Selasa, 25 Februari 2025

Menguak Kehidupan Klub Malam Jakarta Era Ali Sadikin

Gambar screenshot dari Ipusnas.
oleh Pusat Data dan Analisa Tempo
Penerbit TEMPO Publishing
ISBN 978-623-262-599-0 (PDF)

Sedikit yang saya ketahui tentang Ali Sadikin (CMIIW): ialah gubernur DKI Jakarta era 1970-an yang banyak jasanya dalam pembangunan ibu kota negara ini. Biaya pembangunan antara lain diambil dari pajak industri kehidupan malam yang kontroversial. Lebih banyak tentang Gubernur Ali, ditinjau melalui sudut pandang pribadi, ada dalam autobiografi Ajip Rosidi, Hidup tanpa Ijazah. Namun, dalam buku tersebut lebih banyak diuraikan jasa Gubernur Ali terhadap Dewan Kesenian Jakarta. Tokoh pembangunan lain yang dekat dengan Ajip Rosidi adalah Sjaruddin Prawiranegara, yang pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Baik Ali Sadikin maupun Sjafrudin Prawiranegara beragama Islam, sebagaimana tampak dari namanya. Dalam pandangan Ajip Rosidi, keduanya menjalankan agama sewajarnya: dengan Ali Sadikin salat Jumat bersama, dengan Sjafrudin Prawiranegara menerbitkan buku kumpulan pemikiran tentang Islam. Namun, yang pertama mendukung industri kehidupan malam, yang kedua mendukung riba--dua hal yang bukankah tidak semestinya didukung dalam Islam? Ini menarik. Apa jadinya bila kedua tokoh muslim tersebut, selaku penentu kebijakan di pusat negara, bersikap fundamental menurut agama yang baik mereka maupun mayoritas masyarakat anut sekalipun hanya di KTP? "Dengan adanja night club yang menghidupi 5.000 orang, belum termasuk keluarganja, saja kira saja mendapat pahala. Pahala itu saja kira lebih tinggi dari maksiat ...." begitu penjelasan Ali Sadikin di depan para gubernur dan bupati se-Indonesia, membuka artikel pertama di buku ini. Entah apakah beliau pernah mendengar konsep "dosa jariah", bagaimana suatu perbuatan maksiat dapat mengakibatkan maksiat-maksiat lainnya. Bagaimanapun, kita mesti memaklumi posisi beliau-beliau sekalian situasi negara ini untuk dapat mengamalkan agama secara kafah. Lagi pula, berkat kebijakan beliau-beliau, sepatutnya kita bersyukur Indonesia jadi agak "maju", tidak terbelakang amat, dalam sistem perekonomian hawa nafsu yang menguasai dunia dewasa ini. Alhamdulillah .... 

Dengan pernyataannya itu, tampak Gubernur Ali memaklumi pandangan umum terhadap klub malam. Kontroversi bukan hanya karena bertentangan dengan kitab suci, melainkan juga kekhawatiran pribadi nyonya-nyonya bila tempat itu jadi sarana tuan-tuan pada madon. Namun Gubernur Ali bersikeras bahwa night club bukan untuk maksiat--ada tempat lain untuk itu--melainkan sekadar hiburan, di samping cara pemerintah untuk membangun metropolitan dan mengeruk pendapatan. Klub malam merupakan atribut yang dianggap harus ada di sebuah kota metropolitan (halaman 5). Usaha ini masuk dalam bidang kepariwisataan. Jadi orang-orang berduit tak perlu jauh-jauh ke Singapura atau Hongkong untuk cari hiburan, di Jakarta pun bisa (halaman 17). Lagi pula, tujuan orang ke klub malam berbeda-beda, bukan cuma untuk ditemani hostes, melainkan ada yang hanya ingin relaks atau urusan bisnis. Tiap klub juga beda-beda fasilitasnya, tidak mesti menyajikan seni copot pakaian.

Sebagaimana tampak di judul, buku ini memuat artikel-artikel menyangkut kehidupan klub malam Jakarta era Ali Sadikin, tepatnya dari 1971 sampai 1973. Klub malam sebagaimana yang digambarkan dalam artikel-artikel ini tidaklah sebagaimana klub malam yang saya bayangkan. Sebagai generasi yang yang baru lahir beberapa dekade setelah masa pemerintahan Ali Sadikin, klub malam yang saya ketahui adalah tempat berkumpulnya muda-mudi trendi buat ajep-ajep sampai dini hari. Istilah lainnya: dugem atau clubbing. Namun, klub malam yang saya tangkap dari artikel-artikel dalam buku ini sasarannya tampak masih sebatas bapak-bapak berduit, khususnya lagi yang berkulit kuning (halaman 52), sebelum berangsur-angsur menjangkau kalangan yang lebih muda. 

Sambutan masyarakat terhadap "kebebasan" ini pun tampak masih sungkan. Disorot betapa dari banyaknya nama klub malam yang lahir, dengan segera pada almarhum karena berbagai alasan. 

Pemerintah banyak campur tangan, mulai dari mensyaratkan lisensi (istilahnya sekarang mungkin: sertifikasi) bagi hostes sampai membatasi penampil agar tidak membuka semuanya dan bukan pula wanita dari bangsa sendiri, sehingga perlu mengimpor dari luar negeri antara lain Australia dan Filipina.

Untuk menarik perhatian pengunjung, pengelola klub malam melakukan berbagai "inovasi", seperti meniadakan cover charge, mengganti striptis dengan gulat dan Emilia Contessa, sampai mengadakan acara untuk anak-anak dan remaja. Pengelola pun berkeluh kesah. Bila ditiadakan cover charge, memang banyak pengunjung, tetapi cuma meminum Coca Cola terus menonton pertunjukan sampai habis. Sebetulnya cover charge utama dalam bisnis klub malam untuk menyeleksi yang masuk, tapi karena kompetisi yang berlebih-lebihan, maka ditiadakan (mungkinkah juga karena tidak begitu banyak orang yang berduit ketika itu?). Memang industri ini menyediakan banyak lapangan kerja, tetapi sempat pula ada manajer yang mengeluh soal mempekerjakan wanita sekalipun hanya sebagai hostes, karena tidak bisa dikerasi tidak bisa juga dibiarkan semaunya. 

Bisnis klub malam sementara ini pun megap-megap karena ketiadaan bakat maupun ketiadaan pasaran. Asosiasi Klub Malam Indonesia tidak menjalankan fungsinya secara memuaskan. Bermunculan bisnis kehidupan malam jenis lainnya seperti rumah mandi uap, panti pijat, dan bar, yang menjadi saingan. Ini baru pada awal 1970-an, setelah direstui Gubernur Ali Sadikin. Sekitar sedekade kemudian, terbit Menyusuri Remang-remang Jakarta, menelusuri tempat yang barangkali yang dimaksudkan Gubernur Ali sebagai tempat khusus maksiat kalau bukan klub malam itu. Jakarta Undercover yang mengover kehidupan malam era 2000-an mungkin boleh dibilang sebagai kelanjutan dari topik ini. Selama masih ada orang-orang punya duit dan butuh duit, yang tidak hendak menghabiskan malam dengan tidur nyenyak saja di rumah, sepertinya bisnis ini dapat terus bertahan sampai kiamat.

Minggu, 02 Februari 2025

Korban Dua Keganasan

Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis: Darmaningtyas
Penerbit: Yogyakarta, Salwa Press, 2002

SEAKAN meniru jejak antropolog Prancis, Emile Durkheim, yang meneliti fenomena bunuh diri, Darmaningtyas meneliti hal serupa. Durkheim mengerjakan dalam konteks di Prancis, Darmaningtyas menulisnya dalam konteks di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan sang penulis memang menggunakan paradigma Durkheimian dalam karyanya ini. 

Emile Durkheim menulis buku Le Suicide (1897) dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1951 (Suicide: A Study in Sociology). Durkheim mengungkapkan fenomena bunuh diri sebagai gejala kejiwaan individual, psikososial, struktural, dan alam semesta. Ia menggolongkan gejala universal bunuh diri menjadi empat bentuk: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.

Tingginya frekuensi bunuh diri di Gunung Kidul, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an, membuat orang setempat percaya bahwa pulung gantung terjadi karena sejumlah anggota masyarakat melakukan perilaku yang dipantangkan. Menurut mitos setempat, pulung gantung akan didahului sebuah tanda di langit pada malam hari. Bentuknya adalah cahaya bulat berekor, berwarna kemerahan agak kekuningan dengan semburat biru yang meluncur cepat menuju rumah calon korban.

Berdasarkan data yang dia kumpulkan pada tahun 1980-2001, Darmaningtyas menunjukkan bahwa para pelaku bunuh diri didominasi kaum lelaki berusia 35-50 tahun, miskin, buta huruf, dan terisolasi secara geografis, mobilitas sosialnya rendah dan kabur kanginan (asal-usul dan tujuan tidak jelas). Hampir semua pelaku bunuh diri yang ditelusuri lebih jauh latar belakangnya berasal dari kelompok rentan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Peletup bunuh diri ini adalah depresi panjang karena utang, malu tak tertanggungkan, dan sakit kronis.

Lalu apa yang dilakukan para pejabat setempat? Para pejabat justru bagian dari masalah, karena banyak dari mereka yang tidak bisa memikirkan dengan sungguh-sungguh kehidupan masyarakatnya. Koperasi Unit Desa (KUD) berubah maknanya menjadi "Kuperasi Uang Desa". Para birokrat lebih senang menangguk keuntungan di antara terpuruknya masyarakat. Kajian Darmaningtyas ini menunjukkan potret ketidakberdayaan paling telak dari masyarakat pedesaan di Jawa akibat marginalisasi, involusi, dan korban dari keganasan alam serta keganasan birokrat lokal.

Suryasmoro Ispandrihari
Alumni Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



Sumber: Tempo No. 25/XXXI/19-25 Agustus 2002



Klik gambar agar terlihat lebih jelas.

Jumat, 20 Desember 2024

Masuk Surga Karena Memungut Sampah

Gambar dari situs web
Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
Penulis : Bahagia, SP., MSc.
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
ISBN : 978-979-461-976-6
Edisi pertama, November 2015

Pertama-tama, izinkan saya berkeluh kesah mengenai masalah teknis pada buku ini. 

Ukuran hurufnya kekecilan buat saya, tapi kalau dibesarkan, buku ini bakal ketebalan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman saja sudah membuat buku ini tampak tebal. 

Sudah begitu, caranya menguraikan dan merumuskan gagasan-gagasan banyak yang kurang efektif, menggunakan kalimat-kalimat panjang bertele-tele bahkan tidak logis, membuat saya merasa capek, kesal, stres saat membacanya, dan sedih mengingat jumlah uang yang dikeluarkan untuk membelinya padahal bertahun-tahun kemudian di Ipusnas ada--gratis T_T 

Menjaga kebersihan lingkungan dapat dikategorikan sebagai dosa??? 

diadakan apa????

Kendati disertai rujukan ke dalil ini atau data itu, kesan yang timbul alih-alih ilmiah malah sambatan belaka. Jadi, supaya tidak merasa teramat rugi, saya mesti menganggap sambatan dalam buku ini sebagai sambatan saya sendiri yang dituliskan orang lain dan dibukukan. Toh gagasan-gagasannya--yang berhasil tertangkap oleh saya dari kekacauan cara penyampaiannya itu--memang menjadi perhatian saya juga. 

Buku ini pun mestilah menjadi "pelajaran" bagi saya yang sendirinya asal-asalan saja dalam menulis. Bagaimanapun, menulis yang benar-benar baik itu proses yang sulit dan lama. Namun, mengutarakan gagasan secara serampangan saja, terlebih sampai dicetak dalam sebentuk buku yang dijual dengan harga lumayan, tidak saja menyiksa dan merugikan pembaca, tetapi juga membuang-buang kertas yang padahal untuk memproduksinya harus menebang pohon yang berarti memusnahkan satu kehidupan, dan jadi ironis apabila buku tersebut isinya menyerukan kepedulian pada lingkungan hidup.

Kedua, izinkan saya mencurahkan sambatan saya sendiri mengenai persoalan lingkungan hidup yang terpantik selama membaca buku ini. Terlepas dari penulisannya yang bikin frustrasi dalam membacanya, buku ini sesungguhnya memuat ide yang bagus dan penting, di antaranya bahwa kerusakan alam adalah cerminan dari kualitas keimanan kita sendiri, kotornya lingkungan menunjukkan kotornya hati, kemudian menjabarkan perilaku apa saja yang tampak lazim padahal sesungguhnya mencemari. 

Menyambung buku Konservasi Alam dalam Islam, yang diangkat pula dalam buku ini, dalam Al-Qur'an dan hadis terdapat petunjuk-petunjuk sehubungan dengan alam. Dalam Al-Qur'an, misalnya, terdapat cerita tentang Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan hewan, tentang Nabi Nuh yang memasukkan hewan sepasang-sepasang ke dalam bahtera, hingga tentang kaum-kaum terdahulu dengan kemampuan membangun yang hebat (di antaranya memahat gunung-gunung jadi rumah) tetapi kemudian dimusnahkan entahkah oleh banjir bandang, hujan batu, atau ledakan gunung berapi--unsur-unsur alam, sehingga seolah-olah alam membalas dendam atau merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia. 

Al-Qur'an juga mengisyaratkan agar manusia memperhatikan kebesaran alam yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengenal Allah. Begitu pentingnya alam, yang terlebih dahulu diciptakan daripada manusia, menjadi perantaraan bagi manusia untuk dapat terhubung dengan Tuhan, senior bagi manusia tetapi juga lebih rendah hati sebab menolak untuk dilimpahi peran yang kemudian diambil manusia, dan apakah kemudian yang dilakukan oleh si newbie nan bodoh dan zalim ini? Dia lupa diri. Sekian lama bergulat dengan alam, pada suatu masa dia berhasil menaklukkannya, menggantikannya dengan produk-produk rekayasanya sendiri, sehingga anak keturunannya tidak saja terputus keterhubungannya dengan alam, tetapi juga dengan Tuhan. 

Kemudian ada hadis-hadis yang salah satunya menyatakan bahwa muslim berserikat dalam sumber-sumber daya alam. Apakah berarti air dan sebagainya itu sesungguhnya haram untuk diperjualbelikan? Apakah tidak semestinya orang mematok tanah dan mengeklaimnya sebagai milik pribadi? Bagaimanakah persisnya penerapan itu dalam konteks sekarang? Bagaimanakah itu akan diterapkan jika pemerintahan Islam benar-benar ditegakkan? Namun, gagasan akan "pemerintahan Islam" umumnya membuat orang ngeri, termasuk orang yang mengaku sebagai muslim. Negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim justru kacau balau pemerintahannya. Ada pula yang menjadi makmur setelah menguras sumber daya alam yang mereka miliki, padahal itu tak terbarukan (lain ceritanya kalau dinosaurus masih hidup dan dapat dibudidayakan).

Maka bicara tentang bagaimana alam beserta lingkungan hidup semestinya dikelola dalam konteks luas bagi saya yang awam ini masih perkara memusingkan. Memang semestinya setiap kalangan bekerja sama serempak, tetapi hanya mempersoalkan pemerintah harus begini, pengusaha harus begitu, tampak seperti omong kosong di luar kendali pribadi.  Saya sendiri hanya bisa memikirkan sebatas yang bisa saya lakukan sebagai individu, syukur-syukur bisa memengaruhi orang di sekitar. Malah makin banyak orang yang berpikiran dan bertindak demikian, lambat laut bisa menjadi aksi kolektif. Solusi individual itu sedikitnya ada dua: 

1) tazkiyatunnafs atau introspeksi jiwa secara berkala, sebab alam dirusak, hutan ditebang, hewan dibunuh, adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang pada taraf ini tidak sekadar untuk yang mendasar tetapi terus memperturutkan nafsu yang bertambah-tambah, tak bisa cukup dengan kehidupan sederhana yang membosankan, menyusahkan, lagi dianggap terbelakang, kendati dengan cara demikian alam terlindungi kelestariannya,

2) ekonomi sirkular skala rumah tangga yang kurang lebih dapat berupa mendaur ulang sampah sendiri sehingga bisa swadaya sampai taraf tertentu, dan mengurangi kebergantungan pada sumber daya alam yang jadi jatah hidupan liar selebihnya.

Kalau solusi individual ini diterapkan oleh setiap orang, kiranya beban pekerjaan konservasi alam atau pemulihan lingkungan hidup dapat berkurang. Toh alam dapat mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia. Lihat saja waktu COVID-19 ketika giliran manusia dikerangkeng di rumahnya masing-masing, kecuali persoalan sampah yang bertambah banyak (itu pun dampak dari perilakunya sendiri), terdengar bahwa di tempat-tempat wisata alam hewan-hewan pada keluar, kualitas udara pun membaik. Ketimbang mengurus alam, yang perlu dikelola manusia itu justru dirinya sendiri, hawa nafsunya. 

Sudah sewajarnya manusia ingin terus "maju". Atau, dari sana-sini--entahkah orang-orang di sekitar atau media sosial--menggempur agar "berkembang", hidup jangan begitu-begitu saja. Namun, kalau memiliki wawasan akan dampak pembangunan terhadap alam sampai serincinya, serta memahami sebabnya Al-Qur'an melarang bermegah-megahan dan Rasulullah pun mencontohkan kesederhanaan, hidup jadi dijalani dengan guilty pleasure, serbasalah. Di balik kemajuan umat manusia, ada pengorbanan alam semesta. Alam sebagai "kakak" daripada manusia banyak mengalah, tapi sewaktu-waktu dapat mengamuk untuk mengambil kembali haknya melalui bencana-bencana. Sudah sepantasnya manusia beristigfar seratus kali sehari--tidak, malah semestinya setiap saat.

Islam memang menganjurkan untuk kaya. Agar dapat menunaikan rukun Islam yang keempat dan kelima, orang perlu memiliki sejumlah kekayaan. Belum lagi perintah untuk banyak bersedekah, menafkahkan harta di jalan Allah. Hanya saja, kekayaan itu diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Untuk memiliki emas batangan saja, prosesnya mungkin memerlukan merkuri yang limbahnya berbahaya bagi lingkungan. Untuk membangun rumah megah lagi estetik, pohon-pohon ditebang, bukit-bukit dihancurkan, pasir dikeruk, dan sebagainya, untuk memperoleh materialnya. Untuk membangun perumahan sederhana saja menurut standar sekarang, berapa banyak makhluk lain yang terampas hak hidupnya sebab tanah tempatnya bertumbuh telah dilapisi beton? Agaknya untuk menjadi "kaya" dalam pengertian materialistis, memang tak terhindarkan cara-cara kotor dan zalim pada makhluk lain, sehingga harus berzakat, bersedekah banyak-banyak, untuk menyucikannya.

Islam juga menganjurkan untuk menikah dan beranak pinak (sunah), tetapi perlu diperhatikan pula bahwa dalam Al-Qur'an pernyataan jangan berbuat kerusakan di muka bumi itu bernada imperatif (wajib). Maka rasa-rasanya ada yang tidak sinkron apabila orang melakukan sunah menikah dan beranak-pinak tapi melalaikan yang wajib karena sebagai dampaknya, salah satunya, jadi menghasilkan lebih banyak limbah tanpa sanggup bertanggung jawab atas itu. Ingatlah ayat yang pertama-tama diturunkan, Bacalah dengan nama Tuhanmu: apakah layak membesarkan anak dalam lingkungan yang cemar, dengan sumber daya alam yang kian terbatas saja untuk mereka bertahan hidup kelak? Sepertinya, AMDAL diperlukan buka hanya dalam membangun bangunan atau proyek-proyek material semacam itu, melainkan juga dalam membangun rumah tangga! 

Andaikata setiap manusia dapat mengendalikan hawa nafsu, selain tidak harus bersusah payah memulihkan lingkungan hidup yang telah dirusakkannya sendiri, pemandangan kemiskinan pun tidak perlu ada, sebab apabila diberikan kelebihan rezeki lebih suka membaginya dengan yang kekurangan ketimbang memperkaya diri. Namun, tampaknya sudah sunatullah kebanyakan manusia ditaklukkan hawa nafsu sehingga pemandangan kerusakan dan kemiskinan itu senantiasa ada. 

Sudah keniscayaan pula bahwa untuk dapat membangun, ada yang perlu dihancurkan terlebih dahulu. Contoh simpelnya, untuk dapat memperoleh kompos, sampah organik perlu diurai terlebih dahulu. Untuk dapat membangun peradaban, alam perlu disingkirkan. Untuk dapat membangun pribadi yang baik, ego perlu dirobohkan. 

Sudah ah sambatannya, mau lanjut belajar bagaimana persisnya manusia harus memajukan diri tanpa berbuat kerusakan di muka bumi. Mungkinkah kemajuan yang semestinya dituju itu lebih dalam hal spiritual daripada material?

Kamis, 19 Desember 2024

Perkenalan dengan Orwell

Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di rumah, saya membacanya, Apa sih ini, mengembalikannya tanpa menamatkannya. Maklum, waktu SMA, jiwa remaja saya masih sarat warna-warni teenlit (sampai sekarang sih). Ketika itu saya baru memulai pembacaan karya sastra yang dianggap "serius", dan baru dapat terkesan oleh puisi-puisi Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri.

Masa kuliah saya punya sendiri buku 1984 itu. Berbeda dengan yang saya temukan di perpustakaan SMA, yang kovernya berlatar kemerahan, kali ini berlatar abu-abu dengan gambar close up kepala merah yang bagian lehernya ber-barcode, sepertinya terbitan Bentang. Mungkin maksudnya mau melanjutkan pembacaan waktu SMA, tapi tidak kunjung terlaksana. Waktu itu pun tampaknya buku tersebut terbilang langka, belum ada yang mencetak ulang. Sebab, mengetahui saya punya buku itu, seorang kenalan sangat menginginkannya sampai menawarkan barter segala. Merasa sesungguhnya buku itu berharga, awalnya, saya tidak berkenan melepaskannya. Namun, pada akhir masa kuliah, saya mengalami periode ingin-bermurah-hati, sehingga melepaskan buku itu begitu saja kepada si kenalan, walau sepertinya masih agak kurang rela juga (bagaimana sih???).

Bertahun-tahun kemudian, buku itu kembali hadir di lemari rumah. Kali ini yang kovernya kehijauan, sepertinya adik yang membelinya. 

Seakan-akan, takdir berkali-kali menyorongkan novel ini ke muka saya agar membacanya, tapi sampai waktu menulis ini, saya masih, "Entar dulu ah!"

Ada satu lagi karya Orwell yang telah hadir di rumah, yaitu Animal Farm yang kovernya pink bermuka babi itu. Karena ceritanya menyerupai fabel dan bukunya lebih tipis pula, yang ini tampak lebih ringan daripada yang satunya. Saya sudah membacanya sampai tamat, kira-kira pada 2015 atau 2016, tapi ketika itu saya sedang tidak hendak menulis catatan. Yang bisa saya ingat hanya kesan saya pada buku itu positif: bagus, menggugah, semacam itu.

Gambar dari situs web Kakatua.
Karena karya Orwell akan dibahas di klub buku, barulah saya tergerak lagi untuk mencari. Karya tersebut adalah buku kumpulan esai Mengapa Saya Menulis terbitan Kakatua, 2023. Buku ini dapat dibaca di aplikasi Baca Kakatua. Menurut situs web Kakatua, buku ini memuat sepilihan esai yang diterjemahkan dari judul-judul berikut:

Why I Write
Books v. Cigarettes
Good Bad Books
Confessions of a Book Reviewer
Bookshop Memories
Literature and Totalitarianism
Politics and the English Language
Notes on Nationalism
My Country Right or Left
Shooting an Elephant
How the Poor Die
A Hanging
A Nice Cup o Tea

Esai-esai bagian awal berkenaan dengan kepengarangan Orwell ("Why I Write") beserta ihwal perbukuan yang digulatinya ("Books v. Cigarettes", "Good Bad Books"). Selain menjadi pengarang, Orwell pernah bekerja sebagai peresensi buku ("Confessions of a Book Reviewer") dan pegawai toko buku ("Bookshop Memories"). Karena saya juga pernah suka mengarang fiksi, me-review buku, dan sempat sesekali menjaga toko buku, selain itu lebih banyak berekreasi lewat buku daripada secara fisik yang kemungkinan bakal menghabiskan lebih banyak uang, termasuk pembaca karangan yang kiranya tergolong ke dalam "good bad books", serta meminjamkan buku-buku kepada orang-orang yang entah apakah akan dikembalikan, saya merasa dapat mengaitkan diri dengan yang diungkapkan Orwell dalam esai-esai ini, walaupun tentunya pengalaman saya tak sampai setaraf beliau.

Esai-esai bagian tengah, yaitu "Literature and Totalitarianism", "Politics and the English Language", "Notes on Nationalism", "My Country Right of Left", merambah ke ranah politik, yang tidak begitu saya minati. (Mungkin ini sebabnya saya tidak segera tergerak untuk membaca 1984 :v)

Esai-esai berikutnya, "Shooting an Elephant", "How the Poor Die", serta "A Hanging", menceritakan pengalaman Orwell semasa menjadi polisi imperial di Burma. Hal ini mengingatkan pada Multatuli, pengarang Max Havelaar. Keduanya memiliki beberapa kesamaan: pria kulit putih Eropa, pernah bekerja sebagai pegawai kolonial di kawasan Asia Tenggara dan tidak betah, kemudian pulang ke kampung halaman dan menuliskan pengalamannya itu. Semuanya esai yang menyentuh, kiranya dapat dikatakan sebagai contoh karya creative nonfiction, yang menghidupkan kembali suatu peristiwa nyata dengan detail, dialog, dan sebagainya, hingga memberikan efek kepada pembaca seolah-olah turut menyaksikan atau mengalami. 

Soal yang dikemukakan dalam "How the Poor Die" menimbulkan paling banyak reaksi dalam perbincangan di klub. Sewaktu-waktu kita mesti berurusan dengan rumah sakit, entahkah sebagai pendamping atau pasien itu sendiri. Namun, dalam keadaan yang boleh dikata sedang kurang menguntungkan itu, kita tidak selalu mendapatkan pelayanan yang baik. Tidak semua tenaga kesehatan bekerja dengan hati. Atau, memang sifat dari pekerjaan itu memerlukan atau menjadikan orang keras hati.

Esai penutup, "A Nice Cup of Tea", memberikan petunjuk menyeduh teh yang sedap. Ternyata ada serangkaian langkah untuk mendapatkan efek dan kenikmatan maksimal dari secangkir teh, agar menjadi lebih bijaksana, berani, dan optimistis setelah meminumnya. Yang perlu diperhatikan mulai dari sumber teh, bahan teko, cara memperlakukan teko, kondisi air, sampai perkara mencampurkan susu yang sudah kayak pertentangan bubur ayam diaduk vs kagak kalau di kita mah. Sementara itu yang saya tahu sebagai keturunan Jawa di tanah Sunda hanyalah teh nasgitel vs teh tawar encer. 

Mengenai esai jenis instruksional, selain "A Nice Cup of Tea", "Politics and the English Language" juga mengandung beberapa poin petunjuk praktis menulis. Walaupun klise, petunjuk-petunjuk ini banyak diabaikan sehingga menggusarkan pemerhati bahasa.

Di samping kumpulan esai terpilih ini, aplikasi Baca Kakatua menyediakan buku-buku Orwell lainnya. Buku-buku Orwell juga bisa dibaca di aplikasi Gramedia Digital dan Ipusnas. Di Ipusnas yang gratis itu ada buku-buku Orwell terbitan Diva Press dan Gramedia, tapi terakhir kali saya cek, semuanya lagi dalam antrean dong. Apa Orwell lagi populer?

Beberapa kutipan yang kena:
"It is his job, no doubt, to discipline his temperament and avoid getting stuck at some immature stage, or in some perverse mood: but if he escapes from his early influence altogether, he will have killed his impulse to write." ("Why I Write", 1946)
"After the age of about thirty they abandon individual ambition--in many cases, indeed, they almost abandon the sense of being individuals at all--and live chiefly for others, or are simply smothered under drudgery." ("Why I Write", 1946)
".... 'I don't want short stories', or 'I do not desire little stories' .... they sometimes explain that it is too much fag to get used to a new set of characters with every story, they like to 'get into' a novel which demands no further thought after the first chapter." ("Bookshop Memories", 1936)
"People talk about the horrors of war, but what weapon has a man invented that even approaches in cruelty some of the commoner diseases? 'Natural' death, almost by definition, means something slow, smelly and painful." ("How the Poor Die", 1946)

Senin, 16 Desember 2024

Mati Satu, Muncul Seribu

Setelah Napster mati, penyedia program pertukaran dokumen musik bermunculan. Industri rekaman kewalahan.

GAJAH mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Napster tutup? Penyedia layanan pertukaran dokumen musik ini meninggalkan sekitar 20 juta pengguna. Selama tiga tahun beroperasi, situs yang didirikan Shawn Fawning itu bagaikan surga bagi para penggemar musik. Di situ mereka dengan gampang bisa saling tukar dokumen musik dengan pengakses lainnya. Punya satu bisa mendapat seribu.

Terang, pesta itu membuat para bos industri rekaman di Amerika Serikat berang. Tergabung dalam Recording Industry Association of America (RIAA), mereka lalu menghantamnya dengan tuduhan mematikan: penyebar wabah pelanggaran hak cipta.

Tukar-menukar dokumen musik identik dengan penggandaan. Ini menabrak pasal dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual. Setelah melewati proses hukum yang panjang, pengadilan federal akhirnya melarang Napster beroperasi lagi. Dan sejak akhir Juli lalu, situs kondang itu benar-benar tutup layar.

Selesai? Belum. Tak lama kemudian, bermunculan situs sejenis dengan layanan berbeda-beda. Malah tiga situs paling populer saat ini, Kazaa, Grokster, dan Morpheus, diminati lebih banyak orang. Totalnya sekitar 70 juga pengguna aktif. Ketiga situs itu hampir sama dengan Napster, hanya teknologinya lebih canggih, sehingga secara hukum sulit dijegal. Mereka tak hanya menyediakan layanan tukar-menukar dokumen musik, tapi juga videogame, foto, program aplikasi, dan film layar lebar yang sedang diputar di bioskop. Semua kenikmatan tersebut bisa didapat secara gratis.

Pengurus RIAA, yang mewakili delapan raksasa industri rekaman, pun gerah lagi. Demikian pula asosiasi perfilman Amerika (MPA), yang mewakili 19 studio. Munculnya situs pengganti Napster membuat angka penjualan cakram padat (CD) produk mereka di seluruh dunia anjlok lima persen. Sebaliknya, angka penjualan CD kosong meningkat pesat, bahkan untuk pertama kalinya melampaui CD rekaman. 

Mereka lalu menggugat pemilik ketiga situs tersebut. Tuduhannya sama: pelanggaran hak cipta. "Kami tak punya pilihan," kata Cary Sherman, penasihat hukum RIAA, "Kalau kami tidak menggugat, ribuan situs seperti mereka akan terus muncul dan mengganggu bisnis kami."

Hanya, pengelola ketiga situs itu punya argumen kuat. Mereka mengaku tak punya kontrol apa pun pada pemakaian layanan yang mereka sediakan. Pengelola juga tak mengetahui siapa saja yang menggandakan dan menukar dokumen, entah itu lagu milik Eminem, entah resep masakan kalkun panggang ala Seattle, lewat jaringan mereka. Pemilik situs Kazaa, Grokster, dan Morpheus memang agak sulit disalahkan. Soalnya, cara kerja mereka berbeda dengan Napster. Ketiganya mendesentralisasi sistem server-nya. Mereka hanya menyediakan programnya, sedangkan server-nya berupa komputer milik pengakses yang jumlahnya puluhan juta itu. Dulu Napster gampang disalahkan karena menggunakan server sentral yang bisa melacak dan mengontrol transfer dokumen di antara sesama penggunanya.

Gugatan RIAA pun kedodoran. Dalam memo rahasia yang bocor ke mana-mana, tim pengacara lembaga ini terus terang mengakui bahwa gugatan mereka sebetulnya tak sekuat ketika menghadapi Napster. Karena itu, mereka tak yakin bakal memenangkan gugatan.

Secara teknis, sulit juga menghentikan pertukaran dokumen musik atau film lewat program yang disediakan ketiga situs itu. Kata Niklas Zennstrom, pendiri Kazaa, satu-satunya jalan menghentikan pemakaian layanan situsnya adalah memerintahkan agar semua pengakses mematikan program di komputernya. Ini sesuatu yang mustahil.

Kalaupun semua situs ini ditutup karena perintah pengadilan atau alasan lainnya, belasan situs serupa telah siap menggantikannya. Soalnya, "Situs-situs itu sekadar alar," kata seorang penggemar Kazaa kepada majalah Fortune, "Kalau industri rekaman menutup mereka, saya bisa mencari gantinya di tempat lain." Begitu juga para penggemar lainnya. 

Wicaksono



Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002



Senin, 11 November 2024

Investigasi Pohon-pohon: 100 Puisi tentang Kerusakan Lingkungan Hidup

Gambar dari Tonggak Pustaka.
Penulis : Chairul Anwar
Edisi buku cetak I, September 2009
Edisi buku digital II, November 2022
ISBN : 978-623-91272-2-0 (E-) 978-623-361-000-0
Penerbit : Tonggak Pustaka dan Amongkarta, Yogyakarta

Saya menemukan buku ini di Ipusnas waktu iseng mencari buku puisi terkait alam dan sebagainya, langsung memulai membacanya, seperti membaca buku biasa. (Sampai titik ini, saya berpikiran bahwa membaca puisi sebagaimana yang diajarkan buku-buku teori terlalu memakan waktu, mungkin hanya bisa diterapkan oleh yang mempelajari puisi secara serius, bukan pembaca kasual :-/). 

Banyak puisi dalam buku ini mengulang-ulang celaan terhadap cukong, politikus, siapa-siapa yang terang berperan dalam perusakan hutan, yang demi dolar tidak saja menzalimi aneka ragam flora fauna, tetapi juga suka menzinai "asisten wanita berwajah kemilau". 

Karena kerap terasa bagai sambatan, buku ini mengingatkan pada buku Masuk Surga Karena Memungut Sampah (yang dalam waktu ini masih dibaca). Hanya saja, karena bentuknya puisi ketimbang esai, buku ini relatif lebih lancar dibaca. 

Sebagian puisi diakhiri dengan ketidakberdayaan penulis, kadang pula seperti mengakui bahwa yang diurainya hanya racauan. Contohnya dalam pernyataan-pernyataan berikut.
Rasanya tulisan ini harus menepi deh sebab hanya bikinan orang sedih berlarat-larat (halaman 127, "Kabar Pohon dan Semak-semak Dilumat Api")
Aku hanya pengembara yang kantongnya kosong perut juga keroncongan dan tulis puisi walau tak ada yang baca (halaman 129, "Puisi Iseng Semak-semak Pakis Tak Terbaca")
Sebaiknya kata-kata dalam puisi ini jangan dibiarkan mengalir deras ke hulu. Kesasar kau nanti. Sebab hanya ditulis orang yang hidup sepi sendiri di hilir berteman gerimis (halaman 135, "Pesan Ikan Mujair kepada Jeram")
Agaknya tak penting dilanjutkan keluh peyair yang cuma keturunan anak buaya (halaman 144, "Keluhan Keturunan Buaya")
Setelah banyaknya puisi yang cenderung seragam, jadi timbul gagasan bahwa kuantitas bisa saja diimbangi dengan perluasan atau pendalaman kualitas. 

Misal, dalam isu lingkungan hidup, sesungguhnya bukan cuma cukong/politikus saja yang bisa dipersalahkan, melainkan setiap manusia termasuk orang biasa pun berperan. Individu dapat mengambil tanggung jawab terhadap apa pun yang ia konsumsi, dengan melacak mulai dari bagaimana barang itu diproduksi, didistribusikan, sampai setelah menjadi sampah. Apalagi dalam kaitannya dengan keperempuanan, jenisnya bukan cuma "asisten wanita berwajah kemilau" melulu yang bisa diungkit, sebab dalam urusan belanja kerumahtanggaan yang biasanya dipercayakan kepada perempuan, kaum ini memiliki peran tak kalah penting dalam menentukan timbunan sampah yang berakhir di TPA. 

Selain itu, melihat dari judul-judulnya saja dalam daftar isi yang menyebut beragam spesies (: pinang, angsoka, mahoni, ular sanca, sonokeling, akasia, cocorbebek, burung murai, kuping gajah, kayu ulin, kerbau, lebah, kucing hutan, semut, burung parkit, babi hutan, burung merak, siamang, landak, kumbang, harimau belang, dan banyak lagi), jadi timbul ekspektasi puisi-puisi ini akan memberikan kekayaan wawasan sebagaimana dalam buku Pohon-pohon Sahabat Kita: Sajak Anak-anak. Namun, isinya lagi-lagi tentang cukong dan "asisten wanita wajah kemilau", alih-alih mengeksplorasi lebih jauh atau spesifik mengenai spesies yang disebut pada judul.

Kesan seragam itu mengemuka kiranya karena puisi-puisi ini dibaca secara terusan. Sebetulnya ada saja sepilihan puisi yang kena dalam menggugat kepedulian pembaca agar berempati terhadap makhluk-makhluk selainnya, menempatkan mereka dalam posisi yang sejajar. Puisi dalam buku ini pun mungkin akan lebih seru bila dibacakan keras-keras sebagai pengisi acara lingkungan hidup. 

Berikut salinan utuh satu puisi sebagai contoh.
Air Mata di Pipi Pohon-pohon Pinang

Kini aku pohon-pohon pinang di hutan-hutan yang tak lagi perawan
mustahil bisa menatap sinar matahari menerobos dari daun-daun dan ranting-ranting
Simak setiap bunyi yang keluar dari siul burung-burung tentang kedamaian
Dari azan subuh berkumandang hingga isya menyapa yang tersisa hanya udara kering
Doa-doa untuk kebahagiaan terjepit di geladak kapal mengangkut kayu gelondongan
Orang-orang yang senantiasa mengisi hidupnya degan mulut madu kebohongan

Engkau tidak seksama melihat pohon meranti meneteskan air mata
Pernahkah engkau punya niat menghapus air mata di pipi pohon keruing?
Apakah engkau pernah membandingkan air mata bahagia keluargamu bergelimang harta
dengan air mata pohon-pohon pinang di hutan yang terluka parah karena hangus?
Banyak yang kita tidak tahu apa yang dirasakan tanaman di hutan dan binatang melata
Tetapi engkau juga tidak tahu apa yang engkau dan keluargamu rasakan itu semacam rakus
Sadar atau tidak, kalau berbulan-bulan kayu gelondongan diseret liar ke mana-mana
Selama itu pula orang-orang telah melukai tubuhnya dan sungai meminum darahnya
Tetapi pernahkah terpikir olehmu suatu ketika mereka meminta engkau tetap jadi tikus?
Tidak, tidak sama sekali, katamu dengan tubuh terguncang dan mulut terbata-bata
Tetapi tetap saja engkau riang gembira meminum darahnya tak putus dirundung haus

Engkau senang membawa ke mana-mana kepala kosong lantaran enggan merenung
betapa berharga darah dan nyawa, meskipun itu hanya sebatang pohon dan seekor capung
Kebahagiaanmu, kebahagiaan keluargamu, kolegamu adalah kolaborasi membagi untung
tinggal menyisakan korban diiringi penyesalan, apa guna untung jika kepala buntung?

Yogyakarta, 18 Juli 2014

(halaman 11-12)
Kutipan favorit:
Kesendirian adalah jalan terbaik yang harus ditempuh agar kau luruh
bersemayam dalam sepi berkerumun sunyi agar jiwamu mudah tersentuh
menyaksikan harimau belang berlarian dikepung lidah api tubuh melepuh
(halaman 149, "Harimau Belang dan Beruang Madu")

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain