Jumat, 19 September 2025

POEISI LAMA

dikumpulkan dan diuraikan oleh S. Takdir Alisyahbana

diterbitkan oleh Balai Pustaka, Batavia, 1940


Menurut "PENDAHOELOEAN", buku ini ditujukan untuk murid AMS, Afd. Al, HIK, atau yang sederajat, yang sudah paham bahasa Melayu sekalian dengan ejaannya. Persisnya, ada dua jenis ejaan dalam buku ini. Ejaan pertama, seperti yang tampak pada kover dan isi selebihnya, menggunakan "oe" untuk "u", "j" untuk "y", dan seterusnya. Ejaan kedua, yang disebut sebagai ejaan "Semenandjoeng" (Malaysia?), terdapat pada beberapa contoh puisi, lebih mendekati ejaan bahasa Indonesia yang dipakai sekarang karena menggunakan "u" untuk "u", "y" untuk "y" dan seterusnya, tapi ada juga beberapa perbedaannya, salah satunya yaitu ada ceruk di atas "e" yang dibaca pepet. 

Penulis kerap memberikan catatan kaki berisi pengertian kata. Ada kata-kata yang bagi orang Indonesia zaman sekarang sudah umum diketahui, contohnya "bentuk" dan "penyair" (halaman 5). Adanya catatan kaki yang menerangkan pengertian kata-kata tersebut seperti menunjukkan bahwa kata-kata tersebut masih asing bagi pembaca sasarannya. Malah, untuk kata "bentuk" disertakan padanan dalam bahasa Belanda, "vorm", seolah-olah pembaca lebih tahu bahasa Belanda daripada Melayu. 

Ada enam bab dalam buku ini.

Bab pertama, "POEISI LAMA SEBAGAI PANTJARAN MASJARAKAT LAMA", mula-mula menerangkan perbedaan antara puisi lama dan puisi baru, yang pendeknya ada pada bentuk maupun isi. Perlu dipahami bahwa puisi adalah hasil jiwa penyair yang dibentuk oleh masyarakat pada tempat dan zamannya. Maka puisi lama merupakan pancaran dari masyarakat lama. Mengenali puisi lama berarti juga mengenali kebudayaan dan masyarakat lama itu. Nah, masyarakat modern yang dimaksud oleh buku ini berarti masyarakat sekitar tahun 1940, tapi esensinya kurang lebih masih sama dengan sekira 80 tahun kemudian (yaitu pada waktu saya membacanya): sudah bersekolah, berdiam di kota besar, dan banyak bergaul dengan bangsa asing. Untuk bergaul dengan bangsa asing ini, dalam konteks era 2020-an, sudah dibantu dengan kehadiran internet, sehingga sepertinya tidak mesti selalu diartikan dengan bergaul secara langsung, tetapi bisa juga hanya melalui pertukaran pesan di dunia maya, akses terhadap konten-konten asing, dan lain-lain.

Sebagaimana ciri pada masyarakat lama yang cenderung homogen, puisi lama juga cenderung sama baik bentuk maupun isinya. Khususnya mengenai kepercayaan terhadap mantra (salah satu bentuk puisi lama), kalau tidak persis sebagaimana yang diajarkan, maka hilang juga kekuatannya, sehingga mungkin itu sebabnya puisi lama cenderung sama turun-temurun. Maka bungai rampai ini disusun menurut bentuknya, yaitu jenis-jenis ikatan puisi. Jadi buku ini mengingatkan pada buku Poem-Making: Ways to Begin Making Poetry, karena sama-sama menjelaskan tentang puisi menurut bentuknya, tapi bedanya, buku ini versi puisi lama Melayu dan ada juga dari Minangkabau.

Bab-bab berikutnya dijuduli menurut jenis-jenis ikatan puisi lama, yaitu pantun (bab 2), syair (bab 3), dan gurindam (bab 4). Pantun satu baitnya tidak mesti hanya empat baris, tetapi ada juga yang enam bahkan delapan, sehingga sajaknya bisa ab-ab, abc-abc, abcd-abcd, dengan separuh baris yang pertama adalah sampiran. Syair bersajak a-a-a-a, dan contoh dalam buku ini satu baitnya pada empat baris. Gurindam bersajak a-a terdiri dari dua baris. 

Dalam bab lima, "BAHASA BERIRAMA", diberikan nasihat kepada pengarang-pengarang muda untuk memperhatikan bahasa berirama baik-baik. Bukan untuk menirunya, melainkan mempelajari betapa cakap orang dahulu memakai tenaga-tenaga yang tersembunyi dalam kata dan kalimat, dalam bunyi dan arti, dan betapa teliti mereka memperhatikan alam sekelilingnya--keduanya adalah syarat yang sampai sekarang (1940 atau 2025 atau sepanjang masa?) masih menjadi ukuran bagi segala seni bahasa yang agak berarti (halaman 91).

Bab enam, "LAIN-LAIN", menyuguhkan contoh-contoh ikatan puisi dari buku Makota Radja atau Tad'joe'ssalatin bertahun 1630, karangan Boechari al Djauhari, yang dinamai masnawi, roebai, kit'ah, gazal, dan nazam--nama-nama ini diambil dari bahasa Parsi dan Arab. Namun, di samping jumlahnya terlalu sedikit, perbedaan antara berbagai jenis ikatan itu kurang terang, sehingga tidak dapat diuraikan secara memadai dalam buku ini. 

Dari segi isi, rata-rata mengandung nasihat atau cerita. Unsur keislaman mewarnai, termasuk dalam "Mantera menangkap buaya" (halaman 101-2) yang ditujukan kepada orang halus penjaga buaya, ujungnya menyebut nama "Allah", "Mohamad", "Baginda Rasulallah"; bahkan dalam catatan kaki diterangkan cerita tentang buaya yang pertama adalah permainan Fatimah, anak Nabi Muhammad, tulangnya dari tebu, dagingnya dari tanah liat, dan sebagainya. Terlepas dari kepercayaan terhadap makhluk halus yang kiranya makin memudar dewasa ini, ada nasihat yang tampak relevan sepanjang zaman. 

Dalam contoh-contoh yang ditampilkan, banyak lagi kata yang tidak umum dipakai dalam bahasa Indonesia sekarang. Beberapa kata memang tidak ada artinya, karena sekadar supaya bersajak saja (halaman 46). Dalam buku Poem-Making, menciptakan kata sendiri sekadar untuk menghasilkan rima justru dilarang.

Di halaman 13 (bab 2), disorot pentingnya irama daripada arti kata, seumpama bayi dininabobokan ibunya, yang membuai adalah irama lagu sedangkan kata-katanya sendiri si bayi kemungkinan belum mengerti. Maka dalam pantun, separuh baris pertama atau sampiran itu seperti tiada arti karena yang dipentingkan adalah iramanya, sebagai pemikat perhatian kiranya.

Penulis sempat menilik penjualan buku dalam 10-20 tahun ke belakang (berarti tahun 1920-1930-an), trennya syair terdesak oleh roman dan puisi modern. Sebabnya, "sesungguhnya kebanyakan syair tidak seberapa harganya sebagai buah seni. Kebanyakan hanya permainan kata yang tiada berisi, ulangan baris bersajak yang tidak mengharu hati, sedangkan ceritanya pun bagi orang sekarang tidak menarik hati, karena banyak cacat-celanya dan jauh dari soal-soal penghidupan zaman sekarang." (halaman 47, ejaan sudah disesuaikan) Penulis menyalahkan semata-mata penyair, karena picik pengetahuannya, lemah getar jiwanya, sehingga tidak dapat membuat syair yang "hidup" dan "berjiwa" supaya dapat mengikat hati orang zaman sekarang. Kurang lebih seabad kemudian, roman dan puisi modern pun sudah terdesak oleh YouTube agaknya :v

Sabtu, 13 September 2025

Mengapa Pengunjung Tempat-tempat Hiburan Makin Bertambah? -- Kisah Kesaktian PP 10 dan Dampaknya

Oleh : TATI HENDARYATI (WARTAWATI "PR")

SEMBILAN bulan sudah Peraturan Pemerintah No. 10 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil berlaku di negara kita, peraturan tersebut ditetapkan dan berlaku sejak April 1983 atau tepatnya 21 April 1983.

Mengapa peraturan tersebut harus ditujukan bagi pegawai negeri sipil? Tujuannya tak lain agar para pegawai negeri memberikan contoh yang baik di masyarakat dan menjadi teladan bagi lingkungannya terutama dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.

Dalam penjelasan PP 10 tahun 1983 tersebut dikatakan bahwa pegawai negeri sipil merupakan unsur aparat negara, abdi negara, dan juga abdi masyarakat. Mereka itu harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan baik tentu saja harus ditunjang dengan kehidupan berkeluarga yang baik dan serasi sehingga mereka tidak banyak terganggu oleh masalah-masalah keluarga.

Tidak bisa dipungkiri lagi persoalan yang terjadi dalam keluarga kadang-kala mengganggu konsentrasi kerja, pekerjaan menjadi gagal karena konsentrasi terpecah belah. Manusia sering kali dipenuhi dengan emosi sehingga suasana yang tidak menyenangkan di rumah akan berpengaruh juga terhadap hasil pekerjaan di kantor.

Seperti contoh yang dialami oleh Drs H (38 th) karyawan salah satu instansi pemerintah. Dalam kariernya sebagai pegawai negeri ia ditempatkan di bagian keuangan, karena kebetulan ia lulusan fakultas ekonomi. Ia mengakui mengandalkan gaji sebagai pegawai negeri hidupnya akan pas-pasan, padahal ia ingin sekali membahagiakan istri dan empat orang anaknya.

Istrinya memang berasal dari keluarga yang berada, sedangkan Pak H dari keluarga biasa. Tidak heran kalau Ny. H (36 th) yang sudah biasa dengan hidup mewah sukar melepaskan kebiasaannya walaupun ia telah menjadi istri Drs H.

H yang begitu sayang pada istrinya masih bisa memenuhi permintaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan gajinya, entah dari mana H masih bisa mendapatkan uang dari luar gajinya itu. Tetapi kehidupan makin lama makin susah, H akhirnya berterus terang kepada istrinya yang ia sayangi untuk mengurangi kebiasaan hidup mewah, demikian juga terhadap anak-anaknya.

Entah apa yang kemudian dikerjakan oleh Ny. H yang jelas ia tidak pernah mengeluh kekurangan walaupun H tidak menambah lagi uang belanjanya. Hanya perubahan yang terjadi ia sering keluar rumah, kalau ditanya ia akan menjawab arisan atau bisnis. H yang juga sibuk dengan pekerjaannya tidak memusingkan hal itu.

Tetapi lama kelamaan perubahan itu makin terasa, istrinya makin sering meninggalkan rumah. Acap kali H pulang dari kantor, makanan belum tersedia. Keempat anaknya yang masih kecil sudah terbiasa mengalami keadaan seperti itu. Sepulang sekolah mereka hanya mendapatkan secarik kertas dan sejumlah uang di meja makan untuk pembeli lauk pauk.

Tiba saatnya H bertindak, istrinya yang baru datang ia tanyai. Namun dengan manis Ny H menjawab, langganan bisnisnya makin banyak sehingga ia harus mengantar dagangan ke rumah orang-orang itu. "Lihat nih hasilnya!" kata Ny. H sambil mengeluarkan setumpuk uang dari dalam tasnya. Ternyata H tidak bisa berbuat apa-apa mendapat jawaban dari istrinya itu.

Hari terus berlalu, Ny. H masih terus sibuk dengan urusan bisnisnya. H sendiri sibuk dengan urusan kantornya. Pekerjaannya itu membutuhkan ketelitian karena H setiap harinya bertugas menghitung keluar masuknya uang.

Yang mengherankan bagi H, akhir-akhir ini sering datang tamu yang tak dikenal menanyakan istrinya. Mereka tidak saja datang ke rumah tetapi juga ke kantor H. Tamu-tamu tersebut bermuka masam bila tidak berhasil bertemu Ny. H. Seringnya menghadapi suasana seperti ini H cepat bertindak, ia paksa istrinya untuk mengakui apa yang dilakukan selama ini.

Bagai disambar petir rasanya ketika H mendengar pengakuan dari istrinya bahwa tamu-tamu tersebut adalah orang-orang yang menagih utang. "Mereka menagih haknya karena mereka mendapatkan arisan, sedangkan uangnya sudah saya pakai untuk keperluan lain. Untuk membeli perhiasan dan berjudi," kata H menirukan jawaban istrinya.

Entah bagaimana kisah H selanjutnya, yang jelas barang-barang mewah di rumah H sudah berpindah tangan, istri meninggalkan rumah, tetapi anak-anak masih tinggal bersamanya. H masih dipenuhi emosi. Ia segera mengajukan cerai tetapi istrinya ogah dicerai.

Kejadian itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu namun istrinya belum saja insaf akan perbuatannya. Setiap ekonomi rumah tangganya mulai membaik, setiap kali itulah ia mengulangi perbuatannya.

Kekesalan H mulai memuncak. Awal Desember yang lalu ia datang ke kantor Depag mengadukan persoalannya. Ia ingin menceraikan istrinya tetapi atasannya tidak mengizinkan. Karena ia tdak memperoleh surat izin cerai, maka Pengadilan Agama pun menolak permintaan H.

"Apa yang harus saya lakukan. Kalau begini terus saya tidak sanggup. Keluarga saya tidak bisa dipertahankan lagi!" katanya dengan iba.

Waktu ditanya "PR" tentang alasan atasannya tidak mengizinkan H bercerai, mengatakan kemungkinan ia terpaku pada PP 10. "Ia tidak mau menanggung risiko kalau memberikan izin bercerai," kata H.

Benarkah tindakan atasan Tuan H itu? Benarkah dengan memberi izin kepada bawahan untuk bercerai akan mempengaruhi kondite sang atasan?

Kepala Kanwil Departemen Kehakiman Jabar Soehendro Hendarsin SH yang sempat dihubungi "PR" mengatakan, tindakan atasan H seperti itu bisa saja dibenarkan. Pihak atasan tidak boleh mendengar alasan dari satu pihak saja, bisa saja H mengemukakan alasan yang dibuat-buat. Mungkin izin tidak diberikan karena atasan belum mendengar keterangan dari Ny. H sendiri. Ketentuan tersebut sudah ada di PP 10 pasal enam.

Ka Kanwil Departemen Kehakiman itu menolak adanya faktor subjektivitas dari atasan yang tidak mengizinkan bawahannya untuk bercerai walaupun alasannya bisa diterima. "Kalau memang ada atasan yang begitu, atasan yang lebih tinggi lagi bisa menegurnya," katanya.

PP 10 memang cukup ampuh, begitu pendapat banyak orang. Tidak ada yang berani melanggarnya karena hukumannya cukup berat, di samping mendapat hukuman kurungan yang lamanya lima tahun juga sang pelanggar akan dipecat dari jabatannya. Wah siapa yang mau!

Seorang pejabat di salah satu departemen di Jabar mengatakan, PP 10 betul-betul sakti. Ia dibuat sesuai dengan ketentuan agama. Sebetulnya dalam hukum-hukum agama, ketetntuan seperti itu pun sudah ada. Tapi masih ada yang berani melanggar.

Dalam PP 10 peranan atasan cukup mempunyai arti yang penting. Ia wajib mengetahui kehidupan anak buahnya, karena kehidupan keluarga yang sejahtera juga akan mempengaruhi pada hasil pekerjaan.

Ada lagi yang berpendapat setelah dikeluarkannya PP 10 itu jumlah tamu yang berkunjung ke tempat-tempat hiburan makin bertambah. Entah apa hubungannya. Yang jelas seorang ahli berpendapat manusia sifatnya mencari kesenangan, dan menjauhi apa yang tidak menyenangkan. Untuk mendapatkan apa yang disukainya, ia akan berusaha dengan berbagai daya meskipun ada hambatan yang dihadapinya. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Januari 1984



Selasa, 02 September 2025

Tempo Nomor 26/XXXI/26 Agustus – 1 September 2002

Rp 14.700

ISSN : 0126-4273

Laporan utama dalam Tempo edisi ini mengenai menteri agama ketika itu, Said Agil Husin Al Munawar, yang memerintahkan penggalian harta di bawah prasasti Batu Tulis, Bogor. Ini mengherankan, sebab sang menteri sebelumnya memiliki reputasi bagus, baik dari segi keilmuan agama maupun karakter. Harusnya menegakkan tauhid, kok malah percaya klenik. Memang niatnya untuk membayar utang negara, tapi sayang harta itu tak ditemukan. Presiden menyangkal sudah kasih izin. Masyarakat Sunda marah karena itu tempat yang sakral bagi mereka. Terkait laporan ini, “Jejak Kerajaan dengan 40 Gajah” menceritakan sejarah prasasti tersebut.

Sisipan “iQra” menyajikan cerita kejatuhan keluarga Soeryadjaya. Untuk menyelamatkan usaha yang satu—Bank Summa, dikorbankan usaha yang lain—Astra. Di balik kisah ini, ada drama kasih sayang seorang ayah kepada putra sulungnya.

“Tanpa Kerut di Atas Kening” (halaman 80-81) melaporkan konser The Cranberries di Tennis Indoor Senayan. Sekitaran waktu ini, lagu “Stars” sering ditayangkan di MTV, dan dirilis dalam album Stars: The Best of 1992-2002, yang sering pula saya putar sembari menyendiri di kamar. Artikel ini juga menyoroti sosok sang vokalis, Dolores O’Riordan, yang rupanya memiliki problem konsumsi minuman keras yang berlebihan, bertolak belakang dengan lagunya sendiri, “Salvation”, yang mengimbau bahwa menenggak minuman beralkohol bukan satu-satunya cara keluar dari persoalan hidup. “Entah kenapa, dunia seperti memaafkannya,” kata penulis artikel ini, membuat saya merenung lagi kenapakah musik tak disukai dalam Islam: Itulah kekuatan musik. Kita memaafkan mereka yang mabuk, ngedrugs, berzina, karena telah memberikan hiburan yang nikmat bagi kita.

Jangan Kirim Hanya Kata-kata” (halaman 88-89) berisi “sejarah” perkembangan handphone, yang ketika itu baru, atau sudah?, dapat mengirimkan pesan bergambar dan berwarna (foto, animasi, audio) yang disebut dengan MMS (multimedia messaging service) secara terbatas. Di Indonesia, layanan ini baru bisa dinikmati lewat IM3, dengan harga Rp 1.000 sekali kirim, dan hanya pada HP tertentu, seperti Nokia 7650 serta Sony Ericsson T68I dan P800 yang harganya 4-6,3 juta, dengan kapasitas memori terbatas dan resolusi gambar belum prima. Nokia 7650, contohnya, memiliki memori hanya 3,6 MB atau 32 frame foto. Selain itu ada kendala sinyal operator. Untuk mengunduh, sinyal harus stabil, sedangkan kalau sambil naik mobil atau lift bisa putus. Lah, sampai sekarang—dua puluhan tahun kemudian—mau diam saja di kamar pun, sinyal IM3 tetap putus-putus. Belum lagi, pulsa tiba-tiba terpotong 🙃

(Karena ada trouble untuk login ke Wordpress--setelah sebelumnya kudu via Jetpack dulu--untuk seterusnya catatan pembacaan majalah dilanjutkan di blog ini saja. Catatan pembacaan majalah sebelumnya di: https://berjurnalitan.wordpress.com/category/majalah/.)

Senin, 01 September 2025

Bila Loakan Mengganggu Pasar

Setiap bulan, ratusan kontainer pakaian bekas menyerbu pasar dalam negeri. Sandang murah yang bisa berbuah petaka.

JUMAT siang yang terik di kawasan kaki lima Senen, pekan lalu. Sekelompok remaja tanggung berdesakan di depan sebuah lapak pakaian bekas. Tak peduli sengatan matahari atau keringat yang bercucuran, mereka sibuk mengaduk tumpukan pakaian itu. "Aha, gue dapat!" teriak seorang pemuda. Sepotong kaus baseball bermerek FUBU segera berpindah pemilik hanya dengan beberapa lembar ribuan kumal.

"Kalau enggak dari sini, ya cuma di mimpi gue bisa beli," kata Andri, si pemuda itu, yang berayah seorang sopir. Kaus yang tengah digilai remaja itu dijual di pusat-pusat pertokoan dengan harga Rp 300 ribu-an. Bedanya, barang-barang bermerek itu dijual dalam keadaan wangi dan tentu saja masih baru. Di Senen, meski tidak bau, kaus itu sebenarnya barang bekas.

Keberadaan lapak "seken" (dari kata second) seperti ini mungkin membantu orang seperti Andri mewujudkan impiannya. Tapi, bagi pejabat Departemen Perdagangan, itu bisa membuyarkan tugas mereka mengembangkan industri dalam negeri. Hal ini dikeluhkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Sudar S. A. "Intensitasnya sudah masuk kategori sangat-sangat serius," ujarnya.

Berapa banyak? Menurut catatan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Lili Asdjudiredja, tak kurang dari 1.500 kontainer sempat masuk ke seluruh wilayah Indonesia dalam kurun tiga bulan. Jumlah ini di luar 40 ribu bal (kira-kira 4.000 ton) per bulan yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Balai--180 kilometer dari Medan. Melalui pelabuhan ini, setiap Senin dan Kamis ribuan bal pakaian diturunkan dari kapal-kapal pengangkut asal Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, bahkan Eropa dan Amerika. Sebelumnya, kapal sudah singgah di Singapura karena sebuah perusahaan di sana akan memilah, menyucihamakan, serta mengepaknya ke dalam jenis-jenis tertentu.

Pakaian yang berkualitas masih bagus tapi harganya sungguh miring itu jelas bukan saingan industri garmen dalam negeri. Karena itulah, Sudar merasa perlu mengirim surat kepada Dirjen Bea Cukai tentang masalah ini. Surat tertanggal 13 Agustus itu menegaskan tentang masih berlakunya larangan impor pakaian bekas di seluruh wilayah Indonesia.

Apa boleh buat, selama ini aturan tersebut seperti macan ompong. Bisnis pakaian impor bekas adalah usaha yang gurih. Demand begitu tinggi. Meski harganya murah, bila kuantitasnya berjibun, ya pedagang untung juga. Inang Situmorang di Monginsidi Plaza, Medan, misalnya, bisa mengantongi Rp 8 juta tiap bulannya, hasil dari penjualan 12 bal pakaian impor bekas. Selain Senen dan Monginsidi Plaza, pasar serupa kini tersebar di berbagai kota: Cimol di Bandung, Helvetia di Medan, Pasar Baru di Karimun, Jalan Veteran di Banjarmasin, Jalan Jeruju di Pontianak, atau gerai-gerai factory outlet di tiap kota yang ternyata lebih tepat disebut second factory outlet.

Dirjen Sudar pantas merasa kesal. Ada sederet aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menangkal invasi pakaian loak impor. "Semuanya larangan yang tegas dan masih tetap berlaku," katanya. Ada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 229 Tahun 1997, SK Menperindag No. 172 Tahun 2001, dan Surat Direktur Jenderal PLN No. 71 Tahun 2002.

Lalu, mengapa bocor? "Banyak sekali cara memasukkan barang," bisik Usman, pedagang di Karimun. Salah satunya dengan memalsukan dokumen impor. Pemalsuan inilah yang sempat dipersoalkan Lili Asdjudiredja tahun lalu. Saat itu Lili mengaku pihaknya hanya perlu membayar Rp 7,5 juta untuk memperoleh dokumen impor sesuai dengan yang diinginkan. "Bayangkan kerugian negara ketika importir yang seharusnya bayar Rp 100 juta hanya perlu menyuap petugas Rp 7,5 juta per kontainer," katanya. Dirjen Bea Cukai Permana Agung, yang dimintai konfirmasi, belum memberikan jawabannya hingga tulisan ini turun, walaupun kata stafnya surat permintaan wawancara sudah dibacanya. 

Soal ini jelaslah tak bisa didiamkan berlama-lama. Konsumen mungkin senang, pedagang pun pasti untung, tapi kerugian negara akibat bangkrutnya industri garmen dan pemalsuan dokumen impor pasti lebih besar dari kesenangan mereka.

Darmawan Sepriyossa, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Rumbadi Dalle (Karimun)



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Jangan Kirim Hanya Kata-kata

Layanan pengiriman pesan multimedia sudah bisa dinikmati di Indonesia. Akan meledak seperti SMS?

KATAKANLAH dengan bunga, kata mereka yang muak dengan kata-kata. Tapi, karena populasi bunga kian terbatas, nasihat sepele ini kerap sulit dijalankan. Agar lebih mudah dan murah, barangkali tips itu harus sedikit diubah: katakanlah dengan gambar, grafik, atau mungkin juga isyarat.

Di dunia yang kebanjiran kata-kata, gambar bisa menjadi oase yang menyehatkan--dan karena itu, lahan bisnis yang menguntungkan. Boleh jadi pemikiran seperti ini pula yang ada di otak para pembuat telepon tanpa kabel alias telepon seluler. Setelah berhasil menciptakan alat yang bisa mentransmisikan suara, tulisan, dan data, kini mereka membuat telepon yang mampu mengirimkan gambar.

Transmisi gambar melalui "telepon angin" memang bukan berita baru, di luar negeri. Tapi di Indonesia layanan ini baru bisa dinikmati sejak dua pekan lalu melalui operator telepon seluler PT Indosat Multimedia Mobile (IM3). Dengan layanan yang disebut pengiriman pesan singkat multimedia alias MMS (multimedia messaging service) ini, pelanggan bisa saling mengirim gambar berwarna, foto, animasi, audio, dan suatu saat nanti mungkin juga gambar bergerak alias video.

Teknologi pengiriman pesan multimedia ini pertama kali digagas dan dirancang oleh komunitas industri seluler generasi ketiga, dua tahun lalu. Untuk pertama kalinya, pabrik pesawat telepon Swedia, Ericsson, memamerkan kecanggihan teknologi ini dalam pameran dagang CeBIT di Hannover, Jerman, Maret tahun lalu.

MMS--barangkali lebih sexy kalau kita sebut "Memes"--merupakan kelanjutan teknologi layanan pengiriman pesan singkat (SMS) dan pesan singkat bergambar (EMS). Dengan cepat, Memes memikat semua "makhluk" penghuni komunitas seluler, mulai dari pabrik pembuat pesawat ponsel, pengelola jaringan (operator), hingga para pelanggan di seluruh dunia.

Asosiasi industri seluler, Global Mobile Suppliers Association, memperkirakan bisnis Memes akan meledak. Dalam dua tahun ke depan, asosiasi itu menaksir akan ada 20 miliar pesan singkat multimedia yang bakal terkirim saban bulan di seluruh jagat. Jika ongkos sekali pengiriman Rp 1.000, akan ada bisnis senilai Rp 240 triliun per tahun. Sebuah taksiran yang amat menggiurkan. Tapi jangan gembira dulu: riset Wireless World Forum (W2F) menunjukkan bahwa bisnis ini hanya menjala Rp 5 triliun per tahun.

Sesungguhnya dasar teknologi Memes tak berbeda dengan SMS. Jika telepon penerima sedang tak aktif atau di luar jangkauan sinyal, pesan akan tetap tersimpan di server operator. Kelebihannya, selain mengirim teks, pemakai bisa menambahkan musik atau gambar. Huruf, ukuran, dan gaya teksnya pun bisa dibuat bervariasi. Bisa pula mengirim tabel, diagram, peta, juga sketsa. Menurut pengamat multimedia Roy Suryo, Memes bisa dikirim ke pesawat seluler yang berbeda merek karena standar teknologinya seragam.

Dengan Memes, seorang wartawan media dotcom yang tengah meliput aksi unjuk rasa, misalnya, bisa memotret dorong-dorongan polisi dan mahasiswa dengan pesawat telepon genggamnya, memberi sedikit teks, lalu langsung mengirimkannya ke kantor redaksi agar bisa segera dimuat di situs internet, dalam hitungan menit. Sangat praktis dan mudah. Ia tak perlu membawa kamera dan mencari koneksi internet.

Nokia 7650
Gambar dari Amazon.co.uk.
Dari sisi teknologi, pesan multimedia tak punya keterbatasan ukuran. Foto digital sebesar apa pun bisa dikirimkan. Yang menjadi kendala justru pesawat teleponnya: kapasitas memorinya terbatas dan resolusi gambarnya juga belum prima. Nokia 7650, misalnya, hanya memiliki memori 3,6 megabyte, ini setara dengan 32 frame foto.

Selain kelemahan pesawat, ada juga kelemahan pada operator. Ketika menerima pesan Memes, sinyal harus stabil. Ini membuat telepon genggam yang mestinya bisa mobile alias bergerak menjadi seperti telepon biasa (fixed telephone). "Kalau sambil naik mobil atau lift," kata Roy, "proses download sering terputus."

Sony Ericsson T68I
Gambar dari Xperia Blog.
Di Indonesia, ada beberapa pesawat telepon angin yang sudah punya layanan pesan multimedia (disebut MMS-enabled). Di luar Nokia 7650 yang sudah disebut, ada pula Sony-Ericsson T68I dan P800. Harganya Rp 4 juta hingga Rp 6,3 juta. Beberapa pabrikan lain seperti Motorola dan Siemens dipastikan segera menyusul sebentar lagi.

Sony Ericsson P800
Gambar dari IMEI24.
Menurut Roy, bisnis Memes mungkin bisa merebak jika banyak operator yang menyediakan layanan multimedia. Ini persis seperti dulu, ketika layanan SMS meledak lantaran bisa dilakukan lintas operator. Agaknya, jalan menuju "dunia tanpa minikata" masih panjang.

Wicaksono



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Rabu, 20 Agustus 2025

Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja

Gambar dari Perpustakaan
Universitas BSI
.
Penulis : Drs. EB Surbakti, M. A.
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008
ISBN : 978-979-27-3564-2/ eISBN: 978-602-04-1984-8 

Yang dimaksud dengan orang tua pada judul buku ini tidak mesti orang tua kandung, tetapi orang dewasa pada umumnya yang dapat memengaruhi remaja. Kenakalan orang dewasa lebih merusak daripada kenakalan remaja, karena orang dewasa lebih punya otoritas dan fasilitas, dan bisa jadi remaja nakal karena mencontoh orang dewasa, apalagi orang tua sendiri. Contohnya sangat banyak, mulai dari fenomena sugar daddy/mommy, pencabulan oleh guru, pornografi anak, sampai membiayai keluarga dengan uang hasil korupsi. Bisa pula seorang dewasa baik kepada anak-anaknya sendiri, tapi di luar melecehkan atau menzalimi anak orang lain. Orang dewasa dengan pengalamannya yang lebih banyak tidak serta-merta menjadikannya arif dan mewariskan kebajikan, melainkan terus memutarkan lingkaran setan sampai akhir zaman. Dengan kelebihan yang dimilikinya generasi tua dapat mengatakan generasi di bawahnya lembek, manja, tidak sopan, padahal bagian dari generasi tua juga yang mencontohkannya, atau kurang mengajarkan yang sebaiknya..

Khususnya mengenai tema love, sex, and dating, buku ini lebih sejalan dengan Boys Lie yang ditujukan bagi remaja Amerika Serikat, daripada Cyberporn yang untuk pembaca Indonesia. Sementara Cyberporn menganggap self-service sebagai sebentuk penyimpangan, buku ini justru mewajarkannya sebagai cara sehat menyalurkan energi seksual, walau mengungkapkan juga risikonya (di antaranya: kecanduan pornografi, mengganggu hubungan suami-istri). Buku ini juga menganjurkan pacaran sebagai kegiatan positf, asalkan menaati rambu-rambu, bertanggung jawab, menghindari seks pranikah, dan menjalankan pengendalian seksual. Solusi yang diberikan untuk mengalihkan energi seksual adalah dengan berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan positif seperti kesenian, olahraga, dan organisasi. Buku ini memang tidak memijak pada ajaran agama mana pun, tetapi yang umum saja. Jadi menarik membandingkan dengan aturan yang ketat dalam Islam, bahwa aktivitas bersama begitu tetap rentan membuka jalan sehingga perlu dihindari sama sekali. Kalau seorang lelaki yang sudah cukup umur dan cukup modal tertarik kepada seorang perempuan, alih-alih memacari perempuan itu, dekatilah ayahnya. 

Walau rada longgar mengenai love, sex, and dating serta mendukung emansipasi wanita, buku ini cenderung menjunjung pola keluarga tradisional yang mana ayah harus berwibawa, menegakkan hierarki, aturan, dan pola interaksi yang jelas, mengeluarkan perintah, keputusan, kebijakan, otoritas, dan berkuasa, sedangkan ibu lembut, hangat, pengasih dan penyayang. Memang tidak dinafikan kekurangan-kekurangan dari pola ini, misal ibu dipandang laksana parasit yang sangat bergantung kepada suami (halaman 145). Relatif sulit juga menerapkannya, sebab nyatanya ada juga ayah-ayah yang lembek dan ibu-ibu yang kasar; mengubah kepribadian agar setiap ayah dan setiap ibu seragam memenuhi pembagian peran tersebut tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.  

Buku ini juga mengkritisi materialisme dan individualisme. Contohnya adalah dengan memberi anak kamar yang berfasilitas lengkap sehingga tidak perlu sering keluar. Menurut buku ini, semestinya kamar tidur hanya untuk tidur, sedangkan untuk belajar, hiburan, dan sebagainya di ruang keluarga, sehingga dengan begitu akan kerap bertemu dengan anggota keluarga lainnya, memungkinkan interaksi yang menumbuhkan ikatan. Wah, apa kata penulis mengenai fenomena smartphone yang baru hadir bertahun-tahun setelah buku ini diterbitkan? Seorang anak bisa seharian di kamar saja rebahan, scrolling, nge-game, menonton tanpa henti, tidak bersosialisasi sama sekali, bahkan terganggu oleh kehadiran orang lain.

Dalam sebuah video di YouTube, pembicaranya kurang lebih mengatakan bahwa orang tua perlu berusaha menjadi sosok yang layak diteladani oleh anak--be the person that your children will aspire to be. Kalau sudah berusaha menjadi sosok teladan, memenuhi hak anak serta tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua, tapi anak tetap bandel, ingat Nabi Nuh saja tidak kuasa membujuk anaknya masuk bahtera. Sebagai anak, pahami tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang mungkin berbuat kesalahan, punya kekurangan dan kelemahan, termasuk orang tua. Sebagai orang dewasa yang tidak punya anak, tetap perlu mewawas diri sebab siapa tahu berbuat hal yang berdampak pada anak orang lain atau dijadikan contoh olehnya.

Selasa, 19 Agustus 2025

Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia

Gambar dari Gramedia.
Penulis : Jatna Supriatna
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: 1, Edisi 1, Juli 2018
Tebal : 542 halaman
ISBN : 978-602-433-633-2 (ebook)

Saya mulai membaca buku ini pada Februari 2022 dan baru menamatkannya 3,5 tahun kemudian (^_^); Membacanya sedikit-sedikit, sambil membuat catatan di buku tulis untuk membantu mencerna, kadang mengulang yang baru dibaca sampai merasa agak paham. Bagaimanapun, ini buku tebal yang memperkenalkan banyak istilah baru, materinya tidak begitu ringan. Meski buku ini rada overwhelming, saya kira orang awam sekalipun sebaiknya berusaha memahaminya, atau paling tidak, terbuka akan topik ini, yang menerangkan cara kerja alam yang bukankah manusia termasuk bagian daripadanya, tetapi alih-alih mengembangkan cara hidup yang tidak selaras sehingga mengancam kelangsungan hidupnya sendiri.

Sepertinya saya memang penggemar cocoklogi, suka mencocok-cocokkan antara itu dan ini (mungkin ada kaitannya dengan minat terhadap karya fiksi, terbiasa mencari-cari makna dari setiap detail). Siapa tahu sebenarnya memang ada hubungan, sedangkan untuk membuktikannya secara ilmiah akan makan waktu terlalu lama, daya upaya terlalu besar. Maka pencocok-cocokkan itu hanya suatu hipotesis, spekulasi. Paling tidak, ini suatu cara sementara--yang entahkah benar atau salah--untuk mencoba memahami uraian dalam buku ini, yaitu dengan membuatnya relatable dengan kehidupan manusia yang saya jalani.

Sebagai contoh, mengenai interaksi antara spesies invasif dan spesies pribumi seperti konflik antara pendatang di suatu wilayah yang kemudian menjadi lebih makmur dan dominan dan penduduk setempat termarginalkan. Buku ini menerangkan bahwa persebaran spesies seperti halnya kepunahan adalah proses alami dalam sejarah evolusi. Semua spesies memang harus menyebar dan mengkolonisasi daerah lainnya. Namun, tindakan manusia yang mengintroduksi spesies telah mengacaukan keseimbangan yang ada. Memang hanya sebagian kecil spesies introduksi berhasil hidup di tempat baru, tapi dampak ekologisnya besar. Daerah yang sukses diinvasi pun jadi punya keseragaman tinggi. 

Kemudian ada yang dinamakan habitat-sumber dan habitat-penurunan. Berikut penjelasannya di halaman 272: "Habitat yang mendukung disebut sebagai sumber dan didefinisikan sebagai area di mana kesuksesan reproduksi lokal lebih besar daripada mortalitas lokal. Populasi di habitat sumber menghasilkan kelebihan individu yang harus menyebar keluar dari bercak kelahirannya untuk menemukan tempat menetap dan berkembang biak. Habitat yang tidak mendukung, sebaliknya, adalah area di mana produktivitas lokal lebih kecil daripada mortalitas lokal. Area ini disebut habitat penurunan karena tanpa imigrasi dari area lain populasi di habitat ini akan turun hingga punah." Kalau berupa negara, habitat-sumber ini persis Indonesia yang individunya sudah terlalu banyak sehingga harus menyebar keluar--merantau--untuk penghidupan, sedangkan habitat-penurunan contohnya adalah Jepang karena angka kelahirannya terus menurun sehingga penduduk lokal kebanyakan lansia dan mesti mendatangkan pekerja dari negara-negara lain. Besarnya populasi di habitat-sumber semacam Indonesia ini agaknya disebabkan oleh kondisi lembap daerah tropis, artinya penggunaan energi yang lebih kecil untuk menjaga kondisi tubuh sehingga makin banyak energi yang bisa dialokasikan untuk proses reproduksi (subbab "Kekayaan Hayati dan Energi").

Dalam pembahasan tentang konsep spesies biologis, diberikan contoh mengenai kerang Unio yang morfologinya bervariasi tinggi tetapi dapat saling kawin sedangkan burung meadowlark fenotipenya serupa, distribusi populasi tumpang tindih, tetapi antara western dan eastern pola bunyi kicauannya beda, sehingga tidak saling kawin. Dalam dunia manusia, barangkali ini menunjukkan bahwa jodoh tidak mesti yang penampakannya mirip, yang lebih penting adalah waktu ngobrol bisa klik :v

Jadi rupanya dalam menentukan spesies baru itu ada beberapa konsep. Tampaknya penamaan spesies hanyalah usaha manusia untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati. Salah satu konsep, yakni konsep spesies filogenetik, lebih menghargai keunikan sehingga bisa jadi akan muncul spesies-spesies baru, dengan upaya konservasi yang berlain-lainan pula. Apakah ini juga suatu bentuk "individualisme" yang diterapkan manusia pada biodiversitas? Sebagaimana dalam dunia kesehatan mental, jadi bertambah-tambah jenis gangguan mental "baru", yang pada masa sebelumnya mungkin tidak begitu dianggap.

Di dunia kesehatan mental juga banyak orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, karena tidak dapat mengoptimalkan potensi mereka sepenuhnya. Ini pun suratan alam, sebagaimana dinyatakan dalam halaman 313, "Karena lingkungan tidak dapat mendukung pertumbuhan populasi tak terbatas, tidak semua individu bisa menghasilkan potensi mereka sepenuhnya." Berapa banyak biji yang tersebar di muka bumi, hanya untuk gagal tumbuh, atau layu sebelum berkembang, tidak mendapat cukup cahaya matahari akibat ternaungi oleh pohon-pohon besar dan tinggi yang lebih dulu mencengkeramkan akarnya sampai ke mana-mana? Bagaimanapun, individu yang berhasil tumbuh sampai dewasa, bila keadaan memungkinkan untuk kawin akan kawin dan menghasilkan keturunan sebisa-bisanya, dan tidak semua dari keturunan itu yang mampu bertahan sampai menghasilkan keturunan baru, dan seterusnya.

Dalam kaidah evolusi, perubahan pasti akan terjadi di alam liar. Sudah sepatutnya orang yang bekerja di bidang konservasi berpikir secara konservasionis ketimbang secara preservasionis. Konservasionis memberikan fasilitas agar evolusi tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan variasi genetik sebagai bahan dasarnya. Praktik konservasi tidak hanya mengawetkan spesies dengan asumsi populasi tidak akan berubah. Kalau boleh diterjemahkan ke bahasa pengembangan diri, perlu tersedia fasilitas agar perubahan/pertumbuhan tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan keragaman potensi atau sumber daya yang ada sebagai modalnya, alih-alih sekadar menjalankan rutin dengan asumsi keadaan tidak akan berubah. Dalam agama, ada istilah istiqamah, yang menurut buku Buat Apa Kita Shalat? sesungguhnya mengandung proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus/berkesinambungan menuju kebangkitan, kemajuan.

Dari suatu video di YouTube yang menghadirkan pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya mendengar bahwa mereka hanya tukang cuci piring dalam pesta pembangunan, membereskan keporakporandaan yang dibuat kementerian-kementerian lain. Semestinya aspek lingkungan hidup disertakan sedari awal, bukan ketika saatnya bersih-bersih doang. Timbul kesan bahwa pekerja konservasi hanya kepanjangan tangan dari para pembangun yang punya kepentingan. Ada program yang dikembangkan agar masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan. Di sisi lain, ada suatu mindset bahwa alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia, dalam arti pengusaha besar global, alih-alih masyarakat setempat yang dampak aktivitasnya tidak seberapa, dengan menyisakan secukupnya untuk dikonservasi. Dengan demikian masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan, sebab dijadikan bergantung pada uang untuk membeli produk hasil usaha-usaha yang mengeksploitasi hutan secara lebih masif itu. Melawan kekuatan tersebut, sekalangan orang berhasrat untuk menghidupkan kembali kebergantungan langsung pada hutan, menjadikannya suatu supermarket gratis. Kalau di daerah subtropis ekosistemnya memang secara alami berupa padang rumput, sabana, belukar, yang terkelola oleh api, salju, dan grazing, sehingga tidak sampai jadi hutan dan cocok untuk jadi lahan pertanian dan peternakan (pantas bila orang sana suka makan keju, roti, dan mentega), tapi bila cara hidup ini mesti diterapkan di daerah tropis, yang hutannya tumbuh lebat alami, semata-mata karena ke Barat lah kita harus berkiblat ...? Maksudnya, apa orang di daerah tropis tidak boleh punya cara hidup sendiri yang lebih sesuai dengan ekosistem alaminya? 

Dalam video YouTube lainnya, Jon Jandai mengherankan kenapa orang harus belajar susah-susah hanya untuk merusak alam (dalam hal ini ilmu teknik), lalu bersusah-susah lagi belajar untuk memperbaikinya (ilmu konservasi). Padahal alam bisa memperbaiki diri sendiri, asal tidak terus-terusan diusik manusia yang selalu memerlukan sesuatu daripadanya. Proses pemulihan alami dirasakan terlalu lama oleh manusia yang masa hidupnya lebih singkat. 


Sisi positifnya adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu, betapapun susahnya, kita menjadi pandai dan mengetahui banyak hal. Pemikiran berkembang. Ini suatu kesenangan tersendiri. Adalah kepentingan bagi manusia untuk menyenangkan dirinya sendiri. Dengan merusak sesuatu hal, kita menjadi tahu bagian-bagiannya sampai ke yang kecil-kecilnya. Misal, dengan membongkar alat elektronik, kita tahu bagian-bagian apa saja yang ada di dalamnya. Dengan memporak-porandakan alam, kita belajar cara kerjanya. Dengan mengotori jiwa, kita belajar cara membersihkannya. Kata seorang ustaz, dosa adalah katalis agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Lagi, demi kepentingan kita sendiri--manusia. Namun, buku ini mengingatkan, restorasi atau pemulihan akan sia-sia jika terus-menerus mengalami gangguan (subbab "Teknik-teknik Restorasi"). Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi sumber gangguan? 


Sudah sepantasnya wacana degrowth diinisiasi negara-negara maju, sebab negara-negara kurang-maju cenderung mengekor saja. Kita belum lagi merasakan martabat sebagai bangsa maju sudah disuruh mundur saja, tak sempat beranjak dari kuli dan babu. Memang menyederhanakan hidup tidak mudah karena harus menundukkan ego dan hawa nafsu. Bagaimana manusia akan jadi khalifah bagi seluruh alam jika mengelola jiwanya sendiri saja tidak bisa?

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain