malah sekarang tampak kian kompleks saja, dengan munculnya fenomena childfree juga marriage is scary, saking takutnya mewariskan luka batin pengasuhan orang tua kepada generasi selanjutnya serta saling menyakiti dengan pasangan akibat luka-luka itu.

Menariknya, para ayah yang disorot dalam artikel ini pada pensiunan polisi/tentara. Ada juga yang tahanan politik.

Artikel ini menyebut judul artikel lain yang sepertinya terkait, “Tidak Hanya di Sini”, tapi sayang tidak disertakan ke dalam buku ini, apa karena tidak secara langsung berhubungan dengan Arie Hanggara? Dari judulnya jangan-jangan mengangkat tentang kasus kejahatan kepada anak di negara-negara lain?

Petaka Usia Tujuh Tahun (1 Desember 1984)

Artikel ini tampak mencoba memahami sudut pandang Machtino, ayah Arie Hanggara, dengan menelusuri sebab-sebabnya sampai tega menghabisi nyawa anaknya. Ketika kurang lebih seusia dengan Arie, pada usia 7 tahun, ia sendiri mengalami “petaka”, berupa perceraian orang tuanya. Ayah Machtino anggota DPR/MPR yang memulai kehidupannya dari bawah sekali, dan mendidik anak-anaknya dengan hukuman disiplin. Disiplin ayahnya ini hendak ditiru Machtino.

Adapun mantan istri Machtino alias ibu kandung Arie Hanggara, yaitu Dahlia, adalah anak mayor. Walau keduanya anak orang punya jabatan, mereka sama-sama memiliki banyak saudara dan itu juga tidak menjamin kemulusan dalam pendidikan dan pekerjaan. Baik Machtino maupun Dahlia sama-sama tidak menyelesaikan pendidikan. Machtino pun sulit mempertahankan pekerjaan.

Memang kasus kejahatan orang tua kepada anak tidak hanya dipengaruhi oleh masalah emosi orang tua tetapi juga keadaan ekonominya. Namun, melihat latar belakang Machtino dan Dahlia yang sepertinya bukan bawah amat, tampak kedudukan orang tua tidak menjamin kesuksesan anak.

Setelah Arie, Siapa Lagi (15 Desember 1984)

Artikel ini mengangkat kasus-kasus pembunuhan anak akibat penganiayaan orang tua yang rupanya terjadi tidak hanya kepada Arie di Jakarta, tetapi juga di tempat-tempat lain di Indonesia seperti Tangerang dan Jayapura. Yayasan Perguruan Cikini (tempat Arie dan ayahnya sama-sama pernah bersekolah) menanggapi kasus Arie dengan mengadakan seminar yang dihadiri ratusan peserta. Dalam diskusi ini, dibicarakan mengenai hubungan orang tua-anak, bagaimana orang tua tidak mau mendengarkan anak, dan bagaimana peran anak dalam keluarga yang cenderung dianggap sebagai pelampiasan, perpanjangan cita-cita orang tua, serta sarana produksi (membantu pekerjaan orang tua untuk menambah pendapatan). Padahal anak punya hak-hak tersendiri, tapi masih rancu juga batasan usia yang disebut sebagai anak itu; ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada juga yang 18 malah 21, selama belum kawin.

Mengetahui banyaknya kekerasan terhadap anak-anak, dalam hal ini anak-anak Generasi X (tahun ’80-an) yang sekarang pun sudah memiliki anak-anak yang disebut sebagai Generasi Z, jadi bertanya-tanya, apakah generasi muda dewasa ini acap disebut-sebut “lembek” karena orang tuanya yang segenerasi dengan Arie Hanggara itu tidak hendak mengulangi cara orang tua mereka yang dianggap terlalu keras? Arie telah menjadi martir bagi anak-anak Generasi X Indonesia, dan mereka paham tidak ada anak yang minta dilahirkan, sehingga berusaha memberikan kehidupan yang sebaik mungkin bagi anak mereka sendiri, Generasi Z, walaupun jadinya dianggap terlalu memanjakan …. 

Arie, Sebuah Simbol (12 Januari 1985)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) ketika itu, Nugroho Notosusanto, punya ide membuat patung Arie Hanggara sebagai simbol ketiadaan kasih sayang orang tua. Rencananya, patung ini akan ditaruh di depan museum pendidikan Dep. P & K. Maka ditugaskanlah seorang dosen patung ISI Yogyakarta untuk mengerjakannya. Namun timbul kontroversi. Patung itu dirasa menyinggung keluarga Arie, seperti hendak menghukum mereka tujuh turunan. Arie mungkin cuma model, tetapi bagi keluarganya tetap ada kesan personal.

Gambar screenshot
dari Ipusnas.

Siapa Bertanggung Jawab Bila …. (26 Januari 1985)

Bukankah sikap dan perilaku seseorang terbentuk dalam rumah tangga dan lingkungan tempat ia dibesarkan. Mungkin orang tua yang suka memukul anak-anaknya dulu dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang membuat mereka mudah bersikap kasar.” (halaman 75)

Artikel ini menyorot persidangan Machtino-Santi, yang penontonnya membeludak melebihi kapasitas ruangan, terutama oleh ibu-ibu dan anak sekolah. Masyarakat mudah menghujat, apalagi kalau sudah sampai jadi berita. Tapi, Tempo tidak berhenti di sana, terus mengusut sebab-sebab terjadinya kasus demikian, sampai menelisik latar belakang/masa lalu para pelaku menurut psikologi.

Pasangan model Machtino-Santi agaknya kian jamak sekarang ini: lelaki friendly tapi kurang pekerja keras bertemu wanita mandiri tapi kurang kasih sayang orang tua. Machtino sendiri memiliki ayah yang sangat sukses dan sudah berdikari sejak usia belia. Namun efek kesuksesan ayahnya padanya hanyalah sebagai angan-angan, sulit diteladani oleh dirinya. Kesuksesan sang ayah itu pula agaknya membuat terlalu sibuk, sehingga pertemuan mereka kurang berkualitas untuk membina karakter.

Simbol Itu Dibatalkan (26 Januari 1985)

Kembali menyoal patung Arie Hanggara, gagasan Menteri P & K dibatalkan sebab menuai protes masyarakat. Beliau berjiwa besar dengan menerima protes itu. Tapi pematungnya ternyata bikin patung lain yang semiabstrak. Kalau menteri setuju, patung itu yang akan diberikan kepada Dep. P & K. Ada pula yang mengusulkan di Kompas: kalau ingin bikin monumen peringatan anak, mending modelnya anak-anak pekerja di jalanan, sebab itu “masalah kita semua, lebih dari kasus Arie”.

Bila Rumah Bukan Lagi Tempat …. (26 Januari 1985)

Artikel ini mengumpulkan kasus anak dari berbagai kalangan: ada yang kecanduan narkotika, ada yang berbuat kriminal, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Rupanya ini karena ada beda persepsi antara orang tua, guru, dan anak. Orang tua dan/atau guru cenderung memaksakan kehendak sendiri, tidak membuka dialog dengan anak. Kalau orang tua kurang berperhatian, terlalu mengekang, atau terlalu keras, lalu anak memberontak, itu tampak wajar. Ada juga yang di rumah tak ada masalah, orang tuanya tanggap, tapi di sekolah si anak bikin masalah melulu karena berkonflik dengan guru.

Pelajaran untuk Orang Tua (13 April 1985)

Isinya berita tentang pernikahan resmi Machtino-Santi, serta Dahlia mengambil kembali saudara-saudara Arie yang padahal sudah diserahkannya kepada Machtino.

Simpulan:

Masalah emosi dan ekonomi orang tua dapat memengaruhi kesejahteraan anak. Tapi, walaupun keadaan ekonomi orang tua baik-baik saja, bahkan termasuk golongan berkedudukan, kalau kesibukan dari aktivitas ekonomi dan kedudukannya itu sampai berakibat pada kurangnya perhatian, tetap saja tidak menguntungkan anak. Mau begini atau begitu, sama-sama berpotensi menimbulkan masalah.

Sekalipun orang tua sudah berusaha membesarkan anaknya dengan baik, masalah tetap bisa datang dari luar (guru, teman-teman, lingkungan pergaulan, elite kapitalis global, dan seterusnya). 

Mungkin memang ada pihak-pihak yang bersalah dan harus berikhtiar untuk memperbaiki segala sesuatunya, tapi ujungnya adalah soal qada dan kadar, bahwa memang dunia ini tempatnya cobaan/ujian dan manusia tempatnya salah/dosa. Terima bahwa begitulah hidup: masalahnya tiada akhir.

Kedua buku ini mengandung banyak tipo dan ada detail yang membingungkan (sekolah penerbangan yang sempat diikuti Machtino itu di Curug atau Belgia?)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain