dikumpulkan dan diuraikan oleh S. Takdir Alisyahbana
diterbitkan oleh Balai Pustaka, Batavia, 1940
Menurut "PENDAHOELOEAN", buku ini ditujukan untuk murid AMS, Afd. Al, HIK, atau yang sederajat, yang sudah paham bahasa Melayu sekalian dengan ejaannya. Persisnya, ada dua jenis ejaan dalam buku ini. Ejaan pertama, seperti yang tampak pada kover dan isi selebihnya, menggunakan "oe" untuk "u", "j" untuk "y", dan seterusnya. Ejaan kedua, yang disebut sebagai ejaan "Semenandjoeng" (Malaysia?), terdapat pada beberapa contoh puisi, lebih mendekati ejaan bahasa Indonesia yang dipakai sekarang karena menggunakan "u" untuk "u", "y" untuk "y" dan seterusnya, tapi ada juga beberapa perbedaannya, salah satunya yaitu ada ceruk di atas "e" yang dibaca pepet.
Penulis kerap memberikan catatan kaki berisi pengertian kata. Ada kata-kata yang bagi orang Indonesia zaman sekarang sudah umum diketahui, contohnya "bentuk" dan "penyair" (halaman 5). Adanya catatan kaki yang menerangkan pengertian kata-kata tersebut seperti menunjukkan bahwa kata-kata tersebut masih asing bagi pembaca sasarannya. Malah, untuk kata "bentuk" disertakan padanan dalam bahasa Belanda, "vorm", seolah-olah pembaca lebih tahu bahasa Belanda daripada Melayu.
Ada enam bab dalam buku ini.
Bab pertama, "POEISI LAMA SEBAGAI PANTJARAN MASJARAKAT LAMA", mula-mula menerangkan perbedaan antara puisi lama dan puisi baru, yang pendeknya ada pada bentuk maupun isi. Perlu dipahami bahwa puisi adalah hasil jiwa penyair yang dibentuk oleh masyarakat pada tempat dan zamannya. Maka puisi lama merupakan pancaran dari masyarakat lama. Mengenali puisi lama berarti juga mengenali kebudayaan dan masyarakat lama itu. Nah, masyarakat modern yang dimaksud oleh buku ini berarti masyarakat sekitar tahun 1940, tapi esensinya kurang lebih masih sama dengan sekira 80 tahun kemudian (yaitu pada waktu saya membacanya): sudah bersekolah, berdiam di kota besar, dan banyak bergaul dengan bangsa asing. Untuk bergaul dengan bangsa asing ini, dalam konteks era 2020-an, sudah dibantu dengan kehadiran internet, sehingga sepertinya tidak mesti selalu diartikan dengan bergaul secara langsung, tetapi bisa juga hanya melalui pertukaran pesan di dunia maya, akses terhadap konten-konten asing, dan lain-lain.
Sebagaimana ciri pada masyarakat lama yang cenderung homogen, puisi lama juga cenderung sama baik bentuk maupun isinya. Khususnya mengenai kepercayaan terhadap mantra (salah satu bentuk puisi lama), kalau tidak persis sebagaimana yang diajarkan, maka hilang juga kekuatannya, sehingga mungkin itu sebabnya puisi lama cenderung sama turun-temurun. Maka bungai rampai ini disusun menurut bentuknya, yaitu jenis-jenis ikatan puisi. Jadi buku ini mengingatkan pada buku Poem-Making: Ways to Begin Making Poetry, karena sama-sama menjelaskan tentang puisi menurut bentuknya, tapi bedanya, buku ini versi puisi lama Melayu dan ada juga dari Minangkabau.
Bab-bab berikutnya dijuduli menurut jenis-jenis ikatan puisi lama, yaitu pantun (bab 2), syair (bab 3), dan gurindam (bab 4). Pantun satu baitnya tidak mesti hanya empat baris, tetapi ada juga yang enam bahkan delapan, sehingga sajaknya bisa ab-ab, abc-abc, abcd-abcd, dengan separuh baris yang pertama adalah sampiran. Syair bersajak a-a-a-a, dan contoh dalam buku ini satu baitnya pada empat baris. Gurindam bersajak a-a terdiri dari dua baris.
Dalam bab lima, "BAHASA BERIRAMA", diberikan nasihat kepada pengarang-pengarang muda untuk memperhatikan bahasa berirama baik-baik. Bukan untuk menirunya, melainkan mempelajari betapa cakap orang dahulu memakai tenaga-tenaga yang tersembunyi dalam kata dan kalimat, dalam bunyi dan arti, dan betapa teliti mereka memperhatikan alam sekelilingnya--keduanya adalah syarat yang sampai sekarang (1940 atau 2025 atau sepanjang masa?) masih menjadi ukuran bagi segala seni bahasa yang agak berarti (halaman 91).
Bab enam, "LAIN-LAIN", menyuguhkan contoh-contoh ikatan puisi dari buku Makota Radja atau Tad'joe'ssalatin bertahun 1630, karangan Boechari al Djauhari, yang dinamai masnawi, roebai, kit'ah, gazal, dan nazam--nama-nama ini diambil dari bahasa Parsi dan Arab. Namun, di samping jumlahnya terlalu sedikit, perbedaan antara berbagai jenis ikatan itu kurang terang, sehingga tidak dapat diuraikan secara memadai dalam buku ini.
Dari segi isi, rata-rata mengandung nasihat atau cerita. Unsur keislaman mewarnai, termasuk dalam "Mantera menangkap buaya" (halaman 101-2) yang ditujukan kepada orang halus penjaga buaya, ujungnya menyebut nama "Allah", "Mohamad", "Baginda Rasulallah"; bahkan dalam catatan kaki diterangkan cerita tentang buaya yang pertama adalah permainan Fatimah, anak Nabi Muhammad, tulangnya dari tebu, dagingnya dari tanah liat, dan sebagainya. Terlepas dari kepercayaan terhadap makhluk halus yang kiranya makin memudar dewasa ini, ada nasihat yang tampak relevan sepanjang zaman.
Dalam contoh-contoh yang ditampilkan, banyak lagi kata yang tidak umum dipakai dalam bahasa Indonesia sekarang. Beberapa kata memang tidak ada artinya, karena sekadar supaya bersajak saja (halaman 46). Dalam buku Poem-Making, menciptakan kata sendiri sekadar untuk menghasilkan rima justru dilarang.
Di halaman 13 (bab 2), disorot pentingnya irama daripada arti kata, seumpama bayi dininabobokan ibunya, yang membuai adalah irama lagu sedangkan kata-katanya sendiri si bayi kemungkinan belum mengerti. Maka dalam pantun, separuh baris pertama atau sampiran itu seperti tiada arti karena yang dipentingkan adalah iramanya, sebagai pemikat perhatian kiranya.
Penulis sempat menilik penjualan buku dalam 10-20 tahun ke belakang (berarti tahun 1920-1930-an), trennya syair terdesak oleh roman dan puisi modern. Sebabnya, "sesungguhnya kebanyakan syair tidak seberapa harganya sebagai buah seni. Kebanyakan hanya permainan kata yang tiada berisi, ulangan baris bersajak yang tidak mengharu hati, sedangkan ceritanya pun bagi orang sekarang tidak menarik hati, karena banyak cacat-celanya dan jauh dari soal-soal penghidupan zaman sekarang." (halaman 47, ejaan sudah disesuaikan) Penulis menyalahkan semata-mata penyair, karena picik pengetahuannya, lemah getar jiwanya, sehingga tidak dapat membuat syair yang "hidup" dan "berjiwa" supaya dapat mengikat hati orang zaman sekarang. Kurang lebih seabad kemudian, roman dan puisi modern pun sudah terdesak oleh YouTube agaknya :v